• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

ANDHAP ASOR: MENJAGA KESOPANAN DALAM TRADISI JAWA

ANDHAP ASOR: MENJAGA KESOPANAN DALAM TRADISI JAWA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang religious. Labelisasi ini bukan sesuatu yang berlebihan, sebab bagi masyarakat Jawa,  agama adalah pedoman yang sangat mulya semenjak dahulu kala. Agama bagi masyarakat Jawa merupakan pedoman bertingkah laku, dan hal ini sudah berlangsung semenjak dahulu kala. Sebelum Islam datang ke Indonesia,  masyarakat Jawa sudah menjadikan  agama Buddha dan Hindu serta ajaran-ajaran lainnya misalnya ajaran Kapitayan, sebagai modal relasi kepada Tuhan dan juga sesama manusia.

Semua agama di dunia mengajarkan kebaikan untuk kehidupan. pesan-pesan agama mengandung ajaran moral yang adiluhung bagi kehidupan manusia. Semua agama mengajarkan agar membangun relasi dengan Tuhan secara memadai dan juga relasi social yang memadai. Jika kemudian terdapat kekerasan yang dikaitkan dengan agama tertentu, maka sebenarnya merupakan penafsiran manusia atas ajaran agamanya, dan bukan substansi ajaran agama tersebut. Makanya, di dunia ini juga terdapat “perang” yang bernuansa agama, artinya agama dijadikan sebagai penguat atas  konflik social yang dilakukan oleh dua atau lebih kelompok.

Orang Jawa mengajarkan prinsip filsafat kehidupan yang disebut sebagai andap asor. Atau prinsip tradisi yang bersubstansi pemahaman, sikap dan Tindakan yang bercorak sopan santun. Prinsip ini bertali temali dengan substansi ajaran tentang bagaimana seharusnya perilaku orang Jawa atas orang lain. Prinsip ini mengajarkan tentang ojo adigang adigung adiguna, ojo gumedhe, ojo dumeh dan sebagainya. Ajaran-ajaran ini mengunggah prinsip hidup yang menempatkan diri di dalam dunia social yang wajar dan bermartabat.

Andhap asor, secara kebahasaan berarti rendah hati dan sopan santun. Ungkapan Jawa ini juga dikaitkan dengan istilah seperti lembah manah lan andap asor. Yang artinya adalah rendah hati dan sopan santun.

Sopan santun merupakan ajaran yang sangat baik. Sopan santun sesungguhnya akan memberikan gambaran tentang bagaimana tingkat kesopanan kita di dalam relasi social. Melalui sikap dan Tindakan yang menggambarkan kesopanan, maka orang lain dapat menilai siapa sesungguhnya kita itu. Orang Jawa memiliki sejumlah indicator untuk mengetahui bagaimana sikap dan Tindakan orang lain. Contoh sederhana, misalnya  dari cara berjalan, cara duduk, cara berbicara, gerak  gesturnya dan cara memasuki ruang yang sudah ada orang di dalamnya. Semua ini sering dijadikan sebagai indicator tingkat kesopanan kita.

Orang Jawa misalnya jika duduk di bawah atau lantai tanah, maka duduknya mestilah bersila, bisa jadi ini berasal dari kata susila atau kepatutan. Jika melewati tempat orang duduk atau berdiri, maka akan menjulurkan tangannya ke bawah dengan punggung membungkuk dan biasanya diikuti dengan pernyataan “nuwun sewu” atau  atau mohon ijin. Ini merupakan perilaku orang Jawa yang selalu mengedepankan kerendahan pikiran dan hati. Makanya, di dalam makam-makam keramat, seperti para wali, maka pintu masuk ke dalam area makam itu pintunya rendah, sebagai perlambang agar orang merunduk atau menunduk sebagai bagian dari tatakrama atas orang yang dituakan atau para kekasih Allah. Semua melambangkan agar manusia memiliki tatakrama dalam relasinya dengan orang yang lebih tinggi derajad taqwanya kepada Allah swt.

Islam mengajarkan tentang ajaran tawadhu’ atau rendah hati bukan rendah diri. Orang yang rendah hati tidak menganggap bahwa dirinya yang paling hebat, paling kuat, paling berkuasa dan seterusnya. Akan tetapi dia tetap berada di dalam konteks kemanusiaan yang serba dhaif atau lemah tetapi bukan tidak berdaya. Lemah karena sesungguhnya kekuatan yang paling tinggi adalah milik Allah semata. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali milik Allah swt.

Di dalam syarah shahih Muslim (Imam An Nawawi)  dinyatakan bahwa “sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bertawadhu, sehingga seseorang merasa bangga lagi sombong terhadap orang lain dan juga tidak berlaku aniaya kepada orang lain”. Hadits ini memberikan gambaran bahwa orang Islam  itu seharusnya rendah hati dan tidak melakukan kesombongan terhadap orang lain. Orang Islam mesti harus sadar bahwa dirinya  tidaklah memiliki apa-apa jika Allah mencabut kekuatan fisik dan akalnya , bahkan ilmu dari dirinya.

Orang yang tawadhu’ tidak pernah menyombongkan diri, tidak pernah menganggap dirinya paling hebat dan tidak beranggapan bahwa dia tahu segalanya. Sebagai manusia pengetahuan kita sangat terbatas. Bahkan kita tidak tahu ada apa dibalik dinding sebelah kita duduk. Hanya orang khusus yang diberikan pengetahuan oleh Allah SWT karena kedekatannya atau taqarrubnya. Para waliyullah atau para ulama atau kyai yang memiliki kedekatan khusus kepada Allah SWT melalui riyadhohnya saja yang berpeluang diberikan pengetahuan lebih di atas manusia lainnya.  Di dalam dunia empiris kita mengetahui ada orang-orang yang mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia lain. Mereka merupakan golongan orang yang weruh sakdurunge winarah atau mengetahui sesuatu tanpa dipelajari atau diberitahukan sebelumnya.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya jika orang-orang yang awam seperti kita ini tetap berada di dalam konteks kehidupan yang menjaga kesopanan dalam relasi dengan dunia social kita yang kompleks. Sesungguhnya manusia itu berharga jika menghargai orang lain, dan manusia tidak berharga jika selalu memandang rendah orang lain.

Ajaran kesopanan di dalam filsafat Jawa ini sungguh memiliki rujuan teks yang sangat kuat di dalam ajaran Islam, sehingga pantaslah jika kita tidak mempertentangkan Islam dan Jawa, karena keduanya sudah menyatu di dalam filsafat dan tradisi Islam Jawa.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MIKUL DUWUR MENDHEM JERO: TINDAKAN ORANG JAWA  PADA HIRARKHI USIA

MIKUL DUWUR MENDHEM JERO: TINDAKAN ORANG JAWA  PADA HIRARKHI USIA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Relasi  sosial orang Jawa sesungguhnya berpusat pada keluarga. Fungsi keluarga di dalam tradisi Jawa sangatlah mendasar. Keluarga berdasarkan kajian Hildred Geertz memiliki aneka macam fungsi. Ada sekurang-kurangnya delapan fungsi, yaitu fungsi pendidikan. Keluarga memiliki fungsi utama untuk melakukan pendidikan bagi anak-anak dan keluarga lainnya. Dari keluargalah pertama-tama seorang anak akan mengenal dunia Pendidikan, terutama adalah pendidikan moral yang berupa sopan santun di dalam relasi sosial. Lalu, fungsi sosialisasi, yaitu fungsi keluarga untuk mengenalkan atas pentingnya relasi sosial, baik di dalam maupun di luar keluarga.

Tidak kalah penting juga fungsi ekonomi, artinya bahwa keluarga adalah tempat untuk menyemai ekonomi agar kehidupan menjadi lebih sejahtera. Di dalam keluargalah kehidupan ekonomi akan terajut,  baik di dalam memanfaatkan pendapatan maupun untuk pengeluaran atau belanja rumah tangga. Kemudian fungsi ketahanan keluarga. Rumah merupakan tempat yang paling aman bagi keluarga dalam mengarungi kehidupan. Jika ada masalah, maka keluargalah yang akan melakukan penyelesaian secara optimal. Selanjutnya adalah fungsi rekreasi. Keluarga adalah tempat rekreatif yang paling menyenangkan. Baik bagi orang tua maupun anak-anak.  Maka  tempat rekreasi yang utama adalah keluarga. Berikutnya adalah fungsi agama. Keluarga adalah tempat menyemaikan pengetahuan, sikap dan pengamalan beragama. Keluarga  yang religiositasnya sangat baik, maka kehidupan agama di dalam keluarga juga akan sangat baik. Tidak kalah menarik adalah fungsi persahabatan. Meskipun di Jawa terdapat hirarkhi di dalam keluarga tetapi yang  penting bahwa keluarga merupakan tempat yang nyaman untuk persahabatan. Sikap yang muda terhadap yang tua adalah penghormatan dan sikap yang tua pada yang muda bukanlah dominasi.

Seterusnya adalah fungsi pemecahan masalah. Secara spesifik keluarga merupakan tempat yang paling nyaman untuk menyelesaikan berbagai persoalan di dalam relasi sosial. Makanya, relasi sosial yang kuat di dalam keluarga akan dapat menjadi jaminan akan kuatnya ikatan di dalam keluarga dimaksud. Dan yang terakhir adalah pengembangan SDM untuk kemandirian. Seseorang akan menjadi mandiri jika di dalam keluarga diajarkan kemandirian dan tanggung jawab.

Berbasis pada gambaran fungsi rumah tangga atau keluarga dimaksud, maka orang Jawa memiliki ungkapan yang sangat masyhur, yaitu mikul duwur mendhem jero. Suatu pengetahuan, sikap dan tindakan orang Jawa yang selalu berkeinginan untuk memulyakan yang lebih tua dan bahkan rela berkorban demi yang lebih tua dalam kebaikan. Sekali lagi bahwa yang menjadi ukuran pengorbanan adalah kebaikan dan bukan sebaliknya yaitu keburukan.

Meskipun konteks mikul duwun mendhem jero tersebut dalam lingkup mikro atau keluarga, akan tetapi sesungguhnya bisa diberlakukan untuk yang makro, misalnya masyarakat dan bahkan negara atau pemerintahan. Seorang anak harus memuliakan dan menghormati orang tuanya, kapan dan di mana saja. Seorang staf harus melakukan tupoksinya sebagai pertanggungjawaban pekerjaannya dan juga menghormati atasannya. Atasannya juga harus berlaku baik bagi bawahannya dan tidak menganggap bahwa stafnya adalah pekerjanya. Yang harus diutamakan adalah charisma institusi dan bukan charisma individunya.

Tidak hanya seperti itu, akan tetapi juga menjaga martabat orang tua, pemimpinnya dan para pemimpin sebelumnya. Jika terdapat kebaikan, maka harus dilestarikan dan jika ada yang jelek maka harus dipendam dalam-dalam. Seorang pemimpin yang baik bukan untuk mencari-cari kelemahan pemimpin sebelumnya dan mengungkapkannya di ruang public.

Di dalam ajaran Islam terdapat prinsip sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW, bahwa orang yang muda agar menghormat yang lebih tua dan yang tua menyayangi yang muda. Dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai berikut: “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang muda dan tidak mengerti kemuliaan yang tua di antara kita”. (Hadits diriwayatkan Ammar ibn Syuaib). Islam sebagai ajaran yang menjadi pedoman di dalam kehidupan memberikan norma agar sesama manusia saling menyayangi. Ada tiga konsep penting di dalam relasi sosial, yaitu ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan sesama umat Islam. Tidak seharusnya antar sesama umat Islam saling menjelekkan dan menghina atas pemahaman dan prilaku agamanya. Kecuali mereka yang melakukan penistaan atas ajaran agama. Lalu, persaudaraan sesama  umat manusia meskipun berbeda agama. Seharusnya di antara umat yang berbeda agama juga tidak saling menghina dan melecehkan. Jangan sampai perbedaan agama menjadi penyebab konflik antara satu dengan lainnya. Kemudian persaudaraan sesama warga bangsa. Sesama umat manusia di dalam suatu wilayah negara, maka harus mendahulukan kepentingan bangsa dan negara dibandingkan dengan kepentingan diri sendiri.

Bahkan Islam juga mengajarkan agar kita menyembunyikan aib sesama manusia. Jika kita tahu ada sesama manusia yang memiliki aib maka dilarang kita untuk menyebarkan aib tersebut bagi orang lain. Tidak seharusnya kita menyebarkan aib orang di ruang public sehingga orang lain menjadi menderita karenanya. Islam bahkan mengajarkan berdoa di dalam waktu duduk di antara dua sujud dalam shalat, agar Allah SWT menyembunyikan aib kita. Wajburni. Begitu bunyi doa kita.

Mikul duwur mendhem jero merupakan prinsip hidup orang Jawa yang memiliki kecocokan dengan prinsip di dalam ajaran Islam dalam relasinya dengan kehidupan kebersamaan. Oleh karena itu, tidak selayaknya dipertentangkan antara ajaran Islam dengan ajaran Jawa dalam merenda kehidupan di dunia.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

EMPAN PAPAN: MEMAHAMI POSISI DIRI DALAM DUNIA SOSIAL ORANG JAWA

EMPAN PAPAN: MEMAHAMI POSISI DIRI DALAM DUNIA SOSIAL ORANG JAWA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

 

Pepatah Jawa itu luar biasa banyaknya. Hanya saja kita tidak bisa memahami semuanya. Hal itu terkait dengan semakin rendahnya pemahaman kita tentang budaya dan filsafat Jawa. Kita rasanya semakin tidak Njawani. Kita semakin merasa bukan sebagai orang yang memahami Jawa secara seutuhnya. Menjadi orang Jawa itu hanya seperti kulit yang tipis di luarnya saja, sehingga yang tampak hanya lahiriyahnya sebagai orang Jawa, tetapi paham, sikap dan prilakunya sudah bukan lagi orang Jawa.

Pengaruh globalisasi memang luar biasa. Semenjak semua negara terbuka untuk menjadi global market, maka semuanya menjadi berubah. Kita tentu bukanlah orang yang anti perubahan. Perubahan adalah inti kehidupan. Siapa yang tidak mau berubah akan ketinggalan zaman. Begitulah ajaran di dalam kehidupan kita. Semuanya berubah, termasuk juga gaya hidup, perilaku, dan tindakan sehari-hari.

Jika orang yang usianya di atas 60 tahun, maka perilaku kejawaannya masih terlihat. Cara berkomunikasi, gaya bahasa, dan tindakannya masih bercorak sesuai dengan pemahaman, sikap dan perilaku orang Jawa. Orang Jawa yang lahir tahun 60-an ke bawah rasanya masih ngugemi sikap hidup sebagai orang Jawa. Tetapi bagi yang lahir tahun 80-an ke atas rasanya sudah tidak lagi atau sekurang-kurangnya rendah kejawaannya. Sementara itu generasi yang lahir tahun 60-80-an itu berada di dalam masa transisi antara sikap hidup sebagai orang Jawa dan perubahan social ke arah global.

Sebagai akibat global market, misalnya dalam konteks makanan, maka generasi milenial sudah jarang mereka itu memakan makanan seperti soto, rawon, gudeg, tengkleng, rujak dan jenis-jenis makanan Jawa lainnya, akan tetapi mereka lebih familiar dengan Kentucky Fried Chicken (KFC), McDonald (McD), AW, dan jenis-jenis makanan berbau barat lainnya. Makanan cepat saji ini berseirama dengan generasi milenial yang ingin serba instan dan cepat. Akibat globalisasi dalam berbagai segmen kehidupan, maka orang Jawa menjadi kehilangan kejawaannya. Life style dan kehidupannya dipengaruhi oleh factor luar tersebut.

Orang Jawa memahami bahwa setiap perilaku itu memiliki kaitan dengan derajad atau status social dan peranan yang dimainkannya. Orang Jawa sangat menghargai atas prestasi yang cocok dengan derajadnya. Orang Jawa sangat menghargai atas perilaku orang kaya yang tidak sombong, perilaku pejabat yang tidak sombong. Orang hebat yang tetap menghargai kesantunan. Dan orang istimewa yang tetap mengedepankan kesopanan.

Di antara filsafat hidup orang Jawa yang juga sangat menonjol adalah  empan papan. Secara harfiyah artinya adalah memahami di mana kita berada. Tetapi jangan salah bahwa jika kita berada di kalangan orang bejat juga menjadi bejat. Sebab di dalam empan papan tidak seperti itu yang dimaksudkan. Empan papan  itu menempatkan diri dalam relasi social yang sesuai dengan pangkat dan derajad kita, sesuai dengan prestasi, kapasitas dan moralitas kita. Orang Jawa tidak suka atas prilaku yang “semau gue” atau tidak menghargai lingkungannya. Dipastikan bahwa lingkungan social tersebut adalah lingkungan yang baik, yang bermoral dan relevan dengan ajaran agama yang dianutnya.

Salah seorang penyair Indonesia, Zawawi Imron, penyair “Celurit Emas” sering kali mengungkapkan bahwa “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Jadi jangan kita itu berada di suatu tempat atau wilayah tetapi tidak menggunakan norma dan moralitas yang relevan dengan tempat kita berada. Hargai moralitas dan norma yang dijadikan pedoman agar kita bisa melakukan yang terbaik untuk diri kita. Kita hidup di Indonesia dengan ajaran moralitas dan norma yang berasal dari ajaran agama, akan tetapi kita menggunakan etika dan norma yang berkembang di Eropa. Tidak bisa dengan dalih kebebasan, lalu kita melakukan segala sesuatu dengan permisif. Serba boleh. Jadikan ukuran untuk performance kita itu atas dasar nilai, norma dan moralitas yang bersumber dari relasi antara ajaran agama dan lokalitas yang berkembang. Yang agak politis, misalnya kita menjadi orang Indonesia, tetapi tidak mengakui common platform bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Kita hidup di Indonesia tetapi menginginkan system khilafah sebagai bentuk negara. Yang seperti ini namanya tidak empan papan.

Kita sebagai warga negara Indonesia tetapi cara kita berperilaku seperti orang barat yang permisif, yang serba boleh. Bahkan juga berpakaian yang tidak menggambarkan tata cara berpakaian orang Indonesia yang mengagungkan kesopanan. Melakukan sesuatu tindakan sebagaimana basis moralitas di mana kita hidup merupakan bagian tidak terpisahkan dalam prinsip orang Jawa.  Sesungguhnya, kita merupakan bagian dari lingkungan social di mana kita hidup. Tetapi juga jangan diartikan bahwa kala kita berada di negara dengan tindakan permissiveness kita juga harus melakukannya seperti itu.

Di dalam Islam terdapat ajaran uzlah atau menyendiri dalam lingkungan social yang permisif. Jika mayoritas orang melakukan perbuatan permisif, maka janganlah kita karena tuntutan lingkungan social lalu kita juga melakukannya. Jadi harus tetap diperhatikan bahwa tetap ada ajaran moral yang normative dan aplikatif yang tetap harus dipegang sebagai basis moralitas di dalam kehidupan.

Jadi, empan papan tidak berarti menoleransi atas tindakan yang keliru hanya karena relasi dan lingkungan social seperti itu.  Di dalam kondisi seperti ini, maka konsistensi menjaga moralitas tetap menjadi acuan. Empan papan tetap berada di dalam koridor menjaga yang baik dan menghindari yang jelek atau tetapi berada di dalam bingkai amar ma’ruf nahi mungkar.

Wallahu a’lam bi al shawab.

EMBAN CINDHE EMBAN SILADAN: KESETARAAN DALAM TRADISI JAWA (2)

EMBAN CINDHE EMBAN SILADAN: KESETARAAN DALAM TRADISI JAWA (2)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Orang Jawa sering kali dianggap memiliki prinsip hidup yang tidak sesuai dengan perubahan zaman dan menghambat kemajuan. Pandangan seperti ini merupakan stereotip atas beberapa ungkapan di dalam Bahasa Jawa yang dimaknai keliru atau tidak tepat. Orang terkadang hanya melihat bunyi teks tetapi tidak memahami makna substantifnya dan juga konteksnya. Padahal dengan sedikit pemahaman saja tentang tradisi Jawa tersebut, maka kita akan tahu maknanya dan apa yang sesungguhnya menjadi maknanya.

Jika kita telusuri betapa bagusnya ungkapan emban cindhe emban siladan. Prinsip di dalam kehidupan orang Jawa yang mengajarkan kesetaraan, kesamaan, kesederajadan  di dalam kehidupan. Alangkah indahnya, seandainya orang yang memahami tradisi Jawa ini memahami relasinya dengan orang lain, kelompok lain dan juga masyarakat secara umum dengan menggunakan prinsip ini. Sayangnya bahwa di dalam kehidupan di dunia banyak orang yang lebih mementingkan  sifat ananiyah atau keakuan atau keegoisan, sehingga susah memberikan akses pada orang lain untuk memperoleh kehidupan  yang lebih baik.

Yang juga menjadi menarik, bahwa prinsip tersebut memiliki kecocokan dengan ajaran agama. Saya merasa bahwa semua agama mengajarkan tentang kesetaraan. Tidak ada suatu agama yang tidak mengajarkan kesetaraan, kesamaan, kesederajadan dan keadilan. Empat  hal ini merupakan prinsip umum yang berlaku mendasar bagi semua agama. Islam tentu juga mengajarkan tentang  hal ini. Semua manusia memiliki kesamaan dalam prinsip mendasar kehidupan, hanya saja akan menjadi berbeda di dalam proses kehidupan dan hasil kehidupan. Misalnya, orang bisa memiliki jenis pekerjaan yang sama tetapi bisa berbeda di dalam proses dan produknya.  Tentu saja ada banyak factor yang mempengaruhi atas proses dan produk kehidupan.

Islam sangat menghargai harkat dan martabat manusia. Islam menempatkan manusia dalam ciptaan terbaik. Islam mengajarkan akan harkat dan martabat manusia itu ditinggikan dan melarang manusia untuk menghina manusia lainnya. Orang yang menghina manusia “seperti” halnya menghina  Tuhan. Nabiyullah Muhammad SAW begitu menghargai umat manusia tanpa membedakan apa agamanya. Suatu Ketika ada seseorang yang meninggal dan kala di bawa ke kuburan, maka melewati Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad SAW berdiri dan menghormatinya. Seorang  sahabat memberitahu bahwa yang meninggal itu adalah orang Yahudi, maka Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa yang meninggal tersebut adalah manusia. Artinya, Nabi Muhammad SAW tetap menghargainya meskipun yang bersangkutan tidak sama keyakinannya.

Dengan demikian, Islam sesungguhnya memiliki konsep dan pengamalan beragama yang sangat menghargai umat manusia. Tidak ada perbedaan antara satu dengan lainnya. Bahkan tidak dibedakan berdasar atas agamanya. Saya teringat pada ungkapan Gus Dur, Beliau menyatakan: “jika kita berbuat baik, maka orang tidak akan bertanya apa agama kita”. Sebuah ungkapan yang memberikan panduan, bahwa berbuat baik itu harus dilakukan oleh siapapun tanpa harus dibebani dengan agama apa yang dipeluknya.

Islam tidak membedakan lelaki dan perempuan dalam konstruksi sosial. Lelaki dan perempuan sama-sama diberi peluang berada di ruang public yang relevan dengan kapasitas dan kemampuannya. Jika masih ada yang manyatakan bahwa perempuan hanya boleh di ruang domestic, maka hal tersebut tentu bisa dipengaruhi oleh pemahaman, lingkungan dan budaya masyarakatnya. Jika di Afghanistan, perempuan bahkan tidak boleh sekolah, maka hal ini bukanlah ajaran Islam tetapi merupakan budaya masyarakat Afghanistan yang memang menjadikan perempuan sebagai manusia kelas dua. Manusia yang hanya menjadi pelengkap kehidupan.

Islam menempatkan perempuan sebagai manusia utama. Perempuan ditempatkan di dalam maqam yang tinggi. Bahkan surga itu berada di telapak kakinya. Kebaikan Tindakan manusia kepada Ibunya akan menjadi factor penting untuk menjadi keluarga surgawi. Di dalam Islam terdapat sebuah cerita tentang keutamaan seorang anak karena menghormati dan berperilaku baik kepada ibunya. Demi memperoleh keridlaan Ibunya, maka ada seorang pemuda yang dengan rela menggendong ibunya sambil berjalan kaki dari Madinah ke Mekkah untuk menghajikannya. Disadari benar bahwa keridlaan ibunya adalah keridlaan Allah SWT.

Suatu Ketika, Khalifah Umar bin Khattab datang ke Mesir, dan Beliau menjumpai ada seorang pemuda Nasrani yang dipukul perutnya oleh putra gubernur Mesir. Ammar memukul pemuda Koptik karena kemarahannya. Dia marah karena kalah dalam lomba pacuan kuda. Maka kala Umar mengetahui hal ini, maka umar menyatakan: “Hai Amar sejak kapan  engkau memperbudak manusia, padahal dia dilahirkan dari rahim ibunya dalam keadaan merdeka”. Setiap anak dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan suci. Tidak ada perbedaan agama, status sosial dan strata sosial orang tuanya. Anak yang dilahirkan oleh Abu Jahal dan istrinya juga dilahirkan dalam keadaan suci. Anak itu akan menjadi apa tergantung pada factor luar, misalnya orang tuanya.

Menilik atas konsep Islam seperti ini, maka sungguh ajaran tersebut kompatibel dengan prinsip dalam kehidupan orang Jawa. Islam itu tidak emban cindhe emban siladan. Jika di dalam tradisi Jawa terdapat ajaran kesetaraan, kesamaan,  kesederajatan dan keadilan, maka Islam juga mengajarkannya. Jadi bisa dipahami jika para waliyullah di masa lalu menyatakan agar kita menjadi orang Islam Jawa, sebab antara ajaran Islam dengan tradisi Jawa bukanlah berada di dalam posisi bertentangan tetapi saling mensupport.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

EMBAN CINDHE EMBAN SILADAN: KESETARAAN DALAM TRADISI JAWA (1)

EMBAN CINDHE EMBAN SILADAN: KESETARAAN DALAM TRADISI JAWA (1)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Kesetaraan menjadi isu penting di dalam kehidupan masyarakat terkait dengan gerakan-gerakan kesadaran untuk memperoleh akses yang sama di dalam kehidupan. Tidak mesti kesamaan dalam konsepsi kaum komunis, akan tetapi kesadaran bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan yang sama, sehingga juga harus memperoleh akses yang sama di dalam kehidupan tersebut.

Gerakan kesetaraan, keadilan, dan kesamaan dalam hak dan kewajiban memperoleh momentum penting di tengah kesenjangan social yang semakin menguat dan akses kehidupan yang semakin tidak memberikan peluang bagi wong cilik untuk terlibat di dalam upaya perbaikan kehidupan. Joseph E. Stiglitz pernah mengingatkan akan bahayanya ketidakseimbangan dan social economy gap di tengah kehidupan social. Di dalam bukunya yang masyhur dan mengantarkannya untuk mendapatkan hadial Nobel, The Great Divided, telah diperingatkan bahwa dewasa ini terdapat group 1 persen yang menguasai kelompok 99 persen. Jika kesenjangan ini tidak dipikirkan dan dibuat kebijakan yang mendekatkan jarak keduanya, maka dunia di dalam bahaya. Begitulah pesan utamanya.

Kemudian juga tidak kalah menarik tentang gerakan perempuan yang juga menuntut kesamaan, kesetaraan dan keadilan bagi perempuan. Ada semacam anggapan bahwa terjadi gender oppression, gender disequality dan gender differentiation. Dugaan kaum perempuan bahwa kaum perempuan itu tertindas, tidak memiliki kesamaan dan terjadi perbedaan dalam banyak hal, bukan dalam kodratnya sebagai perempuan tetapi yang dikonstruksikan oleh kaum lelaki. Gerakan gender kemudian menjadi bersearah dengan gerakan perempuan untuk menuntut hak.

Sesungguhnya di dalam filsafat Jawa terdapat ungkapan emban Cindhe Emban Siladan, yang makna secara terminologisnya adalah yang satu digendong dengan kain bertatahkan emas permata dan yang lain digendong dengan  kain terbuat dari bambu atau kayu. Artinya bahwa ada yang diutamakan dan yang lain dipinggirkan. Ada yang diberikan akses yang luar biasa dan yang lain tidak memiliki akses sama sekali. Prinsipnya bahwa terdapat perbedaan perlakukan yang nyata atau perilaku actual yang membedakan antara satu dengan lainnya.

Memang konteks ungkapan ini pada urusan domestic, atau antar anak dan keluarga. Akan tetapi sesungguhnya bisa ditarik secara lebih luas untuk kelompok, masyarakat dan bahkan negara. Di dalam cerita pewayangan, misalnya bisa digambarkan peristiwa yang melibatkan relasi antar saudara antara Bambang Sumantri dengan Bambang Sukosrono. Bambang Sumantri itu ganteng, tampan dan berwibawa, sementara itu Bambang Sukosrono itu jelek, cebol dan tidak elok perawakannya. Maka Bambang Sumantri diterima menjadi prajuit bahkan kemudian diangkat menjadi panglima perang (patih)  di Kerajaan Magadha dengan rajanya Arjuna Sasrabahu. Sukosrono tidak diberikan akses untuk bertemu di ruang public, padahal yang memiliki kesaktian adalah adiknya ini, bukan Bambang Sumantri. Karena Sukrosrono nekad ingin terlibat di ruang public, maka ditakut-takuti dengan senjata terhunus, dan pusaka saktinya akhirnya terlepas dan menyebabkan Sukosrono meninggal dan barulah Bambang Sumantri tersadar bahwa tindakannya itu salah. Pada saat menghadapi sakaratul maut, Sukosrono mengatakan: “saya tidak akan menghadap kepada Tuhan kecuali bareng dengan kakak”. Akhirnya Bambang Sumantri meninggal di tangan Raja Dosomuko atas bantuan Sukosrono. Keduanya kemudian menghadap kepada Tuhan secara bersamaan.

Prinsip di dalam Islam adalah membangun kesetaraan. Di dalam Islam yang membedakan antara satu manusia dengan lainnya adalah ketaqwaannya. Di dalam Alqur’an dinyatakan bahwa: “hai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan kami jadikan kamu  berbangsa-bangsa dan bersuku-suku  supaya kamu saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling bertaqwa di antara kamu”. (QS: Alhujurat, 13).

Islam tidak membedakan antara lelaki dan perempuan kecuali dalam kodratnya. Misalnya perempuan hamil dan lelaki tidak. Perempuan menyusui dan lelaki tidak. Perempuan memiliki kandungan dan lelaki tidak. Jadi ada kesamaan dan ada perbedaan. Maka yang sama tentu harus disamakan dan yang berbeda tentu harus dibedakan. Islam tidak menghalangi perempuan untuk terlibat di ruang publik. Pada zaman Nabi Muhammad SAW ada perempuan yang terlibat di dalam peperangan. Misalnya Nusaibah binti Ka’ab Al Anshoriyah, seorang muslimah yang berperang melawan pasukan Quraisy.

Dalam keadaan yang paling genting, perang, Islam tidak melarang lelaki dan perempuan untuk bersama berjuang di jalan Allah. Dengan demikian tidak salah jika diambil kesimpulan bahwa perempuan tentu diperkenankan untuk berjuang di dalam sector kehidupan lainnya.

Mungkin di antara kita masih terjebak pada pemikiran tentang ketidaksamaan dalam pewarisan, misalnya konsep sakpikul  untuk lelaki, dan sakgendongan  untuk perempuan. Di dalam konteks penafsiran Islam, maka kemudian terdapat penafsiran baru yang tidak hanya terpateri para teksnya tetapi juga konteksnya. Maka, Prof. Dr. Munawir Syadzali, Menteri Agama, menggagas penafsiran baru yang lebih bernuansa kesetaraan dan kesamaan antara anak lelaki dan perempuan. Tidak hanya melihat perbedaan fisik lelaki dan perempuan, akan tetapi juga memperhitungkan akan kondisi yang terjadi di dalam keluarga. Prinsip yang dikembangkan adalah bagaimana di dalam keluarga tersebut terdapat keadilan di dalam mengelola dan mengatur harta untuk kepentingan bersama.

Jika kemudian ditarik pandangan komplementer antara ajaran Islam dengan filsafat hidup orang Jawa, maka sebenarnya tidak terjadi pertentangan. Antara Islam dan budaya Jawa itu merupakan dua entitas yang saling menyatu dalam substansinya, meskipun secara kebahasaan terdapat perbedaan. Memang, Islam dan filsafat Jawa merupakan satu kesatuan substansial dan fungsional. Bukan sesuatu yang berlawanan. Jadi tidak perlu orang Jawa Islam berkeinginan menjadi Islam Arab dalam segala hal. Tetaplah menjadi orang Jawa dengan Islam sebagai pedoman untuk melakukan tindakan.

Wallahu a’lam bi al shawab.