REZEKI SEBAGAI NIKMAT ALLAH SWT (BAGIAN KEEMPAT)
REZEKI SEBAGAI NIKMAT ALLAH SWT (BAGIAN KEEMPAT)
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Sebelum kita melanjutkan pengajian selasanan bakda shalat shubuh (18/1/22), marilah terlebih dahulu kita membaca surah Alfatihah, semoga dengan membaca ummul qur’an ini, maka kita akan mendapatkan kemudahan dalam segala urusan kita, baik urusan di dunia yang fana ini dan juga urusan akhirat. Allahumma Amin. Syaiun lillah lahum al fatihah…
Allah SWT selalu memberikan kepada manusia yang disebut sebagai hukum berpasangan. Yaitu hukum yang terkait dengan baik dan buruk, halal dan haram, siang dan malam, pagi dan sore dan sebagainya. Termasuk juga hukum merasakan kesenangan dan kesedihan, bahagia dan sengsara, dan sebagainya. Semua ini sudah dijelaskan oleh Allah SWT di dalam kitab sucinya, bahkan semua kitab agama-agama di dunia. Pada pertemuan yang lalu disebut sebagai saidun dan saqiyyun. Bahagia dan sengsara.
Manusia sekaya apapun dipastikan juga tidak selalu bahagia. Dipastikan ada suatu masa yang dia merasakan ketidakbahagiaan, misalnya tekanan bisnis, yang berupa kerugian, atau tekanan politik bisnis yang tidak bisa dihindari, atau tekanan rekanan bisnis yang mestinya tidak mungkin dilakukan akan tetapi terpaksa dilakukan. Patut diingat bahwa semakin kaya seseorang sesungguhnya juga semakin besar tekanan atas kekayaannya. Bill Gate, yang super kaya sebagai pemilik Google, juga tidak bisa diam sebab para pesaingnya akan selalu mengintai kelemahannya. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana Nokia merek hand phone yang sangat meraksasa terpaksa harus gulung tikar karena kemajuan teknologi android yang dikembangkan oleh Samsung. Persaingan yang ketat dalam dunia bisnis tentu juga sangat luar biasa. Makanya, dipastikan ada masa di mana orang kaya itu mengalami masa-masa yang suram atau ketidakbahagiaan.
Bahagia tidak bisa diukur dengan kekayaan atau banyaknya harta benda yang dimilikinya. Kekayaan mungkin bisa menghasilkan kesejahteraan fisikal sebab semua keperluan terpenuhi. Mau beli apapun tinggal menunjukkan jari. Mau apapun dipastikan akan terpenuhi. Tetapi ada yang tidak bisa dibeli adalah ketenangan batin. Ada yang tidak bisa dibeli adalah semakin tua dan semakin renta. Ada yang tidak bisa dibeli yaitu semakin lemahnya fisik karena sakit atau ketuaan. Ada factor takdir yang tidak bisa dibeli oleh orang kaya sekalipun.
Kebahagiaan adalah nikmat Tuhan yang berupa ketenangan batin yang diakibatkan oleh kepasrahan kita atas semua yang harus berlaku kepada manusia. Mungkin bisa terjadi orang yang secara ekonomi hanya cukup untuk makan sehari-hari, tetapi kebahagiaannya jauh lebih besar dibandingkan dengan orang kaya yang seharusnya serba kecukupan. Itulah yang di dalam pandangan orang Jawa disebutkan: “urip iku sawang sinawang” artinya “hidup itu saling melihat”. Artinya, bahwa orang lain memandang kita bahagia, tetapi kenyataannya tidak. Dan ada orang lain memandang kita tidak bahagia tetapi ternyata bahagia.
Kita boleh banyak-banyak meminta tetapi tidak boleh meminta banyak. Jangan minta harta yang banyak, tetapi memintalah sebanyak-banyaknya agar diberikan harta. Jadi banyaknya meminta bukan meminta yang banyak. Atau lebih jelasnya kita harus sering meminta, bukan sekali meminta dengan permintaan yang banyak. Di dalam surat Alfatihah disebutkan: “kepadamu kami menyembah dan kepadamu kami memohon”. Jadi perbanyak persembahan dulu dan baru meminta.
Badan Pusat Statistik (BPS) sudah merilis indeks kesejahteraan. Dalam hal ini kesejahteraan itu “diidentikkan” dengan kebahagiaan. Padahal sesungguhnya terdapat perbedaan yang mendasar antara “kesejahteraan” dengan “kebahagiaan”. Artinya sudah dibuat ukuran untuk menentukan apa saja yang menjadi indicator kesejahteraan. Karena ukuran atau indicator tentu yang bercorak fisikal, misalnya: pendidikan, penghasilan, pengeluaran rumah tangga, keamanan lingkungan, keamanan sosial, jumlah anak, kepemilikan rumah, kendaraan, kesehatan dan kenyamanan dalam rumah tangga. Semua ini menggambarkan bahwa ukuran sejahtera itu yang secara fisikal dapat diukur.
Padahal sesungguhnya kesejahteraan itu tidak hanya aspek fisik tetapi juga batiniah. Pengukuran batiniah inilah yang sulit, misalnya ketenangan, kedamaian, keselarasan yang sumbernya dari aspek batin. Mengukur keimanan tentu susah sebab ada dimensi batin, makanya yang diukur adalah aspek luar dari agama, misalnya menjalankan shalat atau tidak. Padahal menjalankan shalat juga belum tentu bisa menjadi ukuran kebahagiaan. Jadi yang dilihat adalah perilaku dan bukan dimensi batiniah manusia.
Dengan demikian, kesejahteraan atau kebahagiaan itu adalah nuansa hati dalam menerima kenikmatan atau rezeki yang datang dari Allah SWT. Semakin menerima atas rezeki yang diberikan oleh Allah maka semakin besar peluang seseorang untuk bahagia. Menerima atas nikmat Allah itulah yang di dalam konsepsi Islam disebut sebagai tawakkal atau kepasrahan atas semua ketentuan Allah SWT.
Wallahu a’lam bi al shawab.