DARI TAYUBAN KE THAYYIBAN: TRADISI LOKAL YANG BERUBAH
DARI TAYUBAN KE THAYYIBAN: TRADISI LOKAL YANG BERUBAH
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Indonesia adalah surganya tradisi. Negeri yang elok dengan nyiur melambai dan rayuan pulau kelapa ini memang memiliki pesona alam yang luar biasa. Jika dibandingkan dengan negeri-negeri di Timur Tengah, maka pantaslah kalau Indonesia disebut sebagai serpihan surga di dunia. Di dalam Kitab Suci Alqur’an disebutkan bahwa surga itu digambarkan sebagai adanya sungai dengan air mengalir, dengan pepohonan yang indah dan sejuk dan gambaran keindahan sebagaimana alam Indonesia.
Di negara-negara Timur Tengah, maka sepanjang mata memandang hanya ada bentangan hamparan padang pasir. Jika kita naik mobil dari Medinah ke Mekah atau sebaliknya, maka sepanjang itu pula kita melihat hamparan gunung batu, padang pasir dan tanah yang kering kerontang. Pemandangan gunung bukan menghijau seperti di Indonesia dengan tumbuhan dan pepohonan yang lebat, tetapi adalah gundukan batu hitam yang menjulang ke atas dengan sangat sedikit tumbuhan perdu yang meranggas karena tidak ada hujan yang secara regular membasahi tanah tersebut.
Memang di beberapa tempat sudah terdapat pohon-pohonan, misalnya di Mekkah atau Madinah akan tetapi pohon-pohon tersebut didesain dengan pengairan yang cukup dari hasil sulingan air laut yang dijadikan air tawar. Jadi untuk membiayai pohon-pohon tersebut tentu membutuhkan anggaran yang besar. Sama dengan pemandangan di sekitar Sungai Nil, dari Kairo ke Alexandria, di Mesir yang menjadi lahan industry minuman buah-buahan, maka tanah di sekitarnya bisa produktif karena teknologi pertanian yang sangat mahal.
Karena tanahnya yang tandus, maka kehidupan masyarakatnya bukanlah masyarakat pertanian yang penuh dengan ritual-ritual yang bertujuan untuk menyeimbangkan antara lingkungan hidup dengan proses dan produk pertanian. Kehidupan orang Arab adalah kehidupan kaum pedagang. Dan sama dengan penduduk di tempat lain yang ekonominya berbasis perdagangan, maka ritual tersebut tidaklah menjadi instrument utama untuk menyeimbangkan antara dunia alam sekitar dengan proses dan produk perdagangan. Itulah sebabnya di Arab juga kering dengan upacara-upacara ritual tidak sebagaimana di Indonesia, yang kebanyakan penduduknya adalah kaum petani.
Indonesia merupakan negeri upacara. Kita kenal ada upacara kenegaraan, upacara ritual dan upacara dalam tradisi local. Sedemikian banyak upacara tersebut maka nyaris setiap daerah dan suku bangsa memiliki upacaranya sendiri. Coba tengoklah di Bali, Pulau Dewata, maka hampir semua kehidupan masyarakatnya dipenuhi dengan upacara-upacara. Termasuk di Jawa dan wilayah lainnya. Masing-masing tradisi memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri meskipun memiliki tujuan yang nyaris sama adalah upacara liminalitas dengan tujuan untuk keselamatan dalam lingkaran kehidupan. (Imron Rosyadi dan Mevy Nurhalizah, Ed., Upacara Liminalitas di Indonesia, Upacara Kenegaraan, Keagamaan dan Tradisi Nusantara, 2021).
Di Indonesia, upacara-upacara tradisional atau upacara local nyaris sudah semuanya berkolaborasi dengan tradisi Islam. Yaitu sebuah proses dialog jangka panjang yang melibatkan actor atau agen tradisi local dan actor atau agen tradisi Islam yang saling berkolaborasi untuk menghasilkan tradisi Islam local. Di pesisir Tuban misalnya akan dijumpai tradisi petik laut, yang sudah mengadaptasi ajaran Islam di dalamnya. Misalnya terdapat acara tahlilan, yasinan, dan pengajian tetapi juga masih didapati acara tayuban. Acara tayuban adalah acara beksan yang melibatkan waranggana atau sindir atau perempuan penari dan juga lelaki yang melakukan beksan. Di wilayah pesisir Madura juga dijumpai tradisi Rokat Tasek, yang terus dilestarikan yang juga merupakan kolaborasi antara tradisi Islam dan tradisi local. Semua menggambarkan bahwa sudah tidak lagi terdapat tradisi local yang sebenar-benarnya local kecuali memang sudah berubah menjadi lebih Islami.
Di pesisir utara Jawa Timur agak ke selatan, juga dijumpai tradisi-tradisi yang bisa diidentifikasi sebagai tradisi Islam local. Di masa lalu, upacara di kuburan atau nyadran murni dilakukan dengan membuang makanan di wilayah makam desa, kemudian upacara sedekah bumi di sumur juga murni dilakukan dengan upacara membuang sebagian kecil makanan di area sumur dan terdapat acara tandaan atau tayuban dan tidak dijumpai acara-acara keagamaan. Semua dilakukan sesuai dengan pemahaman masyarakat tentang upacara-upacara ini. Namun sekarang tradisi ini nyaris tidak dijumpai. Selamatan masih dilakukan tetapi inti upacara bukan lagi “perayaan sindiran atau tayuban” akan tetapi menjadi tahlilan dan yasinan serta pengajian. Inilah yang di dalam karya akademis (Nur Syam, Islam Pesisir, 2005), saya sebut sebagai perubahan dari tayuban ke thayyiban. Dari perayaan dengan tarian dan beksan menjadi acara keislaman.
Upacara-upacara lingkaran hidup seperti pernikahan, kematian, upacara kehamilan dan sebagainya juga sudah dilakukan dengan intinya adalah upacara keselamatan dengan menggunakan simbol-simbol keislaman. Semua upacara sudah didesain dengan menggunakan konten keislaman, sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat dimaksud.
Di antara perubahan tersebut tentu disebabkan oleh semakin intensifnya pembelajaran ilmu keislaman yang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan dan juga pengajian-pengajian yang dilakukan di mushalla atau masjid. Proses islamisasi yang tersendat di masa lalu, sekarang sudah semakin terbuka dan dampaknya adalah perubahan-perubahan tentang proses dan pemaknaan tradisi Islam local sebagaimana ekpressinya pada masyarakat pedesaan.
Tidak ada yang abadi di dalam kehidupan ini termasuk juga tindakan upacara-upacara dalan tradisi local, yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Maka, kita bisa jumpai di dalam kehidupan masyarakat, bahwa terdapat perubahan yang sangat mendalam mengenai upacara dalam tradisi local. Dari tradisi local menjadi tradisi Islam local, dari tayuban ke thayyiban.
Wallahu a’lam bi al shawab.