ANDHAP ASOR: MENJAGA KESOPANAN DALAM TRADISI JAWA
ANDHAP ASOR: MENJAGA KESOPANAN DALAM TRADISI JAWA
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang religious. Labelisasi ini bukan sesuatu yang berlebihan, sebab bagi masyarakat Jawa, agama adalah pedoman yang sangat mulya semenjak dahulu kala. Agama bagi masyarakat Jawa merupakan pedoman bertingkah laku, dan hal ini sudah berlangsung semenjak dahulu kala. Sebelum Islam datang ke Indonesia, masyarakat Jawa sudah menjadikan agama Buddha dan Hindu serta ajaran-ajaran lainnya misalnya ajaran Kapitayan, sebagai modal relasi kepada Tuhan dan juga sesama manusia.
Semua agama di dunia mengajarkan kebaikan untuk kehidupan. pesan-pesan agama mengandung ajaran moral yang adiluhung bagi kehidupan manusia. Semua agama mengajarkan agar membangun relasi dengan Tuhan secara memadai dan juga relasi social yang memadai. Jika kemudian terdapat kekerasan yang dikaitkan dengan agama tertentu, maka sebenarnya merupakan penafsiran manusia atas ajaran agamanya, dan bukan substansi ajaran agama tersebut. Makanya, di dunia ini juga terdapat “perang” yang bernuansa agama, artinya agama dijadikan sebagai penguat atas konflik social yang dilakukan oleh dua atau lebih kelompok.
Orang Jawa mengajarkan prinsip filsafat kehidupan yang disebut sebagai andap asor. Atau prinsip tradisi yang bersubstansi pemahaman, sikap dan Tindakan yang bercorak sopan santun. Prinsip ini bertali temali dengan substansi ajaran tentang bagaimana seharusnya perilaku orang Jawa atas orang lain. Prinsip ini mengajarkan tentang ojo adigang adigung adiguna, ojo gumedhe, ojo dumeh dan sebagainya. Ajaran-ajaran ini mengunggah prinsip hidup yang menempatkan diri di dalam dunia social yang wajar dan bermartabat.
Andhap asor, secara kebahasaan berarti rendah hati dan sopan santun. Ungkapan Jawa ini juga dikaitkan dengan istilah seperti lembah manah lan andap asor. Yang artinya adalah rendah hati dan sopan santun.
Sopan santun merupakan ajaran yang sangat baik. Sopan santun sesungguhnya akan memberikan gambaran tentang bagaimana tingkat kesopanan kita di dalam relasi social. Melalui sikap dan Tindakan yang menggambarkan kesopanan, maka orang lain dapat menilai siapa sesungguhnya kita itu. Orang Jawa memiliki sejumlah indicator untuk mengetahui bagaimana sikap dan Tindakan orang lain. Contoh sederhana, misalnya dari cara berjalan, cara duduk, cara berbicara, gerak gesturnya dan cara memasuki ruang yang sudah ada orang di dalamnya. Semua ini sering dijadikan sebagai indicator tingkat kesopanan kita.
Orang Jawa misalnya jika duduk di bawah atau lantai tanah, maka duduknya mestilah bersila, bisa jadi ini berasal dari kata susila atau kepatutan. Jika melewati tempat orang duduk atau berdiri, maka akan menjulurkan tangannya ke bawah dengan punggung membungkuk dan biasanya diikuti dengan pernyataan “nuwun sewu” atau atau mohon ijin. Ini merupakan perilaku orang Jawa yang selalu mengedepankan kerendahan pikiran dan hati. Makanya, di dalam makam-makam keramat, seperti para wali, maka pintu masuk ke dalam area makam itu pintunya rendah, sebagai perlambang agar orang merunduk atau menunduk sebagai bagian dari tatakrama atas orang yang dituakan atau para kekasih Allah. Semua melambangkan agar manusia memiliki tatakrama dalam relasinya dengan orang yang lebih tinggi derajad taqwanya kepada Allah swt.
Islam mengajarkan tentang ajaran tawadhu’ atau rendah hati bukan rendah diri. Orang yang rendah hati tidak menganggap bahwa dirinya yang paling hebat, paling kuat, paling berkuasa dan seterusnya. Akan tetapi dia tetap berada di dalam konteks kemanusiaan yang serba dhaif atau lemah tetapi bukan tidak berdaya. Lemah karena sesungguhnya kekuatan yang paling tinggi adalah milik Allah semata. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali milik Allah swt.
Di dalam syarah shahih Muslim (Imam An Nawawi) dinyatakan bahwa “sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bertawadhu, sehingga seseorang merasa bangga lagi sombong terhadap orang lain dan juga tidak berlaku aniaya kepada orang lain”. Hadits ini memberikan gambaran bahwa orang Islam itu seharusnya rendah hati dan tidak melakukan kesombongan terhadap orang lain. Orang Islam mesti harus sadar bahwa dirinya tidaklah memiliki apa-apa jika Allah mencabut kekuatan fisik dan akalnya , bahkan ilmu dari dirinya.
Orang yang tawadhu’ tidak pernah menyombongkan diri, tidak pernah menganggap dirinya paling hebat dan tidak beranggapan bahwa dia tahu segalanya. Sebagai manusia pengetahuan kita sangat terbatas. Bahkan kita tidak tahu ada apa dibalik dinding sebelah kita duduk. Hanya orang khusus yang diberikan pengetahuan oleh Allah SWT karena kedekatannya atau taqarrubnya. Para waliyullah atau para ulama atau kyai yang memiliki kedekatan khusus kepada Allah SWT melalui riyadhohnya saja yang berpeluang diberikan pengetahuan lebih di atas manusia lainnya. Di dalam dunia empiris kita mengetahui ada orang-orang yang mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia lain. Mereka merupakan golongan orang yang weruh sakdurunge winarah atau mengetahui sesuatu tanpa dipelajari atau diberitahukan sebelumnya.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya jika orang-orang yang awam seperti kita ini tetap berada di dalam konteks kehidupan yang menjaga kesopanan dalam relasi dengan dunia social kita yang kompleks. Sesungguhnya manusia itu berharga jika menghargai orang lain, dan manusia tidak berharga jika selalu memandang rendah orang lain.
Ajaran kesopanan di dalam filsafat Jawa ini sungguh memiliki rujuan teks yang sangat kuat di dalam ajaran Islam, sehingga pantaslah jika kita tidak mempertentangkan Islam dan Jawa, karena keduanya sudah menyatu di dalam filsafat dan tradisi Islam Jawa.
Wallahu a’lam bi al shawab.