MERAWAT BUDAYA ISLAM LOKAL MERAWAT INDONESIA
MERAWAT BUDAYA ISLAM LOKAL MERAWAT INDONESIA
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Kala wayang diharamkan oleh Kholid Basalamah untuk menjawab pertanyaan tentang hukum wayang, dan dinyatakan hukumnya haram, maka saya merasa bahwa ada pemahaman dari para penceramah agama yang “bertentangan” dengan Keislaman dan Keindonesiaan. Pertentangan tersebut tentu didasari oleh paham keagamaan bahwa semua yang tidak ada di dalam Islam menurut pahamnya dianggap sebagai suatu “penyimpangan”dan hukumnya pasti haram. Jadi ada dua saja pemahaman tentang apapun di dunia ini, yaitu haram dan halal.
Yang haram tentu akan menuai siksa ketika dilakukan, dan yang halal tentu akan menuai pahala jika dilakukan. Jadi begitulah cara memahami kebudayaan sebagai sesuatu yang menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Makanya, wayang kemudian dianggap sebagai haram karena tidak didapatkan contohnya di dalam sunnah Nabi Muhammad SAW. Saya tidak paham bahwa rebana, hadrah, tarian Arab, atau music irama padang pasir juga haram karena tidak pernah dilakukan atau dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Jika tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dianggap sebagai haram, maka hal tersebut pastilah juga haram.
Di dalam pemahaman saya yang awam, maka semua tradisi itu bisa menjadi halal, haram, makruh, sunnah atau mubah. Jika pemahamannya hanya ada dua saja tentang hukum Islam, maka saya kira di Indonesia sebagai negeri muslim terbesar juga terlalu banyak yang bisa menjadi haram. Bayangkan jika seluruh suku bangsa di Indonesia memiliki tradisinya masing-masing, maka berapa banyak tradisi local yang haram. Jika di setiap suku bangsa terdapat tradisi local, maka akan terdapat ribuan budaya local yang haram. Apalagi tradisi local di Indonesia merupakan kekhasan budaya yang tidak dijumpai di negeri-negara Timur Tengah, khususnya di Saudia Arabia.
Indonesia dikenal sebagai negeri ribuan budaya. Hal ini bukan sekedar ungkapan tanpa realita dan makna akan tetapi merupakan kenyataan. Di seluruh penjuru negeri ini terdapat ribuan tradisi yang diusung oleh masing-masing suku bangsa, baik tradisi keagamaan, ritual keagamaan, dan tradisi yang berasal dan dikembangkan oleh masing-masing suku bangsa. Tradisi tersebut bisa berwujud tradisi asli daerah, tradisi hasil kolaborasi dengan budaya pendatang, bisa juga tradisi yang dikemas dalam coraknya yang khas. Tradisi tersebut juga bisa berupa kolaborasi antara tradisi local dengan tradisi keagamaan.
Sebagaimana yang saya konsepsikan sebagai Islam kolaboratif, yaitu tradisi Islam yang merupakan produk dialog jangka panjang antara Islam dan tradisi local berbasis pada ruang budaya dan penggolongan sosial keagamaan yang kemudian menghasilkan Islam yang khas, yaitu Islam kolaboratif. (Nur Syam, Islam Pesisir, 2005). di Indonesia sangat banyak dijumpai tradisi Islam local dimaksud, misalnya tradisi yasinan, yang merupakan kolaborasi antara ajaran Islam untuk membaca Alqur’an dan tradisi selamatan yang khas Jawa dan kemudian menjadi tradisi yasinan.
Lalu tradisi tahlilan yang merupakan kolaborasi antara membaca kalimat tauhid la ilaha illallah dengan tradisi slametan di Nusantara kemudian menjadi tradisi tahlilan. Tradisi barjanjenan merupakan hasil kolaborasi antara music Jawa dengan bacaan-bacaan pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Di Aceh misalnya dijumpai tradisi atau tarian Shaman yang merupakan kolaborasi antara music khas Aceh dengan bacaan-bacaan puja dan puji kepada Nabi Muhammad SAW. Tarian ini merupakan tradisi khas tarekat dan tradisi local.
Bukan itu saja. tradisi Islam local seperti tradisi manaqib yang dilakukan di Nusantara juga merupakan kolaborasi antara ajaran membaca teladan spiritual dengan tradisi selamatan. Upacara ini menggunakan Nasi Uduk atau Nasi Gurih, dan harus dimasak oleh orang yang tidak sedang haidl. Bahkan harus dalam keadaan berwudlu. Apakah hal ini lalu dihukumi dengan bidh’ah dhalalah atau haram hukumnya? Tentu tidak. Acaranya mubah tetapi membaca keteladanan religiositas adalah keharusan untuk peringatan bagi umat Islam.
Wayang yang tradisi aslinya berasal dari India, dan digunakan sebagai kesenian sesuai dengan religiositas masyarakat di India, lalu di dalam proses Islamisasi dijadikan sebagai medium dakwah dengan memodifikasi konten dan jalan ceritanya, maka hal tersebut juga dianggap sebagai kebolehan. Konten dan cerita wayang tersebut sudah disesuaikan dengan tradisi yang berkembang kala itu. Upaya untuk memasukkan ajaran Islam di dalam dunia pewayangan di masa lalu dilakukan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga sebagai instrument dakwah, dan beberapa tahun terakhir digubah lagi oleh Ki Dalang Mbeling Entus Susmono, dalang dan Bupati Tegal Jawa Tengah. Sayang usia Ki Dalang Entus tidak panjang sehingga inovasinya tersebut menjadi “tersendat”. Maka hukum wayang bukan haram tetapi mubah. Boleh dilakukan dengan mempertimbangkan konten dan ceritanya yang bernafaskan ajaran moralitas bagi masyarakat.
Indonesia ini merupakan negeri yang plural dan multicultural. Makanya janganlah kemudian segala yang berbeda dengan tafsir sekelompok orang, misalnya kaum Salafi, lalu ingin dihomogenisasikan. Jika ini yang ingin dilakukan, maka sebenarnya telah menebar angin perpecahan dan disharmoni. Kita tentu tidak ingin negeri yang damai dan aman, negeri yang warga negaranya saling menghormati dan menghargai, yang toleran dan harmoni itu menjadi kacau balau, menjadi negeri dengan konflik sosial berbasis agama berkepanjangan.
Jadi janganlah “menebar angin agar tidak menuai badai”. Mari kita renungkan bahwa setiap yang kita lakukan tentu akan membawa konsekuensi bagi masing-masing. Kita semua ingin agar Indonesia kita ini tetap menjadi negeri yang aman, damai, tenteram dan sejahtera dengan mengedepankan persyaratan kita semua memahami perbedaan yang memang dikehendaki oleh Allah SWT.
Wallahu a’lam bi al shawab.