EMBAN CINDHE EMBAN SILADAN: KESETARAAN DALAM TRADISI JAWA (2)
EMBAN CINDHE EMBAN SILADAN: KESETARAAN DALAM TRADISI JAWA (2)
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Orang Jawa sering kali dianggap memiliki prinsip hidup yang tidak sesuai dengan perubahan zaman dan menghambat kemajuan. Pandangan seperti ini merupakan stereotip atas beberapa ungkapan di dalam Bahasa Jawa yang dimaknai keliru atau tidak tepat. Orang terkadang hanya melihat bunyi teks tetapi tidak memahami makna substantifnya dan juga konteksnya. Padahal dengan sedikit pemahaman saja tentang tradisi Jawa tersebut, maka kita akan tahu maknanya dan apa yang sesungguhnya menjadi maknanya.
Jika kita telusuri betapa bagusnya ungkapan emban cindhe emban siladan. Prinsip di dalam kehidupan orang Jawa yang mengajarkan kesetaraan, kesamaan, kesederajadan di dalam kehidupan. Alangkah indahnya, seandainya orang yang memahami tradisi Jawa ini memahami relasinya dengan orang lain, kelompok lain dan juga masyarakat secara umum dengan menggunakan prinsip ini. Sayangnya bahwa di dalam kehidupan di dunia banyak orang yang lebih mementingkan sifat ananiyah atau keakuan atau keegoisan, sehingga susah memberikan akses pada orang lain untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Yang juga menjadi menarik, bahwa prinsip tersebut memiliki kecocokan dengan ajaran agama. Saya merasa bahwa semua agama mengajarkan tentang kesetaraan. Tidak ada suatu agama yang tidak mengajarkan kesetaraan, kesamaan, kesederajadan dan keadilan. Empat hal ini merupakan prinsip umum yang berlaku mendasar bagi semua agama. Islam tentu juga mengajarkan tentang hal ini. Semua manusia memiliki kesamaan dalam prinsip mendasar kehidupan, hanya saja akan menjadi berbeda di dalam proses kehidupan dan hasil kehidupan. Misalnya, orang bisa memiliki jenis pekerjaan yang sama tetapi bisa berbeda di dalam proses dan produknya. Tentu saja ada banyak factor yang mempengaruhi atas proses dan produk kehidupan.
Islam sangat menghargai harkat dan martabat manusia. Islam menempatkan manusia dalam ciptaan terbaik. Islam mengajarkan akan harkat dan martabat manusia itu ditinggikan dan melarang manusia untuk menghina manusia lainnya. Orang yang menghina manusia “seperti” halnya menghina Tuhan. Nabiyullah Muhammad SAW begitu menghargai umat manusia tanpa membedakan apa agamanya. Suatu Ketika ada seseorang yang meninggal dan kala di bawa ke kuburan, maka melewati Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad SAW berdiri dan menghormatinya. Seorang sahabat memberitahu bahwa yang meninggal itu adalah orang Yahudi, maka Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa yang meninggal tersebut adalah manusia. Artinya, Nabi Muhammad SAW tetap menghargainya meskipun yang bersangkutan tidak sama keyakinannya.
Dengan demikian, Islam sesungguhnya memiliki konsep dan pengamalan beragama yang sangat menghargai umat manusia. Tidak ada perbedaan antara satu dengan lainnya. Bahkan tidak dibedakan berdasar atas agamanya. Saya teringat pada ungkapan Gus Dur, Beliau menyatakan: “jika kita berbuat baik, maka orang tidak akan bertanya apa agama kita”. Sebuah ungkapan yang memberikan panduan, bahwa berbuat baik itu harus dilakukan oleh siapapun tanpa harus dibebani dengan agama apa yang dipeluknya.
Islam tidak membedakan lelaki dan perempuan dalam konstruksi sosial. Lelaki dan perempuan sama-sama diberi peluang berada di ruang public yang relevan dengan kapasitas dan kemampuannya. Jika masih ada yang manyatakan bahwa perempuan hanya boleh di ruang domestic, maka hal tersebut tentu bisa dipengaruhi oleh pemahaman, lingkungan dan budaya masyarakatnya. Jika di Afghanistan, perempuan bahkan tidak boleh sekolah, maka hal ini bukanlah ajaran Islam tetapi merupakan budaya masyarakat Afghanistan yang memang menjadikan perempuan sebagai manusia kelas dua. Manusia yang hanya menjadi pelengkap kehidupan.
Islam menempatkan perempuan sebagai manusia utama. Perempuan ditempatkan di dalam maqam yang tinggi. Bahkan surga itu berada di telapak kakinya. Kebaikan Tindakan manusia kepada Ibunya akan menjadi factor penting untuk menjadi keluarga surgawi. Di dalam Islam terdapat sebuah cerita tentang keutamaan seorang anak karena menghormati dan berperilaku baik kepada ibunya. Demi memperoleh keridlaan Ibunya, maka ada seorang pemuda yang dengan rela menggendong ibunya sambil berjalan kaki dari Madinah ke Mekkah untuk menghajikannya. Disadari benar bahwa keridlaan ibunya adalah keridlaan Allah SWT.
Suatu Ketika, Khalifah Umar bin Khattab datang ke Mesir, dan Beliau menjumpai ada seorang pemuda Nasrani yang dipukul perutnya oleh putra gubernur Mesir. Ammar memukul pemuda Koptik karena kemarahannya. Dia marah karena kalah dalam lomba pacuan kuda. Maka kala Umar mengetahui hal ini, maka umar menyatakan: “Hai Amar sejak kapan engkau memperbudak manusia, padahal dia dilahirkan dari rahim ibunya dalam keadaan merdeka”. Setiap anak dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan suci. Tidak ada perbedaan agama, status sosial dan strata sosial orang tuanya. Anak yang dilahirkan oleh Abu Jahal dan istrinya juga dilahirkan dalam keadaan suci. Anak itu akan menjadi apa tergantung pada factor luar, misalnya orang tuanya.
Menilik atas konsep Islam seperti ini, maka sungguh ajaran tersebut kompatibel dengan prinsip dalam kehidupan orang Jawa. Islam itu tidak emban cindhe emban siladan. Jika di dalam tradisi Jawa terdapat ajaran kesetaraan, kesamaan, kesederajatan dan keadilan, maka Islam juga mengajarkannya. Jadi bisa dipahami jika para waliyullah di masa lalu menyatakan agar kita menjadi orang Islam Jawa, sebab antara ajaran Islam dengan tradisi Jawa bukanlah berada di dalam posisi bertentangan tetapi saling mensupport.
Wallahu a’lam bi al shawab.