KESENJANGAN SOSIAL DI ERA SOCIAL MARKET ECONOMY (1)
Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai upaya untuk menelanjangi kegagalan sistem ekonomi kapitalis atau kemudian menjustifikasi bahwa sistem ekonomi social market sebagai pilihan yang pastilah benar. Posisi tulisan ini hanyalah “renungan” untuk memahami bahwa setiap pilihan pastilah mengandung dua dimensi menguntungkan atau tidak menguntungkan atau tidak jelas hasilnya.
Sebagaimana diketahui bahwa kapitalisme tidak mau kehilangan muka karena kegagalannya untuk menekan pertumbuhan spektakuler kelompok satu persen di seluruh dunia yang menerapkan sistem pasar sebagai instrumen kapitalisme. Sebagai akibat dari terus berkembangnya kelompok satu persen di seluruh dunia, sehingga menghasilkan orang-orang kaya dunia dalam jumlah yang sangat sedikit atau satu persen dan sementara 99 persen lainnya adalah kelompok yang “termarginalisasikan” maka kapitalisme lalu berbenah diri. Pertumbuhan sistem pasar itu menghsilkan orang-orang kaya di setiap negara dengan kekayaan yang “luar” biasa.
Berdasarkan catatan: imcnews.id (dikutip 22/04/20) di Asia Tenggara terdapat di Brunei dengan Sultan Hasanal Bolkiah, Raja dan pengusaha minyak memiliki 500 mobil rolls-royce dengan kekayaan (Rp392,4 triliun), Indonesia dengan Robert Budi Hartono (Rp260,6 triliun), Thailand dengan Dhanis Chearavanont (Rp245,6 triliun), Malaysia dengan Robert Kuok (Rp173,7 triliyun), Singapura dengan Robert dan Philip Ng, juragan tanah, developer dan pengusaha hotel (Rp169,5 triliun), Vietnam dengan Pham Nhat Vuong, industri makanan, perumahan dan peralatan kesehatan, (Rp112,1 triliun), Filipina dengan Manuel Villar, pengusaha Mall terbesar dan kontraktor (Rp95,2 triliun), Kamboja dengan Kith Meng, pengusaha holding dan politisi, (rp22,4 triliun), Myanmar dengan Tay Za, CEO Hto Group dan pengusaha pertambangan dan perhotelan, (Rp16,8 triliun), Laos dengan Khamtai Shipandon, mantan presiden Rp12 triliun).
Di tingkat Asia menurut data: ilmu pengetahuanumum.com (diunduh 22/04/20), Cina menghasilkan Wang Jianlin, Real Estate (US$ 29,9 miliar) dan Jack Ma alibaba.com. (US$26,5 Miliar), India terdapat Mukesh Ambani, Petrokimia dan minyak (US$24,8 miliar), Arab Saudi menghasilkan Alwaleed bin Talal bin Abdul Aziz al Saud, Kingdom Holding Company US$22,5 Miliar), Hongkong terdapat Li Ka-shing diversifikasi investasi (US$19,5 miliar) . Jika diperhatikan maka dari sebanyak 10 daftar orang terkaya di Asia, maka Cina menempatkan sebanyak 6 orang, satu orang dari Arab Saudi dan satu orang dari India.
Para penguasa ekonomi di Asia ataupun Asia Tenggara adalah mereka yang menikmati skema ekonomi politik kapitalisme yang menjadikan kebijakan pemerintah dan sistem ekonomi yang menguntungkannya. Dan saya kira kita bersepakat bahwa sistem ekonomi kapitalislah yang menghasilkan orang-orang kaya yang sering disebut sebagai “Crazy Rich ASEAN’s” yang sangat luar biasa kekayaannya itu.
Berbagai kritik tentu sudah disuarakan oleh para ahli ekonomi baik dari dalam sistem ekonomi kapitalisme maupun sistem non-kapitalisme. Dan pada akhirnya dipahami bahwa memang sistem ekonomi kapitalisme ternyata membawa jurang kesenjangan ekonomi yang semakin melebar. Gini ratio atau pengukuran distribusi income yang tidak merata semakin besar dan hal ini disebabkan oleh “yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin”. Jika membicarakan hal seperti ini, saya menjadi teringat lagunya “Bang Haji Rhoma Irama” pada tahun 90-an yang bercerita tentang kesenjangan antara “Si Kaya” dan “Si Miskin”. Gini Ratio terbaik adalah 0, namun nyaris tidak ada negara dengan tingkat Gini Ratio seperti itu. Indonesia berada di angka 0,39 pada tahun 2000-an, dan sekarang, 2018, berada di angka 0,380.
Menurut Indonesia investment: Jika menggunakan ukuran penghasilan sebagaimana dilansir oleh Bank Dunia, UU$2 perhari maka kebanyakan penduduk Indonesia (65 juta) hanya hidup di atas sedikit saja dari garis kemiskinan. Namun pemerintah Indonesia menggunakan ukuran yang lebih rendah untuk menentukan pendapatan ini, yaitu US$1,25 perhari, sehingga jumlah orang yang miskin di Indonesia menjadi lebih sedikit. Pada tahun 2016, pemerintah Indonesia menetapkan garis kemiskinan dengan pendapatan perbulan (perkapita) sebanyak Rp354.386,00 atau sekitar US$25, sehingga jumlah orang miskin di Indonesia menjadi lebih sedikit.
Kegagalan sistem ekonomi kapitalisme ini kemudian memicu para pendukungnya untuk memikirkan ulang masa depan sistem ini. Di antara sistem yang dihasilkan adalah yang disebut sebagai social market economy system atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sistem ekonomi pasar sosial merupakan sistem ekonomi dengan tujuan untuk mengubah sistem ekonomi agar lebih merata. Melalui pelajaran sistem ekonomi kapitalistik, misalnya terjadinya ketidakmerataan ekstrim atau uneqauality, satu persen orang kaya menguasai sistem perekonomian dunia, kesenjangan antara yang kaya dan miskin semakin melebar, dan kegagalan sistem ini untuk menyejahterakan masyarakat secara umum, maka muncul gagasan sistem ekonomi pasar sosial.
Sistem ini semula dikembangkan di Jerman, yang berusaha untuk menggabungkan antara sistem ekonomi kapitalis dengan kebijakan sosial. Sistem ini dirancang untuk menggabungkan antara sistem kapitalis yang liberal—pasar bersaing bebas—dengan sistem ekonomi sosialis, yang terkait dengan perumusan kebijakan yang pro-masyarakat umum. Meskipun gagasan ini cukup lama, namun juga tidak serta merta memperoleh respon positif dari berbagai negara, sebab dunia kapitalisme telah mencengkeram sedemikian kuat terhadap perekonomian dunia. Bahkan seirama dengan perkembangan revolusi industri 4.0 ternyata juga bisa melestarikan terhadap sistem monopoli yang dikembangkan melalui sistem teknologi informasi.
Jika kita lihat Indonesia –terutama di era reformasi—sebenarnya juga mulai tertarik dengan sistem ekonomi pasar sosial, di mana perkembangan pasar bersaing bebas tidak dikendalikan secara ketat tetapi didukung dengan kebijakan pro-masyarakat. Hanya saja program pro-masyarakat ini masih juga belum bisa mengangkat gini ratio kita yang semakin baik.
Wallahu a’lam bi al shawab.