• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

BETAPA INDAHNYA SHALAT: BERIKAN KAMI REZEKI (BAGIAN KELIMA)

BETAPA INDAHNYA SHALAT: BERIKAN KAMI REZEKI (BAGIAN KELIMA)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sebelum memulai mengaji selasanan bakda shubuh, maka marilah terlebih dahulu kita membaca Ummul Qur’an semoga apa yang kita kaji bersama-sama pada pagi ini mendapatkan berkah dari Allah SWT. Mari kita Yakini bahwa hanya dengan keberkahan Allah semata maka kita akan mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan. Syaiun lillah lahu alFatihah…

Doa yang kita baca di antara dua sujud, selain sebagaimana yang sudah saya jelaskan sebelumnya, adalah warzuqni atau dalam Bahasa Indonesia adalah “Ya Allah berikan kepada kami rezeki” atau “ Ya Allah berikan kepada saya rezeki”. Bukankah Allah sudah menjamin bahwa semua makhluk hidup akan diberikan rezeki sebagaimana yang sudah ditakdirkan kepadanya. Manusia sudah menerima takdirnya sendiri-sendiri tetapi masih ada kewajiban untuk memperolehnya. Kecuali rezeki yang tidak disangka atau bighairi la yahtasib.

Allah SWT tidak hanya Dzat yang Maha Kuasa, Maha Esa, Maha Menentukan, akan tetapi Dzat yang Maha Pemberi. Allah merupakan Dzat yang Maha Pemberi dan tidak ingin diberi. Allah hanya menyukai atas orang yang selalu menyembahnya. Tetapi Allah sungguh tidak ingin disembah agar Allah makin berkuasa atau semakin baik. Disembah atau tidak oleh hambanya, maka Allah tetap sebagai penguasa yang kekuasaan tidak terbatas dan tidak ada permulaannya kapan kekuasaan tersebut berada dan kapan berakhir. Allah itu ada sebelum awal dan tiada keberakhirannya. Allah itu Qadim yang terdahulu, tiada awal, Allah itu akhir tiada akhir. Tiada padanannya di dunia ini, bahkan di akherat. Allah itu bukan materi dan bukan immateri, tetapi wujud dengan wujudnya sendiri. Laisa kamitslihi syaiun.

Allah sebagai Dzat yang memberi rezeki kepada manusia memperkenankan kepada hambanya untuk berdoa atau memohon kepada Allah tentang rezeki atau kenikmatan, baik yang berupa materi maupun non materi. Yang berupa materi adalah untuk dan terkait dengan kebutuhan fisik atau biologis, dan selain itu juga rezeki yang berupa non materi, misalnya kenikmatan iman dan Islam. Kenikmatan yang berupa bisa mengaji, bisa berdzikir dan sebagainya merupakan nikmat Allah yang bersifat non bendawi.

Di dalam Islam,  rezeki yang kita mohon kepada Allah jika bersifat materiil, maka haruslah rezeki yang halalan thayyiban. Rezeki yang halal itu berupa rezeki yang cara memperolehnya halal, sifat dan dzatnya halal dan juga baik dan sehat. Jika rezeki itu berupa makanan dan minuman maka harus memenuhi standart halal dan sehat atau bermanfaat bagi kesehatan. Ada makanan yang sehat tetapi tidak halal, misalnya makanan yang diolah dengan tidak menggunakan prosedur Islami. Misalnya daging yang disembelih tidak secara Islami. Ada juga makanan yang halal tetapi tidak sehat, yaitu makanan yang mengandung  kadar kolesterol yang tinggi, sehingga bagi yang orang yang memiliki kolesterol tinggi tidak sehat. Atau minuman yang halal tetapi tidak sehat, misalnya mengandung banyak gula sehingga tidak sehat bagi orang yang berpenyakit diabet.

Islam mengajarkan agar makanan atau minuman, barang gunaan atau pakaian dan juga kosmetik dan obat-obatan agar diupayakan yang sumbernya dari bahan-bahan halal. Makanan dan minuman tidak cukup halal tetapi tayyib. Dengan keduanya,  insyaallah badan akan menjadi sehat dan kesehatan tersebut akan memberkahi terhadap kehidupan kita, baik secara individual maupun keluarga dan masyarakat. Islam sangat perhatian terhadap kesehatan tubuh, yang disebabkan oleh sumber makanan dan minuman halal dan tayyib. Islam mengajarkan qalbun salim fi jismin salim, artinya hati yang sehat terletak pada badan yang sehat. Jadi, kesehatan badan sangat diperlukan agar kita bisa sehat hatinya. Bayangkan jika fisiknya tidak sehat, maka kita akan mengeluh, merasa terganggu, merasa tidak nyaman dan tidak enak secara fisikal dan kejiwaan.

Oleh karena itu, menjaga kehalalan dan ketayyiban makanan dan minuman bahkan juga barang gunaan, kosmerik dan obat-obatan akan bisa menjamin atas kesehatan fisik dan kesehatan kejiwaan. Untuk memperoleh makanan, minuman dan lain yang sehat dan halal tentu juga sumbernya berasal dari rezeki yang halal, yaitu rezeki yang diupayakan dengan cara dan prosedur yang halal. Hidup ini sistemik, tidak hanya pada ujungnya baik, tetapi pangkalnya juga baik. Tidak hanya hulunya yang baik tetapi juga hilirnya baik. Sumbernya halal, mendapatkannya halal, dan penggunaannya halal.

Alhamdulillah, kita bersyukur karena Allah telah menjawab doa kita. Diberinya kita rezeki yang cukup. Kita bisa memenuhi hasrat fisikal, kita bisa memenuhi hasrat sosial dan kita juga bisa memenuhi kebutuhan integrative. Dan melalui pemenuhan atas tiga kebutuhan ini, maka sesungguhnya kita sudah dikaruniai rezeki atau kenikmatan yang sangat besar. Kita masih punya iman dan kita juga bisa menjalankan ajaran Islam. Semua ini adalah rezeki Allah yang sangat besar kepada kita. Betapa banyak orang yang diberikan kesempatan untuk memiliki iman kepada Allah tetapi melalaikannya. Diberi nikmat Allah yang besar tetapi tidak mensyukurinya. Insyaallah kita sudah menjalankannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

BETAPA INDAHNYA SHALAT: YA ALLAH TUTUPLAH AIB KAMI (BAGIAN KEEMPAT)

BETAPA INDAHNYA SHALAT: YA ALLAH TUTUPLAH AIB KAMI (BAGIAN KEEMPAT)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

 

Sebelum memulai pengajian Selasanan bakda Shubuh marilah kita baca terlebih dahulu shurat Alfatihah semoga dengan membaca shuratul Fatihah, maka hidup kita akan dimudahkan oleh Allah untuk memperoleh kebaikan dan keberkahan dan semua urusan kita dimudahkan oleh Allah SWT. Kita Yakini bahwa dengan membaca Ummul Qur’an, maka Allah akan memberikan kemudahan-kemudahan dalam hidup kita. Syaiun lillah lahum alfatihah…

Salah satu doa kita di dalam shalat di kala duduk di antara dua sujud adalah wajburni dengan ketentuan membaca pada bunyi akhirnya dipanjangkan untuk menunjukkan kata ganti aku. Maka artinya, “dan tutuplah aib-aib kami” atau “tutuplah aib-aib saya”. Inilah doa terbaik yang kita lantunkan di hadapan Allah pada waktu kita melakukan shalat. Adakah doa yang sedemikian indah dibandingkan dengan doa ini. Saya kira tidak ada. Saya meneteskan air mata Ketika menulis kata-kata ini. Mengingat betapa banyak aib kita yang sesama manusia tidak tahu sementara Allah SWT mengetahuinya. Melalui insrumen dahsyat, Allah sudah memasang radar tentang segala perilaku manusia di dunia ini, bahkan bukan perilaku saja yang terekam, tetapi juga apa yang ada di dalam batin kita: pikiran dan hati. Ya Allah Engkau Maha dahsyat atas segala sesuatu di dalam kehidupan manusia di dunia ini.

Manusia memiliki pikiran, perasaan dan perilaku. Atau kalau mengikuti taksonomi Bloom, maka dikenal ada tiga ranah, yaitu ranah:  pemikiran, sikap dan perilaku. Makanya kita bisa berpikir, kita bersikap dan kita bisa berperilaku. Memang tidak semua yang dipikirkan akan berakhir dengan sikap, dan yang dipikirkan juga belum tentu menjadi perilaku. Tetapi yang jelas bahwa di kala manusia memikirkan sesuatu tentang kebaikan atau kejelekan, maka hal itu sudah terekam dalam radar besar di hadapan Allah, dan kala kita melakukan tindakan maka juga akan terekam di dalam radarnya Allah SWT.

Coba kita bayangkan berapa banyak aib yang kita lakukan dalam sehari. Jika kita melakukan aib diri sendiri atau aib social, berapa banyak aib yang kita lakukan. Mulai dari aib mata, aib perkataan, aib pikiran, aib sikap dan aib tindakan. Belum lagi aib tangan, kaki, hati dan perasaan. Semua ada aibnya. Misalnya mata kita yang  masih liar, tangan kita yang juga cekatan untuk hal-hal yang kurang baik, Langkah kaki  kita ke hal-hal yang kurang baik, lalu hati kita yang sering menggunjing orang lain, dan perilaku kita yang mencederai kebaikan dan semua hal yang kita lakukan. Ya Allah betapa banyaknya. Seandainya Allah tidak menutup aib kita maka habislah kita. Misalnya kita sebagai pejabat, maka dipastikan bahwa kita harus melakukan tindakan yang tidak  sesuai dengan kaidah di dalam kehidupan, misalnya harus mengatur relasi social yang sesuai dengan kepentingan institusi secara lebih luas. Namun secara personal sesungguhnya “kurang” tepat. Namun dalam kerangka menyelamatkan kepentingan yang lebih luas, maka hal tersebut dilakukan. Dalam konteks ini, maka Allah SWT memberikan peluang agar kita berdoa, “Ya Allah tutuplah aib-aib kami”. Di mata relasi antar institusi, maka  yang kita lakukan itu sah-sah saja tetapi hati kita terkadang kurang atau bahkan tidak nyaman. Disinilah relevansi doa kita di dalam duduk di antara dua sujud.

Di dalam kehidupan ini terkadang juga kita harus berbohong dalam rangka untuk menyelatkan kebaikan. Di dalam cerita pewayangan, dalam episode Baratayuda, maka Puntadewa terpaksa harus berkata bohong di kala dia menyatakan bahwa Haswatama putra Pandita Durna berada di dalam peperangan mati. Padahal yang mati adalah Hestitama, seekor Gajah yang menjadi pasukan perang Pandawa. Ketika terjadi dialog antara Krisna, Raja  Dwarawati dengan Puntadewa Raja Amarta yang sedang berperang melawan Kaum Khurawa, dan Pandita Durna menjadi panglima perang Khurawa, maka Krisna memintanya agar sekali saja Puntadewa melakukan kebohongan agar kemenangan terdapat pada kaum Pandawa. Semula Puntadewa menolak dengan alasan tidak mau melakukan kebohongan, tetapi dengan kelihaian Krisna, maka akhirnya Puntadewa pun luluh dan menyatakan bahwa “Haswatama memang telah mati”. Luluh lantak hati Pandita Durna dan kala berjongkok tanpa daya itulah maka panah Drestajumna, panglima perang Pandawa,  mengenai tubuhnya dan akhirnya Pandita Durna Wafat. Seorang murid terpaksa berdusta kepada gurunya demi kemenangan pasukan kebaikan untuk mengalahkan pasukan kejahatan.

Di dalam hidup ini hal itupun bisa dilakukan oleh siapa saja, terutama para tokoh atau figure public. Tetapi untungnya bagi umat Islam, Allah sudah memberikan instrument bagi manusia untuk berdoa pada saat kita menghadapnya dalam shalat yang kita lakukan. Kita semua yakin bahwa Allah melihat apa yang kita lakukan terutama dalam shalat yang kita hadirkan.  Di dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dinyatakan sebagai konsep ihsan “an ta’budallahu kaannaka tarah, wainlam takun tarah fainahu yaraka”. Yang artinya kurang lebih beribadahlah kepada Allah sekan-akan engkau melihatnya dan jika engkau tidak melihatnya, yakinlah bahwa Allah mengetahuinya”.

Ya Allah tutuplah aib-aib kami. Dengan Allah menutup aib-aib kita, maka kita masih memiliki harga diri, bahkan juga otoritas. Semoga Allah melindungi kita semua dari keaiban diri maupun keaiban social.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

BETAPA INDAHNYA SHALAT: MEMOHON RAHMAT ALLAH (BAGIAN KE TIGA)

BETAPA INDAHNYA SHALAT: MEMOHON RAHMAT ALLAH (BAGIAN KE TIGA)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sebelum memulai pengajian Selasanan bakda Shubuh, maka marilah kita mulai dengan membaca shurat Alfatihah, semoga acara kita pagi ini memperoleh ridha Allah SWT dan dampaknya bagi kehidupan kita akan semakin  baik fid dini, wad dunya wal akhirat. Selain itu semoga semua urusan kita tentang kebaikan selalu dimudahkan oleh Allah SWT. Syaiun lillah lahum Alfatihah…

Di antara doa kita di dalam shalat, yaitu doa yang kita baca kala duduk di antara dua sujud adalah warhamni. Bacaan akhir di dalam doa ini dibaca panjang untuk memberikan tekanan bahwa doa ini untuk diri sendiri atau orang yang membacanya. Shalat memang memiliki kekhususan bahwa doanya memang untuk diri orang yang shalat. Maka arti warhamni adalah Ya Allah rahmati saya atau rahmati diriku. Jadi di dalam shalat banyak sekali doa yang kembalinya kepada diri para pelakunya, terutama doa di dalam bacaan di antara dua sujud. Rahmat adalah isim atau kata benda dari kata kerja rahama, yarhamu, rahmatan. Di dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai rahmat.

Islam merupakakan agama yang penuh dengan kerahmatan. Sebagaimana di dalam Alqur’an dinyatakan “wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin”, (QS Al anbiya’, 107)  yang artinya: secara umum adalah “dan tidak sekali-kali Kami (Allah) mengutusmu kecuali untuk kerahmatan bagi seluruh alam”. Jadi, Islam itu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk rahmat bagi seluruh alam dan bukan rahmat bagi umat Islam saja. Islam diturunkan untuk seluruh alam, artinya untuk manusia dan alam seluruhnya. Yaitu manusia dan segala binatang, tetumbuhan, dan segala makhluk Tuhan yang menghuni alam ini.

Semua makhluk Allah di dunia ini memperoleh kerahmanan Tuhan SWT. Binatang cecak misalnya diberikan Allah makanan melalui cahaya lampu dengan binatang-binatang yang terbang di sekelilingnya, bahkan binatang laut juga memperoleh makanannya sendiri dari keharibaan Allah dengan desain yang hebat. Allah SWT mendesain semua untuk mendapatkan makanan sebagai mata rantai kehidupan. Contoh, manusia memakan tumbuh-tumbuhan, dan tumbuhan hidup di tanah basah atau kering, maka sesungguhnya manusia memakan saripati tanah yang didesain oleh Allah kepada manusia. Selain itu, manusia memakan hewan yang dihalalkan, lalu hewan memakan rerumputan atau sesama hewan yang diperuntukkan baginya, dan hewan-hewan itu memakan rerumputan, lalu rerumputan hidup di tanah, maka hakikatnya manusia juga memakan saripati tanah yang didesain untuk manusia. Ini yang kira-kira secara logika, bahwa manusia diciptakan dari tanah dan kemudian juga fisiknya yang berasal dari tanah tersebut kembali ke tanah.

Manusia tidak hanya terdiri dari jasad atau fisik tetapi juga ada roh yang ditiupkan oleh Allah di kala manusia masih berada di dalam alam kandungan. Pada saat inilah maka manusia bisa disebut makhluk hidup sebab dia sudah memiliki roh yang merupakan penggerak fisiknya. Oleh orang Jawa disebut sebagai nyawa atau yang menggerakkan jasad untuk bisa bergerak, berkembang kecerdasannya dan memiliki segala kelebihan sebagai makhluk Tuhan yang terbaik. Kecerdassan intelektualnya berkembang, kecedasan emosionalnya berkembang, kecerdasan sosialnya berkembang dan bahkan kecerdasan spiritualnya. Tentang empat kecerdasan ini nanti akan saya jelaskan secara khusus. Kecerdasan yang dimiliki manusia ini merupakan pembeda antara manusia dengan makhluk ciptaan Allah lainnya.

Di dalam setiap kali kita membaca basmalah pastilah kita menyebut  arrahman dan arrahim. Di dalam konteks ini, maka arrahman  adalah kasih sayang Tuhan YME yang diberikan kepada semua makhluk Allah di dunia ini dan juga akhirat. Semua makhluk yang diciptakan Allah sudah didesain untuk memperoleh Rahman tersebut, seperti peluang untuk makan, minum dan bahkan melangsungkan keturunannya. Manusia dan hewan serta tumbuh-tumbuhan semuanya membutuhkan energi yang dipasok dari makanan. Tumbuhanpun juga harus menyerap sinar matahari dan juga tanah yang basah untuk melangsungkan kehidupannya. Bahkan untuk mempertahankan keturunannya dalam bentuk buah maka tumbuhan juga harus melangsungkan perkawinan sebagaimana  desain Allah.

Arrahim adalah kenikmatan Allah yang diberikan kepada manusia yang berjalan di atas hukum-hukum Allah. Mereka bisa berasal dari agama-agama yang Allah turunkan, misalnya agama Nasrani atau Yahudi sebelum diturunkannya Alqur’an sebagai kitab suci di dalam agama Islam. Tetapi posisi Alqur’an tentu tidak mengabrogasi atau menasakh atas kitab-kitab sebelumnya. Kitab Injil, Taurat dan suhuf-suhuf lainnya adalah kebenaran pada zamannya. Itulah sebabnya Islam mengajarkan agar umat Islam percaya kitab-kitab Allah yang diturunkan sebelum turunnya Kitab Suci Alqur’an. Kitab-kitab itu adalah wahyu Allah yang diberikan kepada rasul-rasulnya pada zamannya.

Kerahiman Allah ini bersifat khusus dan pada era Nabi Muhammad SAW dan seterusnya diberikan kepada umat Islam di akherat. Di dalam kitab Alqur’an dijanjikan oleh Allah bahwa manusia yang beriman dan beramal shalih, maka Allah akan memberinya jalan ke surga atau jalan kenikmatan di  akhirat.. Secara sosiologis, orang bisa hidup berbahagia di kala hidupnya tenteram dan marasakan kenikmatan yang Allah berikan dan kemudian bersyukur atas kenikmatannya.

Allah menyatakan di dalam Shurat al Bayyinah, ayat 7: “innal ladzina amanu wa’amilush shalihati ulaikahum Khairul bariyyah. Jaza’uhum ‘inda rabbihim jannatu ‘adnin tajri min tahtihal anharu khalidina fiha abada”.  Yang artinya kurang lebih: “sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, balasannya di sisi Allah adalah surga Aden yang di bawahnya mengalir air sungai yang kekal abadi di dalamnya”.

Bagi orang Islam, maka Rahman dan Rahim  Tuhan adalah kebahagiaan yang tiada akhir atau endless bliss yang dirasakan tidak hanya di akhirat tetapi juga di dunia ini bagi orang yang menginginkan keridlaan Allah dan berusaha secara optimal untuk mendapatkannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

BETAPA INDAHNYA SHALAT: MEMOHON DITINGGIKAN DERAJAD (BAGIAN KEDUA)

BETAPA INDAHNYA SHALAT: MEMOHON DITINGGIKAN DERAJAD (BAGIAN KEDUA)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sebelum memulai Ngaji Bersama Selasanan Bakda Shubuh, marilah kita baca shurat Alfatihah terlebih dahulu, semoga apa yang kita kaji dan apa yang menjadi tujuan kita untuk berbuat baik selalu dikabulkan oleh Allah Azza wa Jalla. Semoga semua keberkahan selalu dilimpahkan kepada kita semua. Syaiun lillah lahum alfatihah…

Pada kali ini kita akan membahas tentang doa di antara dua sujud, setelah kita bahas tentang betapa pentingnya istighfar atau memohon ampunan kepada Allah, yaitu memohon agar ditinggikan derajad kita oleh Allah SWT, kalimatnya berbunyi: “warfa’ni” dengan pernyataan akhir dipanjangkan untuk menunjukkan kata ganti saya. Arti warfa’ni adalah dan angkatlah derajad saya”. Doa ini tentu bercorak individual karena shalat memang ibadah individual hanya saja bisa dilakukan secara berjamaah atau bersama-sama. Jika ibadah shalat dilakukan sendiri atau munfaridan akan mendapatkan pahala tiga derajat dan jika dilakukan secara berjamaah akan mendapatkan 27 derajat. Tentang makna derajad ini tentu ahli fiqih atau ahli tasawuf yang bisa menjelaskan. Sebagaimana bacaan subhanallah. Alhamdulillah dan Allahu akbar yang dibaca bakda shalat berjumlah masing-masing 33 kali. Secara sosiologis tidak bisa dijelaskan. Ahli tasawuf yang bisa menjelaskannya. Setiap jumlah bacaan itu merupakan kunci.

Masyarakat kita sering memahami bahwa derajad itu ada kaitannya dengan hal-hal yang fisikal. Makanya ada konsep wong gede atau Bahasa Indonesia orang besar atau wong cilik atau orang awam, orang kebanyakan, yang menggambarkan derajad. Makanya orang Jawa sering memaknai derajad itu dengan pangkat atau jabatan atau kekayaan atau harta benda yang dimiliki. Derajad dimaknai secara material. Kekeliruan pemaknaan ini tentu telah turun temurun sehingga dianggap sebagai kebenaran. Misalnya kalau ada orang naik jabatan atau pangkat, maka disebut dapat derajad yang tinggi. Atau kalau ada orang kaya, maka disebut derajadnya tinggi. Semua diukur serba materi atau fisikal. Derajad dianggap sebagai labelling atas suatu kedudukan atau kekayaan, sehingga disebut sebagai wong gede dimaksud.

Derajad di dalam konsepsi Islam (secara sosiologis) bukan secara fiqhiyah adalah symbol atau lambang yang didapatkan  manusia karena upaya yang dilakukan dan memperoleh pengabsahan Allah dalam semua bidang kehidupan baik material atau fisikal dan juga nonmaterial atau nonfisikal. Jadi yang namanya derajad itu sangat luas cakupannya yang menyangkut dimensi materi dan nonmateri.  Allah itu meninggikan derajad manusia dengan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan umum maupun pengetahuan agama. Allah meninggikan derajad manusia dengan hidayah akan keimanan dan keislaman, Allah itu meninggikan derajad manusia dengan pengamalan beragama bahkan sampai ke tingkatan kelompok khusus lil  khusus, tidak terus berada di dalam pengamalan beragama kelompok awam. Allah menyatakan: “yarfa’il lahul ladzina amanu minkum walladzina utul ilma darajad” artinya secara harfiyah adalah Allah meninggikan derajad orang yang beriman dan orang yang mencari ilmu pengetahuan”. (QS. Almujadaah: 11). Di dalam konteks ini, maka ada dua orang yang ditinggikan derajadnya, yaitu orang yang beriman dan orang yang mencari ilmu pengetahuan.

Jadi derajad itu bukan hanya materi dengan kekayaan dan jabatan atau pangkat, tetapi yang lebih urgen adalah derajad dalam keimanan dan penguasaan ilmu pengetahuan. Ada banyak orang yang kaya atau  berpangkat tetapi tidak menjadi idola di sisi Allah sebab tidak iman secara utuh atau tidak berpengetahuan untuk memperkuat keimanan. Tetapi di sisi Allah yang baik adalah jika menjadi orang kaya tetapi dermawan, orang yang menjadi pejabat untuk membangun keadilan, kebaikan dan kesejahteraan dan tentu orang yang beriman,  bertaqwa dan berilmu pengetahuan yang didayagunakan untuk membangun kehidupan sosial yang lebih baik.

Jadi ketika kita berdoa, Ya Allah tinggikan derajad kami, hendaknya yang dimaksudkan adalah agar jangan hanya derajad keduniawian yang fana ini, tetapi lebih jauh adalah derajad keukhrawian yang kekal adanya. Jadi rasanya memang diperlukan reorientasi pemahaman kita tentang derajad, bahwa derajad yang dimaksud adalah derajat yang agung yang menjadi tujuan dan harapan akhir kita. Boleh kita memperoleh derajad duniawi yang sifatnya instrumental, tetapi agar diletakkan derajad kita itu di dalam purpose dan hope untuk memperoleh keimanan dan ketaqwaan.

Marilah kita ubah mindset kita yang selalu berpikir duniawi menjadi mengarah ke ukhrawi, dari berpikir derajad itu material ke spiritual. Melalui perubahan pemikiran ini semoga kelak kita memperoleh kebaikan di akhirat sebagai kampung halaman abadi bagi manusia. Derajad di dunia kita dapatkan dan derajad di akhirat juga kita dapatkan. Dan hal itu seharusnya dipahami dari doa kita pada waktu kita membaca “warhamni” di dalam shalat kita. Semoga kita masuk dalam golongan orang yang berderajad tinggi di sisi Allah, baik di dunia dan berderajad tinggi di sisi Allah  di akhirat. Allahumma amin.

Wallahu a’lam bi al shawab.

BETAPA INDAHNYA SHALAT: ISTIGHFAR (BAGIAN SATU)

BETAPA INDAHNYA SHALAT: ISTIGHFAR (BAGIAN SATU)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sebelum kita memulai pengajian Selasanan bakda Shubuh, marilah kita mulai dengan membaca shurat Alfatihah, semoga apa yang kita inginkan dalam kebaikan selalu dikabulkan dan diridhoi oleh Allah SWT dan semoga kita diberikan kemudahan oleh Allah atas segala urusan kita. Syaiun lillah lahum alfatihah..

Yang saya jelaskan pada pagi ini memang tidak urut, yaitu shalat dimulai dengan takbiratul ihram, lalu bacaan doa iftitah dan seterusnya, akan tetapi saya akan memulai dari doa yang kita baca diantara dua sujud yang mesti kita baca di dalam shalat. Kajian ini tidak melihatnya dari dimensi fiqih tetapi lebih tepat sebagai kajian ethical-sosiologis yang memang sedikit banyak saya kuasai. Jika yang terkait dengan fiqih biarkan ada ahli lain yang menerangkannya atau menjelaskannya.

Doa di antara dua sujud itu terkait dengan permohonan hamba kepada tuannya, dari manusia kepada Allah SWT. Shalat itu tidak hanya untuk mengingat Allah tetapi juga permohonan kita kepada Allah SWT. Kita gunakan kata permohonan dan bukan permintaan. Permintaan itu digunakan untuk sesama hamba Allah sedangkan untuk Allah kita gunakan kata memohon. Di dalam konteks ini Allah mengajarkan agar kita menyembahnya terlebih dahulu dan baru memohon kepada-Nya. Di dalam Shurat Alfatihah Allah menjelaskan
“iyyaka na’budu wa iyyaka nastain”.

Doa kita atau permohonan kita kepada Allah itu, yang pertama adalah permohonan agar dosa kita diampuni atau dihapuskan oleh Allah SWT. Bunyinya: Rabbighfirli. Yang artinya kurang lebih “Wahai Allah ampuni segala dosa saya”. Jadi doa ini menggambarkan permohonan individual, permohonan orang-orang di kala shalat kita lakukan. Permohonan seorang hamba kepada Tuhannya, yang dilakukan oleh dia seorang diri kepada Allah SWT. Di dalam doa ini kita memohon kepada Allah dengan sungguh-sungguh agar dosa atau kekhilafan atau kesalahan yang kita lakukan kepada Allah memohon diampuni. Ada di antara kita yang barangkali kurang bersyukur kepada Allah, kita kurang tawakkal kepada Allah, kita kurang beriman kepada Allah, kita kurang ikhlas dalam beribadah dan sebagainya agar Allah mengampuni. Ada di antara kita yang shalatnya masih bolong-bolong, masih suka shalat sendirian, masih kurang khusyu’, masih kurang focus, masih menganggap shalat itu kewajiban dan bukan kebutuhan, dan sebagainya maka saatnya kita memohon ampunan Allah.

Ada juga yang mungkin sedekahnya kurang, kurang suka menolong orang, suka menyimpan harta, kurang zakatnya, kurang infaqnya, kurang rasa iba kepada sesama hamba Allah yang sedang mengalami masalah kehidupan, kurang merasakan nikmatnya Allah atau selalu merasa kurang, maka inilah saatnya kita memohon ampunan kepada Allah. Ada juga yang merasa ibadahnya karena didorong oleh factor luar bukan dari dorongan dalam diri atau lainnya, maka saatnya kita berdoa memohon agar Allah memaafkannya.

Ada juga yang merasa dirinya tidak bersih, banyak maksiat, misalnya maksiat mata, maksiat hati, maksiat lesan, maksiat tangan dan sebagainya, maka inilah saatnya kita memohon kepada Allah agar diampuni. Jika ada riyak di dalam diri, baik riya dhahir atau batin, riya jahr atau riya sir, maka inilah saatnya kita memohon ampunan kepada Allah SWT. Jika ada di antara kita yang merasa paling hebat dalam profesi kita dan membuat kita membusungkan dada, lalu berpikir “sopo siro sopo ingsun” atau siapa saya dan siapa saudara, maka shalat inilah saatnya kita memohon ampunan kepada Allah SWT.

Apa yang saya sampaikan ini sesungguhnya merupakan upaya untuk introspeksi diri, khususnya diri saya yang di dalam banyak hal masih melakukan dosa atau kesalahan dan terkadang juga shalat itu berjalan begitu saja atau tanpa penghayatan, maka dengan membicarakan hal ini dan bahkan menuliskan hal ini, akan bisa menjadi kaca benggala tentang ibadah yang kita lakukan. Kita benar-benar menyadari bahwa dimensi kemanusiaan kita itu lebih dominan dibanding dimensi ketuhanan. Factor keduniawian itu lebih dominan dibandingkan dengan factor keukhrawian. Hal ini bisa saja dipengaruhi oleh lingkungan kita yang memang semakin materialistis, yang semakin permisif dan semakin serba boleh. Oleh karena itu, mudah-mudahan dengan memberikan penjelasan tentang hal ini akan bisa menjadi pengingat bahwa ada kewajiban dan kebutuhan kita untuk terus memohon ampunan kepada Allah SWT.

Di tengah kehidupan kita yang  berpaham bahwa kebutuhan itu semata-mata fisikal atau material, maka hal ini akan sangat mempengaruhi terhadap mindset kita. Kita tentu selalu mendendangkan lantunan doa dalam bentuk istighfar “astaghfirullah al adzim” dan doa itu diterima Allah SWT.  Tentu saja harapan kita kepada Allah adalah lantunan-lantunan doa tersebut akan menjadi persaksian bahwa kita termasuk orang yang beribadah dan memohon ampunan kepada-Nya.

Wallahu a’lam bi al shawab.