SATU PERSEN PENGUASA EKONOMI DUNIA (2)
Sebenarnya ketidaksetaraan ekonomi itu sangat membahayakan bagi keberlangsung kehidupan sosial. Jika negara terus mengembangkan “rent seeking” sebagai instrumen perekonomian, maka yang diuntungkan hanyalah kalangan satu persen saja sedangkan yang 99 persen sisanya dalam keadaaan sebaliknya. Praktik “rent seeking” ternyata juga terus berlangsung hingga saat ini.
Ketidaksetaraan ekonomi bukan hanya cerita Amerika Serikat saja, akan tetapi nyaris di seluruh dunia. Amerika Latin, Eropa, Afrika dan juga di Asia. Sebagai akibat ketidaksetaraan ekonomi akan berakibat terhadap instabilitas sosial dan dampak ikutannya. Ketidakmerataan pendapatan dan kesejahteraan, tentu terkait dengan pengaruh kebijakan politik dan ekonomi.
Amerika sesungguhnya sudah menerapkan kebijakan. Di antara upaya yang dilakukan adalah dengan penguatan ekonomi berbasis pada penerapan teknologi informasi, meskipun juga belum memberikan harapan sebab sistem baru ini juga tetap dikuasai oleh para pemodal, kemudian deregulasi untuk mengurangi instabilitas di Amerika termasuk beberapa negara lainnya. Melalui deregulasi ini maka tumbuh korporasi, khususnya sektor finansial, dan peningkatan kesejahteraan. Namun belum optimal. Jadi, melalui kekuasaan sebenarnya pemerintah memiliki power untuk mendorong semakin rendahnya gini rasio.
Semakin tinggi ketidaksetaraan akan menjadikan semakin sedikit efisiensi dan ekonomi produktif. Selain itu juga menyebabkan rendahnya investasi publik, dan tertutupnya potensi masyarakat yang dapat dikembangkan. Sistem ekonomi yang terdistorsi seperti rent seeking dan finansialisasi juga menyebabkan semakin sedikitnya regulasi yang baik di bidang ekonomi.
Kemudian muncul teori gelombang efiensi dan alienasi. Semakin besarnya inekualitas di dalam masyarakat akan menyebabkan semakin besarnya reward yang bercorak privat dan semakin sedikitnya penghargaan sosial dan karena itu akan membuat sulit pemerintah untuk menyusun kebijakan ekonomi yang baik. Secara riil bahwa inekualitas dapat menyebabkan sulitnya pertumbuhan ekonomi dan efisiensi dan kesejahteraan masyarakat.
Para ahli ekonomi banyak berbicara pentingnya pendapatan relatif dan deprivasi relatif. Yang dibutuhkan oleh masyarakat bukan hanya pendapatan riil akan tetapi juga pendapatan relatif yang lainnya. Dan pendapatan relatif bagi negara maju tentu lebih tinggi dibandingkan dengan negara berkembang. Sebagaimana hipotesis Keynesian, bahwa dalam ribuan tahun, manusia bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, akan tetapi sekarang di era revolusi industri maka yang dibutuhkan lebih dari yang dikerjakan. Oleh karena itu, jika pemerintah gagal dalam menciptakan kesejahteraan yang berkeseimbangan, maka seharusnya bisa menciptakan peluang yang berkeseimbangan.
Jika negara tidak bisa menciptakan kesejahteraan dan terus terjadi inekualitas, maka demokrasi juga dalam bahaya. Pasca resesi besar, sebenarnya terdapat keinginan bahwa akan terjadi perubahan sistem politik di negara-negara barat yang dapat bekerja secara optimal. Namun kenyataannya juga tidak terjadi. Realitas empiris ini yang kemudian merusak proses politik demokratis. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kepercayaan, ketiadaan kesetaraan dan kekecewaan, ketidakperacayaan dan kekecewaan pada media, ketiadaan pemberdayaan, dan sebagainya.
Demokrasi sebenarnya ditentukan oleh one man one vote, namun selalu saja yang memenangkannya adalah yang tergolong satu persen dan kemudian kebijakan pemerintah juga “lebih” menguntungkan satu persen. Demokrasi juga jangan menjadi alat manipulasi persepsi publik tentang kesederajatan dan keadilan tanpa dapat dibuktikan secara nyata kehadirannya. Jika hal ini yang terus terjadi maka sesungguhnya demokrasi akan menjerumuskan kepada kehancurannya sendiri. Dengan demikian yang diperlukan adalah membuat keseimbangan kesejahteraan, membenahi regulasi agar memihak kepada mayoritas publik dan membuat kebijakan yang bersearah dengan kebutuhan publik.
Yang dibutuhkan adalah justice for all. Regulasi yang dirumuskan oleh para aparatus kebijakan publik harus mengarah pada bagaimana menciptakan nuansa keadilan untuk semua. Hanya saja yang juga terjadi adalah tetap dikuasainya kebijakan makro ekonomi dan bank sentral oleh satu persen. Dan akibatnya adalah kebijakan ekonomi tidak digunakan untuk melayani ekonomi nasional sebagaimana seharusnya yang diperlukan akan tetapi tetap saja didesain untuk melayani sektor keuangan dan kepentingan lain dari mereka yang disebut sebagai top satu persen.
Amerika Serikat sebagai kiblat sistem ekonomi kapitalis yang sering mendengungkan bahwa sistem ini adalah sistem yang terbaik, ternyata tidak dapat melepaskan borok sistem kapitalis yang justru menghasilkan ketidaksetaraan ekonomi, di mana satu persen menguasai ekonomi nasional dan 99 persen lainnya sebagai kelompok yang termarginalisasikan.
Jadi, sistem ekonomi kapitalis bukanlah menjadi solusi atas tata ekonomi dunia yang adil dan berkesetaraan. Dan yang seperti ini bukan hanya Amerika Serikat sebagai kiblat sistem ekonomi kapitalis akan tetapi juga beranak pinak pada negara lain yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis.
Wallahu a’lam bi al shawab.