Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

DERITA PARA PEKERJA INFORMAL DI ERA COVID-19

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Kompas 20-21 April 2020 (Kompas, 26/04/2020), diketahui bahwa 15 persen para pekerja pulang kampung karena PHK, 30 persen pulang kampung karena usahanya tutup dan 50 persen dirumahkan tanpa gaji. Sementara itu yang sudah pulang juga mengalami penerapan aturan yang berbeda-beda. Sebanyak 60 persen pemerintah meminta karantina mandiri di rumah, dan 20 persen sudah menyediakan karantina terstruktur. Dan sisanya pemerintah daerah menolak orang yang pulang kampung.

Survey sederhana yang dilakukan oleh Harian Kompas ini memberikan signal bahwa di era Pandemi Covid-19 ini ternyata terdapat kelompok yang sangat rentan secara ekonomi dan berdampak sangat negatif bagi kehidupannya. Mereka ini adalah orang yang paling tidak beruntung di era wabah corona. Mungkin di mata Karl Marx bisa disebut kelas proletariat. Bahkan mungkin sebagian lainnya bisa dikategorikan kaum lumpen proletariat. Mereka ini adalah orang yang secara ekonomi tidak beruntung di desa asalnya, lalu mengadu nasib di ibukota, akan tetapi di Jakarta juga tidak bisa memasuki pekerjaan formal dan rentan PHK jika ada suatu problem perusahaan atau lainnya.

Saya pernah selama tujuh tahun berada di Jakarta, sehingga melalui pengamatan selintas tentu tahu bagaimana kehidupan mereka yang kurang beruntung itu. Mereka yang hidup berhimpitan di dalam kamar-kamar kos bulanan, dengan keluarganya dan hanya bekerja di sektor informal. Ada yang berjualan makanan, ada yang menjajakan minuman di jalan-jalan raya di terik matahari, dan ada yang semalaman bergadang untuk berjualan kopi, yang kala pagi hari selalu lewat di depan tempat tinggal saya. Lalu juga para pengemudi OJOL yang tidak lagi bisa mengangkut penumpang karena larangan berboncengan sepeda motor.

Para pedagang keliling seperti ini pasti menangguk kesulitan di era PSBB, di mana orang harus berada di rumah dan tidak melakukan kontak dengan orang di luar keluarganya. Seluruhnya bersikap self help dan jika memerlukan membeli bahan-bahan makanan pokok, maka mereka yang “kaya” atau “cukup kaya” atau kelas menengah bisa membelinya di mall atau toko-toko yang terbuka untuk penyediaan bahan makanan pokok.

Negara-negara Eropa dan Amerika termasuk juga Australia sudah melakukan pelonggaran pasca melakukan lock down. Di negara-negara ini dilakukan penutupan total terhadap akses relasi antar warga dan hanya diperbolehkan untuk diam di rumah selama masa lock down tersebut. Pemerintah memberikan jaminan kehidupan terhadap mereka yang terkena efek dari penutupan total ini. Dan secara nyata bahwa dengan sistem ini maka pemberhentian penyebaran virus corona bisa dilakukan secara sangat memadai.

Indonesia tidak menerapkan lock down sebagaimana yang ditempuh Cina di Wuhan, pemerintah Italia, Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya dan juga Amerika Serikat. Indonesia menerapkan satu sistem yang disebut sebagai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang kiranya seperti lock down tidak sepenuh hati. PSBB memang harus menjadi pilihan pemerintah sebagaimana jalan keluar yang diambil untuk menanggulangi kebutuhan masyarakat terbawah secara ekonomi adalah pemberian Bantuan Sosial langsung, yang jumlahnya sebesar Rp600 ribu. Selain itu juga mengandalkan upaya-upaya masyarakat untuk memberikan bantuan riil berupa bahan pokok seperti beras, minyak goreng, mie instan dan sebagainya. Bantuan ini misalnya diberikan oleh Yayasan Pelangi Hidup Bersama kepada Pemerintah Kota Surabaya. Yayasan dibawah ketua Dr. Muhammad Zakki pimpinan Pondok Pesantren Mukmin Mandiri ini bekerja dengan para pebisnis di Surabaya. Pada pekan ini memberikan bantuan berupa beras 20 ton, dan pekan yang lalu memberikan bantuan berupa Alat Pelindung Diri (APD) untuk tenaga medis yang merawat terhadap para penderita covid-19.

Bagaimanapun tindakan pemerintah untuk melakukan pembatasan sosial harus dianggap sebagai pilihan yang berdasarkan kepentingan sosial pada masyarakat Indonesia. Berdasarkan pengamatan lapangan, terdapat petugas-petugas dari kepolisian dan juga pemda untuk melakukan pengawasan terhadap lalu lalang kendaraan yang datang dan pergi. Saya yang hari ini (29/04/20) harus pergi ke Gresik untuk belanja beberapa kebutuhan pokok, juga harus mengalami penyemprotan disinfektan di dekat Masjid al Akbar untuk masuk kembali ke Surabaya. Inilah upaya maksimal yang bisa dilakukan pemerintah untuk memotong penularan covid-19.

Hanya yang menjadi bahan pemikiran di antara kita adalah keharusan pemerintah untuk memberikan bantuan yang memadai terhadap para pekerja yang rentan menghadapi deraan ekonomi covid-19. Mereka tidak mampu untuk menghadapinya dengan kemampuan usaha lainnya. Mereka yang di PHK, yang dirumahkan atau yang menutup usahanya adalah yang paling susah menghadapi dampak negatif ekonomi covid-19, karena ketiadaan pekerjaan lain yang harus dipilihnya.

Kelas menengah yang selama ini memiliki akses ekonomi yang cukup baik, maka tentunya memiliki simpanan yang bisa didayagunakan untuk menghadapi kenyataan dampak covid-19 hanya harus mengatur ulang manajemen yang lebih relevan, demikian pula PNS yang selama ini memperoleh ketercukupan dari salary yang didapatkannya. Namun kelas masyarakat yang mengandalkan kerja harian dan upah atau pendapatan harian inilah yang harus menjadi perhatian. Makanya pemerintah harus memiliki data yang akurat untuk kepentingan bantuan sosial, baik yang datang dari anggaran negara atau dana pilantropi yang didapatkannya.

Bagaimana pun negara harus hadir di tengah PSBB yang diterapkannya dalam menanggulangi persebaran covid-19 yang masih belum diketahui kapan akan berakhir.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..