HALAL BIL HALAL ALA PEDESAAN
HALAL BIL HALAL ALA PEDESAAN
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Di dalam hati saya yang mendalam sesungguhnya sangat nyaman untuk hidup di pedesaan. Hidup yang tenang dan damai di tengah usia yang semakin merambat senior. Untuk tidak menyebut tua. Tua itu kala usia sudah di atas 80 tahun. Saya masih 60-an, sehingga masih belum layak disebut sebagai tua. Di pagi hari bisa didengar nyanyian burung-burung di sekitar rumah. Maklum masih banyak pepohonan sehingga burung tentu suka berterbangan di antara pepohonan, untuk mencari makanan dan sekaligus bernyanyi menyambut pagi yang cerah.
Kira-kira jarak 100 meter dari rumah masih terdapat pohon beringin yang menghijau dan kala saya kecil pohon beringin itu sudah ada. Rasanya usianya sudah ratusan tahun. Pohon itu berada di sekitar sumur wali, yang oleh kakek saya dinyatakan sebagai sumur Mbah Mutamakin, seorang ulama sunni yang pernah menetap di Tuban dan kemudian pindah ke Kajen dan mendirikan pesantren di sana. Selain itu juga terdapat pohon beringin besar yang hidup di makam desa Sembungrejo dan di situ terdapat makam Syekh Mboka Mbaki atau Syekh Abdul Baqi dan juga Mbah Kandang yang merupakan generasi kedua dalam proses penyebaran Islam di tlatah Tuban dan sekitarnya. Makam Syekh Abdul Baqi sudah direnovasi pada tahun 2020 yang lalu, sehingga nyaman digunakan untuk orang yang berziarah ke makam ini. Sedangkan makam Mbah Kandang belum direnovasi. Tidak tahu kapan nanti akan dibenahi.
Masyarakat desa adalah pekerja keras. Di tengah kehidupan yang terasa berat, tetapi mereka melakukannya dengan riang. Dengan bersepeda motor mereka mengambil rumput dari ladang atau hutan untuk makanan hewan ternaknya. Ngarit adalah satu instilah untuk menggambarkan bagaimana mereka mencari rumput untuk ternak. Di masa lalu, mereka menggunakan sepeda ongkel atau dibawa dengan keranjang rumput atau ditali dengan kuat untuk dibawa jalan kaki dengan rumput dipikul di atas pundak. Mikul adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana rumput dibawa pulang dari hutan atau tegalan.
Dengan memiliki binatang ternak, khususnya sapi, maka kehidupan mereka menjadi terjamin. Sapi brahman menjadi idola di desa-desa. Nyaris semua rumah tangga memiliki sapi jenis ini. Sapi Jawa atau Sapi Madura nyaris sudah tidak diternak. Dengan berternak sapi maka mereka bisa membeli sepeda motor. Nyaris satu rumah ada dua sepedah motor. Satu untuk bekerja dan satu lainnya untuk jalan-jalan. Bahkan akhir-akhir ini sepeda motor besar, seperti PCX atau NMAX sudah banyak berlalu Lalang. Padahal harga sepeda motor jenis ini dua kali lipat dibanding harga sepeda motor lainnya. Setahu saya, kehidupan mereka sudah mengalami kecukupan. Tidak kaya tetapi juga tidak miskin. Cukupanlah.
Di masa lalu, tahun 1970-an, untuk memperoleh air hanya dapat diperoleh melalui sumur wali. Dan kemudian ada beberapa orang yang membikin sumur. Tetapi sekarang setiap rumah sudah memiliki sumur bor sendiri-sendiri. Sudah tidak ada lagi orang yang mengambil air dari sumur dengan timba, tali, kerekan. Di masa lalu, orang mengambil air di sumur dengan buyung atau wadah air yang terbuat dari tanah liat seperti tempayan. Sekarang untuk menaikkan air tinggal memutar kran maka air mengalir dengan deras. Masyarakat benar-benar sudah merasakan kenikmatan kehidupan di tengah kehidupan yang kompleks.
Wabah gadget juga sudah melanda wilayah pedesaan. Nyaris semua sudah menggunakan HP android, sehingga memungkinkan mereka saling terkoneksi. Orang yang usainya di bawah 50 tahun sudah mengenal teknologi informasi. Terutama WhatApps. Content you tube sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Bahkan tidak hanya orang dewasa, anak-anak usia TK dan SD sudah terbiasa main game dengan HP orang tuanya atau HP-nya sendiri. Maklum di era Pandemi Covid-19 anak-anak bersekolah dengan menggunakan HP sebagai media belajar on line. Jika di masa lalu no hp in the class, sekarang the class is in HP”. Untuk anak-anak mengakses HP, orang pedesaan jauh lebih bebas, sebab orang tua tidak memberikan control yang memadai. Dibiarkan anak-anaknya main HP, sebab orang tuanya pada sibuk bekerja.
Tidak terkecuali di hari raya ini. Anak-anak dan orang tua yang datang bersilaturrahmi, maka yang tidak terlupakan adalah HP. Bahkan kala orang tuanya berbicara dengan tuan rumah, maka anak-anaknya asyik main game. Sungguh pemandangan yang “menyedihkan” sebab anak-anak bisa mengakses berbagai konten you tube, baik yang layak maupun tidak layak. Tetapi tetap ada yang menarik dan nyaris tidak berubah adalah tradisi untuk silaturrahmi. Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang nyaris sudah tidak ada silaturahmi bahkan tetangga sekalipus. Di pedesaan masih kental tradisi kunjung rumah dari yang muda ke yang tua.
Makanya pada 1 Syawal 1443 H atau 2 Mei 2022, tepat hari raya, maka banyak terjadi acara silaturrahmi. Tidak terhitung berapa jumlah yang datang ke rumah saya. Satu keluarga terdiri dari bapak, ibu dan anak-anak pada terlibat dengan acara silaturrahmi. Bagi yang anak ditradisikan untuk berbagi-bagi uang recehan. Pecahan uang lima ribuan atau puluhan ribuan. Uang dua ribuan sudah tidak laku untuk angpao itu. Anak-anak senang dengan mendapatkan uang jajan. Begitu dapat langsung beli jajan. Makanya jajan pabrikan menjadi laris manis. Sayangnya yang dibeli adalah jajan chiki-chikian yang rentan dengan bahan-bahan pengawet. Untungnya anak-anak pedesaan sudah memiliki kekebalan untuk makan jajanan ini.
Yang unik dari hari raya idul fithri di pedesaan, khususnya Desa Sembungrejo, adalah silaturrahmi hanya terjadi pada hari raya pertama. Hari raya kedua dan ketiga sudah nyaris tidak ada lagi acara silaturrahmi. Pada hari kedua mereka sudah kembali bekerja sebagaimana semula. Ada yang ke sawah, ladang dan persil atau tanah perhutani yang ditanami jagung atau kacang tanah. Dan juga sudah pergi mencari rerumputan atau daun-daunan untuk makanan ternak.
Jadi pada hari kedua, saya sudah bisa istirahat karena seharian kemarin sampai semalam masih banyak tamu yang datang. Keluarga dari luar desa tentu datangnya malam hari. Setahun sekali kita bertemu. Jadi saya sudah bisa menulis lagi.
Wallahu a’lam bi al shawab.