Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SATU PERSEN PENGUASA EKONOMI DUNIA (1)

Nama Joseph Eugene Stiglitz tentu tidak asing bagi kaum akademisi tanpa memandang harus ahli ekonomi. Nama ini sangat fenomenal, khususnya dalam bidang ekonomi karena beliau pernah mendapatkan Nobel Memorial Prize in Economic Science, tahun 2001 yang lalu. Di dalam dunia ekonomi dia dianggap sebagai vokalis karena melalui teriakannya yang sangat “nyaring” dia menyatakan tentang betapa dahsyatnya kekuasaan satu persen para konglomerat terhadap dinamika dan perkembangan ekonomi.

Saya mengenal nama ini dengan cukup baik ketika mengikuti Pendidikan dan Latihan Kemimpinan Tingkat I (diklatpim I) di Jakarta tahun 2011 yang lalu. Ada suatu sessi khusus yang membahas mengenai bagaimana Stiglitz menyuarakan kepemimpinan ekonomi di bawah kendali orang-orang yang tergolong satu persen. Sebagai bukan ahli ekonomi tentu saja saya tidaklah begitu perhatian, namun dengan dua buku yang diterbitkannya, “The Price of Inequality, How Today’s Divided Society Endanger Our Future” (2012) dan “Great Divided, Unequal Societies and What Can We Do About Them” (2015), akhirnya memaksa saya untuk membuka lagi buku tersebut dan mencoba menuliskannya secara ringkas tentang “apa dan bagaimana” pandangannya tentang satu persen dimaksud. Memang bukan buku baru, tetapi tidak ada salahnya kita buka kembali lembaran-lembaran penting pemikirannya tentang “Kuasa Satu Persen” tersebut.

Buku The Price of Inequality, merupakan puncak pemikirannya bahwa perekonomian Amerika Serikat ternyata dikuasai oleh satu persen penduduknya, dan di sekitar tahun 2011 terdapat tiga issue penting, bahwa sistem pasar ternyata tidak bisa membangun efisiensi, sistem politik tidak mampu mengoreksi kegagalan pasar dan sistem politik dan ekonomi berlaku tidak fair. Tiga hal ini yang menyebabkan terjadinya berbagai protes di kalangan generasi muda di berbagai negara, seperti di Tunisia, Mesir dan juga Amerika sendiri. Tiga aspek ini yang kemudian menyumbang terhadap inekulitas kehidupan masyarakat.

Di Amerika slogan yang nyaring adalah “we are the 99 percent”. Berbagai protes ini dipicu oleh kenyataan bahwa betapa sulitnya mencari pekerjaan di kalangan generasi muda, dan betapa ketidakadilan dan ketidaksamaan itu terjadi di kalangan masyarakat. Satu persen penduduk kaya menguasai sistem perekonomian Amerika, dan 99 persen lainnya adalah orang-orang yang “kurang” beruntung. Sistem kapitalis telah menghasilkan ketidakseimbangan ekonomi tersebut. Bisa dibayangkan bahwa 0,1 persen dari keluarga kaya itu memiliki kekayaan 220 kali lipat dari rerata 99 persen. Lalu 10 persen memiliki kekayaan lebih dari sepertiga kekayaan negara. Dan berdasarkan data tahun 2002-2007, bahwa top satu persen memiliki pendapatan lebih dari 65 persen total income negara. Perhatikan data tahun 2007, income satu persen setelah dipotong pajak, ternyata kekayaannya sebesar 1,3 Millions dolar, sementara 20 persen dibawahnya hanya 17,800 dollar. Top satu persen menerima dalam satu minggu sebesar lebih besar dibanding penghasilan 40 persen dalam setahun. Dan yang top 0,1 persen menerima pendapatan sehari dan setengah hari lebih besar dibanding 90 persen pendapatan setahun. Dan kekayaan 20 persen ternyata lebih besar dibanding 80 persen di bawahnya.

Ketidaksetaraan Amerika bukanlah sesuatu yang terjadi tanpa design yang dilakukan oleh negara yang disebut sebagai “rent seeking” ialah kebijakan pemerintah untuk semakin membesarkan yang besar dan mengerdilkan yang kecil. Termasuk dalam pengertian “rent” adalah monopoli keuntungan dan monopoli ekonomi. Di dalam konteks ini adalah menciptakan monopoli berkelanjutan. Dan sebagaimana yang diketahui bahwa rent seeking ini menjadi salah satu pendorong munculnya ketidaksetaraan masyarakat. Hukum ekonomi sebenarnya universal akan tetapi dalam pertumbuhan ekonomi Amerika ternyata merupakan kasus yang khusus. Pertumbuhan ketidakmerataan itu juga merupakan bagian dari kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk memberlakukan pajak dan pendidikan gratis tidak setara dengan ketentuan kebutuhan tenaga skill, sehingga mereka yang tidak memiliki kemampuan ini terpaksa tidak memiliki akses dalam bekerja.

Melalui sistem ekonomi pasar, ternyata justru membawa dampak pergerakan ekonomi dari bawah ke atas dan bukan sebaliknya. Triple down effect tidak terjadi dan akibatnya kesenjangan (Gini Ratio) makin menganga dan ketidaksetaraan juga semakin membesar.

Selain rent seeking yang menjadi penyebab inekualitas, maka lainnya adalah kekuatan pasar. Pemerintah menentukan terhadap kekuatan pasar melalui norma dan institusi sosial, yang ternyata dikendalikan oleh satu persen di atas, sehingga norma atau institusi sosial tersebut ujung akhirnya adalah untuk menguntungkan satu persen juga. Oleh karena itu sesungguhnya pemerintah tetap memiliki fungsi untuk mengatur dinamika pasar, hanya saja jika norma dan institusi sosial yang diciptakannya itu memberikan perlindungan kepada 99 persen, yang berslogan ”we are the 99 percent”.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..