Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

AGAMA DI RUANG DOMESTIK (5)

Tidak hanya rakyat yang panik dalam menghadapi wabah virus corona, akan tetapi juga pemerintah. Tidak hanya Indonesia yang panik akan tetapi seluruh dunia panik menghadapi makhluk yang sangat kecil, mikroba virus corona.

Sekarang ini hanya Cina yang sudah merasa bebas dari wabah ini, karena kebijakan lock down terhadap Kota Wuhan selama virus mewabah, sehingga nyaris tidak ada kota-kota lain di Cina yang terkena wabah ini. Beijing sebagai pusat pemerintahan aman, demikian pula Shanghai sebagai pusat perdagangan juga aman. Nyaris seluruh kota-kota di Cina aman dari wabah mematikan ini.

Sebagai negara dengan Sistem Komunis tentu sangat mudah untuk memberlakukan kebijakan pusat untuk seluruh daerah. Begitu juga rakyat juga patuh terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintahnya. Sistem pemerintahan komunis efektif untuk kepentingan mendesak seperti ini. Dengan kebijakan lock down Wuhan, maka rakyat diisolasi dengan sangat ketat, dan akhirnya hanya Wuhan saja yang terkena dampak virus ini dan tidak dengan kota lain.

Sungguh fantastis Cina menyelesaikan urusan covid-19, sehingga dengan jumawa menawarkan jasa ke pemerintah Italia, mengekspor obat ke Indonesia, dan juga mengajari dunia tentang bagaimana melawan covid-19. Bahkan ada sekelompok orang yang menganalisis bahwa Cina sudah memenangkan Perang Dunia ke 3, tanpa letupan senjata. Dan secara ekonomis, Cina juga meraup keuntungan karena produk-produk perusahaannya, seperti: obat chloroquine untuk mengatasi virus corona, masker, APD, dan bahkan produk makanan yang tahan lama, khusus bagi yang diisolasi secara ketat.

Hari-hari ini kita sedang mengalami upaya untuk mencegah penyebaran virus corona, meskipun kurang tegas. Coba bayangkan untuk menentukan daerah mana yang akan dilakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), ternyata sangat birokratis, mulai dari usulan pimpinan daerah, pembentukan tim, pengkajian sampai baru penentuan keputusan. Mengapa tidak dipercayakan kepada pemda yang pasti sudah tahu kondisi daerahnya untuk kemudian ditetapkan sebagai wilayah PSBB. Surabaya yang sudah masuk zona merah, ternyata juga tidak segera ditetapkan sebagai wilayah PSBB, demikian pula daerah lain.

Lain halnya dengan urusan agama. Tanpa status wilayah PSBB, maka agama sudah jelas memasuki kawasan itu. NU melalui Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, MA., dan Muhammadiyah melalui Prof. Dr. KH. Haedar Nashir juga sudah menyampaikan hasil bahtsul masail atau keputusan tarjih untuk menentukan bahwa pada bulan Ramadlan, 1402 H. tidak ada lagi buka bersama, tarawih jamaah, takbir keliling dan pembagian makanan secara berkelompok. Himbauan yang seirama dengan keputusan MUI dan juga asosiasi-asosiasi keagamaan: KWI, DGI, WALUBI, Parisadha Hindu, dan MATAKIN tentang upaya physical and social distancing.

Yang menarik tentu adalah Surat Edaran Kementerian Agama RI, sebagaimana dijelaskan oleh Menteri Agama Fahrur Razi, tentang bagaimana beribadah di Bulan Ramadlan. Di dalam Surat Edaran, No. 6 Tahun 2020 Tentang Panduan Ibadah Ramadan dan Idul Fitri 1 Suawal 1441 H di Tengah Pandemi Wabah Covid-19. Di antara isi dari Surat Edaran tersebut adalah: “sahur dan buka di rumah ditiadakan bukber dan sahur in the road, salah tarawih secara individu atau berjamaah di rumah, membaca al Qur’an di rumah, bukber di masjid, lembaga pemerintah dan swasta ditiadakan, peringatan Nuzulul Qur’an dan tabligh akbar ditiadakan, I’tikaf di masjid ditiadakan, takbir keliling ditiadakan, pesantren kilat ditiadakan, silaturrahim bisa dilakukan melalui media sosial”. Sedangkan untuk teknik pelaksanaan shalat Id menunggu fatwa MUI.

Jika kita membaca SE Menteri Agama ini, betapa tegasnya upaya untuk mendomestikkan agama di era covid-19. Agama benar-benar dirumahkan. Agama yang selama ini dilakukan dengan gegap gempita dan hingar bingar melalui masjid, dan lainnya harus dilakukan dengan sunyi di rumah masing-masing. Para pelaku agama rasanya harus mematuhi terhadap SE Menag ini. Meskipun SE itu tidak memiliki kekuatan memaksa, namun memang penting untuk disadari bagaimana melakukan tindakan di bulan Ramadlan. Agama benar-benar harus berada di “Ruang Domestik”.

Tentu setiap peristiwa ada untung ruginya. Di saat seperti ini dipastikan media sosial, seperti TV, WA, Radio, dan lainnya akan menuai keuntungan. Rating TV tentang acara dakwah melalui TV akan meningkat, siaran radio juga akan kembali laku, dan media sosial juga akan menuai harinya. Siapa yang untung tentu adalah perusahaan dan pemilik modalnya.

Lalu siapa yang “buntung” di dalam hal ini, tentu adalah para pendakwah, imam masjid, imam mushalla, pendakwah kultum tarawih, pendakwah bukber, dan pengusaha Kelas Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM), yang selama ini meraup keuntungan dari kehadiran bulan Ramadlan. Jika selama ini umat Islam bergembira menyambut Ramadlan, maka tahun ini rasanya “hambar”. Ada banyak segmen masyarakat yang merasakan betapa “ujian” kehidupan sekarang ini luar biasa.

Tanpa keinginan untuk menyatakan bahwa virus ini dibuat atau sesuatu yang accidence, tetapi kita rasanya harus mengikuti pemikiran kaum tasawuf, bahwa setiap kejadian selalu saja sepengetahuan Tuhan, dan upayanya adalah ikhtiar dan pasrah kepada Yang Maha Hidup, Yang Maha Rahman dan Rahim dan Yang Maha Perkasa atas segala kejadian di alam makro dan mikro kosmos.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..