KELOMPOK PALING RENTAN DI ERA COVID-19
Data yang dirilis oleh Saiful Mujani Research & Consultant (SMRC) dalam survey tentang Wabah Covid-19 menyatakan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia (77%) menyatakan covid-19 telah mengancam pemasukan atau penghasilan mereka. Lebih jauh lagi, sekitar 25 persen (50 juta warga Indonesia) menyatakan sudah tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan pokok tanpa pinjaman, 15 persen menyatakan tabungan yang dimiliki warga hanya cukup untuk beberapa minggu, dan 15 % warga menyatakan tabungan yang dimiliki hanya cukup untuk satu minggu.
Hasil survey yang dirilis oleh SMRC, 17 April 2020 tersebut juga memberikan gambaran bahwa sebanyak 67 persen menyatakan bahwa ekonominya semakin memburuk semenjak keberadaan covid-19. Mereka yang terkena dampak langsung atas wabah corona adalah pekerja sektor informal, kerah biru dan kelompok yang mengadalkan pekerjaan harian.
Di antara mereka menyatakan setuju dengan PSBB sebanyak 87,6 persen dan 21 persen tidak setuju kegiatan keagamaan dilakukan di rumah saja. Atau kira-kira sebanyak 40 juta warga dewasa yang ingin ibadah tetap dilakukan di luar rumah. Dan 31 persen warga Jakarta ingin tetap pulang kampung.
Data ini meskipun diambil dari populasi sebesar 1.200 orang, namun bisa menjadi gambaran betapa “beratnya” perekomian masyarakat Indonesia yang tidak “beruntung” karena kehadiran covid-19. Jumlah mereka semakin banyak seirama dengan PSBB yang memang mengharuskan mereka untuk berada di rumah.
Pemerintah memang sudah memilih PSBB sebagai pemotong mata rantai penyebaran virus mematikan ini. Jalan panjang untuk menempuh PSBB sudah dilalui dan pilihan ini yang dianggap paling relevan. Pemerintah tidak melakukan lock down sebagaimana negara lain, bisa jadi karena resiko ekonominya yang memberatkan pemerintah. Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah terpaksa harus melakukan revisi APBN 2020 dengan cara memotong anggaran Kementerian/Lembaga dan juga merevisi pendapatan pemerintah yang anjlog karena virus ini. Perkiraan pertumbuhan ekonomi 5,4 persen tahun 2020 menjadi diperkirakan 4,6 persen, sehingga pemerintah harus merevisi APBN tahun ini.
PSBB akhirnya juga tetap memaksa masyarakat yang “rentan” ekonomi untuk tetap bekerja dengan cara tidak mengindahkan konsekuensi PSBB. Jika diperhatikan, kelompok yang paling menderita di dalam aspek ekonomi karena wabah covid-19 adalah kelompok yang selama ini menggantungkan kehidupan pada sektor informal. Mereka ini berada di wilayah perkotaan dan mereka bekerja setiap hari untuk menghidupi keluarganya. Penghasilan mereka hanya cukup digunakan untuk memenuhi kehidupannya selama hari itu pula. Masyarakat rentan ekonomi adalah mereka yang terdiri dari penganggur terbuka, sektor usaha mikro, pekerja informal/outsourching, buruh tani, nelayan dan lainnya. Jumlah pengangguran terbuka 6,8 juta, usaha mikro sebanyak 63 juta, pekerja informal 74 juta, buruh tani sebanyak 35 juta.
Jika diperhatikan pemberitaan di televisi pada waktu PSBB di Jakarta, maka yang memenuhi stasiun kereta, terminal angkutan kota, dan juga halte-halte adalah mereka yang secara ekonomi digolongkan sebagai kelompok rentan ekonomi. Mereka terdiri dari pekerja harian, tenaga kerja pabrik, pedagang asongan, kuli angkut, kaum pekerja OJOL dan lainnya, yang menggantungkan pekerjaan hari itu untuk memenuhi kebutuhan hari itu juga. Mereka ini merupakan kelompok yang paling tidak diuntungkan di era PSBB karena covid-19. Mereka seharusnya bisa “mengurung” diri di rumah bersama keluarganya, akan tetapi karena faktor kebutuhan sehingga tetap harus keluar rumah.
Mereka bukanlah orang yang tidak menyadari tentang bahaya covid-19 karena pemberitaan bertubi-tubi melalu media televisi atau media sosial lainnya, akan tetapi keterpaksaan struktural sehingga mereka harus tetap keluar rumah dan berjejal di tempat umum. Kesadaran mereka bisa dilihat dari nyaris seluruhnya menggunakan masker, tetapi untuk melaksanakan physical and social distancing tentu nanti dulu. Siapa yang harus memberikan kebutuhan fisik kehidupan di era PSBB.
Masyarakat melalui asosiasi-asosiasi memang hadir di era ini, namun demikian dengan skema bantuan sosial yang bercorak segmental dan parsial tentu belum bisa menghadirkan perlindungan pada keluarga ekonomi lemah ini. Kiranya memang pemerintah harus memberikan skema yang lebih jelas untuk masyarakat rentan kebutuhan pokok ini tidak hanya dengan kemampuan APBN yang semakin rendah, akan tetapi juga “memanfaatkan” orang-orang kaya dengan kocek yang sedemikian meraksasa untuk terlibat secara sistemik, dan massif.
Jika bantuan yang diberikan itu dilakukan sendiri-sendiri, maka hasilnya saya yakin tidak optimal dan tidak bisa dirasakan oleh masyarakat rentan ekonomi secara lebih bermanfaat. Dan pemerintah saya yakin bisa melakukannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.