• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

NGUNDHUH WOHING PAKARTI: FILSAFAT AKIBAT TINDAKAN ORANG JAWA

NGUNDHUH WOHING PAKARTI: FILSAFAT AKIBAT TINDAKAN ORANG JAWA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tidak ada fakta yang berdiri sendiri kecuali ada fakta penyebabnya. Demikianlah kehidupan manusia juga tidak ada suatu hal atau perilaku yang berdiri sendiri kecuali berkaitan dengan fakta-fakta lain yang mengitarinya. Demikianlah konsepsi ahli ilmu sosial di dalam melihat kehidupan manusia dengan keanekaragaman perilaku di dalamnya. Manusia juga dipastikan melakukan sesuatu yang  ada kaitannya dengan orang lain atau yang disebut sebagai medan interaksi sosial.

Di dalam konsepsi ahli ilmu sosial lainnya juga dinyatakan bahwa tidak ada suatu tindakan  yang tidak didasari oleh tujuan tertentu. Manusia melakukan tindakan rasional bertujuan atau ada tujuan dibalik seseorang melakukan sesuau atau individu di dalam melakukan tindakannya. Setiap tindakan yang ditujukan kepada orang lain disebut sebagai tindakan sosial atau social action. Jadi, tidak ada orang yang melakukan tindakan yang ditujukan kepada orang lain tanpa tujuan. Jika ada orang yang melakukan sesuatu tanpa didasari oleh tujuan melakukannya, maka tidak disebut sebagai tindakan sosial. Orang gila misalnya melakukan tindakan yang tidak bisa disebut sebagai Tindakan sosial karena tidak ditujukan tindakannya tersebut untuk orang lain.

Di dalam filsafat Jawa dikenal ada suatu konsep yang disebut sebagai ngundhuh wohing pakarti, yang di dalam Bahasa Indonesia bisa diterjemahkan mendapat akibat dari  perilakunya. Akibat tersebut bisa positif dan bisa juga negative tergantung dari apa yang dilakukannya. Jika yang dilakukannya baik, maka akan berakibat kebaikan dan jika yang dilakukan kejelekan akan berakibat pada kejelekan. Jadi akibat itu erat kaitannya dengan apa yang dilakukan oleh seorang individu.

Di dalam cerita pewayangan, misalnya di dalam cerita Ramayana atau Baratayudha, maka didapatkan gambaran bahwa para Kurawa itu kalah di dalam peperangan karena tindakan licik yang dilakukannya selama itu  terhadap para Pandawa. Misalnya di dalam episode Pandawa Main Dadu, misalnya kemenangan Kurawa adalah karena kelicikan Mahapatih Sangkuni, dan salah satu episode yang sangat bertolak belakang dengan moral dan perilaku seorang ksatria adalah di kala Dursasono menelanjangi Dewi Drupadi istri Yudistira. Tetapi karena pertolongan para Dewa, maka Dewi Drupadi tidak bisa ditelanjangi karena kain yang dipakai itu tidak ada ujungnya. Dari sini, Dewi Drupadi bersumpah atau supata bahwa dia akan meminum darah Dursasono, dan akhirnya itulah yang terjadi. Demikian pula di dalam cerita Ramayana, Dosomuka atau Rahwono  akhirnya juga harus menelan kekalahan di dalam peperangan melawan Romowijoyo. Indrajit yang memiliki kesaktian tiada tara juga bisa dikalahkan, demikian pula Dosomuko yang memiliki kesaktian tiada tara juga berhasil dikalahkan oleh Romowijoyo.

Di dalam tradisi Jawa itu semua menggambarkan yang disebut sebagai ngundhuh wohing pakarti. Menerima akibat dari perilakunya yang tidak baik. Pandangan hidup orang Jawa sangat dipengaruhi oleh kayakinannya bahwa perilaku baik akan menghasilkan kebaikan dan perilaku kejahatan akan menghasilkan kejahatan. Siapapun yang melakukan kebaikan maka dipastikan akan memperoleh ganjaran atau pahala yang berupa kebaikan, dan siapa yang melakukan kejahatan juga akan memperoleh akibat dari apa yang dilakukannya tersebut.

Di dalam kehidupan sehari-hari akan dengan sangat mudah untuk diketahui tentang hal tersebut. Misalnya jika kita adalah seorang pemimpin yang baik, maka akan dikenang kebaikan kita itu, tetapi jika kita bukan pemimpin yang baik juga akan dikenang oleh orang lain tentang kepemimpinan kita itu. Pemimpin yang baik adalah yang mengedepankan humanisme sebagai inti kepemimpinan. Di dalam Bahasa Jawa disebut sebagai Nguwongke uwong atau memanusiakan manusia. Sebuah ungkapan yang mudah diucapkan tetapi sulit untuk dilakukan. Harimau mati meningglkan belang, gajah mati meninggalkan daging dan manusia mati meninggalkan budi baik.

Jika kita suka menolong orang, maka kita juga akan ditolong orang. Jika kita suka memberikan sedekah kepada orang, maka Allah juga akan membalas perilaku kita. Bahkan terkadang balasan itu hanya berjarak dalam waktu yang dekat. Artinya Allah langsung memberikan pengalaman nyata bagi para pelaku kebaikan ini. Kata kawan saya, kalau kita itu nyahnyoh atau memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa perhitungan, maka Allah juga akan nyahnyoh kepada kita. Kebaikan kita kepada orang lain terkadang langsung dibalas oleh Allah melalui orang lain.

Di dalam Islam sungguh sangat banyak ayat yang menyebutkan tentang adanya balasan atas perilaku yang dilakukan oleh seseorang. Misalnya di dalam konsep surga dan neraka atau Jannah dan nar. Orang yang di dalam kehidupan di dunianya melakukan tindakan yang baik, maka akan memperoleh pahala yang berakibat akan masuk surga, dan bagi orang yang melakukan kejelekan maka akan memperoleh balasannya yang berupa masuk neraka. Dan di antara ukuran untuk menentukannya adalah kepatuhan kepada ajaran agama Islam sebagaimana disyariatkan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW.

Di dalam Surat An Nahl, ayat 97 dinyatakan yang artinya: “Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami berikan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.

Sebaliknya, bagi yang melakukan keburukan, maka Allah akan membalas keburukannya tersebut. Dinyatakan di dalam Surat Al Kahfi, ayat 106, yang artinya: “demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam, dIsebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok”.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa antara filsafat Jawa dengan ajaran Islam itu sesuatu yang saling menyatu. Tidak bisa dipisahkan, sebab di dalam ajaran Islam terdapat juga filsafat kehidupan Jawa dan sebaliknya. Tentu saja menyamakan keduanya bukan dalam konteks merendahkan salah satunya akan tetapi adalah koherensi yang bisa dipahami.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..