Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

DOMESTIFIKASI IBADAH DI BULAN PUASA (1)

Menurut hisab dan rukyat, akhirnya diputuskan oleh Menteri Agama, Pak Fahrul Razi, puasa akan dimulai hari Jum’at mendatang, 24 April 2020. Dan biasanya pada hari-hari menjelang puasa orang sudah pada berdatangan ke daerah untuk berziarah ke makam leluhurnya. Bagi umat Islam Indonesia, berziarah ke makam menjelang puasa sudah merupakan tradisi yang fenomenal. Tidak hanya bagi orang desa, tetapi juga bagi orang kota. Maklumlah kebanyakan orang kota sebenarnya adalah kaum urban yang telah meningkat status sosial atau mobilitas vertikalnya.

Makam atau kuburan biasanya ramai menjelang puasa. Ada yang membersihkan makam dan berziarah. Penjual bunga pun ramai dikunjungi orang, sebab tradisi kita jika berziarah ialah membawa bunga untuk mengharumkan pekuburan. Bahkan terdapat keyakinan lokal, bahwa sebelum bunga itu kering maka seakan-akan kita berziarah terus menerus. Di beberapa tempat juga membawa air bunga dan kemudian dituangkan ke makam leluhurnya. Ada variasi cara orang mengekspresikan tindakan ke makam, baik itu makam suci para wali atau makam leluhurnya sendiri.

Akhir-akhir ini tentu terdapat nuansa berbeda. Ada banyak orang yang tidak bisa berziarah ke makam leluhur karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau harus berdiam diri di rumah karena wabah covid-19. Anjuran pemerintah untuk work from home, learning at home and praying at home merupakan salah satu di antara sekian banyak cara yang dilakukan di dalam kerangka untuk mencegah penyebaran wabah corona yang luar biasa cepatnya. Belum ada dalam sejarah sebuah virus bisa menular di seluruh dunia seperti ini. Sungguh merupakan pelajaran bagi manusia bahwa mobilitas horizontal antar negara ternyata menjadi instrumen penyebaran virus corona yang menjalar cepat di seluruh belahan bumi.

Saya juga harus mengikuti anjuran ini. Pada tahun ini secara terpaksa saya harus merelakan peluang untuk berziarah ke makam keluarga. Biasanya pada saat menjelang Ramadlan saya selalu sempatkan untuk pulang ke rumah saya di Tuban untuk berziarah ke makam Bapak dan kakek nenek saya atau leluhur saya karena ini merupakan moment yang paling tepat untuk melakukan ziarah tersebut.

Memang tidak ada dasarnya untuk berziarah di saat-saat seperti ini. Orang Arab juga “mungkin” tidak melakukannya. Tetapi ini merupakan tradisi yang baik yang bisa menjadi momentum untuk memohonkan ampun kepada Allah swt atas kekhilafan yang “barangkali” pernah dilakukan oleh para leluhur kita di masa lalu. Tidak hanya sekedar itu tetapi juga untuk menjadi penanda bahwa ke depan di situlah kita semua akan berumah dan bertempat tinggal untuk menunggu yaumul hisab sebagaimana yang diceritakan di dalam teks-teks suci Al Qur’an maupun al hadits.

Mungkin saja masih ada orang yang melakukan ziarah, sebagaimana berita di televisi bahwa penjual bunga kebanjiran pembeli bahkan dengan harga dua kali lipat, artinya meskipun di era seperti ini ternyata ziarah kubur tetap dilakukan. Ziarah itu dilakukan oleh orang sedaerah dan dimungkinkan untuk melakukannya. Tetapi yang berasal dari luar daerah, saya kira kuantitasnya sangat menurun drastis.

Gubernur sudah menetapkan bahwa Surabaya, Gresik dan Sidoarjo menjadi daerah dengan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Artinya, orang yang berasal dari daerah tersebut tentu harus berada di dalam pengawasan. Untuk Surabaya berlaku bagi semua wilayah, sedangkan di Gresik dan Sidoarjo hanya beberapa wilayah. Dibatasi wilayah yang berdekatan dengan Surabaya saja. Inilah yang menyebabkan saya juga harus berpikir ulang untuk melakukan tindakan pulang kampung. Bukankah di setiap kampung juga sudah disediakan satu tim untuk memantau terhadap orang yang datang dan pergi. Terutama yang menginap atau lama berada di daerah tersebut. Pemerintah sungguh berupaya secara maksimal agar persebaran penduduk dari satu wilayah ke wilayah lainnya diawasi secara ketat. Jadi saya tentu tidak mau menjadi Orang Dalam Pengawasan (ODP) karena kenekadan saya untuk pergi ke luar daerah.

Saya harus merelakan tahun ini tidak melakukan tradisi ziarah sebagai konsekuensi PSBB yang sudah ditetapkan. Saya tentu kehilangan momentum tradisi penting ini. Tradisi yang sudah menyejarah di dalam kehidupan masyarakat, dan menjadi bagian di dalam pattern for behaviour masyarakat Islam Nusantara atau Islam Jawa. Tentu ada baiknya kita mengikuti anjuran pemerintah, sebab inilah salah satu jalan terbaik untuk menghentikan persebaran wabah penyakit yang mematikan ini.

Sekali lagi bahwa wabah covid-19 telah memaksa untuk masyarakat Islam Indonesia agar melakukan domestifikasi ajaran agamanya, tradisinya dan juga relasi sosial berbasis agama yang selama ini menjadi pedoman di dalam kehidupan sosial.

Kita boleh kehilangan momentum tradisi masyarakat Islam lokal ini, tetapi kita tidak boleh kehilangan keberagamaan kita, ritual kita, spiritualitas kita. Meskipun berada di rumah, saya kira dzikir dan wirid harus tetap kita lantunkan sebagai konsekuensi keyakinan kita bahwa di manapun kita berada Allah melihat dan mendengar apa yang kita lakukan atau ungkapkan baik secara lahir maupun batin.

Selamat berpuasa pada Jum’at, 1 Romadlon 1441 H atau 24 April 2020. Semoga Allah menerima amal ibadah kita sebagaimana janji Allah yang pasti dan pasti tidak akan pernah diingkarinya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..