OJO DUMEH: FILSAFAT JAWA UNTUK MENGELOLA KEHIDUPAN
OJO DUMEH: FILSAFAT JAWA UNTUK MENGELOLA KEHIDUPAN
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Ojo dumeh merupakan salah satu pesan orang Jawa yang perlu dimaknai di dalam era perubahan sosial yang terus terjadi. Ojo dumeh berarti jangan merasa lebih atau jangan jumawa karena hebat atau jangan sombong karena kelebihan. Prinsip dasar yang menjadi petuah dari kata ojo dumeh adalah agar menjadi manusia yang tidak berpikir, merasa dan melakukan sesuatu yang menganggap diri lebih dari yang lain.
Pernyataan ini saya sampaikan di dalam pengajian Hari Selasa, ba’da Shubuh, 13 November 2022, di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency, Ketintang Surabaya. Sebagaimana diketahui bahwa acara ini dilakukan oleh jamaah masjid, ba’da dzikir dan membaca Surat Al Waqi’ah. Pada hari lainnya, jamaah masjid melakukan Tahsin bacaan Al Qur’an dan hafalan Surat-Surat pendek di dalam Al Qur’an.
Di dalam acara pengajian ini, saya sampaikan tiga hal, yaitu: pertama, memahami arti ojo dumeh. Saya nyatakan: “apa ya arti yang pas tentang ojo dumeh?. Secara etimologi, dapat dinyatakan: jangan merasa lebih, misalnya: jangan merasa lebih hebat, jangan merasa paling kuat, jangan merasa paling berharga”. Yang jelas jangan merasa lebih dari orang lain atau bahkan lebih dari apapun. Di atas langit masih ada langit.
Sesungguhnya banyak hal yang seharusnya menjadi bahan pemikiran kita tentang siapa kita. Terkadang kita mengukur diri kita itu lebih dari orang lain. Terkadang kita mengukur diri kita dari apa yang bisa kita berbuat. Terkadang kita juga mengukur orang lain dari kemampuan yang kita miliki. Padahal sesungguhnya setiap orang memiliki kemampuan sendiri-sendiri dan memiliki kemampuan dan kapasitas sendiri-sendiri. Di kala kita harus mengukur orang, maka pakailah kecamata orang itu, sehingga kita tidak salah dalam menilai tentang apa dan siapa dia. Jika kita bisa melakukannya, maka saya berkeyakinan bahwa kita akan bisa berpikir dan berbuat yang fair kepadanya.
Terlebih jika kita ditakdirkan untuk menjadi pemimpin, maka kita harus benar-benar memahami dan bukan hanya sekedar tahu tentang apa dan siapa orang lain di bawah kepemimpinan kita. Di sinilah kita harus mendengarkan, karena tugas pemimpin bukan hanya memerintah tetapi juga mendengarkan. Tetapi tentu kita juga harus tahu siapa dan apa yang kita dengarkan. Percayalah bahwa di sekitar kita tidak semua orang tulus, tetapi ada yang juga berkepentingan. Dan kepentingan itulah yang sering menyebabkan conflict of interest di antara kita. Maka, seorang pemimpin harus benar-benar mendengarkan orang yang tulus dan ikhlas, bukan tanpa pamrih, tetapi pamrihnya adalah untuk kebaikan bersama. Seorang pemimpin harus mengasah hatinya dan bukan hanya mengasah rasionya.
Konsep ojo dumeh, sebenarnya terkait dengan dimensi kepemimpinan dimaksud. jika menjadi pemimpin juga jangan menempatkan diri seperti seseorang yang paling di atas dari segalanya. Harus ingat bahwa kita tidak mampu menyelesaikan sendiri pekerjaan yang dibebankan kepada kita. Kita sangat tergantung. Bahkan saya nyatakan seorang pemimpin itu orang yang paling tergantung kepada orang lain. Karena kita ini tergantung kepada orang lain, maka tugas kita adalah bagaimana seluruh staf itu menjadi pemain yang aktif dan andal dan kita menjadi dirijennya. Seperti sebuah orchestra. Berbagai macam peralatan music, tetapi bisa disatukan dengan gerakan-gerakan tangan yang dilakukan oleh dirijennya. Betapa hebatnya dirijen tersebut karena bisa mengendalikan seluruh pemahaman dan tindakan pemain orchestra melalui regulasi yang dituangkan dalam gerakan tangannya.
Ojo dumeh juga mengisyaratkan agar kita tidak merasa menjadi super. Karena kemampuan yang kita miliki lalu menganggap semua orang berada di bawah kita. Sesungguhnya ada yang menempel di dalam diri kita, yang kita mesti sadari, yaitu kelemahan. Hukum alam berpasangan yang satu ini tidak bisa dilawan. Ada siang ada malam, ada yang kuat ada yang lemah, ada api ada air dan sebagainya. Semua sudah ada ketentuannya. Maka seseorang juga tidak hanya memiliki kekuatan tetapi juga memiliki kelemahan. Sehebat-hebat apapun seseorang pasti ada kelemahannya. Tetapi terkadang kita sendiri tidak tahu apa yang menjadi kelemahan kita. Kecuali memang melakukan pencarian secara jujur tentang apa yang menjadi kelemahan kita. Secerdas apapun seseorang pasti pernah merasakan kesalahan. Karena benar dan salah adalah hukum berpasangan di dalam dunia ini. Sehebat apapun seseorang dalam memprediksi tentang kejadian, tetapi pasti juga merasakan pernah melakukan kesalahan. Orang menyatakan ada factor X yang menyebabkan kesalahan dan kita tidak bisa memprediksi secara tepat apa factor X tersebut.
Di dalam Bahasa Jawa, misalnya dinyatakan ojo dumeh sugih, ojo dumeh pinter, ojo dumeh duwe kuoso, ojo dumeh ganteng, ojo dumeh ayu, ojo dumeh terkenal, ojo dumeh kuat dan sebagainya. Hal ini mengisyaratkan agar kita tidak merasa yang paling hebat. Di dunia ini, ada orang kaya yang bisa menjadi miskin mendadak atau perlahan-lahan, ada orang pintar yang tidak bisa memecahkan masalah semuanya, ada orang yang tiba-tiba dicopot dari kekuasaannya, ada fisik yang tiba-tiba cacat, tiba-tiba orang menjadi tercela, orang tiba-tiba bisa lumpuh, dan sebagainya.
Filosofi ojo dumeh, sesungguhnya memberikan wejangan kepada kita agar hidup sakmadyo atau hidup di tengah-tengah, atau moderat atau tawassuth dan tawazun. Makanya, marilah kita selalu berada di dalam kehidupan yang tidak menganggap diri sendiri itu selalu yang terbaik, terhebat, terkuat, sebab selalu ada tangan-tangan gaib yang bisa memperlambat kesuksesan dan juga kegagalan. Jika kita bisa memenej kehidupan, khususnya kepemimpinan, maka saya yakin bahwa keberadaan tangan-tangan gaib tersebut akan bisa mempercepat keberhasilan dan bahkan juga kegagalan.
Wallahu a’lam bi al shawab.