RITUAL PUASA BAGI MANUSIA (1):
RITUAL PUASA BAGI MANUSIA (1):
Perspektif Sosiologi
Sudah banyak yang mengkaji dan menjelaskan puasa dari perspektif ajaran teologis, dan fiqh. Tulisan ini secara sengaja untuk menjelaskan puasa dari perspektif sosiologis. Mungkin ada yang menganggap bahwa ini hanyalah analisis gotak gatik gathuk atau sengaja mencocokkan terhadap hal-hal yang “barangkali” kurang atau bahkan tidak relevan.
Namun demikian, saya berkeyakinan bahwa puasa sebagai bentuk ritual tentu bisa didekati dengan pendekatan-pendekatan sosiologis, misalnya asumsi keteraturan sosial, integrasi sosial, konsepsi yang sakral Durkheim, teori fungsional Parson, teori Malinowsky atau bahkan teori agensinya Giddens. Juga bisa dianalisis dengan teori-teori makna, sebagaimana yang dikembangkan oleh Weber, Schultz, Berger, Habermas, dan sebagainya. Tentu tidak sebagaimana kajian yang canggih untuk menggunakan perspektif teori-teori ini, akan tetapi saya berusaha untuk menggunakan proposisi umum yang bisa dijadikan sebagai perspektif melihat ritual puasa.
Puasa merupakan performance ritual di dalam Islam yang setiap tahun dilakukan oleh umat Islam seluruh dunia yang merupakan bagian dari ketaatan atau kepatuhan manusia atas keyakinannya tentang kebenaran ajaran Islam. Umat Islam selalu menyambut dengan suka cita kehadiran bulan puasa, sebagaimana yang bisa diamati di dalam kehidupan sosial.
Umat Islam menyambut puasa dengan gegap gempita, dengan segenap jiwa dan raganya, dengan keikhlasan dan kepasrahannya bahwa bulan puasa merupakan bulan suci yang bahkan dalam bulan sebelumnya selalu berdoa agar dipertemukan kembali dengan bulan puasa. Pada bulan Rajab dan bulan Sya’ban umat Islam di masjid atau mushalla atau rumah mereka masing-masing sudah berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan bulan istimewa, Bulan Ramadlan.
Hal ini menjadi penanda betapa keyakinan tentang bulan puasa sebagai bulan istimewa sudah terpateri di dalam mind set dan cultural set umat Islam di seluruh dunia. Internalisasi ajaran Islam yang sedemikian mendalam menjadi bukti betapa ajaran puasa sudah menjadi bagian dari pemikiran dan tindakan umat Islam tersebut.
Setiap agama memiliki ajaran tentang puasa. Makanya di dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa puasa merupakan ajaran agama-agama. Agama Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha dan lainnya juga memiliki konsepsi tentang puasa. Bahkan agama-agama lokal juga mengenal ajaran puasa yang di masa lalu telah dijadikan sebagai bagian dari ajarannya.
Di dalam Islam, puasa itu digambarkan dengan perilaku tidak makan, minum dan relasi seksual di siang hari dan juga perbuatan lain yang bisa membatalkan atau mengurangi pahala puasa. Misalnya menggunjing, berbicara kasar dan menyakitkan orang lain, berkeluh kesah tentang kehidupan, dan lain-lain yang tentu menjadi pengurang terhadap kesempurnaan dan pahala puasa.
Puasa memiliki tingkatan tipologis yaitu puasa kategori orang awam, adalah puasa yang dilakukan hanya dengan mematuhi larangan fisikal belaka, tidak memasuki larangan-larangan lainnya yang lebih luas. Seseorang hanya tidak makan, minum dan hubungan seksual di siang hari saja sedangkan larangan lainnya seperti menggunjing, berkeluh kesah dan lainnya sama sekali tidak diperhatikan atau tetap dilakukan. Puasa yang dilakukan dengan cara seperti ini disebut hanya memperoleh lapar dan dahaga. Memang sudah menggugurkan kewajiban, namun tidak memiliki pahala puasa secara optimal.
Lalu, puasa yang ditipologikan sebagai puasa orang ‘alim adalah puasa yang dilakukan oleh seseorang yang sudah memasuki suasana puasa dengan meninggalkan larangan fisik dan non-fisik lainnya. Puasanya benar-benar digunakan sebagai sarana untuk tidak melakukan seluruh larangan yang membatalkan puasa atau merusak pahala puasa, bahkan diisi puasanya dengan perbuatan baik, seperti tadarrus, berderma, shalat tarawih dan shalat witir dan semuanya ditujukan untuk melipatgandakan pahala dari Allah swt.
Kemudian, puasa yang ditipologikan sebagai puasanya ahli taqarrub, adalah puasa yang dilakukan dengan tingkatan satu dan dua dan ditambah dengan upaya untuk taqarrub kepada Allah melalui serangkaian dzikir dan wirid yang dilakukan secara terus menerus. Puasa yang begini disebut sebagai puasanya orang-orang yang rindu kepada Allah. Puasa baginya merupakan cara efektif untuk meminta keridlaan Allah dan bukan lainnya. Jika Allah sudah ridla maka segala yang diterimanya merupakan kenikmatan yang tiada taranya. Yang ada hanya kepasrahan dan kesyukuran kepada Allah azza wa jalla.
Kita tentu bisa memilah diri kita sampai di mana di dalam tingkatan puasa dimaksud. Dan yang perlu dipikirkan dan diupayakan adalah bagaimana puasa yang kita lakukan setiap tahun itu meningkat kategorinya dari satu menuju ke dua dan akhirnya sampai tangga yang ketiga.
Wallahu a’lam bi al shawab.