• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

JADIKAN KAMI HAMBAMU YANG SUKA BERSYUKUR

JADIKAN KAMI HAMBAMU YANG SUKA BERSYUKUR

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sesungguhnya Allah, Tuhan yang Maha Kuasa, sudah memberikan kepada kita kenikmatan yang tiada taranya. Di antara nikmat yang besar terkait dengan fisik, misalnya adalah nikmat kesehatan. Melalui Kesehatan yang baik, maka kita bisa melaksanakan tugas kita sebagai khalifah fil ardh, untuk membangun peradaban dunia berbasis pada nilai moralitas keagamaan yang kita yakini kebenarannya. Tanpa kesehatan yang memadai, maka kita tidak akan bisa berbuat apa-apa di dalam kehidupan ini.

Coba jika dibayangkan, betapa besar nikmat Allah SWT dengan memberikan oksigen gratis kepada manusia seluruh dunia. Manusia di dunia yang jumlahnya kira-kira 6 (enam) milyar, semua mendapatkan oksigen yang sama dan cukup. Tidak ada yang kurang dan lebih. Semuanya mendapatkan porsi sebagaimana yang diperlukannya. Padahal harga oksigen itu mahal sekali. Apalagi jika terjadi kelangkaan oksigen seperti pada saat terjadinya Covid 19. Harga oksigen menjadi mahal dan tidak terkendali.

Tetapi Allah SWT memberikan oksigen gratis kepada 6 (enam) milyar penduduk dunia tanpa dipungut biaya sedikitpun. Pemberian oksigen gratis tersebut berlaku sepanjang usia manusia, dalam kisaran rata-rata 60-70 tahun. Oleh karena itu tidak pantas jika terdapat manusia yang tidak mensyukuri atas nikmat Allah yang sangat luar biasa kepada umat manusia tersebut. Namun demikian, kenyataannya banyak manusia yang tidak bersyukur kepada Allah bahkan kufur atas nikmat Allah dimaksud.

Rasul Allah adalah orang-orang yang pandai bersyukur, misalnya Nabi Ayyub alaihis salam disebut sebagai “abdan syakura”. Hamba Allah yang pandai bersyukur. Di saat senang, sedih dan sengsara maka tidak ada yang diucapkan dan dilakukannya kecuali bersyukur kepada Allah swt. Nabi Sulaiman alaihis salam, yang kaya raya dan sangat berkuasa juga selalu berdoa agar diberikan kekuatan untuk bersyukur. Dan tidak ada hentinya untuk bersyukur kepada Allah swt.

Nabi Muhammad SAW yang disebut sebagai hamba Allah yang “ma’shum” terlepas dari dosa pun masih terus bertasbih, beristighfar dan bersyukur kepada Allah SWT. Sayyidatina Aisyah pernah menceritakan bahwa Beliau tertidur dan sebelum tertidur beliau melihat Nabi Muhammad SAW melakukan shalat dan dzikir, saat bangun beliau masih melihat Nabi Muhammad SAW masih berdzikir, dan tertidur lagi dan ketika bangun didapati Nabi Muhammad SAW masih berdzikir kepada Allah, maka Aisyah kemudian bertanya kepada Nabi Muhammad SAW: “untuk apa engkau melakukan ini semua ya Rasulullah. Padahal telah diampuni dosa-dosamu yang lampau dan masa datang?. Maka Nabi Muhammad SAW menjawab dengan ketawadhu’an: ‘afala takuna abdan syakura”. Yang artinya: “apakah tidak sepatutnya jika aku   menjadi hamba yang pandai bersyukur”. Nabi Muhammad  SAW yang sudah dijanjikan oleh Allah SWT menjadi orang yang tidak berdosa, yang ma’shum, ternyata masih melakukan shalat dan dzikir bahkan diceritakan kakinya sampai bengkak. Artinya, orang yang dipilih Allah SWT menjadi insan kamil atau manusia sempurna itu ternyata masih mengedepankan ibadah dan bersyukur kepada Allah SWT. Subhanallah.

Ada tiga hal yang menyebabkan kita memang seharusnya bersyukur kepada Allah SWT. Pertama, nikmat individual. Jika kita hitung, maka dipastikan kita tidak mampu menghitung betapa banyaknya nikmat Tuhan kepada kita secara individual. Nikmat biologis, nikmat prestasi, nikmat psikhologis dan sebagainya semuanya menjadi nikmat yang diberikan oleh Allah SWT kepada kita. Nikmat makan dan minum, nikmat seksualitas, nikmat bisa bekerja dan mendapatkan rejeki, nikmat memperoleh jabatan, nikmat memperoleh kesehatan, nikmat mendapatkan kepuasan, nikmat atas rasa aman dan sebagainya yang kita rasakan secara individual.

Kedua,  nikmat berkeluarga. Kita harus bersyukur kepada Allah SWT karena kita bisa berkeluarga. Memiliki istri atau suami, anak-anak, cucu-cucu atau dzurriyah, memiliki orang tua dan mertua yang baik. Melalui keluarga tersebut kita bisa berkasih sayang, bisa memiliki rasa saling memiliki, memiliki kegembiraan, memiliki rasa kepuasan, memiliki rasa tanggungjawab, memiliki penghasilan yang bermanfaat, memiliki tempat tinggal, memiliki rasa damai dan sebagainya. Kita harus bersyukur kepada Allah SWT karena kenikmatan demi kenikmatan yang kita dapatkan ini. Betapa lengkapnya kehidupan yang Allah SWT desain untuk kita. Sungguh Allah tidak pernah membuat kita hidup sia-sia tanpa makna.

Memang ada plus dan minusnya di dalam kehidupan berkeluarga, akan tetapi saya yakin bahwa plusnya atau kebaikannya akan lebih banyak dibanding minusnya atau kekurangannya. Yang penting kita harus memahami apa plus dan minusnya, sehingga kita akan bisa menempatkan diri dan keluarga dalam nuansa yang saling membahagiakan.

Ketiga, nikmat dalam kehidupan sosial. Sebagai anggota masyarakat kita mesti bersyukur. Kita hidup di Indonesia yang aman dan damai, tenteram dan nyaman. Apapun status sosial kita, tetapi yang pasti kita tidak hidup dalam peperangan atau konflik sosial. Kita hidup dalam masyarakat yang mengedepankan perdamaian dan persaudaraan. Kita hidup dalam sebuah negeri yang toto tentrem karto raharjo. Negeri yang aman dan tenteram, yang berkecukupan  dan berkesejahteraan. Memang masih ada yang belum bisa menikmati kesejahteraan sepatutnya, akan tetapi sesungguhnya prasyarat kesejahteraan itu sudah ada, yaitu kerukunan,  keharmonisan  dan keselamatan  di dalam kehidupan. Kita juga dapat beribadah dengan tenang. Kita dapat rekreasi dengan tenang. Kita dapat berkuliner dengan tenang. Kita bahkan dapat menjalankan aktivitas sehari-hari tanpa gangguan dari lingkungan kita.

Oleh  karena itu sudah pantas jika sebagai individu, anggota keluarga dan anggota masyarakat terus bersyukur kepada Allah SWT. Rasanya, nikmat Allah manalagi yang kita dustakan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

TAHLILAN: TRADISI ISLAM LOKAL YANG UNIK

TAHLILAN: TRADISI ISLAM LOKAL YANG UNIK

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Wafatnya Emak Hj. Mutmainnah  mengharuskan dilakukannya acara tahlilan dan yasinan selama tujuh hari berturut-turut. Menyelenggarakan acara tahlilan dan yasinan merupakan acara yang khas pada masyarakat pedesaan, terutama masyarakat NU atau Islam ala ahli sunnah wal jamaah.

Untuk acara yang satu ini tidak diperlukan undangan sebab telah menjadi tradisi turun temurun dari generasi ke generasi di seluruh Nusantara.  Kalau  terdapat seseorang yang meninggal, maka masyarakat akan berbondong-bondong menghadiri acara pemakaman maupun acara tahlilan dan yasinan. Selama mereka itu orang NU baik NU structural maupun kultural, maka dipastikan akan menghadiri acara tahlilan dan yasinan untuk keluarga yang terkena musibah kematian.

Sebagai bagian dari keluarga ini, maka saya jug mengharuskan diri  untuk terlibat di dalam acara dimaksud. Setiap  malam saya harus hadir pada acara special sebagai persembahan kepada almarhumah Emak Hj. Mutmainnah. Setiap hari harus pergi pulang Surabaya-Mojokerto, tepatnya di Desa Kutogirang Ngoro Mojokerto. Untungnya sudah terdapat jalan tol Surabaya Malang sehingga perjalanan dari desa tersebut ke Surabaya hanya memerlukan waktu 1 jam 15 menit. Meskipun demikian, badan terasa juga capek, sebab acara tahlilan yang diselenggarakan ba’da Isya tersebut membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Tentu saya tidak langsung bergegas pulang. Ngobrol dulu dengan sanak kerabat yang sengaja hadir untuk acara tahlilan dan yasinan. Makanya, jam 22.30 baru sampai rumah Surabaya.

Saya tentu sangat mengapresiasi atas kehadiran jamaah tahlil  dan yasin untuk menghadiahkan bacaan tahlil dan yasin untuk almarhumah. Setiap malam tidak kurang dari 150 orang yang hadir. Mereka datang dari beberapa daerah. Ada yang datang dari Jombang, ada yang datang dari kecamatan lain di Mojokerto serta masyarakat sekitar.  Masyarakat memiliki kesadaran untuk saling membantu keluarga yang berkesedihan. Hadiah bacaan tahlil dan yasin merupakan hadiah spiritual yang luar biasa.

Selain acara tahlil dan yasin juga banyak kerabat yang takziyah di rumah duka. Kerabat dari Tuban juga datang. Bahkan dua kali menyelenggarakan acara tahlilan. Mereka datang menjelang malam ketiga wafatnya almarhumah. Mereka meminta saya untuk memimpin tahlil. Jika dihitung maka malam ketiga tersebut terdapat tiga kali tahilian dan satu kali yasinan. Realitas ini memberikan gambaran betapa para pelaku takziyah itu ingin memberikan hadiah terbaik bagi almarhumah. Petakziyah juga datang dari Surabaya. Kolega saya dari Surabaya juga mengkhususkan diri untuk datang ke rumah duka. Semua petakziyah yang datang tentu tidak hanya datang secara fisikal tetapi juga spiritual. Mereka melakukan doa agar almarhumah mendapat tempat yang layak di sisi-Nya atau memperoleh akhir yang baik atau khusnul khatimah.

Inilah kekhususan Islam Indonesia. Islam dalam tradisi local atau disebut juga sebagai tradisi Islam local. Islam yang terkonstruksi secara akulturatif dengan budaya local Indonesia, sehingga membentuk Islam dalam coraknya yang khas, yaitu Islam Nusantara. Islam yang berada di dalam area Nusantara dengan tradisi dan pemahaman versi masyarakat Nusantara. Islam di Indonesia yang dikonsepsikan sebagai Islam Nusantara merupakan produksi pengetahuan dari para ulama Nusantara dan secara formal bisa berbeda dengan Islam di Arab Saudi, misalnya. Jika Islam di Arab Saudi merupakan produk penafsiran ulama Arab Saudi dengan berbagai konteks sosial politik dan religiousnya, maka Islam Nusantara juga merupakan  produk penafsiran ulama Nusantara dengan ciri khasnya yang kental kenusantaraannya.

Ekspressi keberagamaan berupa tahlilan atau membaca kalimat tauhid dengan berbagai asesorinya, atau bacaan surat Yasin juga dengan berbagai asesorinya dan bacaan dzibaan, barzanjenan dan lainnya adalah produk pemahaman agama yang juga dapat dilacak basis teksnya di dalam berbagai teks-teks klasik yang telah ditulis oleh para ulama pada generasi masa silam.

Yang sering kita dengar misalnya kala membaca yasin dan tahlil dianggap bidh’ah oleh sekelompok da’i salafi wahabi, maka yang sering dikemukakan oleh kalangan NU adalah membaca yasin itu sunnah sama halnya dengan membaca tahlil juga sunnah. Adapun dibaca sendirian atau secara bersama tentu tidak ada larangan yang pasti. Hukum Islam itu tidak hanya halal dan haram tetapi juga ada makruh, sunnah dan mubah. Dengan demikian menghukumi acara tahlilah dan yasinan sebagai haram karena dianggap bidh’ah tentu tidak pada tempatnya.

Berbasis pada pemahaman seperti itu, maka keberadaannya tentu tidak diragukan. Makanya, saya tetap memprediksi bahwa upacara keagamaan yang berupa tahlilan dan yasinan akan tetap menjadi amalan keagamaan yang tetap lestari di masa depan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

OJO DUMEH: FILSAFAT JAWA UNTUK MENGELOLA KEHIDUPAN

OJO DUMEH: FILSAFAT JAWA UNTUK MENGELOLA KEHIDUPAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Ojo dumeh merupakan salah satu pesan orang Jawa yang perlu dimaknai di dalam era perubahan sosial yang terus terjadi. Ojo dumeh berarti jangan merasa lebih atau jangan jumawa karena hebat atau jangan sombong karena kelebihan. Prinsip dasar yang menjadi petuah dari kata ojo dumeh  adalah agar menjadi manusia yang tidak berpikir, merasa dan melakukan sesuatu yang menganggap diri lebih dari yang lain.

Pernyataan ini saya sampaikan di dalam pengajian Hari Selasa, ba’da Shubuh, 13 November 2022, di Masjid Al Ihsan  Perumahan Lotus Regency, Ketintang Surabaya. Sebagaimana diketahui bahwa acara ini dilakukan oleh jamaah masjid, ba’da dzikir dan membaca Surat Al Waqi’ah. Pada hari lainnya, jamaah masjid melakukan Tahsin bacaan Al Qur’an dan hafalan Surat-Surat pendek di dalam Al Qur’an.

Di dalam acara pengajian ini, saya sampaikan tiga hal, yaitu: pertama, memahami arti ojo dumeh. Saya nyatakan: “apa ya arti yang pas tentang ojo dumeh?. Secara etimologi, dapat dinyatakan: jangan merasa lebih, misalnya: jangan merasa lebih hebat, jangan merasa paling kuat, jangan merasa paling berharga”. Yang jelas jangan merasa lebih dari orang lain atau bahkan lebih dari apapun. Di atas langit masih ada langit.

Sesungguhnya banyak hal yang seharusnya menjadi bahan pemikiran kita tentang siapa kita. Terkadang kita mengukur diri kita itu lebih dari orang lain. Terkadang kita mengukur diri kita dari apa yang bisa kita berbuat. Terkadang kita juga mengukur orang lain dari kemampuan yang kita miliki. Padahal sesungguhnya setiap orang memiliki kemampuan sendiri-sendiri dan memiliki kemampuan dan kapasitas sendiri-sendiri. Di kala kita harus mengukur orang, maka pakailah kecamata orang itu, sehingga kita tidak salah dalam menilai tentang apa dan siapa dia. Jika kita bisa melakukannya, maka saya berkeyakinan bahwa kita akan bisa berpikir dan berbuat yang fair kepadanya.

Terlebih jika kita ditakdirkan untuk menjadi pemimpin, maka kita harus benar-benar memahami dan bukan hanya sekedar tahu tentang apa dan siapa orang lain di bawah kepemimpinan kita. Di sinilah kita harus mendengarkan, karena tugas pemimpin bukan hanya memerintah tetapi juga mendengarkan. Tetapi tentu kita juga harus tahu siapa dan apa yang kita dengarkan. Percayalah bahwa di sekitar kita tidak semua orang tulus, tetapi ada yang juga berkepentingan. Dan kepentingan itulah yang sering menyebabkan  conflict of interest di antara kita. Maka, seorang pemimpin harus benar-benar mendengarkan orang yang tulus dan ikhlas, bukan tanpa pamrih, tetapi pamrihnya adalah untuk kebaikan bersama. Seorang pemimpin harus mengasah hatinya dan bukan hanya mengasah  rasionya.

Konsep ojo dumeh, sebenarnya terkait dengan dimensi kepemimpinan dimaksud. jika menjadi pemimpin juga jangan menempatkan diri seperti seseorang yang paling di atas dari segalanya. Harus ingat bahwa kita tidak mampu menyelesaikan sendiri pekerjaan yang dibebankan kepada kita. Kita sangat tergantung. Bahkan saya nyatakan seorang pemimpin itu orang yang paling tergantung kepada orang lain. Karena kita ini tergantung kepada orang lain, maka tugas kita adalah bagaimana seluruh staf itu menjadi pemain yang aktif dan andal dan kita menjadi dirijennya. Seperti sebuah orchestra. Berbagai macam peralatan music, tetapi bisa disatukan dengan gerakan-gerakan tangan yang dilakukan oleh dirijennya. Betapa hebatnya dirijen tersebut karena bisa mengendalikan seluruh pemahaman dan tindakan pemain orchestra melalui regulasi yang dituangkan dalam gerakan tangannya.

Ojo dumeh juga mengisyaratkan agar kita tidak merasa menjadi super. Karena kemampuan yang kita miliki lalu menganggap semua orang berada di bawah kita. Sesungguhnya ada yang menempel di dalam diri kita, yang kita mesti sadari, yaitu kelemahan. Hukum alam berpasangan yang satu ini tidak bisa dilawan. Ada siang ada malam, ada yang kuat ada yang lemah, ada api ada air dan sebagainya. Semua sudah ada ketentuannya. Maka seseorang juga tidak hanya memiliki kekuatan tetapi juga memiliki kelemahan. Sehebat-hebat apapun seseorang pasti ada kelemahannya. Tetapi terkadang kita sendiri tidak tahu apa yang menjadi kelemahan kita. Kecuali memang melakukan pencarian secara jujur tentang apa yang menjadi kelemahan kita. Secerdas apapun seseorang pasti pernah merasakan kesalahan. Karena benar dan salah adalah hukum berpasangan di dalam dunia ini. Sehebat apapun seseorang dalam memprediksi tentang kejadian, tetapi pasti juga merasakan pernah melakukan kesalahan. Orang menyatakan ada factor X yang menyebabkan kesalahan dan kita tidak bisa memprediksi secara tepat apa factor X tersebut.

Di dalam Bahasa Jawa, misalnya dinyatakan ojo dumeh sugih, ojo dumeh pinter, ojo dumeh duwe kuoso, ojo dumeh ganteng, ojo dumeh ayu, ojo dumeh terkenal, ojo dumeh kuat  dan sebagainya. Hal ini  mengisyaratkan agar kita tidak merasa yang paling  hebat. Di dunia ini, ada  orang kaya yang  bisa menjadi miskin mendadak atau perlahan-lahan, ada orang pintar yang tidak bisa memecahkan masalah semuanya, ada orang yang tiba-tiba dicopot dari kekuasaannya, ada fisik yang tiba-tiba cacat, tiba-tiba orang menjadi tercela, orang tiba-tiba bisa lumpuh, dan sebagainya.

Filosofi ojo dumeh, sesungguhnya memberikan wejangan kepada kita agar hidup sakmadyo atau hidup di tengah-tengah, atau moderat atau tawassuth dan tawazun. Makanya, marilah kita selalu berada di dalam kehidupan yang tidak menganggap diri sendiri itu selalu yang terbaik, terhebat, terkuat, sebab selalu ada tangan-tangan gaib yang bisa memperlambat kesuksesan dan juga kegagalan. Jika kita bisa memenej kehidupan, khususnya kepemimpinan, maka saya yakin bahwa keberadaan tangan-tangan gaib tersebut akan bisa mempercepat keberhasilan dan bahkan juga  kegagalan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

EMAK HAJAH MUTMAINNAH, AKU MENGENANGMU.

EMAK HAJAH MUTMAINNAH, AKU MENGENANGMU.

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Pagi ba’da shubuh, saya lalu membaca yasin dan tahlil, saya khususkan kepada Emak Hajjah Mutmainnah binti Ngateman, yang barusan sore, Kamis  17 November 2022, pukul 18 WIB, Beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Isteri saya, Indah, pagi itu mengirimkan ucapan bela sungkawa yang dikirimkan kepadanya oleh Prof. Dr. Nizar Ali, MAg, Sekjen Kemenag RI. Tiba-tiba air mata saya berlinang, mengingat pada saat mertuwa perempuan saya itu telah meninggal. Dan saya harus berada di Jakarta.

Saya  bersama tim Komisi Seleksi (Komsel) untuk  Calon Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tim ini sebenarnya terdiri dari tujuh orang, diketuai oleh Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis), Prof. Dr. Mohammad Ali Ramdlani, kemudian Sekjen Kemenag, Prof Dr. Nizar Ali, Prof. Dr. Abdurrahman Mas’ud, Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, Prof. Dr. Ridlwan Nasir, Prof. Dr. Aflatun Muchtar, dan saya. Pak Rahman sakit, sehingga tidak bisa hadir dan Pak Syafiq harus mengikuti acara di Mu’tamar Muhammadiyah di Solo. Maka, saya tentu harus hadir penuh acara fit and proper test bagi calon rector ini, dengan resiko saya tidak segera bisa pulang. Sebab kalau saya pulang tentu hanya tinggal empat saja. Itulah yang menyebabkan saya harus tetap tinggal di Jakarta, di Hotel Santika ICE BSD Serpong, sampai acara ini selesai.

Saya tentu bicarakan hal ini dengan isteri saya, dan beliau dengan lapang dada menyatakan “gak apa-apa, selesaikan tugas saja”, yang meninggal sudah diurus oleh yang ada di rumah. Jam 20 malam ini langsung dikuburkan”. Sebuah pemahaman yang luar biasa, bahwa di saat seperti ini masih bisa memberikan pandangan yang melegakan semua pihak. Saya tidak membayangkan juga bahwa acara ini tidak memenuhi korum tim Komsel, sehingga harus dibatalkan. Saya  sebenarnya sudah merotasi jadwal kepulangan saya  hari Sabtu, 20 November 2022 pukul 12.00 WIB. Saya merubah jadwal pulang ke Surabaya, pada Hari Jum’at pukul 19.00 WIB. Perubahan tiket ini sudah diurus oleh Pak Mustaqim, Pendis Kemenag RI. Tetapi akhirnya harus saya putuskan untuk pulang lebih awal menjadi Jum’at siang, jam 13.00 WIB dengan harapan masih bisa mengikuti acara tahlilan dan yasinan yang lazim bagi keluarga saya. Saya kontak Jemi untuk mengurus perubahan tiket ke Surabaya. Saya merasakan betapa ada sesuatu yang membuat saya menangis karena ketidakhadiran saya di sisinya, pada saat Beliau pergi ke alam baka. Untunglah Isteri saya bisa menungguinya sambil membaca surat Yasin, sebagaimana tradisi di dalam keluarga saya.

Tiba-tiba saya menjadi teringat kematian Mbah saya, Ismail, yang saya juga tidak tahu karena harus kembali ke Surabaya untuk ujian komprehensif pada program sarjana pada Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel, tahun 1983. Saya teringat pada hari Sabtu saya pulang ke Tuban dan jam 16.00 sore saya  kembali ke Surabaya. Saya pamit bahwa besuk hari Senin jam 09.00 WIB saya harus ujian, maka Beliau berkata: “jika saya sampai hari Selasa masih hidup, maka usia saya masih akan panjang, tetapi rasanya sudah tidak lagi. Sebab buyut kamu semua sudah mengajak saya pergi ke alam barzakh. Hati-hati dan moga-moga lulus”. Saya waktu itu menjawabnya: “saya besuk Senin akan pulang lagi”. Saya kecup keningnya, dan setelah itu saya diantar Bapak Ro’is, ke jalan raya. Kira-kira jam 18.00 WIB Mbah saya meninggal. Pagi harinya baru dikuburkan. Dan ketika saya pulang hari Senin, di ujung jalan menuju ke rumah,  saya diberitahu orang kampung, bahwa Embah saya sudah dikuburkan.

Ingatan seperti ini, yang juga terjadi pada saat Emak mertuwa saya pulang ke haribaan-Nya. Saya pergi ke Jakarta untuk tugas kenegaraan, memilih calon rector, dan saya tidak tahu bahkan tidak tahu penguburannya karena sedang melaksanakan tugas ini. Padahal pada hari Selasa yang lalu saya menjenguknya, dan saya tahu bahwa kondisinya memang semakin melemah. Saya memang setiap pekan menjenguknya. Dan sebagaimana biasanya, saya mendoakannya di sampingnya memohon kepada Allah jalan terbaik baginya. Jika Allah berkehendak menyembuhkannya agar segera disembuhkan dan jika memang sudah saatnya harus kembali ke hadirat-Nya agar segera ditakdirkannya.

Sudah lebih dari satu bulan Beliau tidak berkehendak untuk makan nasi. Hanya minuman air atau minuman yang disukainya yang masuk ke dalam tubuhnya. Kondisinya semakin melemah dan semakin melemah. Dan akhirnya memang harus menghembuskan nafas terakhirnya pada saat saya tidak bisa hadir di sampingnya. Untunglah isteri saya masih bisa hadir tepat waktunya. Isteri saya juga sering menginap di rumahnya pada akhir-akhir ini.

Bagi saya, Emak mertuwa saya ini orang yang sangat baik. Orang yang ikhlas dan religiositasnya sangat baik. Pada waktu masih sehat nyaris setiap lima waktu shalat wajib hadir di masjid dekat rumahnya. Jarang meninggalkan shalat jamaah. Jika saya datang ke rumahnya, selalu saya cium tangannya dan dengan senyumannya menyambut saya datang. Beliau orang yang tidak banyak bicara. Jika saya datang selalu dinyatakan: “gak ada makanan apa-apa”. Meskipun akhirnya saya makan juga di rumahnya. Beliau adalah orang yang keras mendidik anak-anaknya. Ibadah anak-anaknya baik karena semenjak kecil dididik untuk melakukan agamanya. Yang membahagiakan saya juga karena Beliau sudah pergi haji. Suatu ibadah untuk menyempurnakan keislamannya. Dengan kepergiannya ke alam kubur, maka tidak ada lagi orang tua yang menyambut saya dengan kehangatan kasih sayangnya.

Sama seperti ketika sedang sehat, maka kala sedang sakitpun kalau saya pamit pulang ke Surabaya, pasti yang diucapkannya: “maafkan kesalahan saya”. Lalu saya pasti menimpali dengan ucapan: “sebaliknya Mak, saya juga minta maaf”. Sekarang tentu tidak ada lagi ucapan-ucapan seperti itu. Beliau sudah surut ing kasidan jati. Beliau sudah menemui ajalnya yang sejati. Rohnya sudah kembali ke alam kesejatian, yaitu alam roh di alam barzakh, yang nanti akan terus ke alam akherat. Dan semua manusia yang hidup akan mengalami hal yang sama.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Laha al fatihah…

Wallahu a’lam bi al shawab.

OJO GUMUNAN: KONSEPSI JAWA MENGHADAPI PERUBAHAN

OJO GUMUNAN: KONSEPSI JAWA MENGHADAPI PERUBAHAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Ceramah saya pada jamaah Masjid Al Ihsan, Selasa, 01 November 2022, bada Shubuh, sebenarnya bertema Perubahan Sosial di Arab Saudi. Tetapi di tengah pembicaraan tersebut, ada satu pernyataan yang saya kira pantas menjadi judul tulisan ini, yaitu ojo gumunan. Pernyataan yang dinyatakan oleh Pak Suryanto, jamaah Masjid Al Ihsan.

Ojo gumunan adalah Bahasa Jawa yang dipopulerkan oleh Presiden Soeharto, presiden kedua RI. Pak Harto memang sering menggunakan Bahasa Jawa untuk menggambarkan tentang pikirannya dalam menghadapi suatu masalah. Ojo gumunan artinya jangan heran. Ada lagi Bahasa yang  menjadi ungkapan pada masa Orde Baru, misalnya alon-alon waton kelakon, gremet-gremet angger selamet. Lalu jer Basuki mawa beya. Lalu ojo dumeh, sopo siro sopo ingsun. Dan masih banyak lagi yang saya tidak tahu.

Orang sering banyak keliru dalam memahami ungkapan-ungkapan Jawa ini. Ungkapan alon-alon waton kelakon dianggapnya sebagai perilaku yang lambat dan tidak efektif atau efisien. Atau gremet-gremet angger selamet dipahami sebagai perilaku yang lebih mengedepankan kelambanan. Kekeliruan ini tentu saja bisa terjadi sebab yang bersangkutan tidak memahami filsafat Jawa, yang secara keseluruhan mengagungkan produk dari segala sesuatu adalah keselamatan. Alon-alon wathon kelakon itu menggambarkan bahwa produk menjadi segala-galanya tetapi produk harus  dikerjakan dengan semangat pelan tetapi pasti. Orang Jawa tidak suka pada pekerjaan yang dilakukan hanya berorientasi cepat  tetapi produk tersebut tidak menunjukkan kebaikan. Jadi di dalam orientasi produk, maka yang diperlukan adalah pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan prosedur, hati-hati dan terukur, sehingga produk yang dihasilkan adalah kebaikan dan kebenaran. Di dalam memutuskan sesuatu tidak boleh dilakukan dengan ketergesa-gesaan. Tidak boleh grusa-grusu. Sesuaikan kapasitas diri, kerja dengan pekerjaannya.

Mengenai gremet-gremet angger slamet tentu menggambarkan tentang keselamatan adalah segala-galanya. Percuma menghasilkan sesuatu, bekerja dengan cepat dan melakukan sesuatu serba cepat tetapi menghasilkan ketidakselamatan. Kerja pelan dengan hati-hati sesuai dengan kapasitas merupakan cara agar produk pekerjaan adalah keselamatan. Dua filsafat orang Jawa ini yang oleh orang yang tidak memahami budaya Jawa dianggap sebagai lambatnya pembangunan dengan segala aspeknya.

Filsafat ojo gumunan sesungguhnya merupakan pandangan mendasar dari orang Jawa agar di dalam kehidupan ini tidak heran atas apa yang dilakukan oleh orang. jangan heran jika ada tetangganya yang berubah perilakunya, jangan heran jika tiba-tiba orang mendadak kaya. Setiap perubahan pasti ada sebabnya dan setiap perubahan tentu ada maknanya. Perubahan itu sesuatu yang alami, oleh karena itu jangan pernah heran jika terdapat perubahan pada levelnya masing-masing.

Coba kita lihat perubahan di Arab Saudi yang sangat luar biasa. Dari negeri yang tertutup menjadi negara yang mulai terbuka. Melalui faham keagamaan Islam Salafi Wahabi, yang  segalanya serba tidak boleh jika tidak didapatkan tuntunannya di dalam Alqur’an dan Sunnah dan penafsiran dari ulama-ulamanya, maka sekarang dalam keinginan untuk menggapai visi Arab Saudi 2030, maka Pangeran Muhammad bin Salman (MBS) lalu membuka kran masuknya tradisi-tradisi dari luar negeri, khususnya tradisi Barat, yaitu perayaan Valentine’s day dan Halloween. Sebuah upacara yang menggambarkan tradisi barat dan sekarang dilakukan di negeri Arab. Suatu yang nyaris tidak kita percaya. Tetapi inilah realitas. Inilah kenyataan. Makanya, kita ojo gumunan. Jangan heran. Semuanya bisa berubah dan semuanya bisa berganti. Meskipun akan tetap ada yang ajeg sebagai sesuatu yang memang tidak bisa dan tidak boleh berubah.

Kita bersyukur, bahwa Indonesia ini semakin religious. Semakin beragama. Di ruang-ruang public sangat kentara bagaimana orang ingin mengekspresikan keberagamaannya. Coba perhatikan para pemain bola voli putri di Indonesia. Dalam ajang Liga Volley Indonesia 2022, maka ada pemain putri Indonesia yang menggunakan jilbab. Mereka bisa bermain bola volley dengan berjilbab dan menutup kaki dan tangannya dengan pakaian yang menutup aurat, sementara itu di Turki para pemain bola volley justru tidak ada satupun yang menutup aurat. Padahal mereka adalah pemain bola volley putri dari Bank Wakaf di Turki. Jadi, sesungguhnya di Indonesia sedang terjadi upaya untuk mengamalkan Islam secara lebih memadai. Paling tidak dari sisi outword looking.

Saya kira pesan ojo gumunan itu merupakan konsep yang relevan untuk keindonesiaan kita bahwa kita tidak boleh heran dalam melihat sesuatu yang berada di sekitar kita. Dunia akan terus berubah, dan yang kita harapkan adalah perubahan yang bersearah menuju kepada kebaikan.

Wallahu a’lam bi al shawab.