DIPERLUKAN PILANTROPI ORANG KAYA INDONESIA
Tulisan ini rasanya agak emosional, dan itu saya sadari sepenuhnya. Saya merasakan betapa berat orang-orang kelompok “miskin” dan “rentan” ekonomi dalam menghadapi pandemi virus corona sekarang ini.
Saya juga menyadari mengapa pemerintah terasa agak lamban dalam melakukan “lock down” sebagaimana yang dilakukan oleh Malaysia, Filipina, atau beberapa negara lainnya. Dan akhirnya pemerintah menetapkan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
PSBB memang sudah dilakukan di beberapa daerah, misalnya Jakarta, Bandung, Tangerang Raya, Bekasi dan sebagainya. sementara itu Surabaya, Gresik dan Sidoarjo dalam proses kajian menuju PSBB. Akan tetapi pemerintah tidak mampu berbuat banyak menghadapi orang yang harus bekerja karena hasilnya digunakan untuk makan hari itu. Jika tidak bekerja maka dapur tidak ngebul. Makanya, para petugas menjadi kewalahan dalam menghadapi kaum pekerja yang memang harus bekerja untuk kehidupannya.
Beberapa hari yang lalu dalam tulisan saya tentang “Greet Divide: Satu Persen Penguasan Ekonomi Dunia” saya jelaskan bahwa kekayaan 15 orang terkaya Indonesia itu sebesar Rp839,9 Triliun atau setara dengan 71,73 Persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020 sebesar Rp1.170.9 Triliun, pasca Perubahan APBN karena coronavirus factor. Sebelumnya APBN Indonesia sebesar Rp2.233.2 Trilyun. Jadi artinya, orang kaya itu memiliki peluang yang sangat signifikan untuk membantu pemerintah dalam kerangka penanganan civid-19.
Berdasarkan hasil telisik yang dilakukan oleh Para Guru Besar Universitas Indonesia, dengan asumsi penduduk Jakarta sebanyak 9,5 juta orang, jika sehari harus makan dengan biaya sebanyak Rp25.000,00 maka untuk menutup Jakarta secara total atau lockdown selama 14 hari dibutuhkan anggaran sebesar Rp4 triliun. Bukan jumlah yang sangat besar bagi para konglomerat yang tergabung dalam satu persen orang terkaya di Indonesia.
Tetapi di dalam dunia bisnis tentu ada perhitungan lain, bahwa “uang itu tidak memiliki saudara, kerabat, dan orang lain, tetapi hanya memiliki kepentingan memperoleh keuntungan”. Konsepsi kaum kapitalis, “uang itu milik individu dan bukan milik dunia sosial” tentu tetap berlaku di dalam dunia kapitalisme.
Salah satu “kegagalan” kapitalisme adalah tidak memiliki “rasa” solidaritas yang berkaitan dengan apa yang dirasakan orang lain. Hukum kapitalisme adalah mengeluarkan sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Pelajaran Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) dalam hukum perdagangan ini sedemikian kuat menghunjam di dalam benak saya, dan inilah yang sesungguhnya saya lihat di dalam dunia kapitalisme.
Andaikan dari masing-masing orang kaya di Indonesia, dalam jumlah 50 orang saja, dengan kekayaan melebihi Rp1000 triliun, maka andainya mereka mengeluarkan 1 persen saja, maka akan terkumpul angka Rp10 triliun. Jika yang Rp4 triliun untuk membantu lockdown Jakarta, maka angka Rp6 triliun dapat didayagunakan untuk membantu provinsi lainnya yang membutuhkan bantuan dana ini. Di Jakarta ada seorang pengusaha dengan kekayaan Rp65,8 triliun menyumbang Rp50 milyar, maka beritanya menjadi besar sekali. Bayangkan dengan seorang bocah kecil di Bandung, yang rela mengeluarkan uang tabungannya sebesar Rp400 ribu lebih karena memahami betapa pentingnya kebersamaan dalam menghadapi wabah corona-19.
Orang-orang terkaya Indonesia ini memang tidak hanya mengembangkan usahanya di Indonesia, akan tetapi saya berkeyakinan bahwa kehidupan dan keberhasilannya secara ekonomi tentu karena kebijakan ekonomi politik yang memihak kepadanya. Makanya sudah seharusnya mereka ini berempati terhadap para pedagang asongan, pengemudi OJOL, dan orang-orang yang tidak beruntung di dalam kehidupan. Mereka ini harus tetap bekerja di tengah PSBB dan itu bukan tidak disadari resikonya, akan tetapi karena keterpaksaan sosial yang harus dilakukannya.
Masyarakat diminta patuh terhadap pembatasan sosial, akan tetapi bagaimana jika keluarganya tidak cukup untuk makan dan memenuhi kebutuhan dasar lainnya.
Covid-19 sesungguhnya mengingatkan kita semua bahwa seharusnya kerja sama dan tolong menolong itu harus digerakkan dengan mekanisme yang jelas. Corporate Social Responsibility (CSR) yang menjadi kewajiban perusahaan itu memang diperlukan tetapi dalam keadaan normal situasinya. Akan tetapi jika situasi darurat seperti ini, maka seharusnya hati nurani yang mengetuk mereka yang disebut sebagai kaum The Have, para penguasa ekonomi, yang tergabung dalam satu persen.
Jika pandemi covid-19 saja sudah tidak mampu mengetuk hati orang kaya, maka sebenarnya mereka tergolong “orang yang memiliki mata tetapi tidak melihat, memiliki telinga tetapi tidak mendengar dan memiliki hati tetapi tumpul”.
Saya tetap berkeyakinan bahwa di antara mereka pasti ada yang sudah mendarmabaktikan sebagian “kecil” hartanya untuk membantu sesama, akan tetapi alangkah indahnya jika pandemi covid-19 juga menjadi fokus bagi lainnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.