• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

HALAL BIHALAL BIROKRASI: MENEMUKAN KEBAHAGIAAN DALAM BEKERJA

HALAL BIHALAL BIROKRASI: MENEMUKAN KEBAHAGIAAN DALAM BEKERJA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Bisakah kita  memperoleh kebahagiaan di dalam bekerja? Jawabannya bisa. Inilah yang saya bahas dalam forum halal bihalal yang diselenggarakan oleh Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, 12/05/2022. Hadir di dalam acara ini para sesepuh atau para purna tugas di FDK UINSA, para dosen dan juga staf akademik FDK. Di antara para sesepuh adalah Pak Drs. Sapari Imam Asy’ari, dosennya pada dosen, Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, MAg., Dekan FDK, Asc. Prof. Dr. Abdul Halim, MAg., para Wakil dekan, dan para dosen FDK dan juga para karyawan FDK. Sesuai dengan flyernya, maka seharusnya saya dan Prof. Ali Aziz yang akan memberikan ceramah, tetapi Prof. Ali dengan bijaksana memilih berdoa saja. Tentu  ada pertimbangan khusus dari Prof. Ali untuk melakukan hal ini.

Ada tiga hal yang saya sampaikan di dalam acara ini, yaitu: pertama, pada forum halal bil halal ini pantas jika kita saling mengucapkan permohonan maaf. Kita akan mengucapkan minal a’idin wal faizin wal maqbulin kullu amin wa antum bikhoir. Sudah selayaknya pada hari yang instimewa ini kita  saling memaafkan. Islam mengajarkan bahwa jika kekhilafan itu kepada Allah, maka kepada Allah kita memohon ampunan, tetapi jika kekhilafan tersebut pada manusia, maka kepada manusialah kita memohon maaf. Sebuah ajaran yang memberikan peluang bagi sesama manusia yang melakukan kekhilafan untuk saling memaafkan.

Kedua, kita harus bersyukur kepada Allah SWT yang telah mengaruniai kepada kita semua untuk sehat dan bisa bekerja. Kita bersyukur karena bisa bekerja di sebuah lembaga pendidikan, di UIN Sunan Ampel, khususnya di Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK). Baik sebagai dosen maupun sebagai tenaga kependidikan. Bisa bekerja dengan baik dan berkarya dengan baik merupakan kesempatan yang diberikan  Allah SWT kepada kita. Sungguh merupakan kebahagiaan bahwa kita bisa bekerja dengan seluruh tenaga, pikiran dan jiwa di lembaga pemerintah, lembaga birokrasi atau lembaga pendidikan.

Apalagi kita melihat perkembangan secara fisikal UINSA yang sangat luar biasa. Betapa megahnya Gedung UINSA yang dibangun atas dana IsDB sekian tahun yang lalu. Ini seperti mimpi. Kita tidak membayangkan pada tahun 1990-an bahwa kita akan memiliki gedung yang menjulang tinggi, desain yang sangat bagus,  twin towers, dan sangat indah jika malam hari. Upaya kita pada tahun 2007-2012 untuk membangun lembaga pendidikan yang berparas modern akhirnya tercapai. Kita berada di jalan protokal Sidoarjo Surabaya, Jalan A. Yani, dan ditandai dengan lembaga pendidikan Islam modern yang ditandai dengan Gedung modern.  Bangga? Pasti.

Juga tidak terbayangkan bahwa lembaga ini menjadi universitas. Di masa lalu betapa sulitnya IAIN menjadi UIN. Bertahun-tahun perubahan tersebut dimoratorium, dan baru pada tahun 2013, upaya untuk menjadi UIN berhasil. Persiapan menjadi UIN yang meliputi syarat administrasi dan akademik yang dilakukan pada tahun 2010-2013 akhirnya klar juga dan UIN Sunan Ampel menjadi IAIN yang ketujuh yang berubah statusnya dari IAIN menjadi UIN. Tidak ada sesuatu keberhasilan yang tidak dicapai dengan susah payah. Menjadi UIN ini selain karena usaha juga karena doa dan tawakkal kepada Allah SWT. Semua ini terjadi karena kebersamaan atau togetherness. Senang? Pasti.

Upaya untuk mengubah tampilan UINSA terus dilakukan. Setelah berhasil membeli tanah di daerah Gunung Anyar tahun 2010, maka lewat dana pembangunan yang semula diupayakan melalui loan IsDB harus diubah melalui penganggaran SBSN. Dana tersebut  untuk membangun bangunan megah di sebelah jalan dari dan ke Bandara Juanda. Melalui skema SBSN, maka wajah baru bangunan UINSA semakin megah. Pada tahun 2017-2018, maka cita-cita untuk memiliki bangunan modern untuk UINSA akhirnya terjadi. Dan jika kita akan ke bandara Juanda,  maka kita akan melihat gedung yang indah, yaitu Gedung UINSA. Semua orang yang melewati jalan tol dari dan ke Juanda pasti akan melihat Gedung UINSA yang bagus tersebut. Luar biasa? Pasti.

Ketiga,  dari aspek infrastruktur fisik tentu sudah cukup. Maka yang perlu diupayakan adalah membangun SDM dan institusi. Dosen dan mahasiswa perlu untuk ditingkatkan kualitasnya. Demikian pula penguatan institusinya. Akreditasi harus dikebut untuk menjadi akreditasi unggul. Kualitas pembelajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat juga harus ditingkatkan. Semua diarahkan pada UINSA unggul. Semua bisa dilakukan karena kerja keras. Bisa? Pasti.

Kita semua, sebagai aparat pemerintah, harus bekerja keras. Semua harus mencurahkan jiwa dan raga untuk bekerja dalam kebersamaan dalam mencapai tujuan UINSA unggul. Kita kita harus membangun togetherness. Coming together, sharing together, working together and succeeding together. Kala kita masuk ke lembaga ini, maka kita harus merasa sebagai datang bersama-sama. Semua memiliki hak dan kewajiban yang melekat sesuai dengan tusi kita masing-masing.  Tetapi  semuanya mengarah kepada pencapaian visi dan misi UINSA. Kita bisa merasa berada dalam kebersamaan. Kita bisa curhat pencapaian pekerjaan secara bersama-sama. Makanya kita bisa bekerja bersama, dan kemudian hasilnya merupakan kesuksesan bersama-sama. Tidak ada kesuksesan individu kecuali kesuksesan bersama-sama.

Apakah kita bisa bekerja dengan bahagia? Maka jawabannya pada hasil survey yang dilakukan oleh McKinsey, bahwa kita harus bekerja dengan purpose dengan tujuan yang jelas, bukan hanya sekedar bertujuan memperoleh gaji, menjadi pejabat tetapi untuk mencapai keridlaan Allah. Lalu kita harus bekerja dengan hope atau harapan, yaitu harapan memperoleh keridlaan Allah dan bukan harapan setiap bulan memperoleh gaji. Jika kita bekerja untuk keridloan Allah, maka kerja kita itu akan menjadi ibadah. Gaji dan lain-lain dapat dan ibadah dapat. Terakhir kita harus memiliki friendship atau perkawanan. Jika kita bekerja dengan sahabat atau kawan, maka kita akan bisa sukses bersama dan beban yang berat akan terasa ringan. Berat sama dipikul ringan sama dijinjing.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

ALQUR’AN KITAB ETOS KERJA

ALQUR’AN KITAB ETOS KERJA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Puasa memang menjadi ajang untuk kita belajar agama. Di dalam puasa ini, maka ada banyak acara keagamaan yang diselenggarakan oleh berbagai kalangan, termasuk juga dunia usaha. Bulan puasa merupakan bulan yang dimanfaatkan oleh umat Islam untuk berlomba-lomba ibadah, termasuk banyak sekali acara-acara pengajian, baik di televisi, media social dan juga di perkantoran dan perusahaan.

Saya memperoleh kesempatan untuk memberikan ceramah pada pimpinan dan karyawan PT Sarana Pembayaran Syariah Jakarta. Sebuah perusahaan yang didirikan oleh Pak Rudy Ramli, dan saya, Pak Desy Natalegawa, Pak Munir dan Pak Zaki menjadi Komisaris perusahaan ini. Meskipun perusahaan ini digawangi oleh para karyawan dengan berbagai latar agamanya, tetapi tidak menutup peluang untuk terlibat di dalam meramaikan bulan puasa, yang dikenal sebagai bulan keberagamaan. Acara ini diiukti oleh direktur utama, Pak Bakti Mudiazko, Pak Fahri dan seluruh jajaran staf PT SPS. Acara diselenggarakan via zoom pada 28 April 2022.

Ada beberapa hal yang saya sampaikan di dalam acara ini, yaitu: Pertama, perlunya bersyukur atas nikmat Allah. Betapa banyaknya nikmat Tuhan, Allah SWT kepada kita semua. Nikmat bisa bekerja, nikmat kesehatan, nikmat keberkahan, nikmat bisa hidup berkecukupan. Nikmat yang besar adalah nikmat keamanan sehingga kita bisa bekerja, beribadah, dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk berkehidupan keluarga, dan bermasyarakat.

Jika kita semakin banyak bersyukur, maka Allah akan menambah kenikmatan untuk kita. Alqur’an menjelaskan: “lain syakartum la aziidannakum”. (QS Ibrahim: 7). Artinya: “sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu”. Firman Allah: Wa in ta’uddu ni’matallaha la tuhsusu”. (QS. An Nahl: 18). Artinya: “jika engkau menghitung nikmat Allahnikmat Allah, maka kalian tidak akan sanggup menghitungnya”.

Allah juga Maha Kasih kepada hambanya. Di antara bukti kasih sayang Tuhan, Allah SWT, kepada kita adalah dengan diturunkannya agama. Agama merupakan pedoman bagi seluruh manusia untuk melakukan kebaikan dan menolak kejahatan. Sebagai pedoman kehidupan, maka agama mengajarkan etika atau moral agar manusia bisa hidup dengan kedamaian, ketenteraman dan kebahagiaan. Agama berisi pedoman tentang keyakinan kepada Allah, rasulnya, kitab sucinya, takdir atau kepastiannya dan hari akhir.  Selain itu juga ajaran ibadah atau ritual dan moralitas atau akhlak.

Kedua, Tidak ada satu agamapun yang tidak mengajarkan moralitas. Di dalam Islam terdapat akhlak al karimah (perilaku yang agung),  Buddha mengajarkan dharma, Kristen/Katolik mengajarkan kasih sayang dan sebagainya. Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW mengajarkan agar manusia memiliki akhlak yang sempurna dan menjadikan agama sebagai agama yang merahmati kepada seluruh alam. Hadits Nabi Muhammad SAW: “Innamaa buitstu liutammima makaarimal akhlaaq, yang artinya: sesungguhnya akhu diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia)”. Hadits Riwayat Al Baihaqi.

Jadi Nabi Muhammad SAW diturunkan Allah dengan kitab suci Alqur’an agar menjadi pedoman untuk berperilaku yang baik dan mulia. Kemuliaan manusia diukur dari perilaku yang baik, menyayangi manusia lain melalui ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Islam tidak hanya mengajarkan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam) tetapi juga mengajarkan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama warga negara). Ketiga, Tidak ada yang meragukan bahwa Alqur’an sebagai Kitab Suci terakhir yang diturunkan kepada umat manusia merupakan kitab yang lengkap.

Islam tidak hanya berisi tentang akidah dan ibadah, tetapi berisi pedoman untuk semua aktivitas umat manusia. Ekonomi, sosial, budaya dan bahkan politik. Sebagai pedoman umum dan khusus maka tentu agar menjadi pedoman yang sempurna maka diturunkan juga sunnah Nabi Muhammad SAW yang kemudian dikodifikasi menjadi hadits Nabi Muhammad SAW. Islam mengajarkan agar manusia beribadah kepada Allah SWT sebagaimana firmannya: “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun”. (QS. Adzariyat: 56). Artinya: “dan tidak kami ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. Islam mengajarkan agar manusia mengubah nasibnya dengan melakukan perubahan pada dirinya. Sebagaimana  firmannya: “innallaha la yughayyiru ma biqaumin hatta yughayyiru ma bi anfusihim”.   (QS. Ar Ra’dua: 11). Artinya: “sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya”.

Islam mengajarkan keseimbangan. Terus beribadah tetapi juga terus berusaha. Allah berfirman: “Wabtaghi fiima ataakallaahu daaral aakhirata wa laa tansa nashiibaka minad dunya”. (QS: Al Qashshah: 77). Artinya: “dan carilah (pahala) negeri Akhirat dengan apa yang sudah diaugerahkan kepadamu,  tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia”.

Poinnya, bahwa manusia harus berusaha untuk kehidupan di dunia karena kita hidup di dunia, tetapi kehidupan dunia adalah jembatan menuju kepada kehidupan akhirat. Dunia harus dapat dan akhirat harus dapat. Ada maqalah yang berbunyi: I’mal lidunyaka kaannaka ta’isyu abadan wa’mal li akhiratika kaannaka tamutu ghadan. Status sebagai hadits diperdebatkan oleh para ulama. Artinya: “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok”.

Alqur’an sangat menghargai orang yang berusaha atau menjadi enterprener. Di dalam sejarah Nabi Muhammad sebelum menjadi rasul adalah pedagang. Beliau dangat dipercaya di dalam dunia perdagangan. Pernah beberapa kali pulang pergi ke Syam untuk menjadi pengusaha. islam sangat menghargai usaha. Oleh karena itu, ingatlah the power of enterpreneurship. Makanya  kita harus berusaha sebagaimana pesan alqur’an. Bismillah  selamat dunia dan akhirat.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

DARI TAYUBAN KE THAYYIBAN: TRADISI LOKAL YANG BERUBAH

DARI TAYUBAN KE THAYYIBAN: TRADISI LOKAL YANG BERUBAH

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Indonesia adalah surganya tradisi. Negeri yang elok dengan nyiur melambai dan rayuan pulau kelapa ini memang memiliki pesona alam yang luar biasa. Jika dibandingkan dengan negeri-negeri di Timur Tengah, maka pantaslah kalau Indonesia disebut sebagai serpihan surga di dunia. Di dalam Kitab Suci Alqur’an disebutkan bahwa surga itu digambarkan sebagai adanya  sungai dengan air mengalir, dengan pepohonan yang indah dan sejuk dan gambaran keindahan sebagaimana alam Indonesia.

Di negara-negara  Timur Tengah, maka sepanjang mata memandang hanya ada bentangan hamparan padang pasir. Jika kita naik mobil dari Medinah ke Mekah atau sebaliknya, maka sepanjang itu pula kita melihat hamparan gunung batu, padang pasir dan tanah yang kering kerontang. Pemandangan gunung bukan menghijau seperti di Indonesia dengan tumbuhan dan pepohonan yang lebat, tetapi adalah  gundukan batu hitam yang menjulang ke atas dengan sangat sedikit tumbuhan perdu yang meranggas karena tidak ada hujan yang secara regular membasahi tanah tersebut.

Memang di beberapa tempat sudah terdapat pohon-pohonan, misalnya di Mekkah atau Madinah akan tetapi pohon-pohon tersebut didesain dengan pengairan yang cukup dari hasil sulingan air laut yang dijadikan air tawar. Jadi untuk membiayai pohon-pohon tersebut tentu membutuhkan anggaran yang besar. Sama dengan pemandangan di sekitar Sungai Nil,  dari Kairo ke Alexandria, di Mesir yang menjadi lahan  industry minuman buah-buahan, maka tanah di sekitarnya bisa produktif karena teknologi pertanian yang sangat mahal.

Karena  tanahnya yang tandus, maka kehidupan masyarakatnya bukanlah masyarakat pertanian yang penuh dengan ritual-ritual yang bertujuan untuk menyeimbangkan antara lingkungan hidup dengan proses dan produk pertanian. Kehidupan orang Arab adalah kehidupan kaum pedagang. Dan sama dengan penduduk di tempat lain yang ekonominya berbasis perdagangan, maka ritual tersebut tidaklah menjadi instrument utama untuk menyeimbangkan antara dunia alam sekitar dengan proses dan produk perdagangan. Itulah sebabnya di Arab juga kering dengan upacara-upacara ritual tidak sebagaimana di Indonesia, yang kebanyakan penduduknya adalah kaum petani.

Indonesia merupakan negeri upacara. Kita kenal ada upacara kenegaraan, upacara ritual dan upacara dalam tradisi local. Sedemikian banyak upacara tersebut maka nyaris setiap daerah dan suku bangsa memiliki upacaranya sendiri. Coba tengoklah di Bali, Pulau Dewata, maka hampir semua kehidupan masyarakatnya dipenuhi dengan upacara-upacara. Termasuk di Jawa dan wilayah lainnya. Masing-masing tradisi memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri meskipun memiliki tujuan yang nyaris sama adalah upacara liminalitas dengan tujuan untuk keselamatan dalam lingkaran kehidupan. (Imron Rosyadi dan Mevy Nurhalizah, Ed., Upacara Liminalitas di Indonesia, Upacara Kenegaraan, Keagamaan dan Tradisi Nusantara, 2021).

Di Indonesia, upacara-upacara tradisional atau upacara local nyaris sudah semuanya berkolaborasi dengan tradisi Islam. Yaitu sebuah proses dialog jangka panjang yang melibatkan actor atau agen tradisi local dan actor atau agen tradisi Islam yang saling berkolaborasi untuk menghasilkan tradisi Islam local.   Di pesisir Tuban misalnya akan dijumpai tradisi petik laut, yang sudah mengadaptasi ajaran Islam di dalamnya. Misalnya terdapat acara tahlilan, yasinan, dan pengajian tetapi juga masih didapati acara tayuban. Acara tayuban adalah acara beksan yang melibatkan waranggana  atau sindir atau perempuan penari dan juga lelaki yang melakukan beksan. Di wilayah pesisir Madura juga dijumpai tradisi Rokat Tasek, yang terus dilestarikan yang juga merupakan kolaborasi antara tradisi Islam dan tradisi local. Semua menggambarkan bahwa sudah tidak lagi terdapat tradisi local yang sebenar-benarnya local kecuali memang sudah berubah menjadi lebih Islami.

Di pesisir utara Jawa Timur agak ke selatan, juga dijumpai tradisi-tradisi yang bisa diidentifikasi sebagai tradisi Islam local. Di masa lalu, upacara di kuburan atau nyadran  murni dilakukan dengan membuang makanan di wilayah makam desa, kemudian upacara sedekah bumi di sumur juga murni dilakukan dengan upacara membuang sebagian kecil makanan di area sumur dan terdapat acara tandaan atau tayuban dan tidak dijumpai acara-acara keagamaan. Semua dilakukan sesuai dengan pemahaman masyarakat tentang upacara-upacara ini. Namun sekarang tradisi ini nyaris tidak dijumpai. Selamatan masih dilakukan tetapi inti upacara bukan lagi “perayaan sindiran atau tayuban” akan tetapi menjadi tahlilan dan yasinan serta pengajian. Inilah yang di dalam karya akademis  (Nur Syam, Islam Pesisir, 2005), saya sebut sebagai perubahan dari tayuban ke thayyiban. Dari perayaan dengan tarian dan beksan menjadi acara keislaman.

Upacara-upacara lingkaran hidup seperti pernikahan, kematian, upacara kehamilan dan sebagainya juga sudah dilakukan dengan intinya adalah upacara keselamatan dengan menggunakan simbol-simbol keislaman. Semua upacara sudah didesain dengan menggunakan konten keislaman, sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat dimaksud.

Di antara perubahan tersebut tentu disebabkan oleh semakin intensifnya pembelajaran ilmu keislaman yang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan dan juga pengajian-pengajian yang dilakukan di mushalla atau masjid. Proses islamisasi yang tersendat di masa lalu, sekarang sudah semakin terbuka dan dampaknya adalah perubahan-perubahan tentang proses dan pemaknaan tradisi Islam local sebagaimana ekpressinya pada masyarakat pedesaan.

Tidak ada yang abadi di dalam kehidupan ini termasuk juga tindakan upacara-upacara dalan tradisi local, yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Maka, kita bisa jumpai di dalam kehidupan masyarakat, bahwa terdapat perubahan yang sangat mendalam mengenai upacara dalam tradisi local. Dari tradisi local menjadi tradisi Islam local, dari tayuban ke thayyiban.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

HALAL BIL HALAL ALA PEDESAAN

HALAL BIL HALAL ALA PEDESAAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Di dalam hati saya yang mendalam sesungguhnya sangat nyaman  untuk hidup di pedesaan. Hidup yang tenang dan damai di tengah usia yang semakin merambat senior. Untuk tidak menyebut tua. Tua itu kala usia sudah di atas 80 tahun. Saya masih 60-an, sehingga masih belum layak disebut sebagai tua. Di pagi hari bisa didengar nyanyian burung-burung di sekitar rumah. Maklum masih banyak pepohonan sehingga burung tentu suka berterbangan di antara pepohonan, untuk mencari makanan dan sekaligus bernyanyi menyambut pagi yang cerah.

Kira-kira jarak 100 meter dari rumah masih terdapat pohon beringin yang menghijau dan kala saya kecil pohon beringin itu sudah ada. Rasanya usianya sudah ratusan tahun. Pohon itu berada di sekitar sumur wali, yang oleh kakek saya dinyatakan sebagai sumur Mbah Mutamakin, seorang ulama sunni yang pernah menetap di Tuban dan kemudian pindah ke Kajen dan mendirikan pesantren di sana. Selain itu juga terdapat pohon beringin besar yang hidup di makam desa Sembungrejo dan di situ terdapat makam Syekh Mboka Mbaki atau Syekh Abdul Baqi dan juga Mbah Kandang yang merupakan generasi kedua dalam proses penyebaran Islam di tlatah Tuban dan sekitarnya. Makam Syekh Abdul Baqi sudah direnovasi pada tahun 2020 yang lalu, sehingga nyaman digunakan untuk orang yang berziarah ke makam ini. Sedangkan makam Mbah Kandang belum direnovasi. Tidak tahu kapan nanti akan dibenahi.

Masyarakat desa adalah pekerja keras. Di tengah kehidupan yang terasa berat, tetapi mereka melakukannya dengan riang. Dengan bersepeda motor mereka mengambil rumput dari ladang atau hutan untuk makanan hewan ternaknya. Ngarit  adalah satu instilah untuk menggambarkan bagaimana mereka mencari rumput untuk ternak. Di masa lalu, mereka menggunakan sepeda ongkel atau dibawa dengan keranjang rumput atau ditali dengan kuat untuk dibawa jalan kaki dengan rumput dipikul di atas pundak. Mikul  adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana rumput dibawa pulang dari hutan atau tegalan.

Dengan memiliki binatang ternak, khususnya sapi, maka kehidupan mereka menjadi terjamin. Sapi brahman menjadi idola di desa-desa. Nyaris semua rumah tangga memiliki sapi jenis ini. Sapi Jawa atau Sapi Madura nyaris sudah tidak diternak. Dengan berternak sapi maka mereka bisa membeli sepeda motor. Nyaris satu rumah ada dua sepedah motor. Satu untuk bekerja dan satu lainnya untuk jalan-jalan. Bahkan akhir-akhir ini sepeda motor besar, seperti PCX atau NMAX sudah banyak berlalu Lalang. Padahal harga sepeda motor jenis ini dua kali lipat dibanding harga sepeda motor lainnya. Setahu saya, kehidupan mereka sudah mengalami kecukupan. Tidak kaya tetapi juga tidak miskin. Cukupanlah.

Di masa lalu, tahun 1970-an,  untuk memperoleh air hanya dapat diperoleh melalui sumur wali. Dan kemudian ada beberapa orang yang membikin sumur. Tetapi sekarang setiap rumah sudah memiliki sumur bor sendiri-sendiri. Sudah tidak ada lagi orang yang mengambil air dari sumur dengan timba, tali,  kerekan. Di masa lalu, orang mengambil air di sumur dengan buyung atau wadah air yang terbuat dari tanah liat seperti tempayan. Sekarang untuk menaikkan air tinggal memutar kran maka air mengalir dengan deras. Masyarakat benar-benar sudah merasakan kenikmatan kehidupan di tengah kehidupan yang kompleks.

Wabah gadget juga sudah melanda wilayah pedesaan. Nyaris semua sudah menggunakan HP android, sehingga memungkinkan mereka saling terkoneksi. Orang yang usainya di bawah 50 tahun sudah mengenal teknologi informasi. Terutama WhatApps. Content you tube sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Bahkan tidak hanya orang dewasa, anak-anak usia TK dan SD sudah terbiasa main game dengan HP orang tuanya atau HP-nya sendiri. Maklum di era Pandemi Covid-19  anak-anak bersekolah dengan menggunakan HP sebagai media belajar on line. Jika di masa lalu no hp in the class, sekarang the class is  in HP”. Untuk anak-anak mengakses HP,  orang pedesaan jauh lebih bebas, sebab orang tua tidak memberikan control yang memadai. Dibiarkan anak-anaknya main HP, sebab orang tuanya pada sibuk bekerja.

Tidak terkecuali di hari raya ini. Anak-anak dan orang tua yang datang bersilaturrahmi, maka yang tidak terlupakan adalah HP. Bahkan kala orang tuanya berbicara dengan tuan rumah, maka anak-anaknya asyik main game. Sungguh pemandangan yang “menyedihkan” sebab anak-anak bisa mengakses berbagai konten you tube, baik yang layak maupun tidak layak. Tetapi tetap ada yang menarik dan nyaris tidak berubah adalah tradisi untuk silaturrahmi. Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang nyaris sudah tidak ada silaturahmi bahkan tetangga sekalipus. Di pedesaan masih kental tradisi kunjung rumah dari yang muda ke yang tua.

Makanya pada 1 Syawal 1443 H atau 2 Mei 2022, tepat hari raya, maka banyak terjadi acara silaturrahmi. Tidak terhitung berapa jumlah yang datang ke rumah saya. Satu keluarga terdiri dari bapak, ibu dan anak-anak pada terlibat dengan acara silaturrahmi. Bagi yang anak ditradisikan untuk berbagi-bagi uang recehan. Pecahan uang lima ribuan atau puluhan ribuan. Uang dua ribuan sudah tidak laku untuk angpao itu. Anak-anak senang dengan mendapatkan uang jajan. Begitu dapat langsung beli jajan. Makanya jajan pabrikan menjadi laris manis. Sayangnya yang dibeli adalah jajan chiki-chikian yang rentan dengan bahan-bahan pengawet. Untungnya anak-anak pedesaan sudah memiliki kekebalan untuk makan jajanan ini.

Yang unik dari hari raya idul fithri di pedesaan, khususnya Desa Sembungrejo, adalah silaturrahmi hanya terjadi pada hari raya pertama. Hari raya kedua dan ketiga sudah nyaris tidak ada lagi acara silaturrahmi. Pada hari kedua mereka sudah kembali bekerja sebagaimana semula. Ada yang ke sawah, ladang dan persil  atau tanah perhutani yang ditanami jagung atau kacang tanah. Dan juga sudah pergi mencari rerumputan atau daun-daunan untuk makanan ternak.

Jadi pada hari kedua, saya sudah bisa istirahat karena seharian kemarin sampai semalam masih banyak tamu yang datang. Keluarga dari luar desa tentu datangnya malam hari. Setahun sekali kita bertemu. Jadi saya sudah bisa menulis lagi.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

MERAWAT  BUDAYA ISLAM LOKAL MERAWAT INDONESIA

MERAWAT  BUDAYA ISLAM LOKAL MERAWAT INDONESIA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Kala wayang diharamkan oleh Kholid Basalamah untuk menjawab pertanyaan tentang hukum wayang, dan dinyatakan hukumnya haram, maka saya merasa bahwa ada pemahaman dari para penceramah agama yang “bertentangan” dengan Keislaman dan Keindonesiaan. Pertentangan tersebut tentu didasari oleh paham keagamaan bahwa semua yang tidak ada di dalam Islam menurut pahamnya dianggap sebagai suatu “penyimpangan”dan hukumnya  pasti haram. Jadi ada dua saja pemahaman tentang apapun di dunia ini, yaitu haram dan halal.

Yang haram tentu akan menuai siksa ketika dilakukan, dan yang halal tentu akan menuai pahala jika dilakukan. Jadi begitulah cara memahami kebudayaan sebagai sesuatu yang menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Makanya, wayang kemudian dianggap sebagai haram karena tidak didapatkan contohnya di dalam sunnah Nabi Muhammad SAW. Saya tidak paham bahwa  rebana, hadrah, tarian Arab, atau music irama padang pasir juga haram karena tidak pernah dilakukan atau dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Jika tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dianggap sebagai haram, maka hal tersebut pastilah juga haram.

Di dalam pemahaman saya yang awam, maka semua tradisi itu bisa menjadi halal, haram, makruh, sunnah atau mubah. Jika pemahamannya hanya ada dua saja tentang hukum Islam, maka saya kira di Indonesia sebagai negeri muslim terbesar juga terlalu banyak yang bisa menjadi haram. Bayangkan jika seluruh suku bangsa di Indonesia memiliki tradisinya masing-masing, maka berapa banyak tradisi local yang haram. Jika di setiap suku bangsa terdapat  tradisi local, maka akan terdapat ribuan   budaya local yang haram. Apalagi tradisi local di Indonesia merupakan kekhasan budaya yang tidak dijumpai di negeri-negara Timur Tengah, khususnya  di Saudia Arabia.

Indonesia dikenal sebagai negeri ribuan budaya. Hal ini bukan sekedar ungkapan tanpa realita dan makna akan tetapi merupakan kenyataan. Di seluruh penjuru negeri ini terdapat ribuan  tradisi yang diusung oleh masing-masing suku bangsa, baik tradisi keagamaan, ritual keagamaan, dan tradisi yang berasal dan dikembangkan oleh masing-masing suku bangsa. Tradisi tersebut bisa berwujud tradisi asli daerah, tradisi hasil kolaborasi dengan budaya pendatang, bisa juga tradisi yang dikemas dalam coraknya yang khas. Tradisi tersebut juga bisa berupa kolaborasi antara tradisi local dengan tradisi keagamaan.

Sebagaimana yang saya konsepsikan sebagai Islam kolaboratif, yaitu tradisi Islam yang merupakan produk dialog jangka panjang antara Islam dan tradisi local berbasis pada ruang budaya dan penggolongan sosial keagamaan yang kemudian menghasilkan Islam yang khas, yaitu Islam kolaboratif. (Nur Syam, Islam Pesisir, 2005). di Indonesia sangat banyak dijumpai tradisi Islam local dimaksud, misalnya tradisi yasinan, yang merupakan kolaborasi antara ajaran Islam untuk membaca Alqur’an dan tradisi selamatan yang khas Jawa dan kemudian menjadi tradisi yasinan.

Lalu tradisi tahlilan yang merupakan kolaborasi antara membaca kalimat tauhid la ilaha illallah dengan tradisi slametan di Nusantara  kemudian menjadi tradisi tahlilan. Tradisi barjanjenan merupakan hasil kolaborasi antara music Jawa dengan bacaan-bacaan pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Di Aceh misalnya dijumpai  tradisi atau tarian Shaman yang merupakan kolaborasi antara music khas Aceh dengan bacaan-bacaan puja dan puji kepada Nabi Muhammad SAW. Tarian ini merupakan tradisi khas tarekat dan tradisi local.

Bukan itu saja. tradisi Islam local seperti  tradisi manaqib yang dilakukan di Nusantara juga merupakan kolaborasi antara ajaran membaca teladan spiritual  dengan tradisi selamatan. Upacara ini menggunakan  Nasi Uduk atau Nasi Gurih, dan  harus dimasak oleh orang yang tidak sedang haidl. Bahkan harus dalam keadaan berwudlu. Apakah hal ini lalu dihukumi dengan bidh’ah dhalalah atau haram hukumnya? Tentu tidak. Acaranya mubah tetapi membaca keteladanan religiositas adalah keharusan untuk peringatan bagi umat Islam.

Wayang yang tradisi aslinya berasal dari India, dan digunakan sebagai kesenian sesuai dengan religiositas masyarakat di India, lalu di dalam proses Islamisasi dijadikan sebagai medium dakwah dengan memodifikasi konten dan jalan ceritanya, maka hal tersebut juga dianggap sebagai kebolehan.    Konten  dan cerita wayang tersebut sudah disesuaikan  dengan tradisi yang berkembang kala itu.  Upaya untuk memasukkan ajaran Islam di dalam dunia pewayangan di masa lalu dilakukan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga sebagai instrument dakwah, dan beberapa tahun terakhir digubah lagi oleh Ki Dalang Mbeling Entus Susmono, dalang dan Bupati Tegal Jawa Tengah. Sayang usia Ki Dalang Entus tidak panjang sehingga inovasinya tersebut menjadi “tersendat”. Maka hukum wayang bukan haram tetapi mubah. Boleh dilakukan dengan mempertimbangkan konten dan ceritanya yang bernafaskan ajaran moralitas bagi masyarakat.

Indonesia ini merupakan negeri yang plural dan multicultural. Makanya janganlah kemudian segala yang berbeda dengan tafsir sekelompok orang, misalnya kaum Salafi, lalu ingin dihomogenisasikan. Jika ini yang ingin dilakukan, maka sebenarnya telah menebar angin perpecahan dan disharmoni. Kita tentu tidak ingin negeri yang damai dan aman, negeri yang warga negaranya saling menghormati dan menghargai, yang toleran dan harmoni itu menjadi kacau balau, menjadi negeri dengan konflik sosial berbasis agama berkepanjangan.

Jadi janganlah “menebar angin agar tidak menuai badai”. Mari kita renungkan bahwa setiap yang kita lakukan tentu akan membawa konsekuensi bagi masing-masing. Kita semua ingin agar Indonesia kita ini tetap menjadi negeri yang aman, damai, tenteram dan sejahtera dengan mengedepankan persyaratan kita semua memahami perbedaan yang memang dikehendaki oleh Allah SWT.

Wallahu a’lam bi al shawab.