TAHLILAN: TRADISI ISLAM LOKAL YANG UNIK
TAHLILAN: TRADISI ISLAM LOKAL YANG UNIK
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Wafatnya Emak Hj. Mutmainnah mengharuskan dilakukannya acara tahlilan dan yasinan selama tujuh hari berturut-turut. Menyelenggarakan acara tahlilan dan yasinan merupakan acara yang khas pada masyarakat pedesaan, terutama masyarakat NU atau Islam ala ahli sunnah wal jamaah.
Untuk acara yang satu ini tidak diperlukan undangan sebab telah menjadi tradisi turun temurun dari generasi ke generasi di seluruh Nusantara. Kalau terdapat seseorang yang meninggal, maka masyarakat akan berbondong-bondong menghadiri acara pemakaman maupun acara tahlilan dan yasinan. Selama mereka itu orang NU baik NU structural maupun kultural, maka dipastikan akan menghadiri acara tahlilan dan yasinan untuk keluarga yang terkena musibah kematian.
Sebagai bagian dari keluarga ini, maka saya jug mengharuskan diri untuk terlibat di dalam acara dimaksud. Setiap malam saya harus hadir pada acara special sebagai persembahan kepada almarhumah Emak Hj. Mutmainnah. Setiap hari harus pergi pulang Surabaya-Mojokerto, tepatnya di Desa Kutogirang Ngoro Mojokerto. Untungnya sudah terdapat jalan tol Surabaya Malang sehingga perjalanan dari desa tersebut ke Surabaya hanya memerlukan waktu 1 jam 15 menit. Meskipun demikian, badan terasa juga capek, sebab acara tahlilan yang diselenggarakan ba’da Isya tersebut membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Tentu saya tidak langsung bergegas pulang. Ngobrol dulu dengan sanak kerabat yang sengaja hadir untuk acara tahlilan dan yasinan. Makanya, jam 22.30 baru sampai rumah Surabaya.
Saya tentu sangat mengapresiasi atas kehadiran jamaah tahlil dan yasin untuk menghadiahkan bacaan tahlil dan yasin untuk almarhumah. Setiap malam tidak kurang dari 150 orang yang hadir. Mereka datang dari beberapa daerah. Ada yang datang dari Jombang, ada yang datang dari kecamatan lain di Mojokerto serta masyarakat sekitar. Masyarakat memiliki kesadaran untuk saling membantu keluarga yang berkesedihan. Hadiah bacaan tahlil dan yasin merupakan hadiah spiritual yang luar biasa.
Selain acara tahlil dan yasin juga banyak kerabat yang takziyah di rumah duka. Kerabat dari Tuban juga datang. Bahkan dua kali menyelenggarakan acara tahlilan. Mereka datang menjelang malam ketiga wafatnya almarhumah. Mereka meminta saya untuk memimpin tahlil. Jika dihitung maka malam ketiga tersebut terdapat tiga kali tahilian dan satu kali yasinan. Realitas ini memberikan gambaran betapa para pelaku takziyah itu ingin memberikan hadiah terbaik bagi almarhumah. Petakziyah juga datang dari Surabaya. Kolega saya dari Surabaya juga mengkhususkan diri untuk datang ke rumah duka. Semua petakziyah yang datang tentu tidak hanya datang secara fisikal tetapi juga spiritual. Mereka melakukan doa agar almarhumah mendapat tempat yang layak di sisi-Nya atau memperoleh akhir yang baik atau khusnul khatimah.
Inilah kekhususan Islam Indonesia. Islam dalam tradisi local atau disebut juga sebagai tradisi Islam local. Islam yang terkonstruksi secara akulturatif dengan budaya local Indonesia, sehingga membentuk Islam dalam coraknya yang khas, yaitu Islam Nusantara. Islam yang berada di dalam area Nusantara dengan tradisi dan pemahaman versi masyarakat Nusantara. Islam di Indonesia yang dikonsepsikan sebagai Islam Nusantara merupakan produksi pengetahuan dari para ulama Nusantara dan secara formal bisa berbeda dengan Islam di Arab Saudi, misalnya. Jika Islam di Arab Saudi merupakan produk penafsiran ulama Arab Saudi dengan berbagai konteks sosial politik dan religiousnya, maka Islam Nusantara juga merupakan produk penafsiran ulama Nusantara dengan ciri khasnya yang kental kenusantaraannya.
Ekspressi keberagamaan berupa tahlilan atau membaca kalimat tauhid dengan berbagai asesorinya, atau bacaan surat Yasin juga dengan berbagai asesorinya dan bacaan dzibaan, barzanjenan dan lainnya adalah produk pemahaman agama yang juga dapat dilacak basis teksnya di dalam berbagai teks-teks klasik yang telah ditulis oleh para ulama pada generasi masa silam.
Yang sering kita dengar misalnya kala membaca yasin dan tahlil dianggap bidh’ah oleh sekelompok da’i salafi wahabi, maka yang sering dikemukakan oleh kalangan NU adalah membaca yasin itu sunnah sama halnya dengan membaca tahlil juga sunnah. Adapun dibaca sendirian atau secara bersama tentu tidak ada larangan yang pasti. Hukum Islam itu tidak hanya halal dan haram tetapi juga ada makruh, sunnah dan mubah. Dengan demikian menghukumi acara tahlilah dan yasinan sebagai haram karena dianggap bidh’ah tentu tidak pada tempatnya.
Berbasis pada pemahaman seperti itu, maka keberadaannya tentu tidak diragukan. Makanya, saya tetap memprediksi bahwa upacara keagamaan yang berupa tahlilan dan yasinan akan tetap menjadi amalan keagamaan yang tetap lestari di masa depan.
Wallahu a’lam bi al shawab.