PERBEDAAN HARI RAYA DI INDONESIA
PERBEDAAN HARI RAYA DI INDONESIA
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Pada kesempatan pulang kampung (pulkam) saya berkesempatan untuk memberikan ceramah pada jamaah shalat tarawih di Mushalla Raudlatul Jannah Desa Semampir Sembungrejo, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban. Mushalla ini dibangun tahun 1992 pada saat saya masih menetap di desa ini. Alhamdulillah semenjak dibangun hingga sekarang mushallah ini masih digunakan untuk jamaah shalat rawatib dan juga acara tahlilan dan yasinan dari Ibu-ibu jamaah tahlil di des aini.
Jamaah shalat tarawih kira-kira 40 orang terdiri dari lelaki, perempuan dan anak-anak. Sebagaimana lazimnya di pedesaan, maka tarawih dilakukan sebanyak 20 rakaat dan witir 3 rakaat. Senang juga mengikuti tarawih ini, sebab ada banyak bacaan dzikir dan wirid yang dilakukan. Bacaan-bacaan ini mengingatkan masa kecil saya yang bahagia kala bulan ramadlan khas anak-anak. Rasanya seperti memutar jarum jam ke belakang di kala saya bermain-main menjelang atau sesudah shalat tarawih.
Kehidupan beragama di pedesaan memang penuh dengan simbol-simbol. Ekspressi keberagamaan tersebut dilambangkan dengan dzikir, wirid atau pujian kepada Allah dan Rasulullah qabla wa bakda shalat. Berjanjenan dan asyarakalan juga dilantunkan hampir setiap pekan. Biasanya malam jum’at. Ekspressi keberagamaan seperti ini sudah jarang kita temui di perkotaan yang masyarakatnya sudah rasional dengan kehidupan individualisme yang semakin mengental. Sementara itu acara-acara tersebut tentu mengharuskan kehadiran secara fisikal secara bersama-sama. Suatu hal yang sudah sulit dilakukan di perkotaan.Keberagamaan masyarakat pedesaan berciri khas paguyuban. Karena itu kebersamaan menjadi ciri khas dalam relasi sosialnya.
Di dalam kuliah tujuh menit (kultum) ini saya sampaikan tiga hal, yaitu: pertama, perlunya kita bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan kepada kita, terutama nikmat Kesehatan. Dengan Kesehatan yang diberikan Allah, maka kita bisa menjalankan puasa yang sudah memasuki malam dua puluh Sembilan (malem sanga) dan juga bisa tarawih secara bersama-sama. Adakah yang melebihi nikmat Allah yang berupa Kesehatan ini. Allah di dalam Surat Ar Rahman menyatakan: “fabiayyi ala’i rabbikuma tukadz dziban” yang artinya: “nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan”.
Kedua, di dunia ini ada dua system kalender. Yaitu system kalender qamariyah atau berbasis bulan, dan system kalender Masihiyah yang berbasis matahari. System kalender qamariyah atau kalender Islam dimulai dengan peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dan system kalender Masihiyah ditetapkan pada zaman Yulius Caesar sebagai basis penetapan kalender masihiyah. Jika usia kalender Islam baru berusia 1443 H, maka kalender masehiyah sudah berusia 2022 tahun. Usia hari adalah 24 jam. Meskipun demikian hitungan hari untuk satu bulan sebanyak 31 hari atau 30 hari dan bahkan ada yang 29 hari dan 28 hari. Sedangkan usia hari dalam satu bulan qamariyah sebenarnya 29,5 hari, sehingga terkadang diajukan menjadi 29 hari dan terkadang diundur menjadi 30 hari. Maka lama hari dalam bulan bervariasi antara 29 dan 30 hari. Oleh karena itu terkadang kita puasa 29 hari atau 30 hari. Jadi kalau kita puasa 29 hari tidak berarti puasa kita kurang sehari, karena anggapan bahwa dalam satu bulan mestilah berusia 30 hari. Dengan demikian kita sah puasa 29 hari atau 30 hari.
Ketiga, di Indonesia ini terdapat keunikan. Di antaranya adalah tentang pelaksanaan puasa. Ada perbedaan di antara umat Islam dalam menentukan kapan awal ramadlan dan kapan mengakhiri ramadlan. Setelah beberapa tahun kita bisa menyelenggarakan puasa secara bersamaan waktunya, maka tahun 2022 ditandai dengan perbedaan, yaitu Golongan Muhammadiyah mengawali puasa pada hari Sabtu, dan NU serta Kementerian Agama menetapkan awal puasa pada hari Ahad. Jadi selisih sehari. Perbedaan ini dipicu oleh metode penentuan awal bulan yang berbeda antara Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah menggunakan metode hisab dengan konsep wujudul hilal, sementara NU menggunakan metode rukyatul hilal dengan konsep imkanur rukyah. Wujudul hilal diketahui melalui perhitungan dan jika ketinggian hilal sudah berada di dalam posisi di atas nol derajat ke atas maka hilal sudah dinyatakan wujud dan konsekuensinya esok hari sudah ganti tanggal. Sedangkan bagi NU yang menggunakan metode rukyat atau penglihatan mata (menggunakan telescope) maka hilal dianggap sudah wujud jika sudah bisa dilihat dengan mata. Jika karena terhalang penglihatannya, misalnya cuaca, maka ditentukan berdasarkan imkanur rukyat (memungkinkan dilihat) yaitu hilal berketinggian 2 derajat. Karena perbedaan tentang ketinggian hilal ini, maka dua organisasi ini tidak bertemu dalam menentukan awal ramadlan dan akhir ramadlan. Kecuali Ketika ketinggian hilal mencapai 2 derajat ke atas. Bahkan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) sudah membuat kriteria baru bahwa imkanur rukyah terjadi jika tinggi hilal sudah mencapai 3 derajat.
Sesungguhnya di Indonesia itu terdapat kebebasan yang sangat tinggi bahkan di dalam urusan agama. Termasuk di dalamnya dalam menentukan kapan kita akan memulai ibadah puasa dan kapan mengakhirinya. Di negara lain, yang menentukan kapan mulai puasa dan kapan mengakhiri puasa menjadi kewenangan pemerintah. Namun satu hal yang penting bahwa perbedaan ini tidak mengoyak ukhuwah Islamiyah yang sudah terjalin dengan baik.
Jadi Sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa “ikhtilafu ummati rahmah” atau artinya “perbedaandi antara umatku adalah rahmah” sungguh terjadi dengan baiknya di Indonesia. Oleh karena itu, marilah kita pahami bahwa perbedaan dalam menentukan awal dan akhir puasa hanyalah urusan tafsir agama saja, sehingga tidak akan menggoyahkan sendi-sendi agama, baik Alqur’an maupun hadits Nabi Muhammad SAW.
Wallahu a’lam bi al shawab.