Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

EMBAN CINDHE EMBAN SILADAN: KESETARAAN DALAM TRADISI JAWA (1)

EMBAN CINDHE EMBAN SILADAN: KESETARAAN DALAM TRADISI JAWA (1)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Kesetaraan menjadi isu penting di dalam kehidupan masyarakat terkait dengan gerakan-gerakan kesadaran untuk memperoleh akses yang sama di dalam kehidupan. Tidak mesti kesamaan dalam konsepsi kaum komunis, akan tetapi kesadaran bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan yang sama, sehingga juga harus memperoleh akses yang sama di dalam kehidupan tersebut.

Gerakan kesetaraan, keadilan, dan kesamaan dalam hak dan kewajiban memperoleh momentum penting di tengah kesenjangan social yang semakin menguat dan akses kehidupan yang semakin tidak memberikan peluang bagi wong cilik untuk terlibat di dalam upaya perbaikan kehidupan. Joseph E. Stiglitz pernah mengingatkan akan bahayanya ketidakseimbangan dan social economy gap di tengah kehidupan social. Di dalam bukunya yang masyhur dan mengantarkannya untuk mendapatkan hadial Nobel, The Great Divided, telah diperingatkan bahwa dewasa ini terdapat group 1 persen yang menguasai kelompok 99 persen. Jika kesenjangan ini tidak dipikirkan dan dibuat kebijakan yang mendekatkan jarak keduanya, maka dunia di dalam bahaya. Begitulah pesan utamanya.

Kemudian juga tidak kalah menarik tentang gerakan perempuan yang juga menuntut kesamaan, kesetaraan dan keadilan bagi perempuan. Ada semacam anggapan bahwa terjadi gender oppression, gender disequality dan gender differentiation. Dugaan kaum perempuan bahwa kaum perempuan itu tertindas, tidak memiliki kesamaan dan terjadi perbedaan dalam banyak hal, bukan dalam kodratnya sebagai perempuan tetapi yang dikonstruksikan oleh kaum lelaki. Gerakan gender kemudian menjadi bersearah dengan gerakan perempuan untuk menuntut hak.

Sesungguhnya di dalam filsafat Jawa terdapat ungkapan emban Cindhe Emban Siladan, yang makna secara terminologisnya adalah yang satu digendong dengan kain bertatahkan emas permata dan yang lain digendong dengan  kain terbuat dari bambu atau kayu. Artinya bahwa ada yang diutamakan dan yang lain dipinggirkan. Ada yang diberikan akses yang luar biasa dan yang lain tidak memiliki akses sama sekali. Prinsipnya bahwa terdapat perbedaan perlakukan yang nyata atau perilaku actual yang membedakan antara satu dengan lainnya.

Memang konteks ungkapan ini pada urusan domestic, atau antar anak dan keluarga. Akan tetapi sesungguhnya bisa ditarik secara lebih luas untuk kelompok, masyarakat dan bahkan negara. Di dalam cerita pewayangan, misalnya bisa digambarkan peristiwa yang melibatkan relasi antar saudara antara Bambang Sumantri dengan Bambang Sukosrono. Bambang Sumantri itu ganteng, tampan dan berwibawa, sementara itu Bambang Sukosrono itu jelek, cebol dan tidak elok perawakannya. Maka Bambang Sumantri diterima menjadi prajuit bahkan kemudian diangkat menjadi panglima perang (patih)  di Kerajaan Magadha dengan rajanya Arjuna Sasrabahu. Sukosrono tidak diberikan akses untuk bertemu di ruang public, padahal yang memiliki kesaktian adalah adiknya ini, bukan Bambang Sumantri. Karena Sukrosrono nekad ingin terlibat di ruang public, maka ditakut-takuti dengan senjata terhunus, dan pusaka saktinya akhirnya terlepas dan menyebabkan Sukosrono meninggal dan barulah Bambang Sumantri tersadar bahwa tindakannya itu salah. Pada saat menghadapi sakaratul maut, Sukosrono mengatakan: “saya tidak akan menghadap kepada Tuhan kecuali bareng dengan kakak”. Akhirnya Bambang Sumantri meninggal di tangan Raja Dosomuko atas bantuan Sukosrono. Keduanya kemudian menghadap kepada Tuhan secara bersamaan.

Prinsip di dalam Islam adalah membangun kesetaraan. Di dalam Islam yang membedakan antara satu manusia dengan lainnya adalah ketaqwaannya. Di dalam Alqur’an dinyatakan bahwa: “hai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan kami jadikan kamu  berbangsa-bangsa dan bersuku-suku  supaya kamu saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling bertaqwa di antara kamu”. (QS: Alhujurat, 13).

Islam tidak membedakan antara lelaki dan perempuan kecuali dalam kodratnya. Misalnya perempuan hamil dan lelaki tidak. Perempuan menyusui dan lelaki tidak. Perempuan memiliki kandungan dan lelaki tidak. Jadi ada kesamaan dan ada perbedaan. Maka yang sama tentu harus disamakan dan yang berbeda tentu harus dibedakan. Islam tidak menghalangi perempuan untuk terlibat di ruang publik. Pada zaman Nabi Muhammad SAW ada perempuan yang terlibat di dalam peperangan. Misalnya Nusaibah binti Ka’ab Al Anshoriyah, seorang muslimah yang berperang melawan pasukan Quraisy.

Dalam keadaan yang paling genting, perang, Islam tidak melarang lelaki dan perempuan untuk bersama berjuang di jalan Allah. Dengan demikian tidak salah jika diambil kesimpulan bahwa perempuan tentu diperkenankan untuk berjuang di dalam sector kehidupan lainnya.

Mungkin di antara kita masih terjebak pada pemikiran tentang ketidaksamaan dalam pewarisan, misalnya konsep sakpikul  untuk lelaki, dan sakgendongan  untuk perempuan. Di dalam konteks penafsiran Islam, maka kemudian terdapat penafsiran baru yang tidak hanya terpateri para teksnya tetapi juga konteksnya. Maka, Prof. Dr. Munawir Syadzali, Menteri Agama, menggagas penafsiran baru yang lebih bernuansa kesetaraan dan kesamaan antara anak lelaki dan perempuan. Tidak hanya melihat perbedaan fisik lelaki dan perempuan, akan tetapi juga memperhitungkan akan kondisi yang terjadi di dalam keluarga. Prinsip yang dikembangkan adalah bagaimana di dalam keluarga tersebut terdapat keadilan di dalam mengelola dan mengatur harta untuk kepentingan bersama.

Jika kemudian ditarik pandangan komplementer antara ajaran Islam dengan filsafat hidup orang Jawa, maka sebenarnya tidak terjadi pertentangan. Antara Islam dan budaya Jawa itu merupakan dua entitas yang saling menyatu dalam substansinya, meskipun secara kebahasaan terdapat perbedaan. Memang, Islam dan filsafat Jawa merupakan satu kesatuan substansial dan fungsional. Bukan sesuatu yang berlawanan. Jadi tidak perlu orang Jawa Islam berkeinginan menjadi Islam Arab dalam segala hal. Tetaplah menjadi orang Jawa dengan Islam sebagai pedoman untuk melakukan tindakan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..