• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

NGUNDHUH WOHING PAKARTI: FILSAFAT AKIBAT TINDAKAN ORANG JAWA

NGUNDHUH WOHING PAKARTI: FILSAFAT AKIBAT TINDAKAN ORANG JAWA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tidak ada fakta yang berdiri sendiri kecuali ada fakta penyebabnya. Demikianlah kehidupan manusia juga tidak ada suatu hal atau perilaku yang berdiri sendiri kecuali berkaitan dengan fakta-fakta lain yang mengitarinya. Demikianlah konsepsi ahli ilmu sosial di dalam melihat kehidupan manusia dengan keanekaragaman perilaku di dalamnya. Manusia juga dipastikan melakukan sesuatu yang  ada kaitannya dengan orang lain atau yang disebut sebagai medan interaksi sosial.

Di dalam konsepsi ahli ilmu sosial lainnya juga dinyatakan bahwa tidak ada suatu tindakan  yang tidak didasari oleh tujuan tertentu. Manusia melakukan tindakan rasional bertujuan atau ada tujuan dibalik seseorang melakukan sesuau atau individu di dalam melakukan tindakannya. Setiap tindakan yang ditujukan kepada orang lain disebut sebagai tindakan sosial atau social action. Jadi, tidak ada orang yang melakukan tindakan yang ditujukan kepada orang lain tanpa tujuan. Jika ada orang yang melakukan sesuatu tanpa didasari oleh tujuan melakukannya, maka tidak disebut sebagai tindakan sosial. Orang gila misalnya melakukan tindakan yang tidak bisa disebut sebagai Tindakan sosial karena tidak ditujukan tindakannya tersebut untuk orang lain.

Di dalam filsafat Jawa dikenal ada suatu konsep yang disebut sebagai ngundhuh wohing pakarti, yang di dalam Bahasa Indonesia bisa diterjemahkan mendapat akibat dari  perilakunya. Akibat tersebut bisa positif dan bisa juga negative tergantung dari apa yang dilakukannya. Jika yang dilakukannya baik, maka akan berakibat kebaikan dan jika yang dilakukan kejelekan akan berakibat pada kejelekan. Jadi akibat itu erat kaitannya dengan apa yang dilakukan oleh seorang individu.

Di dalam cerita pewayangan, misalnya di dalam cerita Ramayana atau Baratayudha, maka didapatkan gambaran bahwa para Kurawa itu kalah di dalam peperangan karena tindakan licik yang dilakukannya selama itu  terhadap para Pandawa. Misalnya di dalam episode Pandawa Main Dadu, misalnya kemenangan Kurawa adalah karena kelicikan Mahapatih Sangkuni, dan salah satu episode yang sangat bertolak belakang dengan moral dan perilaku seorang ksatria adalah di kala Dursasono menelanjangi Dewi Drupadi istri Yudistira. Tetapi karena pertolongan para Dewa, maka Dewi Drupadi tidak bisa ditelanjangi karena kain yang dipakai itu tidak ada ujungnya. Dari sini, Dewi Drupadi bersumpah atau supata bahwa dia akan meminum darah Dursasono, dan akhirnya itulah yang terjadi. Demikian pula di dalam cerita Ramayana, Dosomuka atau Rahwono  akhirnya juga harus menelan kekalahan di dalam peperangan melawan Romowijoyo. Indrajit yang memiliki kesaktian tiada tara juga bisa dikalahkan, demikian pula Dosomuko yang memiliki kesaktian tiada tara juga berhasil dikalahkan oleh Romowijoyo.

Di dalam tradisi Jawa itu semua menggambarkan yang disebut sebagai ngundhuh wohing pakarti. Menerima akibat dari perilakunya yang tidak baik. Pandangan hidup orang Jawa sangat dipengaruhi oleh kayakinannya bahwa perilaku baik akan menghasilkan kebaikan dan perilaku kejahatan akan menghasilkan kejahatan. Siapapun yang melakukan kebaikan maka dipastikan akan memperoleh ganjaran atau pahala yang berupa kebaikan, dan siapa yang melakukan kejahatan juga akan memperoleh akibat dari apa yang dilakukannya tersebut.

Di dalam kehidupan sehari-hari akan dengan sangat mudah untuk diketahui tentang hal tersebut. Misalnya jika kita adalah seorang pemimpin yang baik, maka akan dikenang kebaikan kita itu, tetapi jika kita bukan pemimpin yang baik juga akan dikenang oleh orang lain tentang kepemimpinan kita itu. Pemimpin yang baik adalah yang mengedepankan humanisme sebagai inti kepemimpinan. Di dalam Bahasa Jawa disebut sebagai Nguwongke uwong atau memanusiakan manusia. Sebuah ungkapan yang mudah diucapkan tetapi sulit untuk dilakukan. Harimau mati meningglkan belang, gajah mati meninggalkan daging dan manusia mati meninggalkan budi baik.

Jika kita suka menolong orang, maka kita juga akan ditolong orang. Jika kita suka memberikan sedekah kepada orang, maka Allah juga akan membalas perilaku kita. Bahkan terkadang balasan itu hanya berjarak dalam waktu yang dekat. Artinya Allah langsung memberikan pengalaman nyata bagi para pelaku kebaikan ini. Kata kawan saya, kalau kita itu nyahnyoh atau memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa perhitungan, maka Allah juga akan nyahnyoh kepada kita. Kebaikan kita kepada orang lain terkadang langsung dibalas oleh Allah melalui orang lain.

Di dalam Islam sungguh sangat banyak ayat yang menyebutkan tentang adanya balasan atas perilaku yang dilakukan oleh seseorang. Misalnya di dalam konsep surga dan neraka atau Jannah dan nar. Orang yang di dalam kehidupan di dunianya melakukan tindakan yang baik, maka akan memperoleh pahala yang berakibat akan masuk surga, dan bagi orang yang melakukan kejelekan maka akan memperoleh balasannya yang berupa masuk neraka. Dan di antara ukuran untuk menentukannya adalah kepatuhan kepada ajaran agama Islam sebagaimana disyariatkan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW.

Di dalam Surat An Nahl, ayat 97 dinyatakan yang artinya: “Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami berikan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.

Sebaliknya, bagi yang melakukan keburukan, maka Allah akan membalas keburukannya tersebut. Dinyatakan di dalam Surat Al Kahfi, ayat 106, yang artinya: “demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam, dIsebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok”.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa antara filsafat Jawa dengan ajaran Islam itu sesuatu yang saling menyatu. Tidak bisa dipisahkan, sebab di dalam ajaran Islam terdapat juga filsafat kehidupan Jawa dan sebaliknya. Tentu saja menyamakan keduanya bukan dalam konteks merendahkan salah satunya akan tetapi adalah koherensi yang bisa dipahami.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

BECIK KETITIK OLO KETORO: FILSAFAT PEMBALASAN TINDAKAN ORANG JAWA

BECIK KETITIK OLO KETORO: FILSAFAT PEMBALASAN TINDAKAN ORANG JAWA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sesungguhnya agama apapun mengajarkan agar orang berbuat kebaikan. Tidak ada agama yang mengajarkan penganutnya untuk melakukan kejahatan. Namun demikian, di dunia ini masih banyak orang beragama yang melakukan kerusakan di bumi, membangun kebencian dan merusak perdamaian. Semua hal ini difasilitasi oleh penafsiran agama yang bersesuaian dengan kepentingan dan egoisme social pada dirinya. Agama yang sebenarnya mengajarkan kedamaian lalu berubah menjadi konflik social berkelanjutan.

Islam adalah agama keselamatan. Di antara doktrin pentingnya adalah mengajarkan kerahmatan bagi seluruh alam. Manusia diajari agar menjaga rahmat Tuhan Yang Maha Esa di dalam perilakunya, tidak hanya kerahmatan bagi manusia tetapi kerahmatan bagi seluruh alam. Jagad cililk atau alam kemanusiaan atau mikro kosmos  dan jagad gedhe alam makro kosmos atau alam semesta. Islam mengajarkan bukan hanya rahmatan lil muslimin akan tetapi rahmatan lil ‘alamin.

Ada banyak filsafat hidup orang Jawa yang bisa dilacak di dalam ungkapan-ungkapan Jawa yang hingga sekarang masih dilestarikan. Meskipun, yang melestarikannya adalah para sesepuh yang usianya di atas 50 tahun. Generasi muda Jawa yang sudah terpengaruh oleh budaya perkotaan dan lebih khusus budaya barat jarang yang memahami ungkapan Jawa yang memiliki derajat keluhuran.  Banyak generasi muda Jawa yang sudah melupakan pitutur luhur bangsanya. Mungkin dunia pendidikan juga memiliki andil melupakan atas tradisi leluhur tersebut karena tergerus oleh program pendidikan yang barat minded. Bisa jadi semua yang datang dari Barat itu kebaikan, sehingga kebaikan di dalam tradisi Jawa dilupakannya.

Sudah banyak di antara generasi muda sekarang yang tidak lagi bisa berbicara dalam Bahasa Jawa atau kromo inggil. Bahasa Jawa ngoko masih bisa tetapi ketika harus menggunakan Bahasa Jawa halus, maka semua sudah keteteran. Hal ini juga terdapat pengaruh pendidikan yang sudah tidak lagi menjadikan tradisi Jawa sebagai mata pelajaran yang wajib dilakukan. Sementara di rumah juga sudah tidak lagi menjadikan tradisi Jawa dan Bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi antar yang tua dan muda.

Padahal sangat banyak tradisi dan filsafat Jawa yang adiluhung, misalnya  becik ketitik olo ketoro.  Yang arti dalam Bahasa Indonesia adalah kebaikan akan didapatkan balasannya, dan kejelekan juga akan diketahui akhirnya. Orang Jawa berpandangan bahwa kebaikan itu meskipun disembunyikan pada suatu ketika akan didapatkan balasan atas kebaikan tersebut, demikian pula kejahatan atau kejelekan juga suatu ketika akan diketahui juga. Orang tidak boleh takut untuk melakukan kebaikan, sebab kebaikan tersebut ditekan seperti apapun juga akan terdapat balasan yang sesuai dengan kebaikannya. Orang Jawa harus takut dengan kejelekan atau keburukan, sebab keburukan tersebut juga lama kelamaan akan diketahui juga. Seperti menyimpan bangkai, maka suatu ketika akan berbau juga. Becik ketitik olo ketoro adalah cara orang Jawa untuk mendidik generasi muda agar selalu berbuat kebaikan dan menjauhi kejahatan.

Dalam kasus yang akhir-akhir ini terjadi, misalnya Kasus Sambo dalam pembunuhan Brigadir Joshua. Meskipun kasus ini ditutupi sekuat-kuatnya, akan tetapi lama-kelamaan ketahuan juga. Pada  suatu saat yang sudah dipastikan, maka kejahatan yang direncanakan dengan rapi seperti apapun, ternyata juga terendus dan dapat dibuktikan kejahatannya. Di dalam Bahasa Jawa terdapat suatu konsep titi mangsane atau waktu yang telah ditentukan, maka semua akan terbuka dan semua akan diketahui, bahwa kebaikan adalah kebaikan dan kejahatan adalah kejahatan.

Islam sebagai agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan tentang mana kebaikan dan mana kejahatan. Bahkan kita dianjurkan untuk berdoa dengan doa yang berbunyi: “Allahumma arinal haqqa haqqa warzuqna tiba’ah, wa arinal bathila bathila war zuqnaj tinabah. Yang artinya: “Ya Allah tunjukkan kepada kami yang benar adalah kebenaran dan berikan kami kekuatan untuk mengikutinya, dan tunjukkan yang jelek adalah kejelekan dan berikan kami kekuatan untuk menghindarinya”.

Di dalam surat Al Zalzalah, ayat terakhir (7 dan 8)  juga dinyatakan: Famay ya’mal mitsqala dzarratin khoiroy yaroh wamay ya’mal mistqala dzarratin syarray yaroh”. Yang artinya: “Sesiapapun  yang melakukan kebaikan sebesar biji dzarrah pun diketahui, dan sesiapapun yang melakukan kejelekan sebesar biji dzarrah pun diketahui”.  Ayat ini memberikan gambaran bahwa kebaikan atau kejelekan akan diketahui pada akhirnya. Tidak ada perbuatan yang terlepas dari radar Allah SWT kala manusia hidup di dunia.

Dengan demikian bisa dinyatakan bahwa antara ajaran Islam dan pemikiran dalam  tradisi Jawa merupakan dua entitas yang berada di dalam satu kesatuan. Tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Ya Islam,  Ya Jawa dalam satu kesatuan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

TEGO LARANE GAK TEGO PATINE: FILSAFAT KASIH SAYANG ORANG JAWA

TEGO LARANE GAK TEGO PATINE: FILSAFAT KASIH SAYANG PADA ORANG JAWA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Orang Jawa dikenal memiliki filsafat hidup yang unik. Filsafat dalam kehidupan tersebut diwujudkan di dalam paugeran atau pedoman kehidupan yang diajarkan dari mulut ke mulut.  Melalui pengajaran yang bersifat oral tersebut, maka  akan  bisa menyebabkan  paugeran ke depan  menjadi hilang di tengah perubahan social, terutama dari intervensi budaya luar, salah satunya adalah budaya Barat.

Orang Jawa memiliki ekspressi yang unik di dalam kehidupan, khususnya terkait dengan kasih sayang kepada keluarga khususnya anak, cucu dan kerabat dekat atau orang yang hidup di dalam keluarga. Orang Barat dikenal ekspresif dalam relasi suami istri, tetapi tidak demikian terhadap orang tua atau anak. Terhadap orang tua, misalnya corak hubungannya lebih longgar, jika orang tua sudah tidak lagi bisa melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, kala anak-anaknya sudah dewasa dan berumah tangga, maka orang tua akan dititipkan di panti jompo. Rumah jompo menjadi peristirahatan di kala sudah tua. Anak-anaknya tidak mau ribet dengan urusan menidurkan, membangunkan, memandikan, memberi makan dan mengatur kehidupan orang tua. Anak-anak akan lebih terfokus pada pekerjaan atau urusan rumah tangganya sendiri. Meskipun kala masih kanak-kanak mendapatkan kasih sayang yang luar biasa dari orang tuanya, akan tetapi di kala mereka sudah memiliki tanggung jawab sendiri dalam keluarga,  maka orang tua harus ikhlas berada dan hidup di panti jompo.

Hal ini sangat berbeda dengan filsafat hidup orang Jawa. Orang Jawa itu memiliki kasih sayang yang tidak terbatas baik kepada anak maupun orang tua bahkan kepada cucu. Di kalangan orang Jawa, menyayangi cucu itu luar biasa besarnya. Bahkan dikatakan melebihi kasih sayang kepada anak. Jika cucunya dimarahi orang tuanya, maka kakek atau eyangnya yang akan membelanya. Banyak kakek atau nenek yang menyatakan seperti itu. Demikiajn pula  kasih sayang kepada orang tua juga tidak ada batasnya. Jika ada anak yang menitipkan orang tua kepada panti jompo, maka dianggapnya hal itu  sebagai perbuatan durhaka. Yakni orang yang tidak membalas budi baik orang tuanya, yang melahirkan, merawat dan membesarkannya. Bagi orang Jawa mengurus anak adalah tugas dan kewajiban utama. Tugas nomor satu di dalam kehidupan.

Itulah sebabnya, di dalam ungkapan Jawa dikenal konsep  tego larane ora tego patine. Ungkapan ini memberikan gambaran bahwa bagi orang Jawa, maka anak, orang tua, cucu dan keluarga dekat itu merupakan orang yang ditegakan kala sakit tetapi tidak ditegakan kematiannya. Ungkapan ini bukan merupakan perilaku pembiaran atas keluarga yang sakit, akan tetapi untuk menggambarkan atas ketidaktegaan atas ketiadaan seorang keluarga yang  meninggal. Sakit itu masih bisa dirawat dan  diobati artinya masih ada peluang untuk hidup, akan tetapi kematian dipastikan tidak ditegakan, karena kehilangan akan orang yang dicintainya. Jadi orang Jawa itu sangat merasakan kehilangan atas keluarganya yang wafat dan diungkapkan dengan ora tego patine.

Orang Jawa akan menolak sebagaimana gambaran di dalam tayangan yakni orang tua yang dirawat oleh robot, yang sudah diinstal dengan tata cara merawat orang tua. Artificial intelligent tersebut sudah dilengkapi dengan tata cara membangunkan dan menidurkan, memandikan dan berpakaian, makan dan minum, membersihkan kala kencing dan buang air besar dan seluruh tata cara kehidupan. Pada suatu ketika, orang tua itu meninggal. Robot menjadi bingung karena robot itu tidak diinstal untuk memahami kematian. Orang  tua itu dibangunkan, ditepuk-tepuk dan diingatkan untuk bangun, tetapi diam saja. Jadi robot tidak paham tentang mati yang memang belum diinstalkan kepadanya.

Merawat orang tua bukanlah barter atas kerja orang tua untuk merawatnya ketika kecil. Akan tetapi adalah tanggungjawab seorang anak kepada orang tuanya. Sebiah kesadaran dari dalam bahwa anak memiliki tanggungjawab untuk merawatnya. Tidak ada paksaan atas pekerjaan tersebut. Ungkapan anak durhaka tentu sangat menyakitkannya. Tentu saja ada juga yang menegakannya akan tetapi yang bertindak dengan sepenuh kesadaran untuk merawat orang tua tentu lebih banyak atau mayoritas.

Islam sangat menghargai atas kasih sayang. Bahkan dalam hal zakat, infaq atau shadaqah, maka diutamakan untuk keluarga terdekat atau dzawil qurba. Lebih baik memberikan sedekah kepada keluarga dekat dibandingkan dengan bersedekah kepada orang lain yang tidak jelas siapa orangnya. Jika kita memiliki uang yang cukup, maka zakat dan sedekah itu hendaknya diberikan kepada orang miskin, kaum fuqara’, ibn sabil misalnya orang yang belajar dan orang yang dalam perjuangan untuk kebaikan dan keluarga terdekat.

Islam sangat menganjurkan agar di dalam keluarga tetap dijaga untuk menjauhi neraka. Dinyatakan: “qu anfusakum wa ahlikum nara”.  Yang artinya: “Jagalah keluargamu dari api neraka”. Gambaran dari ayat ini, bahwa yang diutamakan oleh sebuah keluarga adalah menjaga agar semua keluarganya itu mengamalkan ajaran Islam secara kaffah dan menjauhi larangan Tuhan. Selama di dalam keluarga tersebut terdapat pengamalan ajaran Islam, maka kasih dan sayang akan tetap lestari.

Selain itu juga terdapat ajaran tentang bagaimana prilaku manusia yang satu atas lainnya, yang seharusnya berbasis kasih sayang.  Yang tua menyayangi yang muda dan sebaliknya. Hadits Nabi menyatakan: “laisa minna man lam yarham shaghirana  wa ya’rifu syarafa kabirana”.  Yang artinya: “tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang muda dan tidak mengerti kemuliaan yang tua di antara kita”.

Kasih sayang adalah ajaran prinsip di dalam Islam. Islam itu mengedepankan keselamatan, maka tidak ada keselamatan tanpa adanya kasih sayang. Oleh karena itu kasih sayang orang tua kepada anak dan kasih sayang anak terhadap orang tua dapat dikaitkan dengan prinsip hidup orang Jawa tego larane ora tego patine.

Wallahu a’lam bi al shawab.

IRI DAN DENGKI ADALAH SIKAP NEGATIF

IRI DAN DENGKI ADALAH SIKAP NEGATIF

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Adakah iri dan dengki yang bernuansa positif? Rasanya tidak. Iri dan dengki adalah penyakit hati yang sulit disembuhkan apalagi jika iri dan dengki sudah menjadi tabiat yang berbasis pada bakat dari dalam diri seseorang. Jika iri dan dengki sudah menjadi tabiat atau sifat yang melazimi kehidupan seseorang, maka penyakit hati ini akan terus bercokol di dalam diri dan tidak mudah untuk dikendalikan.

Sahabat saya, Titik Suryani, anggota WAG Reuni PGA 1977 menanyakan kepada saya tentang bagaimana jika kita itu iri pada keberhasilan seseorang,  tetapi tidak berupaya untuk menjelekkannya atau menggunjingnya. Secara lengkap konten WAG tersebut sebagai berikut: “Prof, tolong jelaskan pada kami ya kalau salah.  Memang  iri dan dengki adalah penyakit hati, tetapi bukankah iri itu  memotivasi seseorang ya Prof. Maksudnya keberhasilan seseorang, tetangga punya mobil atau  tetangga membeli perabot-perabot rumah tangga lantas kita iri kepingin berhasil, pingin punya mobil atau punya perabot  seperti dia sebagaimana yang Prof contohkan di atas,  tetapi tidak sakit hati terhadap keberhasilan orang tersebut. Kita ingin punya mobil dan perabot rumah tangga seperti dia dengan memicu dan bagaimana usaha kita agar bisa seperti dia.  Lain  halnya dengan  dengki, kalau dengki kita tidak senang melihat keberhasilan orang lain dan bahkan kita berusaha untuk mencelakai  orang tersebut. Itu kesan saya terhadap iri dan dengki Prof. Tolong  luruskan asumsi saya ini Prof agar saya tidak salah membedakan antara keduanya,  iri dan dengki.  Dengan  penuh kerendahan hati  saya mohon berikan penjelasan ya Prof. Terima kasih sebelumnya. Oke. Salam sehat semua”.

Saya ingin menyatakan bahwa iri dan dengki itu penyakit hati sehingga jika di dalam diri seseorang terdapat sifat ini, maka dipastikan akan terdapat ekspresi dari sifatnya itu, yaitu menjelekkan, mengunjingkan dan bahkan mendoakan kejelekan pada seseorang yang dianggapnya sukses di dalam kehidupan. Tidak ada ruang di dalam dirinya untuk tidak melakukan apa yang dirasakannya. Jadi bukan sebuah Tindakan yang berisi kebaikan karena sifat iri dan dengki tersebut. Iri merupakan sifat yang selalu melihat keberhasilan orang lain dan merasa bahwa orang tersebut lebih beruntung. Sementara dia tidak beruntung. Jika sifat iri itu dilestarikan, maka lama kelamaan akan menjadi dengki atau ketidaksukaan pada keberhasilan orang lain.

Adakah orang yang iri dan dengki lalu tidak mengekspresikan perasaannya di dalam tindakan yang buruk?. Jawabannya tidak ada. Iri dan dengki merupakan penyakit hati yang akan terus bercokol di dalam hati selama tidak ada upaya untuk menyadari bahwa iri dan dengki adalah sebuah penyakit. Yaitu penyakit hati. Jika seseorang senang melihat ada kebaikan dan kesuksesan pada seseorang maka hal tersebut tidak bisa dinyatakan sebagai iri apalagi dengki. Sebab iri dan dengki adalah sikap suka melihat kesuksesan orang dan kemudian berujung pada ketidaksukaan dan kebencian yang berlanjut pada ekspresinya yang bisa merugikan pada orang lain. Selalu melihat kebehasilan orang lain dapat menjadi pintu masuk tumbuhnya sifat dengki.

Kita terkadang harus mengapresiasi atas keberhasilan orang lain. Mungkin memuji dengan tujuan yang ikhlas bukan untuk basa-basi atau sekedar menyenangkan hati orang lain, apalagi bahwa dengan pujian tersebut diharapkan akan membawa imbal balik apa saja yang sesuai dengan tujuannya. Jika ada maksud yang tidak baik, maka sesungguhnya bukan apresiasi yang positif akan tetapi ekspresi yang negatif. Ekspresi apresiasi yang baik itu timbul dari keikhlasan dan bukan dari yang lain. Jadi memuji boleh dengan tanpa ada keinginan atau kepentingan pribadi.

Di dalam dunia pewayangan, maka ada seorang tokoh Namanya Sangkuni, Maha Patih Hastinapura. Dia selalu memuji Prabu Duryudono, keponakannya, dengan sanjungan yang berlebihan. Hal itu dilakukan sebab dia tahu bahwa keponakannya itu mabuk pujian. Dan jika dipuji maka segala hal yang diusulkan oleh Sang Maha Patih akan dikabulkan. Dan kemauan Sangkuni itulah yang kemudian menjadi kebijakan Negara Hastinapura. Perang Baratayudha adalah rekayasa Sang Maha Patih Sangkuni dan mendapatkan persetujuan Doryudona dan segenap pejabat Hastinapura.

Memang di dalam kehidupan ini ada orang yang sangat suka dipuji. Jika dipuji, maka hati dan perasaannya menjadi sangat gembira dan merasa hebat. Bahkan juga ada orang yang senang bercerita keberhasilannya di depan orang lain. Mungkin ini manusiawi sebab orang memang ingin diakui prestasinya. Tetapi jika perasaan ini berlebihan akan membawa kepada masalah tersendiri. Jadi, sudah seharusnya kita membatasi untuk memuji orang dan juga membatasi untuk mengungkap kesuksesan yang bisa dicapai. Seharusnya kita bersikap wajar dalam menghadapi relasi sosial kepada siapa saja agar tidak jatuh kepada sikap pujian yang berlebihan.

Seandainya kita melihat ada orang sukses, maka yang harus dilakukan adalah: pertama, mengkaji apa rahasia kesuksesannya. Kita pelajari untuk menjadi teladan di dalam kehidupan. jika usaha yang dilakukan sudah kita pahami dan kita melakukan yang sama tetapi tidak berhasil maka berarti masih ada variable lain yang belum kita pahami. Tetapi sekali lagi bukan iri dan dengki yang muncul tetapi belajar dari dirinya.

Kedua,  di dalam Islam terdapat trilogy kehidupan, yaitu: ikhtiyar, tawakkal dan doa. Usaha bisa dipelajari. Usaha bisa diduplikasi. Usaha bisa dilakukan. Usaha itu sesuatu yang kasat mata, yang terlihat. Tetapi tetap ada sesuatu yang berada dibalik usaha. Sesuatu yang menjadi ketentuan kesuksesan atau kegagalan. Di sinilah kita tawakkal atau pasrah kepada Allah SWT akan kegagalan atau kesuksesan. Jika gagal jangan putus asa. Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Orang yang sukses bukanlah orang yang berhasil di dalam mencapai sesuatu tetapi orang yang bisa bangkit dari kegagalannya. Kemudian berdoa. Jangan pernah meremehkan doa. Ada pandangan bahwa 80 persen keberhasilan itu karena doa yang dilantunkan kepada Sang Pemilik Kesuksesan, Allah SWT. Ada banyak cerita sukses karena doa. Jangan pernah berhenti berdoa kepada Allah SWT.

Ketiga,  jangan merasa bahwa kesuksesan itu karena kemampuan kita, akan tetapi adalah pemberian Tuhan kepada kita. Saya merupakan salah seorang yang merasakan bahwa prestasi yang saya capai bukan karena kemampuan saya akan tetapi karena welas asih Gusti Allah. Pemberian Allah SWT. Sama sekali tidak karena kepandaian, kehebatan dan kekuatan yang saya miliki tetapi semata-mata rahmat Allah SWT.

Wallahu a’lam bi al shawab.

OJO IRI LAN DENGKI: FILSAFAT HIDUP ORANG JAWA TENTANG PENYAKIT HATI

OJO IRI LAN DENGKI: FILSAFAT HIDUP ORANG JAWA TENTANG PENYAKIT HATI

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

 

Hidup itu tidak lama. Rata-rata usia orang adalah 70 tahun. Bisa ada yang lebih dalam beberapa kasus dan ada yang kurang juga dalam beberapa kasus. Orang akan merasa menjadi tua saat usianya sudah berada di atas 60 tahun. Ditandai dengan semakin melemahnya fisik, kurangnya ingatan dan juga semakin lemahnya pemikiran dan sebagainya.

Ada ujaran bahwa tua hanyalah usia, tetapi pemikiran dan gerak tidak boleh ikut menjadi tua. Saya menulis tentang “Menjadi Tua Sehat dan religious” (nursyamcentre.com), sebuah refleksi atas realitas yang menggambarkan tentang betapa seharusnya orang harus tetap optimis di tengah semakin tua usia. Banyak orang yang tidak hanya fisiknya yang renta tetapi juga pemikirannya. Kita harus berguru pada orang-orang yang terus beraktivitas, apakah menulis, apakah menjadi aktivis atau tetap menjaga kebugaran di saat usia merambat tua.

Islam mengajarkan agar kita berdoa kepada Allah SWT, Tuhan kita semua, agar kita diberi umur yang panjang, thawwil umurona, dan sehat fisik kita,  wa ahsin ajsadana, dan bercahaya kehidupan kita dengan kebaikan, wa nawwir qulubana, dan tetap dalam keimanan kepada Allah SWT, wa tsabbith imanana. Alangkah indahnya doa ini terutama bagi kita yang sudah berumur. Kita meminta usia yang panjang, tetapi tetap sehat dan berada di dalam keimanan kepada Allah SWT.

Di dalam usia yang tidak panjang tersebut, orang Jawa diajari agar jangan iri dan dengki atau ojo iri lang dengki. Keduanya adalah penyakit hati yang sangat berbahaya bagi kehidupan kita. Iri itu ada kaitannya dengan keinginan atau desire  yang tidak tercapai, sementara orang lain mendapatkannya. Bahkan sering diungkapkan “saya bekerja lebih keras, tetapi saya tidak mendapatkannya, sementara dia bekerja seadanya tetapi mendapatkannya”. Iri itu penyakit yang datang dari dalam diri manusia. Di  dalam teori social disebut sebagai in order to motive, atau motif dari dalam diri atau internal motive.

Sebagai manusia tentunya kita memiliki banyak keinginan. Ingin sukses dalam bekerja, ingin kaya dengan harta, ingin jabatan yang tinggi, ingin sejahtera, dan ingin bahagia. Tidak semua keinginan itu tercapai. Bisa juga ada yang tercapai dan ada yang tidak. Yang tercapai membuat senang dan yang tidak tercapai membuat susah atau sedih bahkan juga putus asa. Jika seseorang memiliki sifat iri, maka yang diukur hanya satu kata “sukses”. Seseorang akan menjadi marah jika tujuannya tidak berhasil. Di dalam dirinya hanya ada kata berhasil, sehingga dia akan mencari-cari penyebab ketidakberhasilan tersebut dan kemudian menyalahkan yang lain bahkan  juga menyalahkan Tuhan, sebagai dzat yang tidak memihak kepadanya. Itulah sebabanya Islam mengajarkan agar kita tidak berputus asa atas rahmat Allah SWT.  Wa la taiasu min rauhilllah.

Kemudian dengki  ialah sifat yang dimiliki oleh seseorang untuk tidak suka atas orang lain karena keberhasilannya di dalam kehidupan. Jika ada orang yang berhasil maka dia akan tidak suka, melakukan gunjingan kepada yang lain, bahkan juga tidak jarang melakukan fitnah atas orang tersebut. Orang yang dengki akan merasa tidak senang dengan kebahagiaan dan kesenangan orang lain. Makanya dengki disebut dengan penyakit hati karena terkait dengan perasaan tidak senang atas kesuksesan atau kesenangan orang lain.

Ada tetangganya membeli mobil panas hatinya. Ada tetangganya yang membeli barang-barang rumah tangga panas hatinya dan ada tetangganya yang naik jabatan sakit hatinya dan sebagainya.

Orang yang seperti ini disebut ahli SMS atau Senang Melihat Orang Susah (SMS) atau Susah Melihat Orang Senang (SMS). Di dalam kehidupan ini tentu terdapat orang dengan tipe seperti ini. Ada yang memang tabiat atau bakatnya memang seperti itu dan ada yang karena factor luar. Keduanya memang tidak bisa dipisahkan. Satu dengan lainnya saling terkait secara sistemik. Tetapi orang yang memiliki bakat atau tabiat seperti itu akan lebih sulit untuk menghilangkan sifat buruk ini dibanding yang memang hanya karena factor luar saja.  Bagi orang yang memiliki bakat, maka akan kesulitan untuk menghentikan sifat ini, yang tentu berbeda dengan yang hanya karena factor eksternal.

Di dalam Islam sifat seperti itu disebut sebagai hasad atau bisa diterjemahkan sebagai iri dan dengki. Di dalam Islam disebutkan  sebagai  wa la tajassasu atau jangan mencari-cari kesalahan orang lain dan wa la tahasadu  atau jangan membenci orang yang memperoleh kesenangan. Kemudian  wa la tabaghadu  atau jangan membenci. Islam sedemikian rincinya memberikan gambaran tentang sifat manusia yang seharusnya tidak dilakukannya. Orang yang suka mencari-cari kesalahan orang lain bisa disebabkan karena kebencian dan ketidaksenangan. Demikian juga janganlah sesama umat Islam saling membenci dan menggunjing.

Di dalam salah satu hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dinyatakan: “la tabaghadhu, wa la tahasadu, wa la tadabaru, wa kunu ‘ibadallahi ikhwana”, yang artinya: “janganlah kamu saling membenci, dan jangan saling iri hati, dan jangan saling menjauhi dan hendaknya menjadi hamba Allah yang saling bersaudara”. Betapa jelasnya hadits Nabi Muhammad SAW ini untuk dijadikan sebagai pedoman di dalam kehidupan.

Jika kita menilik atas ajaran Islam dan juga paugeran di dalam tradisi Jawa ini maka menjadi bukti bahwa antara Islam dan tradisi Jawa merupakan dua hal yang saling terkait, artinya tidak ada pertentangan satu dengan lainnya. Ya Islam, ya Jawa.

Wallahu a’lam bi al shawab.