• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

RINDU MUDIK: MASYARAKAT DAN HARI RAYA

RINDU MUDIK: MASYARAKAT DAN HARI RAYA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tidak ada yang lebih menyenangkan bagi masyarakat Indonesia kecuali bisa melakukan mudik atau pulkam pada waktu hari raya. Suatu kebahagiaan di hari raya adalah bisa berkumpul keluarga besar dengan segala pernak-perniknya yang berupa kue-kue produk daerah dan juga minuman khas daerah. Sungguh masyarakat bisa melampiaskan rasa rindunya tersebut pada tahun 2022 M atau tahun 1443 H setelah dua tahun tidak bisa mudik karena Pandemi Covid-19.

Pada tahun ini, maka pemerintah memberikan kelonggaran, bahkan Presiden Jokowi juga menyatakan dan diunggah di berbagai media sosial tentang kebolehan untuk melakukan mudik dengan mempertahankan protocol Kesehatan. Menurut Pak Presiden, bahwa yang sudah vaksin booster, maka bebas tidak terkena aturan harus rapid test atau PCR. Itulah sebabnya, masyarakat berbondong-bondong untuk vaksin booster agar bisa mudik dengan bebas. Termasuk saya juga mengikuti vaksin booster, karena jarak antara vaksin kedua dan vaksin booster sudah selama enam bulan. Keluarga saya semuanya sudah melakukan vaksin booster tentu terkait dengan keinginan agar semakin baik ketahanan tubuh atau herd immunity.

Sebegitu pentingnya mudik atau pulkam sehingga masyarakat rela untuk macet berjam-jam di jalanan. Bahkan putri saya dan keluarganya juga harus melalui perjalanan panjang dari Bekasi ke Tuban via tol selama 17 Jam. Dari Bekasi jam 6.00 WIB lalu sampai di Ngawi jam 22.00 WIB dan kemudian lewat jalur Ngawi, Padangan, Senori, Montong dan Merakurak dan akhirnya sampai di rumah pukul 24.00 WIB. Tetapi rona kebahagiaan itu tetaplah terpancar meskipun berjam-jam di atas mobil dengan tiga anaknya yang masih kecil-kecil.

Inilah makna pulkam, yaitu ingin memperoleh kebahagiaan bersama keluarga besarnya. Semua keluarga memang berkumpul di rumah Embahnya di Desa Semampir Sembungrejo, Merakurak Tuban. Yang dari Surabaya juga pada hari H Idul Fitri semuanya datang di sini. Kerinduan akan bertemu dengan seluruh saudara sekandung dan juga keluarga besar dapat mengalahkan rasa capai dan keletihan sebagai akibat perjalanan yang macet karena semuanya memiliki keinginan yang sama, pulang kampung. Kemudian, pada hari ketiga dari hari raya, maka semua keluarga saya berkumpul di Desa Kutogirang, Ngoro Mojokerto. Perjalanan ini harus ditempuh selama lima jam. Biasanya kalau bukan hari raya cukup waktu tiga jam saja. Gilirannya kita bertemu di rumah Embahnya di desa tersebut.

Ritual pulkam ini adalah ciri khas Islam keindonesiaan. Tidak didapati tradisi ini di negara lain meskipun sesama umat Islam. Tradisi pulkam  tentu dimulai pada saat semakin banyaknya orang-orang desa yang bermigrasi ke kota. Urbanisasi dari desa ke kota  menyebabkan akhirnya semakin banyak yang datang ke kota. Tentu ada yang berhasil. Merekalah yang kemudian menjadi factor pendorong dan penarik terjadinya urbanisasi di Indonesia. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Semarang, Makasar, Padang, Palembang dan Medan lalu banyak pendatang yang mengais rezeki di sana. Pada waktu hari raya itulah momentum mereka pulkam untuk kembali ke desa dalam rangka bernostalgia dan bertemu dengan kerabat dan sahabatnya.

Saya memang belum pernah merasakan mudik dari Jakarta ke Surabaya. Tetapi nyaris setiap tahun juga harus pulkam ke Tuban dan Mojokerto. Dua lokasi yang harus saya datangi sebagai ekspresi penghormatan kepada orang tua.  Di sinilah momentum untuk memohon maaf atas semua kekhilafan dan kesalahan dari anak kepada orang tua. Saya dahulu diajari oleh Bapak saya dalam Bahasa Jawa untuk menyatakan: “ngaturaken sedoyo kalepatan kulo ingkang mboten angsal izine syara’ mugi lebur dinten niki,   nyuwun pangapunten lahir lan batin”.  Yang artinya: menghaturkan segala kekehilafan saya atas perilaku yang tidak sesuai dengan syariat moga terhapuskan hari ini, mohon maaf lahir dan batin”. Ucapan ini masih saya jadikan sebagai pedoman kala saya harus memohon maaf kepada orang tua dan juga kepada orang yang lebih tua ketimbang saya serta kerabat-kerabat saya yang sepadan usianya.

Ucapan seperti ini sudah jarang kita dengar dari anak-anak muda. Generasi muda sekarang lebih efektif dalam meminta maaf, misalnya dengan perkataan: “minal aidzin wal faizin, maaf ya atas semua kesalahan”. Bahkan ada yang lebih efektif dengan menyatakan: “nol nol ya” atau pernyataan: maaf bro”. Ucapan ini adalah ungkapan kesetaraan dan persahabatan. Tentu tidak kurang dalam berbagai ucapan ini, sebab intinya adalah memohon maaf atas kesalahan yang pernah dilakukannya.

Dua tahun terakhir kita melakukan mudik dengan media sosial. Mudik virtual atau pulkam virtual. Rasanya mudik virtual tidak dapat mewakili perasaan yang sesungguhnya dalam bersilaturrahmi. Tidak ada “getaran” bertemunya mata dengan mata, ucapan dengan ucapan, tangan dengan tangan  dan hati dengan hati. Permohonan ampunan dengan media sosial hanya memenuhi kewajiban saja tetapi tidak memenuhi hasrat hati dan perasaan. Inilah yang hilang di dalam silaturahmi virual, pulkam virtual atau mudik virtual. Meskipun kita bisa menggunakan video call, akan tetapi tidak mampu untuk menghadirkan fisik dan batin sekaligus, jasad dan nafsu sekaligus. Makanya, tetap ada yang kurang dalam mudik virtual.

Pada tahun 2022 ini sungguh telah terjadi perubahan yang sangat drastic dalam berbagai aspek kehidupan. Masjid dan lapangan penuh sesak dengan jamaah shalat idul fitri, jalanan penuh sesak dengan mobil untuk mudik, tempat rekreasi penuh dengan pengunjung,  hotel dan restoran juga penuh dengan pendatang. Semua menjadi indicator bahwa roda keagamaan, ekonomi dan sosial budaya juga sudah bergerak ke arah yang positif.

Para politisi juga sibuk unjuk diri dengan baliho ucapan hari raya, menyelenggarakan open house, memberikan santunan dan melakukan berbagai hal sebagai citra diri orang yang “bersahabat” dan “peduli” dengan kehidupan sosial. Apapun tujuannya bahwa hari raya memang moment yang tepat untuk melakukan kebaikan-kebaikan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PERBEDAAN HARI RAYA DI INDONESIA

PERBEDAAN HARI RAYA DI INDONESIA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Pada kesempatan pulang kampung (pulkam) saya berkesempatan untuk memberikan ceramah pada jamaah shalat tarawih di Mushalla Raudlatul Jannah Desa Semampir Sembungrejo, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban. Mushalla ini dibangun tahun 1992 pada saat saya masih menetap di desa ini. Alhamdulillah semenjak dibangun hingga sekarang mushallah ini masih digunakan untuk jamaah shalat rawatib dan juga acara tahlilan dan yasinan dari Ibu-ibu jamaah tahlil di des aini.

Jamaah shalat tarawih kira-kira 40 orang terdiri dari lelaki, perempuan dan anak-anak. Sebagaimana lazimnya di pedesaan, maka tarawih dilakukan sebanyak 20 rakaat dan witir 3 rakaat. Senang juga mengikuti tarawih ini, sebab ada banyak bacaan dzikir dan wirid yang dilakukan. Bacaan-bacaan ini mengingatkan masa kecil saya yang bahagia kala bulan ramadlan khas anak-anak. Rasanya seperti memutar jarum jam ke belakang di kala saya bermain-main menjelang atau sesudah shalat tarawih.

Kehidupan beragama di pedesaan memang penuh dengan simbol-simbol. Ekspressi keberagamaan tersebut dilambangkan dengan dzikir, wirid atau pujian kepada Allah dan Rasulullah qabla wa bakda shalat. Berjanjenan dan asyarakalan juga dilantunkan hampir setiap pekan. Biasanya malam jum’at. Ekspressi keberagamaan seperti ini sudah jarang kita temui di perkotaan yang masyarakatnya sudah rasional dengan kehidupan individualisme yang semakin mengental. Sementara itu acara-acara tersebut tentu mengharuskan kehadiran secara fisikal secara bersama-sama.  Suatu  hal yang sudah sulit dilakukan di perkotaan.Keberagamaan masyarakat pedesaan berciri khas paguyuban. Karena itu kebersamaan menjadi ciri khas dalam relasi sosialnya.

Di dalam kuliah tujuh menit (kultum) ini saya sampaikan tiga hal, yaitu: pertama, perlunya kita bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan kepada kita, terutama nikmat Kesehatan. Dengan Kesehatan yang diberikan Allah, maka kita bisa menjalankan puasa yang sudah memasuki malam dua puluh Sembilan (malem sanga) dan juga bisa tarawih secara bersama-sama. Adakah yang melebihi nikmat Allah yang berupa Kesehatan ini. Allah di dalam Surat Ar Rahman menyatakan: “fabiayyi ala’i  rabbikuma tukadz dziban” yang artinya: “nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan”.

Kedua, di dunia ini ada dua system kalender. Yaitu system kalender qamariyah atau berbasis bulan, dan system kalender Masihiyah yang berbasis matahari. System kalender qamariyah atau kalender Islam dimulai dengan peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dan system kalender Masihiyah ditetapkan pada zaman Yulius Caesar sebagai basis penetapan kalender masihiyah. Jika usia kalender Islam baru berusia 1443 H, maka kalender masehiyah sudah berusia 2022 tahun. Usia hari adalah 24 jam. Meskipun demikian hitungan hari untuk satu bulan sebanyak 31 hari atau 30 hari dan bahkan ada yang 29 hari dan 28 hari. Sedangkan usia hari dalam satu bulan qamariyah sebenarnya 29,5 hari, sehingga terkadang diajukan menjadi 29 hari dan terkadang diundur menjadi 30 hari. Maka lama hari dalam bulan bervariasi antara 29 dan 30 hari. Oleh karena itu terkadang kita puasa 29 hari atau 30 hari. Jadi kalau kita puasa 29 hari tidak berarti puasa kita kurang sehari, karena anggapan bahwa dalam satu bulan mestilah berusia 30 hari. Dengan demikian kita sah puasa 29 hari atau 30 hari.

Ketiga, di Indonesia ini terdapat keunikan. Di antaranya adalah tentang pelaksanaan puasa. Ada perbedaan di antara umat Islam dalam menentukan kapan awal ramadlan dan kapan mengakhiri ramadlan. Setelah beberapa tahun kita bisa menyelenggarakan puasa secara bersamaan waktunya, maka tahun 2022 ditandai dengan perbedaan, yaitu Golongan Muhammadiyah mengawali puasa pada hari Sabtu, dan NU serta Kementerian Agama menetapkan awal puasa pada hari Ahad. Jadi selisih sehari. Perbedaan ini dipicu oleh metode penentuan awal bulan yang berbeda antara Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah menggunakan metode hisab dengan konsep wujudul hilal, sementara NU menggunakan metode rukyatul hilal dengan konsep imkanur rukyah. Wujudul hilal  diketahui melalui perhitungan dan jika ketinggian hilal sudah berada di dalam posisi di atas nol derajat  ke atas maka hilal sudah dinyatakan wujud dan konsekuensinya esok hari sudah ganti tanggal. Sedangkan bagi NU yang menggunakan metode rukyat atau penglihatan mata (menggunakan telescope) maka hilal dianggap sudah wujud jika sudah bisa dilihat dengan mata. Jika karena terhalang penglihatannya, misalnya cuaca, maka ditentukan berdasarkan imkanur rukyat (memungkinkan dilihat) yaitu hilal berketinggian 2 derajat. Karena perbedaan tentang ketinggian hilal ini, maka dua organisasi ini tidak bertemu dalam menentukan awal ramadlan dan akhir ramadlan. Kecuali Ketika ketinggian hilal mencapai 2 derajat ke atas. Bahkan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) sudah membuat kriteria baru bahwa imkanur rukyah terjadi jika tinggi hilal sudah mencapai 3 derajat.

Sesungguhnya di Indonesia itu terdapat kebebasan yang sangat tinggi bahkan di dalam urusan agama. Termasuk di dalamnya dalam menentukan kapan kita akan memulai ibadah puasa dan kapan mengakhirinya. Di negara lain, yang menentukan kapan mulai puasa dan kapan mengakhiri puasa menjadi kewenangan pemerintah. Namun satu hal yang penting bahwa perbedaan ini tidak mengoyak ukhuwah Islamiyah yang sudah terjalin dengan baik.

Jadi Sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa “ikhtilafu ummati rahmah” atau artinya “perbedaandi antara umatku adalah rahmah” sungguh terjadi dengan baiknya di Indonesia. Oleh karena itu, marilah kita pahami bahwa perbedaan dalam menentukan awal dan akhir puasa hanyalah urusan tafsir agama saja, sehingga tidak akan menggoyahkan sendi-sendi agama, baik Alqur’an maupun hadits Nabi Muhammad SAW.

Wallahu a’lam bi al shawab.

TAHUN MUDIK DI INDONESIA

TAHUN MUDIK DI INDONESIA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tahun ini perasaan senang saya berlipat-lipat, sebab saya bisa mudik atau pulkam lebih awal seirama dengan hari libur untuk anak sekolah dan perkantoran yang cukup lama. Tujuan kepulangannya saya ke rumah kampung adalah menjenguk orang tua saya, Emak yang tinggal di rumah di pedesaan Tuban Jawa Timur. Itu adalah keperluan saya yang utama selain itu sebagaimana biasanya juga untuk acara kirim doa bagi leluhur saya yang sudah meninggal. Termasuk tradisi masyarakat di pedesaan Jawa bahwa pada saat menjelang akhir ramadlan, maka juga melakukan acara ziarah kubur. Sambang ke rumah masa depan.

Tahun ini seluruh keluarga saya datang di Tuban. Anak saya, Shiefta Dyah Alyusi dan keluarganya juga menyempatkan datang ke Tuban dari Jakarta. Demikian pula anak saya Dhuhratul Rizkiyah dan keluarganya juga datang di Tuban dari Surabaya. Demikian pula anak saya Shiefti Dyah Alyusi juga datang bersama keluarganya dari Surabaya. Ternyata cucu saya sudah delapan orang. Sebagai anak tunggal tentu merupakan kebahagiaan bahwa tiga anak saya perempuan telah melahirkan anak-anaknya dan semuanya dalam keadaan sehat wal afiat.

Mereka semua berkumpul di rumah Embahnya, Hj. Turmiatun, karena rumahnya cukup untuk menampung 18 orang yang datang bersamaan. Rumah di Desa Sembungrejo Kecamatan Merakurak ini rumah lama dan telah direnovasi tahun 1990 sesuai dengan kebutuhan. Tetapi yang paling menggembirakan tentu Emak yang masih sehat wal afiat meskipun usianya sudah 80 tahun. Masih bisa berjalan dan juga shalat berjamaah. Bahkan pada waktu puasa ini masih bisa puasa sepenuhnya dan juga shalat tarawih berjamaah setiap malam.

Gelegak keinginan untuk mudik memang luar biasa. Indikatornya adalah banyaknya orang yang melakukan vaksin booster. Waktu itu ditentukan bahwa untuk mudik harus memenuhi persyaratan, seperti sudah vaksin booster atau bagi yang baru vaksin kedua harus test antigen dan bagi yang baru sekali harus test PCR. Itulah sebabnya terjadi percepatan vaksinasi Covid-19 dalam kuantitasnya.

Perjalanan lewat jalan tol Jakarta ke Jawa Timur juga mengalami kemacetan meskipun sudah dilakukan upaya buka tutup untuk satu jalur dari Jakarta ke wilayah timur. Akan tetapi banyaknya pemudik ke luar Jakarta terutama ke Semarang, Yogyakarta dan Surabaya sehingga kemacetan tidak bisa dihindari. Perjalanan dari Jakarta ke Semarang bisa ditempuh dalam waktu 12 jam. Dari jam 05.00 WIB dan sampai Semarang jam 18.00 WIB. Hal ini menjadi indicator banyaknya pemudik keluar dari Jakarta ke kota-kota lain di Jawa dan Indonesia pada umumnya.

Jauh-jauh hari pemerintah sudah mengingatkan bahwa mudik kali ini akan mengalami kemacetan, sebab diperkirakan ada sebanyak 25.000 sampai 30.000 kendaraan yang akan melewati jalan tol trans-Jawa. Di masa non mudik, maka jarak Jakarta ke Surabaya bisa ditempuh selama 8-9 jam. Tetapi seirama dengan diberlakukannya pembatasan kecepatan kendaraan di jalan tol maksimal 100 KM perjam maka perjalanan menjadi lebih lama sedikit. Dan untuk kepentingan ini, pemerintah sudah mengantisipasi dengan CCTV sepanjang jalur dari Surabaya ke Jakarta dan sekitarnya.

Membeludaknya pemudik pada hari raya Idul Fithri ini tentu dipicu oleh kebijakan pemerintah untuk membebaskan mudik di seluruh wilayah Indonesia. Dua tahun terakhir di saat Covid-19 masih  menular dengan cepat, maka pemerintah “melarang” mudik dengan tujuan agar tidak terjadi kasus penularan baru Covid-19. Dua tahun terakhir wilayah mudik ditentukan oleh pemerintah daerah dengan ketentuan telah memenuhi standart minimal penularan Covid-19.

Seirama dengan berakhirnya Pandemi Covid-19 maka pemerintah memberikan kebebasan bagi warga negara Indonesia untuk menikmati hari raya bahkan dengan cuti bersama yang lumayan panjang. Inilah sebabnya mudik menjadi semacam “kewajiban” bagi para perantau untuk pulkam agar bisa bertemu dengan keluarga dan melakukan aktivitas sebagaimana sebelum terjadi wabah Covid-19.

Melalui kebijakan pelonggaran jarak sosial dan juga jarak fisik maka telah terjadi lonjakan kegiatan ekonomi. Pasar-pasar tradisional kembali bergerak ekonominya, restaurant dan hotel juga semakin ramai. Aktivitas ekonomi kembali normal sehingga perkembangan ekonomi juga menjadi semakin membaik. Para pedagang mulai bersemangat, para pekerja juga telah melakukan kerja di kantor, para mahasiswa sudah masuk ke ruang kelas, para siswa juga sudah melakukan aktivitas pembelajaran di kelas.

Kita tentu berharap semoga Covid-19 benar-benar berakhir sehingga roda ekonomi, sosial, agama dan budaya segera kembali sebagaimana semula. Dengan berakhirnya masa wabah Covid-19 berarti menandai kembalinya aktivitas masyarakat sebagaimana sedia kala. Dan di antara lambang kehidupan normal adalah dengan terjadinya jumlah pemudik dari kota satu ke kota lainnya khususnya dari Jakarta ke kota-kota di Indonesia. Kita sungguh terus berdoa semoga wabah Covid-19 segera berakhir di bumi Nusantara.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PUASA DALAM PERSPEKTIF KESEHATAN FISIK DAN JIWA

PUASA DALAM PERSPEKTIF KESEHATAN FISIK DAN JIWA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Saya mendapatkan tugas untuk memberikan ceramah sesuai dengan jadwal saya, yaitu hari Ahad. Setiap hari Ahad saya harus menjalankan tugas ceramah tujuh menit (kultum) ba’da Shalat Isya’ sebelum shalat Tarawih di Masjid Al Ihsan, kali ini untuk tanggal 17/04/2022. Sebagaimana biasa ceramah ini saya mulai dengan membaca Surat Alfatihah, semoga dengan membaca Surat Alfatihah maka segala urusan kita dimudahkan oleh Allah dan diberikan berkah di dalam kehidupan kita. ‘ala hadiyin niyah wa ‘ala kulli niyatin shalihah alfatihah…

Kali ini saya akan memberikan materi tentang “Puasa dalam Perspektif Kesehatan”. Sebuah hadits Nabi Muhammad SAW, dinyatakannya: “shumu tasihhu”. Yang artinya: “Berpuasalah kamu agar kamu sehat”. Jadi puasa menjadi salah satu instrument dalam kerangka untuk memperoleh kesehatan. Di dalam Islam, kesehatan itu tidak hanya terkait dengan kesehatan fisik dan juga kesehatan non fisik (jiwa). Kesehatan fisik dapat dibuktikan dengan ketiadaan penyakit di dalam tubuh. Artinya tidak bersarang penyakit apapun di dalam tubuh manusia. Misalnya: sakit maag, sakit jantung, sakit paru-paru, kolesterol, asam urat, diabet, sakit kepala dan penyakit lain yang mengganggu fisik. Puasa sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad SAW dapat menjadi instrument untuk mengeliminasi banyak penyakit. Dan apakah benar bahwa puasa dapat menghilangkan sejumlah penyakit, maka Prof. Yoshinori Ohsumi, pemenang Hadiah Nobel Kesehatan dari Jepang telah melakukan penelitian dan ternyata “puasa dapat menjadi salah satu upaya untuk menjaga kesehatan”.

Konsep yang digunakan adalah autopaghy yang artinya memakan diri sendiri. Di dalam konsep kesehatan adalah kemampuan sel dalam tubuh untuk memakan atau menghancurkan komponen tertentu di dalam sel itu sendiri. Jadi ketika puasa berlangsung maka ada sel-sel dalam tubuh yang tidak fungsional kemudian diperbaiki atau didegradasi. (Tribunnews.com 31/05/2019). Jadi, ada kebenaran dari Sabda Nabi Muhammad SAW tentang puasa sebagai sarana menjaga kesehatan dilihat dari kajian science. Tidak hanya puasa Ramadlan saja yang bisa menghasilkan kesehatan fisik tetapi juga puasa sunnah lain misalnya puasa Senin dan Kamis, atau puasa Dawud dan puasa sunnah lainnya. Jika akhir-akhir ini banyak dilakukan berbagai jenis diet untuk menguruskan atau mengurangi berat badan, maka sesungguhnya inspirasinya dari puasa sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Bagi masyarakat Nusantara, khususnya masyarakat Jawa yang memiliki kedalaman spiritualitas, maka puasa merupakan instrumen untuk menggapai tujuan kehidupan yaitu bertemunya roh dalam dirinya dengan Tuhannya. Di antara yang sungguh dapat menjadi instrument adalah puasa. Di dalam cerita-cerita kewalian, maka Kanjeng Sunan Kalijaga melakukan puasa dan bersemedi atau  shalat daim untuk bertemu dengan Tuhan melalui pasa mbatang atau puasa di atas air dalam waktu yang lama. Maka juga terdapat pasa pati geni, pasa ngebleng, pasa mutih dan sebagainya. Semua ini dilakukan dalam kerangka melatih jiwa atau nafs agar jiwa atau nafsunya menjadi nafsu mutmainnah atau  nafsu yang tenang dan sebagai medium untuk menjalani kehidupan spiritual. Jadi puasa memiliki dimensi batiniyah  yang sangat mendalam.

Puasa tidak hanya menghasilkan kesehatan fisik tetapi juga kesehatan jiwa. Kesehatan jiwa itulah yang disebut sebagai qalbun salim atau hati yang sehat. Di dalam pepatah Arab disebutkan bahwa “Qalbun salim fi jismin salim.  Jadi hati yang sehat ada pada badan yang sehat. Hati sehat adalah hati yang mengarahkan perilaku manusia kepada kebaikan dan kemaslahatan. Bukan hati yang mengarahkan kepada kejelekan dan kemadharatan. Hati yang mengarahkan otak untuk mengatur mekanisme tubuh pada upaya untuk berbuat baik yang sesuai dengan perintah agama. Di dalam Islam disebutkan bahwa hati adalah bagian tubuh yang sangat vital karena menjadi sumber kebaikan atau kejelekan perilaku manusia. Jika hatinya baik maka baiklah seluruh perilakunya dan jika hatinya jelek maka akan jeleklah seluruh perilakunya.

Dengan puasa sebenarnya Allah mengajari manusia agar badannya sehat dan jiwanya juga sehat. Jadi jiwa dan raga bukan raga dan roh. Sebagaimana yang sering saya sebutkan bahwa roh itu netral dan yang mendinamisasi manusia adalah jiwa atau nafsu dan badan atau raga. Hati sebagai tempat bersemayamnya nafsu itu yang mengarahkan otak manusia untuk melakukan sesuatu tindakan dan otak kemudian memenej seluruh perintah hati sesuai dengan yang dipahaminya. Jadi otak bukanlah sumber perintah tetapi coordinator perintah dan anggota tubuh lainnya adalah pasukan yang melakukan perintah.

Puasa kiranya bisa menjadi penyeimbang agar manusia berada di dalam kehidupan yang stabil  antara dunia fisik dengan dunia batin atau dunia fisik dengan jiwa. Puasa sebenarnya merupakan suatu amalan ibadah yang sangat special, sebab tidak ada ibadah yang dapat memberikan keseimbangan antara kesehatan badan dan kesehatan jiwa. Jika keduanya sehat, maka dipastikan bahwa manusia akan melakukan kebaikan sebagaimana perintah agamanya.

Berbahagialah orang yang bisa berpuasa dengan benar, sebab dengan melakukan puasa sesuai dengan perintah Allah maka jaminannya adalah bertemunya roh manusia dengan Tuhan kelak, sebagaimana dinyatakan: “bahwa ada dua kebahagiaan manusia yang berpuasa, yaitu bahagia ketika berbuka dan bahagia ketika bertemu Tuhannya”.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MAKNA PUASA DALAM PERSPEKTIF SOSIAL

MAKNA PUASA DALAM PERSPEKTIF SOSIAL

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Saya mendapatkan tugas untuk memberikan ceramah sesuai dengan jadwal saya, yaitu hari Ahad. Setiap hari Ahad saya harus menjalankan tugas ceramah tujuh menit (kultum) ba’da Shalat Isya’ sebelum shalat Tarawih di Masjid Al Ihsan, kali ini untuk tanggal 17/04/2022. Sebagaimana biasa ceramah ini saya mulai dengan membaca Surat Alfatihah, semoga dengan membaca Surat Alfatihah maka segala urusan kita dimudahkan oleh Allah dan diberikan berkah di dalam kehidupan kita. ‘ala hadiyin niyah wa ‘ala kulli niyatin shalihah alfatihah…

Ada tiga hal yang sampaikan di dalam ceramah ini, yaitu: pertama, marilah kita terus bersyukur atas nikmat Allah yang sedemikian besar untuk kita semua. Nikmat Allah yang besar adalah nikmat kesehatan,  sehingga kita bisa melakukan ibadah puasa dan juga dapat melaksanakan ibadah-ibadah lain sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah. Semoga dengan terus menerus bersyukur kepada Allah zhahiran wa bathinan kemudian Allah akan menambahkan nikmatnya untuk kita semua. Amin.

Kedua, puasa adalah pelatihan sosial untuk kita semua. Allah memang sengaja mengajari kita semua, umat Islam,  untuk berlatih mengembangkan paham, sikap dan tindakan sosial yang relevan dengan kebutuhan kita sebagai manusia. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial. Artinya, manusia merupakan makhluk yang memiliki kebutuhan sosial, selain kebutuhan fisik dan kebutuhan integrative. Kebutuhan sosial adalah kebutuhan untuk bersosialisasi diri dengan lingkungan sosial, sedangkan kebutuhan fisik adalah kebutuhan untuk memenuhi kepentingan fisik (biologis)  dan kebutuhan integrative (gabungan kedua kebutuhan fisik dan sosial) adalah kebutuhan untuk berkasih sayang, berketuhanan dan sebagainya.

Puasa merupakan ajaran untuk melatih manusia agar: 1) memiliki kepekaan sosial. Bisa dinyatakan bahwa puasa merupakan ajaran yang coraknya fisikal artinya menahan makan minum dan perbuatan seksual di siang hari. Selain tentu saja adalah larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan puasa. Melalui puasa manusia diminta untuk merasakan bagaimana rasa lapar, haus dan menahan perbuatan-perbuatan yang bisa membatalkan puasa. Manusia akan merasakan jika pada waktu menjalankan puasa itu lapar dan dahaga, maka orang yang tidak bisa makan juga merasakan hal yang sama. Jika orang lain tidak bebas melakukan perbuatan-perbuatan yang semestinya bisa dilakukan, maka juga demikianlah yang dirasakan orang lain. Maka dengan puasa kita diajari agar memiliki kepekaan sosial. Pemahaman dan perasaan  kita menjadi peka atas penderitaan orang lain.

Jika pemahaman dan perasaan kita sudah peka atas penderitaan orang lain, maka:  2) kita akan memiliki kesadaran untuk membantu yang lain. Kita sadar bahwa di sekeliling kita masih ada banyak orang fakir dan miskin yang memerlukan bantuan kita. Jika hati dan perasaan kita sudah sadar, maka akan menimbulkan kesadaran untuk bertindak sesuai dengan kesadaran tersebut. Kita akan menyayangi orang lain. Kita akan merasakan penderitan orang lain. Kita  akan  berempati pada orang lain. Saya berkeyakinan bahwa puasa yang kita lakukan merupakan instrument untuk kita semua agar di dalam kehidupan ini kita saling menenggang rasa, saling menghargai, saling memberikan kasih sayang dan saling menjaga satu dengan lainnya. Kita merasakan dan menyadari ada orang yang belum beruntung di sekeliling kita. Berdasarkan kajian Badan Pusat Statistik (BPS) masih ada kurang lebih 16,5 juta orang Indonesia yang hidup dalam kemiskinan.

Dari dua hal, yaitu kepekaaan sosial dan kesadaran sosial akhirnya: 3) akan menghadirkan solidaritas sosial. Keunggulan ajaran Islam di antaranya adalah agar manusia memiliki solidaritas sosial. Tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri di dunia ini. Setiap manusia pasti membutuhkan manusia lainnya. Jika kita akan minum air mineral dalam kemasan, maka coba dibayangkan bahwa ada ratusan orang yang terlibat di dalamnya sehingga air mineral tersebut hadir di tengah kita. Ada pekerja, ada perusahaan, ada distributor, ada suppliyer, ada pedagang dan seterusnya sehingga air hadir di depan kita dan kemudian kita bisa meminumnya. Manusia pasti akan membutuhkan pertolongan atas manusia lainnya. Makanya, Islam mengajarkan agar di antara kita saling membangun solidaritas sosial untuk kepentingan kita sendiri.

Ketiga, Islam mengajarkan agar kita saling menolong sebagaimana di dalam AlQur’an: “Ta’awanu ‘alal birri wat taqwa wa la ta’awanu ‘alal itsmi wal ‘udwan”(Surat Al Maidah, ayat 2). Yang artinya: “saling bertolong menolonglah kalian semua dalam kebaikan dan taqwa dan jangan saling bertolong menolong dalam dosa dan kejahatan”. Esensi puasa sesungguhnya adalah instrument untuk mengingatkan manusia agar memahami kembali jati dirinya sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Puasa  merupakan pelatihan agar manusia berbuat kebaikan, maka pada akhirnya juga menghasilkan manusia yang terus berada di dalam aura solidaritas sosial dalam kebaikan.

Sesungguhnya manusia sudah memiliki insting untuk saling menolong. Hanya saja karena pengaruh lingkungan sosial maka insting tersebut sering dikalahkan oleh kebutuhan-kebutuhan lainnya. Maka puasa sebenarnya merupakan salah satu cara yang diberikan Allah kepada manusia untuk membangkitkan kembali solidaritas sosial yang hilang tersebut.

Berbahagialah orang yang bisa mengingat kembali harkat dan martabat manusia untuk saling berbagi, saling memberi dan saling menerima di dalam proporsi yang memungkinkan. Di dalam ajaran puasa terkandung maksud agar manusia berada kembali dalam jalur solidaritas sosial yang merupakan ajaran agama Islam yang agung.

Wallahu a’lam bi al shawab.