• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

REZEKI SEBAGAI NIKMAT ALLAH SWT (BAGIAN KEEMPAT)

REZEKI SEBAGAI NIKMAT ALLAH SWT (BAGIAN KEEMPAT)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sebelum kita melanjutkan pengajian selasanan bakda shalat shubuh (18/1/22), marilah terlebih dahulu kita membaca surah Alfatihah, semoga dengan membaca ummul qur’an ini, maka kita akan mendapatkan kemudahan dalam segala urusan kita, baik urusan di dunia yang fana ini dan juga urusan akhirat. Allahumma Amin. Syaiun lillah lahum al fatihah…

Allah SWT selalu memberikan kepada manusia yang disebut sebagai hukum berpasangan. Yaitu hukum yang terkait dengan baik dan buruk, halal dan haram, siang dan malam, pagi dan sore dan sebagainya. Termasuk juga hukum merasakan kesenangan dan kesedihan, bahagia dan sengsara, dan sebagainya. Semua ini sudah dijelaskan oleh Allah SWT di dalam kitab sucinya, bahkan semua kitab agama-agama di dunia. Pada pertemuan yang lalu disebut sebagai saidun  dan saqiyyun. Bahagia dan sengsara.

Manusia sekaya apapun dipastikan juga tidak selalu bahagia. Dipastikan ada suatu masa yang dia merasakan ketidakbahagiaan, misalnya tekanan bisnis, yang berupa kerugian, atau tekanan politik bisnis yang tidak bisa dihindari, atau tekanan rekanan bisnis yang mestinya tidak mungkin dilakukan akan tetapi terpaksa dilakukan. Patut diingat bahwa semakin kaya seseorang sesungguhnya juga semakin besar tekanan atas kekayaannya. Bill Gate, yang super kaya sebagai pemilik Google, juga tidak bisa diam sebab para pesaingnya akan selalu mengintai kelemahannya. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana Nokia merek hand phone yang sangat meraksasa terpaksa harus gulung tikar karena kemajuan teknologi android yang dikembangkan oleh Samsung. Persaingan yang ketat dalam dunia bisnis tentu juga sangat luar biasa. Makanya, dipastikan ada masa di mana orang kaya itu mengalami masa-masa yang suram atau ketidakbahagiaan.

Bahagia tidak bisa diukur dengan kekayaan atau banyaknya harta benda yang dimilikinya. Kekayaan mungkin bisa menghasilkan kesejahteraan fisikal sebab semua keperluan terpenuhi. Mau beli apapun tinggal menunjukkan jari. Mau apapun dipastikan akan terpenuhi. Tetapi ada yang tidak bisa dibeli adalah ketenangan batin. Ada yang tidak bisa dibeli adalah semakin tua dan semakin renta. Ada yang tidak bisa dibeli yaitu semakin lemahnya fisik karena sakit atau ketuaan. Ada factor takdir yang tidak bisa dibeli oleh orang kaya sekalipun.

Kebahagiaan adalah nikmat Tuhan yang berupa ketenangan batin yang diakibatkan oleh kepasrahan kita atas semua yang harus berlaku kepada manusia. Mungkin bisa terjadi orang yang secara ekonomi hanya cukup untuk makan sehari-hari, tetapi kebahagiaannya jauh lebih besar dibandingkan dengan orang kaya yang seharusnya serba kecukupan. Itulah yang di dalam pandangan orang Jawa disebutkan: “urip iku sawang sinawang” artinya “hidup itu saling melihat”. Artinya, bahwa orang lain memandang kita bahagia, tetapi kenyataannya tidak. Dan ada orang lain memandang kita tidak bahagia tetapi ternyata bahagia.

Kita boleh banyak-banyak meminta tetapi tidak boleh meminta banyak. Jangan minta harta yang banyak, tetapi memintalah sebanyak-banyaknya  agar diberikan harta. Jadi banyaknya meminta bukan meminta yang banyak. Atau lebih jelasnya kita harus sering meminta, bukan sekali meminta dengan permintaan yang banyak. Di dalam surat Alfatihah disebutkan: “kepadamu kami menyembah dan kepadamu kami memohon”. Jadi perbanyak persembahan dulu dan baru meminta.

Badan Pusat Statistik (BPS) sudah merilis indeks kesejahteraan. Dalam hal ini kesejahteraan itu “diidentikkan” dengan kebahagiaan. Padahal sesungguhnya terdapat perbedaan yang mendasar antara “kesejahteraan” dengan “kebahagiaan”. Artinya sudah dibuat ukuran untuk menentukan apa saja yang menjadi indicator kesejahteraan. Karena ukuran atau indicator tentu yang bercorak fisikal, misalnya: pendidikan, penghasilan, pengeluaran rumah tangga, keamanan lingkungan, keamanan sosial, jumlah anak, kepemilikan rumah, kendaraan, kesehatan dan kenyamanan dalam rumah tangga. Semua ini menggambarkan bahwa ukuran sejahtera itu yang secara fisikal dapat diukur.

Padahal sesungguhnya kesejahteraan itu tidak hanya aspek fisik tetapi juga batiniah. Pengukuran batiniah inilah yang sulit, misalnya ketenangan, kedamaian, keselarasan yang sumbernya dari aspek batin. Mengukur keimanan tentu susah sebab ada dimensi batin, makanya yang diukur adalah aspek luar dari agama, misalnya menjalankan shalat atau tidak. Padahal menjalankan shalat juga belum tentu bisa menjadi ukuran kebahagiaan. Jadi yang dilihat adalah perilaku dan bukan dimensi batiniah manusia.

Dengan demikian, kesejahteraan atau kebahagiaan itu adalah nuansa hati dalam menerima kenikmatan atau rezeki yang datang dari Allah SWT. Semakin menerima atas rezeki yang diberikan oleh Allah maka semakin besar peluang seseorang untuk bahagia. Menerima atas nikmat Allah itulah yang di dalam konsepsi Islam disebut sebagai tawakkal atau kepasrahan atas semua ketentuan Allah SWT.

Wallahu a’lam bi al shawab.

REZEKI SEBAGAI NIKMAT ALLAH SWT (BAGIAN KETIGA)

REZEKI SEBAGAI NIKMAT ALLAH SWT (BAGIAN KETIGA)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sebelum kita memulai ngaji bareng pada program ngaji bareng Selasanan (4/1/22), maka terlebih dahulu kita membaca Surat Alfatihah, semoga dengan membaca Ummul Qur’an ini maka semua tujuan kita yang memiliki kebaikan akan bisa dikabulkan oleh Allah SWT. Mari kita Yakini bahwa dengan bacaan ummul qur’an maka tujuan kita insyaallah akan bisa dikabulkan Allah SWT. Syaiun lillah lahum alfatihah…

Di antara kita ada yang keliru di dalam membaca atau memahami tentang rezeki. Baginya bahwa rezeki itu hanya persoalan materi. Jadi tidak dianggap sebagai rezeki jika tidak berupa materi, misalnya lebih specific uang. Dengan demikian, rezeki itu hanya uang saja. Kenikmatan Allah hanya dianggap jika berupa nikmat material, misalnya menjadi kaya, memiliki banyak uang, memiliki rumah besar, memiliki perabot rumah yang mewah, memiliki mobil yang bagus dan semuanya terkait dengan materi.

Oleh karena itu, saya membagi rezeki Allah tersebut dengan dua hal, yaitu rezeki fisikal atau material dan rezeki nonfisikal atau nonmaterial. Rezeki yang bersifat fisikal adalah rezeki yang bisa dilihat dan dirasakan kenikmatannya. Uang, kekayaan, mobil, rumah mewah dan sebagainya adalah rezeki yang bersifat fisikal atau material. Rezeki fisikal ada kaitannya dengan kebutuhan biologis. Manusia membutuhkan papan (rumah), pangan (makanan dan minuman), sandang (pakaian, baju atau jabatan) yang merupakan symbol-simbol fisik atau materi. Sedangkan nikmat Allah SWT yang sungguh luar biasa sebenarnya adalah nikmat iman dan islam. Syukur kalau bisa merasakan nikmat ihsan. Tetapi yang dua di depan itu saja sudah sangat luar biasa. Tidak banyak manusia yang memiliki nikmat iman dan Islam. Di dunia ini ada sebanyak 6 milyar umat manusia dan hanya 2 milyar saja yang menjadi Islam. Beriman kepada Allah dan menjadi umat Islam. Yang umat Islam sebanyak 2 milyar itu juga tidak semuanya memperoleh nikmat iman dan Islam yang utuh. Ada yang bisa menjalankan ajaran Islam dan ada yang tidak mampu menjalankan ajaran Islam. Kita yang mengikuti pengajian ini adalah orang yang memperoleh nikmat iman dan Islam yang utuh. Paling tidak sudah shalat, puasa, zakat dan bahkan ada yang sudah haji. Tidak hanya syahadat sebagai pengakuan formal sebagai orang Islam.

Ada banyak orang yang mempelajari Islam tetapi berhenti menjadi ilmu dan tidak menjadi pengamalan. Ada ahli ilmu keislaman tetapi tidak melakukan Islam atau menjadi Islam. Ada yang sedikit pengetahuan ilmu keislamannya tetapi mengamalkan Islam dengan baik. Inilah yang harus kita syukuri karena kita telah menjadi bagian umat Islam yang bisa mengamalkan ajaran Islam. Orang-orang Barat yang disebut sebagai ahli orientalis itu orang yang mempelajari Islam secara tuntas tetapi tidak menjadi Islam. Bisa disebut misalnya Wael B. Hallaq yang ahli hukum Islam, L. Stoddart, ahli kebudayaan Islam, J. Spencer Trimingham yang ahli tasawuf, Virginia Hooker yang ahli hukum Islam, Philip K. Hitti yang ahli sejarah Islam, dan lain-lain yang ilmunya tuntas tetapi tidak mendapatkan hidayah untuk menjadi muslim atau Muslimah. Tetapi juga ada yang kemudian menjadi Islam, misalnya Maurice Buchaile yang ahli sains, Muhammad Ali, Floyd Mayweather, Mike Tyson yang menjadi petinju, dan Muhammad As’ad yang ahli sejarah Islam.

Semua ini menggambarkan kenikmatan yang terselubung yang tidak berupa materi dan biasanya kita kurang bersyukur karena dianggap sebagai biasa saja. Nikmat Tuhan yang seperti ini justru sebagai nikmat al udzma atau nikmat Tuhan terbesar. Dan ini tidak kita sadari, kita anggap sebagai biasa saja. Nikmat Tuhan yang tidak tampak terkadang justru lebih banyak dibandingkan dengan nikmat fisikal. Sungguh kita tidak bisa menghitung nikmat Tuhan kepada kita. Saking banyaknya.

Nikmat yang Tuhan yang bisa dilihat, dirasakan dan direnungkan itu semua adalah rezeki Allah kepada kita semua. Kita memiliki rumah, yes sebagai rezeki, kita bisa menerima gaji yang cukup, yes itu sebagai rezeki, kita punya simpanan uang di Bank, yes itu rezeki, kita bisa sehat, yes itu rezeki, tetapi jangan lupa kita menjadi umat Islam yang akan diberikan Rahman dan Rahim Tuhan juga rezeki. Kita bisa tidur tenang, kita bisa berdzikir banyak, kita bisa shalat dengan damai adalah rezeki Tuhan yang tidak bisa kita abaikan. Rezeki Tuhan itu maha luas, hanya sayangnya kita tidak memahaminya.

Kita perlu memperoleh pencerahan agar kita bisa selalu bisa merasakan betapa besarnya nikmat Allah yang kemudian disebut sebagai rezeki. Jangan sampai Allah swt memberikan tandzir atau peringatan kepada kita karena ketidaksyukuran kita atas rezeki yang Allah berikan kepada kita. Saya yakin bahwa kita bisa menjadi hamba Allah yang selalu bersyukur atas nikmat Allah, baik itu rezeki yang bersifat fisikal atau material dan juga rezeki yang bersifat non material atau non fisikal. Kita selalu berdoa “ya Allah berikan kami rezeki yang berkah fid dini, wad dunya wal akhirah”.

Wallahu a’lam bi al shawab.

REZEKI SEBAGAI NIKMAT ALLAH SWT (2)

REZEKI SEBAGAI NIKMAT ALLAH SWT (2)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sebelum kita melanjutkan pengajian Selasanan (21/12/21), maka terlebih dahulu  kita membaca surat Alfatihah atau ummul Qur’an agar mengaji kita ini memperoleh ridhanya Allah SWT dan dimudahkan segala urusan kita, baik urusan duniawai maupun ukhrawi. Makanya, marilah kita baca bersama-sama surat Alfatihah, syaiun lillah lahum alfatihah…

Manusia memiliki sejumlah kebutuhan. Menurut para ahli antropologi-sosiologi, maka kebutuhan manusia itu adalah kebutuhan fisik, kebutuhan social dan kebutuhan integrative. Kebutuhan fisik terkait dengan kebutuhan biologis, misalnya harus memenuhi keinginan makan, minum, melanjutkan keturunan melalui prilaku seksual halal, atau segala hal yang terkait dengan tujuan melanjutkan kehidupan dari aspek fisik. Misalnya ketika harus makan, maka harus memenuhi standart makanan yang sehat. Kala kita minum juga yang berstandart sehat dan kebutuhan fisik lainnya juga yang memenuhi standart sehat dan halal.

Kemudian,  kebutuhan social. Tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri di dunia ini. Pasti membutuhkan orang lain. Sekaya apapun seseorang, misalnya seperti Jeff Bezos (109,6 Miliar Dolar US), atau Bernard Arnault (106,1 Milir Dolar US), Mark Zukkerberg (73,7 Milar Dolar US), atau Bil Gates (106,4 Milar dolar US) dan lain-lain, akan tetapi dia tidak bisa hidup sendiri. Untuk makan dan minum maka dipastikan harus ada orang lain yang menyiapkan atau membantunya. Maka, manusia membutuhkan manusia lainnya untuk saling berkomunikasi, berkolaborasi atau bekerja sama dengan manusia lainnya agar kebutuhan sosialnya tersebut bisa dicapainya. Meskipun suatu ketika Artificial intelligent (robot) bisa memenuhi kebutuhan manusia, tetapi bukankah robot juga hasil ciptaan ratusan orang, sehingga robot tersebut bisa sampai di tangan kita. Manusia butuh manusia lainnya untuk memenuhi semua kebutuhan kemanusiaan atau kebutuhan sosialnya. Manusia butuh curhat, butuh membicarakan kegagalan atau kesuksesannya, manusia membutuhkan uluran tangan sahabatnya dan sebagainya.

Lalu, kebutuhan integrative bahwa manusia membutuhkan kebutuhan yang menghubungkan antara kebutuhan biologis dan social. Misalnya pernikahan, misalnya mengekspresikan rasa cintanya, melampiaskan hasrat kasih sayangnya, dan sebagainya. Manusia juga membutuhkan pemenuhan rasa ketuhanan. Keinginan untuk melampiaskan hasrat rohaninya, manusia memerlukan penyaluran untuk mengekspressikan rasa ketuhannya dan sebagainya.  Semenjak dahulu, manusia memiliki cita rasa ketuhanan yang diekpressikan sesuai dengan kapasitasnya.

Segala kebutuhan manusia yang berhasil dan bisa dinikmati keberhasilannya itulah yang kemudian disebut sebagai kenikmatan. Kita butuh makan dan minum serta kebutuhan seksual dan kita bisa meraihnya, maka inilah yang dinamai sebagai kenikmatan. Jadi kenikmatan adalah tercapainya kebutuhan berdasarkan atas usaha yang dilakukannya dan kenikmatan tersebut dirasakannya. Tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk keluarganya, kerabatnya bahkan masyarakat secara lebih luas.

Di dalam terminology agama, maka kenikmatan yang seperti itu yang disebut sebagai rezeki atau sesuatu yang diusahakan dan kemudian hasilnya bisa dirasakannya. Kita menjadi bahagia karena tujuan bisa tercapai. Kita berhasil. Jika kebutuhan tersebut bisa tercapai maka itulah yang disebut sebagai memperoleh rezeki. Bagi orang yang beragama, maka kenikmatan karena keberhasilan tersebut disebut sebagai rezeki dari Allah SWT. Manusia akan merasakan kenikmatan dan kebahagiaan.

Sebaliknya, jika yang kita inginkan tidak tercapai, maka kita menjadi sedih atau tidak bergembira. Kita merasakan kegagalan. Maka kegagalan itulah yang disebut sebagai kesedihan atau ketidaknyamanan. Tetapi kegagalan belum tentu niqmah. Tetapi niqmah dipastikan menjadi basis kegagalan. Di dalam konteks ini, niqmah merupakan hal ihwal dari rasa kesedihan yang disebabkan oleh banyak factor. Bisa factor biologis, dan  bisa juga factor social. Dari factor biologis misalnya ketidaksesuian antara apa yang diharapkan dan apa yang didapatkan secara fisikal. Sedangkan secara social adalah kala harapan dan kenyataan tidak sesuai misalnya kegagalan dalam negosiasi berusaha dan sebagainya.

Manusia tentu selalu berharap agar memperoleh kenikmatan, tetapi tidak selamanya kenikmatan itu menghampiri kehidupan kita. Oleh karena itu jangan berlebihan dalam menerima kenikmatan dan jangan berlebihan dalam menyikapi keniqmahan. Hadapi keduanya dengan pasrah kepada Allah SWT yang telah mentakdirkan kenikmatan dan keniqmahan tersebut di dalam hiudp kita. Tentu saja kita harus terus berdoa Ya Allah berikan kami kebahagiaan di dunia dan juga kebahagiaan di akhirat. Semoga doa kita didengarkan oleh Allah SWT.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

REZEKI SEBAGAI NIKMAT ALLAH SWT (1)

REZEKI SEBAGAI NIKMAT ALLAH SWT (1)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Marilah kita mulai pengajian rutin selasanan (7/12/21) di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency ini dengan bersama-sama membaca Surat Alfatihah semoga dengan membaca Ummul Qur’an ini, maka segala urusan kita akan dimudahkan oleh Allah swt dan semua amalan kita di dalam beribadah diterima oleh Allah swt. Syaiun lillah lahum al fatihah…

Tentu sudah banyak orang yang memberikan definisi baik secara lughawi maupun secara maknawi tentang rezeki. Tetapi yang jelas bahwa rezeki adalah segala sesuatu yang diterima oleh seseorang di dalam hidupnya yang diyakini datang dari keharibaan Allah Swt. Saya tekankan di sini, bahwa rezeki itu segala sesuatu, apa saja, berupa apa saja, di mana saja,  yang kedatangannya dirasakan sebagai nikmat oleh Allah Swt.  Jadi rezeki itu ada kaitannya dengan kenikmatan yang diberikan oleh Allah. Pandangan saya dalam konteks ini tentu lebih sosiologis dibandingkan dengan fiqhiyah atau konsep-konsep Islam lainnya yang lebih rinci.

Di dalam kehidupan ini ada yang disebut sebagai nikmat atau sesuatu yang membuat kita bahagia, senang, tertawa, tersenyum dan merasakan betapa hal tersebut dapat membuat hidup kita menjadi nikmat dan menyenangkan. Ada rasa bahagia, ada rasa senang, ada rasa nikmat di dalamnya. Sebaliknya ada yang disebut sebagai niqmah atau sesuatu yang membuat hidup kita itu sengsara, tidak suka, membencikan, atau tidak membahagiakan. Ada nikmah dan ada niqmah. Ini merupakan konsekuensi dari hukum berpasangan yang memang menjadi sunnatullah di dalam kehidupan manusia.

Semua manusia dipastikan merasakan dua hal ini. Ada kalanya merasakan kenikmatan dan ada kalanya merasakan keniqmahan. Sekali lagi semua manusia. Bahkan Nabiyullah juga merasakannya. Nabi Adam, sebagai leluhur manusia juga merasakannya. Ketika Beliau berada di surganya Allah, maka tentu semua kenikmatan surgawi diterimanya. Kita bisa membayangkan betapa nikmatnya hidup di surga. Serba ada, semua yang diinginkan tercapai, semua yang diharapkan terkabulkan. Tetapi takdir Allah untuk mendesain dunia ini tentu harus berlaku, yaitu diturunkannya Nabi Adam dan Hawwa ke dunia untuk menyambung kalimat Tuhan, Allah SWT, bahwa Allah akan menciptakan manusia dan menjadikannya sebagai khalifahnya di muka bumi. Maka Nabi Adam lalu turun ke dunia tidak secara bersama-sama. Mereka turun ke bumi dan terpisah di antara keduanya. Dan pada saat itu hanya ada dua saja manusia, yaitu Nabiyullah Adam dan Hawwa. Tetapi karena takdir Allah bahwa keduanya harus menyatu dan beranak pinak sebagai awal terjadinya kehidupan manusia di dunia ini, maka Allah mempertemukannya di Bukit yang disebut sebagai Jabal Rahmah di Arab Saudi, dan tempat itu ditandai sebagai salah satu tempat untuk berhaji. Sebuah perbukitan di dekat Arafah, tempat jamaah haji menyelenggarakan wukuf sebagai puncak ibadah haji.

Lalu Nabiyullah Muhammad Saw juga pernah merasakan bagaimana  kesedihan tersebut melanda dirinya. Pada saat Beliau berdakwah secara terang-terangan, maka Beliau ditinggalkan oleh isteri tercintanya, Khadijah binti Khuwalid, seorang perempuan terkaya di Mekkah, seorang isteri yang membiayai dan memberikan perlindungan kepadanya dan karena takdir Tuhan harus wafat untuk meninggalkannya. Siti Khadijah wafat di pangkuannya. Khadijah wafat dalam keadaan bukan orang kaya, sebab hartanya didarmabaktikan untuk dakwah Nabi Muhammad SAW. Pada tahun bersamaan, pamanda Nabi Muhammad SAW, Abu Thalib, ayahanda Sayyidina Ali, Pemimpin Suku Quraisy juga wafat. Tahun ini yang diabadikan sebagai tahun kesedihan atau ayyamul Huszni atau tahun kesedihan, yaitu pada tahun 619 Masehi. Selama ini yang memberikan perlindungan secara fisikal kepada Nabi Muhammad SAW adalam pamandanya ini. Orang-orang Qurays dan suku lainnya segan untuk menyakiti Nabi Muhammad SAW karena keberadaan pamandanya ini. Maka ketika pamandanya wafat maka penghinaan, cacian, dan bahkan kekerasan fisik akan lebih banyak dilakukan orang Quraisy Mekkah. Genaplah sudah kesedihan Nabi pada tahun tersebut.

Dengan demikian, kesenangan dan kesedihan, kebahagianan dan ketidakbahagiaan atau nikmah dan niqmah merupakan bagian dari kehidupan manusia. Jika kenikmatan yang kita dapatkan maka itulah sesungguhnya rezeki yang diberikan oleh Allah kepada hambanya. Dan di antara kita pasti juga pernah merasasakannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

SOSIOLOGI AGAMA: AGAMA DAN MASYARAKAT (1)

SOSIOLOGI AGAMA: AGAMA DAN MASYARAKAT (1)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

PEMAHAMAN:

  1. Apakah definisi ilmu itu, misalnya definisi sosiologi, psikhologi, antropologi, ilmu politik, ilmu komunikasi, ilmu hukum, ilmu agama dan sebagainya.
  2. Apakah sasaran kajiannya atau subject matternya, misalnya sasaran kajian sosiologi, psikhologi, antropologi, ilmu politik, ilmu komunikasi dan sebagainya.
  3. Apakah metodologi penelitiannya: metode kuantitatif atau kualitatif dengan berbagai jenis desainnya.
  4. Apakah teori yang telah dijadikan sebagai referensi di dalam ilmu dimaksud. Misalnya teori sosiologi, psikhologi, antropologi dan sebagainya.
  5. AGAMA: seperangkat pedoman yang dijadikan sebagai cara untuk menafsirkan atas tindakan-tindakan yang diyakini kebenarannya dan diamalkan sebagaimana para penafsirnya.
  6. MASYARAKAT: sekumpulan individu yang memiliki kesepahaman dan tindakan berbasis pada pedoman kehidupan yang disepakati Bersama.
  7. ISLAM: Agama yang dilabelkan kepada ajaran Allah swt melalui Nabi Muhammad saw, yang didasarkan atas pedoman di dalam Alqur’an, Alhadits, dan pendapat para ulama yang sesuai dengan ajaran teks dan konteks Islam.
  8. SOSIOLOGI: ilmu yang memelajari dan mengkaji tentang masyarakat.
  9. SOSIOLOGI ISLAM: ilmu yang memelajari dan mengkaji tentang relasi antara agama Islam dan masyarakat di dalam suatu lokus tertentu.
  10. Sosiologi Islam merupakan bagian dari sosiologi agama, yang mengkaji seluru relasi antara berbagai agama dengan masyarakat.
  11. Sosiologi menjadi masyarakat dengan berbagai interaksinya menjadi sasaran kajiannya.
  12. Yang dikaji adalah relasi antar individu, antar individu dengan kelompok, antar individu dengan masyarakat atau antara kelompok dengan kelompok atau kelompok dengan masyarakat dan antar masyarakat dengan masyarakat.
  13. Sosiologi agama menjadikan relasi antara agama dengan individu, atau kelompok dan masyarakat. Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan juga konghucu bahkan penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME.
  14. Sosiologi Islam adalah sosiologi khusus yang mengkaji relasi antara agama Islam dengan individu, kelompok atau masyarakat.
  15. Yang dikaji adalah relasi antara Islam dengan individu dan individu, dengan kelompok dan masyarakat.

 

ADA LIMA DIMENSI KAJIAN SOSIOLOGI AGAMA/ISLAM

  1. Dimensi teologis atau seperangkat keyakinan terhadap yang diyakini sebagai Tuhan: Allah, Hyang Widhi, Tung Tien,
  2. Dimensi inteletual atau seperangkat pengetahuan tentang Tuhan: misalnya pemahaman tentang akidah, Syariah dan akhlak.
  3. Dimensi ritual atau seperangkat upacara keagamaan, misalnya: Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa  dan haji dan ibadah lainnya.
  4. Dimensi konsekuensial atau seperangkat konsekuensi beragama, misalnya: jihad dalam konteks perang, berusaha sungguh-sungguh dalam berusaha dan beribadah, berdakwah, dan sebagainya.
  5. Dimensi pengalaman beragama yaitu seperangkat pengalaman dalam relasi dengan Tuhan atau makhluk gaib lainnya. Pengalaman agama itu bercorak individual dan sulit direplikasi.

 

YANG DIKAJI ADALAH:

  1. Ajaran agama yaitu seperangkat ajaran agama yang menjadi pedoman di dalam melakukan Tindakan beragama atau perilaku beragama. Disebut juga sebagai ajaran normative tentang agama.
  2. Kepemimpinan beragama, yaitu tipe-tipe, otoritas dan jenis-jenis fungsi kepemimpinan agama. Misalnya pemimpin formal, non-formal atau informal, kewenangan kharismatis, tradisional dam legal formal atau jenis fungsinya, yaitu: monomorfik dan polimorfik.
  3. Masyarakat beragama, yaitu relasi antara individu, kelompok dan masyarakat yang terkait dengan ajaran normative agama-agama.

 

YANG DIKAJI:

  1. What does religion do for other, atau apakah fungsi agama terhadap relasi antara individu dengan kelompok dan masyarakat. Misalnya fungsi keselamatan dalam agama, fungsi kerukunan beragama, fungsi toleransi beragama, fungsi solidaritas social agama, dan sebagainya.
  2. What is religion atau mengkaji tentang makna agama bagi manusia. Bagaimana manusia atau individu memaknai agama bagi kehidupannya atau bagaimana manusia atau individu merasakan, menghayati dan mendalami agama di dalam kehidupannya.
  3. Semenjak lama atau  abad ke 19, agama telah dikaji oleh banyak ahli ilmu pengetahuan social.
  4. Bahkan jauh dari itu, Ibnu Khaldun telah mengkaji masyarakat Islam, baik dalam corak nomaden atau menetap.
  5. Kitab sosiologis yang sangat terkenal adalah Mukaddimah Ibn Khaldun, yang sudah dikaji oleh banyak sarjana dan akademisi di seluruh dunia.
  6. Di antara ahli ilmu social yang mengkaji agama adalah Max Weber, Emile Durkheim, J. Ober Volt, John L. Esposito, Geertz, John Ryan Bartolomew, Robert K. Nottingham, Thomas F.O. Dea,  Robert N Bellah, dan lain-lain.
  7. Ahli-ahli dari Indonesia, misalnya: Parsudi Suparlan, Amri Marzali, Ahmad Fediyani Saifuddin, Muhaimin AG, Erni Budiwanti, Nur Syam, dan sebagainya.