Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

GREAT DIVIDE; SATU PERSEN PENGUASA EKONOMI DUNIA (2)

Rasanya kurang tepat jika tidak juga membicarakan mengenai orang kaya di Indonesia. Mungkin di antara kita ada yang bertanya: “adakah orang terkaya di Indonesia yang masuk dalam jajaran satu persen penguasa ekonomi dunia?” Jawabannya tentu sudah bisa diduga: “ada”. Pertanyaan berikutnya adalah: “bagaimana di dalam sistem ekonomi yang di dalam UUD 1945, sebelum diamandemen berbunyi: “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Lalu, mengapa bisa juga terjadi terdapat satu persen kelompok yang bisa menguasai sedemikian besar perekonomian nasional. Dan tentu saja sederet pertanyaan lain yang bisa dibikin dan sekaligus juga dijawab.

Ada sebuah klasifikasi yang dibuat oleh para akademisi untuk membandingkan sistem pemerintahan Pak Karno dan Pak Harto. Presiden Soekarno menjadikan politik sebagai panglima, dan Presiden Soeharto menjadikan ekonomi sebagai panglima. Makanya keduanya menempuh cara yang berbeda-beda. Jika Pak Karno terkenal dengan hiruk pikuk pidato politik untuk membangkitkan semangat kebangsaan pasca kemerdekaan dengan upaya untuk mendamaikan antara Nasionalisme, Agama dan Komunisme (Nasakom), maka Pak Harto terkenal dengan senyumannya yang khas, untuk mengembangkan ekonomi melalui sistem kapitalisme berbasis pada hutang luar negeri, sebagaimana skema konsepsi politik pembangunan dengan mekanisme membesarkan yang berpeluang besar dan hasilnya diupayakan untuk menetes ke bawah, atau di dalam konsepsi Stiglitz disebut sebagai trickle down economy.

Sebagai akibatnya maka muncullah konglomerasi yang berseirama dengan semakin tumbuhnya kelompok satu persen, sebagaimana di negara lain, seperti negara-negara di Amerika, Eropa, Asia dan juga Afrika yang secara simultan menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Muncullah penguasa ekonomi yang menjadi simbol “keberhasilan” ekonomi Indonesia dengan Pendapatan Per Kapita (income per capita) yang semakin meningkat secara makro, tetapi keropos secara mikro, sebab ternyata hanya satu persen saja yang tumbuh, sedangkan yang 99 persen tidak menikmati kue pembangunan yang berorientasi pada sistem ekonomi kapitalis tersebut.

Perkembangan ekonomi yang berorientasi kapitalisme ini memang didukung oleh sejumlah menteri perekonomian yang kebanyakan adalah lulusan Universitas California at Berkeley, yang dikenal sebagai “Mafia Berkeley”. Merekalah yang menjadi andalan Presiden untuk mengembangkan sistem ekonomi Indonesia, dan berakibat terhadap semakin menguatnya komposisi satu persen dimaksud. Sistem ekonomi ini terus berlangsung sampai akhirnya terjadi krisis ekonomi 1998, dan memaksa Pak Harto lengser dari tampuk kepemimpinan nasional. Hanya sayangnya di era berikutnya juga tidak mampu untuk melawan kepastian telah semakin membesarnya kelas satu persen, meskipun kemudian diharuskan mereka mengeluarkan Corporate Social Responsibility (CSR), yang ternyata tidak signifikan untuk mengangkat derajat mayoritas ekonomi rakyat kebanyakan. Oleh karena itu juga memunculkan “tudingan” bahwa pemerintah tetap memberlakukan “New Capitalism” di dalam pembangunan perekonomian Indonesia.

Meskipun di era Reformasi dikenal istilah “Ekonomi Kerakyatan”, namun secara nyata bahwa sistem ekonomi Indonesia new capitalism tetap dijalankan. Hal ini tentu saja terkait dengan sistem ekonomi kapitalis yang sudah berurat berakar di dalam sistem ekonomi Indonesia selama 30 tahun lebih. Sistem ekonomi konglomerasi inilah yang kemudian menghasilkan orang-orang kaya di Indonesia bahkan sampai memasuki level dunia.

Berdasarkan data dari Forbes, 2020, lembaga Internasional yang berkutat dengan perkembangan ekonomi dunia, maka berikut adalah nama-nama orang terkaya Indonesia (15 orang) dengan kekayaan yang fantastis. Budi Hartono adalah orang Indonesia yang menempati ranking 80 orang terkaya di dunia. Budi Hartono (Djarum Group), kekayaannya mencapai angka Rp217, 6 triliun dan adiknya Michael Hartono (Djarum Group) mencapai angka Rp208 Triliun. Mereka telah 11 tahun menjadi orang terkaya nomor 1 di Indonesia. kemudian disusul oleh Sri Prakash Lohia (Indorama) sebesar Rp68.8 Triliun, Dato Sri Tahir dan keluarga (Mayapada Group) sebanyak Rp65,6 Triliun, Prayogo Pangestu (Barito Pacific) Rp56 Triliun, Chairul Tanjung (CT Group) Rp49.6 Triliun, Martua Sitorus (Wilmar) Rp28.8 Triliun, Mochtar Riady dan keluarga (Lippo Group) Rp27,2 Triliun, Peter Sondakh (Rajawali Corpora) Rp25.6 Triliun, Murdaya Poo (Central Cipta Murdaya Group) Rp19.2 Triliun, Theodore Rahmat (TriputraGropu, Adaro Energy) Rp19,2 Trilyun, Djoko Susanto (Alfa Mart) Rp19,2 Triliun, Sukanto Tanoto (Royal Golden Eagle, Asian Agri) Rp19,2 Triliun, Low Tuck Kwong (Bayan Resources) Rp17,6 Triliun, dan Winarko Sulistyo (Fajar Paper) Rp17,5 Triliun.

Jumlah kekayaan 15 orang terkya di Indonesia ini mencapai angka Rp839,9 Triliun atau setara dengan 71,73 Persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020 sebesar Rp1.170.,9 Triliun, pasca Perubahan APBN karena coronavirus factor, sebab sebelumnya sebesar Rp2.233.2 Trilyun. Jika dibandingkan dengan kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia, tentu persentasenya akan semakin besar.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..