• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

JANGAN MERASA MEMILIKI HARTA DI DUNIA

JANGAN MERASA MEMILIKI HARTA DI DUNIA

Prof. Dr. Nur Syam, MSI

Salah satu yang membuat saya bersyukur adalah pengajian rutin hari Selasa di Masjid Al Ihsan itu terus berlangsung, meskipun pesertanya terkadang tidak banyak. Sebagai aktivitas rutin berdampingan dengan tradisi tahsinan dan bacaan Qur’an, maka pengajian Selasanan telah menjadi bagian dari upaya untuk memakmurkan masjid. Semoga saja dengan upaya untuk menghidupkan masjid ini akan menjadi catatan khusus yang kelak akan menjadi saksi bahwa kita telah melakukan kebaikan atau amal shaleh.

Pada Selasa, 15/03/2023, yang menjadi pemantik diskusi adalah Ustadz Dr.  Sahid yang juga menjadi jamaah masjid Al Ihsan di tengah kesibukannya untuk mengisi acara pelatihan spiritualitas dan etos kerja dan juga menjadi mentor di Masjid Al Akbar. Kali itu, Pak Sahid mengungkapkan satu tema dengan judul “jangan merasa memiliki harta di dunia”.

Menurut Pak Sahid bahwa manusia memang memiliki kebutuhan biologis yaitu keinginan untuk memenuhi kebutuhan biologis, misalnya makan, minum, dan kebutuhan untuk bersuami atau beristri dan memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Bahkan kebutuhan sosial juga memerlukan sarana harta untuk memenuhinya. Itulah sebabnya banyak manusia yang keinginannya untuk memiliki harta yang cukup bahkan berlebih itu sangat luar biasa.

Yang menjadi problem adalah di kala kita kemudian merasa memiliki harta yang kita dapatkan. Kita merasa bahwa harta itu adalah milik kita. Kita yang mengusahakan dan kita yang memilikinya. Seseorang merasa bahwa harta yang didapatkannya adalah berasal dari usahanya dan akhirnya harta itu menjadi miliknya. Tidak hanya harta yang merasa menjadi miliknya, akan tetapi juga kekuasaan. Itulah sebabnya seseorang menjadi tidak mau berhenti dari jabatannya, dan tidak mau kehilangan hartanya. Ini semua disebabkan karena semua itu dianggap miliknya dan bukan milik yang lain.

Jika merasa memiliki tersebut sangat kuat dan tidak ada batasnya, maka disebutkan di dalam ajaran Islam sebagai “hubbud dunya”. Yang artinya “mencintai dunia”. Orang yang di dalam prinsip hidupnya mencintai terhadap apa saja yang dimilikinya. Semua miliknya dan harus dipertahankannya. Padahal sesungguhnya yang memiliki semua dalah Allah SWT. Kita bukan siapa-siapa. Sesungguhnya kita bukan memilikinya. Kita hanya dipinjami oleh Allah SWT untuk didayagunakan di dalam kehidupan.

Maka, untuk menghilangkan nafsu memiliki harta dan tahta adalah dengan mengembalikan semua hal tersebut sebagai miliki Allah SWT. Semua adalah miliki Allah SWT. Kita pasrahkan semuanya kepada  Allah SWT. Kita harus sadar bahwa kitan ini tidak memiliki apa-apa di dalam kehidupan. Semuanya bisa diambil oleh Allah sebagai pemiliki segalanya. Bahkan usia kita bisa juga diberhentikan karena bukan kita yang memiliki diri kita sendiri.

Saya kemudian memberikan komentar agak panjang tentang tema sebagaimana disampaikan oleh Pak Sahid. Saya sampaikan tiga hal terkait dengan hal ini. Pertama, sesuai dengan prinsip di dalam tradisi Jawa bahwa hidup itu hanya mampir ngombe. Hidup itu diibaratkan sebagai seseorang yang di dalam perjalanan, lalu  berhenti sejenak untuk minum air dan setelah itu melanjutkan perjalanan. Hal itu terkait dengan perjalanan ruh manusia. Yaitu dari alam ruh, ke alam dunia, lalu ke alam kubur kemudian yang terakhir di dalam akherat. Jadi ruh mengalami perjalanan panjang. Di alam ruh itu  ribuan tahun, di dalam kubur juga ribuan tahun dan di akherat adalah alam kekal bagi ciptaan Allah. Jadi jika hanya rata-rata usia manusia itu 70 tahun, maka diibaratkan sebagai mampir sejenak.

Kedua, Allah itu dzat yang sangat mencintai manusia dan juga harus dicintai oleh manusia. Maka sesungguhnya hakikat kecintaan itu hanya kepada Allah semata saja. Kecintaan kepada yang lain itu hanya asesoris saja. Hal itu karena kesementaraan cinta kita kepada selain Allah. Ada sebuah ibrah atau gambaran tentang keharusan cinta kepada Allah SWT itu melebihi atas kecintaan kepada selain Allah. Nabi Ibrahim AS dicoba oleh Allah SWT karena kecintaannya kepada anaknya, Nabi Ismail AS. Anak yang sangat dicintainya itu harus dikorbankan. Nabi Ibrahim AS bermimpi yang diyakininya mimpi itu adalah perintah Allah. Wahyu Allah.  Di dalam teks Al Qur’an dinyatakan: “Ya bunayya, inni ara  fil manami qad adzbahuka, fandzur madza tara, qala ya abatif’al  ma tu’maru satajiduni insyaallah minash shabirin. (As Shaffat, 102). Yang artinya: “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu. Dia menjawab “wahai ayahku, lakukanlah  apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, isyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar”. Di dalam cerita Alqur’an kemudian Nabi Ismail digantikan dengan seekor domba besar dan kemudian dijadikan sebagai tradisi hari raya Idul Adha atau hari raya korban.

Ketiga, peristiwa Nabi Sulaiman AS yang bekerja sehingga melupakan ritual yang harus dilakukannya. Sebagai ganti atas kealpaannya itu, maka Nabi Sulaiman mengobankan 700 onta yang dimilikinya. Bisa dibayangkan sekali saja melupakan ritual, maka sebanyak itu korban yang harus dilakukannya. Mari kita bayangkan apa yang kita lakukan tatkala kita melalaikan perintah Tuhan. Betapa jauhnya. Begitulah pengorbanan atas kecintaan dunia itu. Semua ini menggambarkan kepada kita bahwa kita tidak boleh merasa bahwa dunia materi yang kita miliki itu adalah milik kita.

Hakikat yang memiliki adalah Allah SWT. Kala kita lalai melakukan ritual karena mencintai dunia dan kala kita mencintai manusia melebihi kecintaan kepada Allah begitu besar pengorbanannya, maka hal ini harus menjadi perhatian kita semua.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PADANG  MAHSYAR: HARI PENENTUAN KE SURGA ATAU NERAKA

PADANG  MAHSYAR: HARI PENENTUAN KE SURGA ATAU NERAKA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Jika saya pulang ke Tuban, maka salah satu hal yang harus saya lakukan adalah memberikan pengajian pendek terkait dengan Islam dan segala hal yang terkait dengannya. Makanya saya memberikan pengajian kepada jamaah Mushalla Raudhatul Jannah, sebuah Mushallah di depan rumah saya. Kali ini saya memberikan pengajian ba’da shubuh pada jamaah lelaki dan perempuan di mushalla tersebut. Pengajian ini dilakukan pada Hari Ahad, 19 Maret 2023.

Tidak ada tema khusus. Terserah saya apa temanya. Pagi itu saya memberikan ceramah agama dengan tema tentang apa saja yang menyelamatkan kita dari panasnya Padang Mahsyar, yang dikenal sebagai salah satu bagian dari keyakinan umat Islam atas hal-hal yang gaib. Wajib dipercayai tetapi belum bisa dilihat secara empiris apa barangnya. Sebagai umat Islam, maka kita diwajibkan percaya kepada hal-hal yang gaib sebagaimana di dalam surat Al Baqarah, ayat 3: “alladzina yu’minuna bil ghaibi, wa yuqimunash shalata wa mimma razaqnahum yunfiqun”. Yang artinya kurang lebih: “orang-orang yang memercayai atas hal-hal gaib, dan mendirikan shalat serta menginfaqkan sebagian hartanya yang didapatkannya”.

Di dalam Islam, banyak hal yang gaib yang harus dipercayai, misalnya keberadaan Allah SWT, Malaikat, Surga dan Neraka, Padang Mahsyar dan sebagainya. Pada saat di Padang Mahsyar dan juga jembatan Shirathal Mustaqim, maka sesungguhnya manusia tidak memiliki kekuatan dan juga penolong. Di dalam surat Ath Thariq, ayat 10 dinyatakan: “fa ma lahu min quwwatiu wa la nashir”, yang artinya: “maka manusia tidak lagi mempunyai suatu kekuatan dan tidak pula ada penolong”. Jika secara tekstual, maka ada pada suatu saat di kala semua rahasia dibuka, yaum al mahsyar, maka manusia tidak lagi memiliki  kekuatan dan juga tidak memiliki penolong. Saat yang begitu menakutkan.

Tetapi bagi umat Islam, maka ada empat hal yang dapat menjadi penolongnya atas seizin Allah SWT. Yang bisa menjadi penolong tersebut adalah: pertama, kitab suci Al qur’an yang dibaca oleh umat Islam. Jika kita terus membaca Alqur’an, maka Alqur’an akan menjadi penolong hamba Allah. Siapa yang menjadi sahabatnya Alqur’an, maka dia akan memperoleh syafaat Alqur’an. Atas izin Allah SWT, maka Al Qur’an dapat menjadi penolong manusia yang membacanya.

Kedua, Nabi Muhammad SAW. Berbahagialah kita karena menjadi umat Nabi Muhammad SAW. Dengan menjadi umat Nabi Muhammad SAW, maka peluang kita untuk memperoleh syafaatnya sangat besar. Nabi Muhammad SAW adalah satu-satunya Nabi dan Rasul yang diberikan keistimewaan Allah SWT untuk menjadi pensyafaat bagi hambanya. Caranya adalah dengan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. “Allahuma shalli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala ali sayyidina Muhammad”. Allah dan para malaikat juga melakukan bacaan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, jika kita membaca shalawat sebanyak-banyaknya maka peluang untuk memperoleh syafaat Nabi Muhammad  SAW juga sangat besar.

Ketiga, orang yang membangun masjid yaitu orang yang mendirikan masjid dan orang yang memakmurkan masjid. Mendirikan masjid tidak hanya dimaknai sebagai orang yang membangun fisik masjid atau mushalla atau langgar atau surau,  akan tetapi orang yang meramaikan masjid. Jadi kalau kita itu menjalankan shalat jamaah di masjid, menjadi jamaah ngaji di masjid atau menjadi jamaah kajian di masjid dan memberikan donasi kepada masjid, maka kita  termasuk orang yang mendirikan masjid. Jadi kita harus bisa membangun masjid dan meramaikan masjid. Mereka yang seperti itu yang termasuk “bana masjidan” yang akan diganjar oleh Allah dengan surga dalam bentuk dibangunkan rumah di surga.

Alangkah bahagianya kala kita bisa membangun masjid dengan jalan mendirikan fisik masjid dan juga menjadi orang yang meramaikan masjid dengan kegiatan-kegiatan keagamaan dan juga kegiatan ilmu lainnya.

Keempat, amalan shalih yang dilakukan di dalam kehidupan selama di dunia. Kita berbuat yang baik kepada Allah, dan kita juga berbuat baik kepada sesama manusia dan bahkan berbuat baik kepada alam semesta. Berbuat baik kepada Allah adalah dengan menjalankan amalan-amalan yang diwajibkan dan disunnahkan oleh Allah dan menjauhi larangannya Allah SWT. Kemudian berbuat baik kepada sesama manusia yaitu memiliki sifat-sifat yang baik di dalam pergaulan dan relasi social kita semua.

Kita ini telah menjadi orang yang dewasa bahkan juga ada yang tua, maka doa kita kepada Allah adalah agar kita dipanjangkan usia, diberi kesehatan yang prima, diberikan cahaya kebaikan oleh Allah dan tetap beriman kepada-Nya. Jika kita bisa memperoleh gambaran hidup seperti ini, maka inilah yang kemudian disebut sebagai kabahagiaan di dunia dan semoga juga memperoleh kebahagiaan di akherat. Amin.

Wallahu a’lam bi al shawab.

OJO MUNG LAMIS: PRINSIP MENGEDEPANKAN  PERKATAAN YANG BENAR

OJO MUNG LAMIS: PRINSIP MENGEDEPANKAN  PERKATAAN YANG BENAR

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tidak ada manusia yang tidak memiliki relasi dengan manusia lain. Manusia memang hidup dalam dunia sosial yang terdiri dari banyak orang dalam berbagai penggolongan sosialnya. Ada penggolongan sosial berbasis suku, misalnya etnis Jawa, Madura, Batak, Sunda dan sebagainya. Ada juga penggolongan sosial berbasis pada politik, seperti keterlibatan seseorang dalam politik, misalnya orang PKB, orang PPP, orang Golkar, orang Demokrat, orang PDIP dan sebagainya. Ada juga penggolongan agama, misalnya orang Islam, orang Kristen, orang Katolik, orang Hindu, orang Buddha, orang Konghucu, orang kebatinan dan sebagainya. Dan ada juga penggolongan berbasis ekonomi, misalnya  petani, pengusaha, pedagang, wong gede, wong cilik dan sebagainya.

Di dalam pergaulan tersebut, biasanya seseorang akan menggunakan pengetahuan budayanya untuk menjadi pattern for behaviour di dalam relasi sosialnya. Orang Jawa akan menggunakan pengetahuan budayanya sebagai orang Jawa untuk berkomunikasi dengan lainnya. Demikian pula orang Madura, orang Betawi, orang Banjar dan sebagainya. Sementara itu lawan relasinya juga akan menggunakan pengetahuan budayanya. Lalu apakah tidak terjadi benturan di antara pengetahuan budaya pada masing-masing. Jawabannya tidak sebab di dalam kebudayaan tersebut ada pola umum yang bisa dipahami maknanya oleh orang lain yang berbeda budaya. Pedomannya adalah pola umum kebudayaan, yang hal tersebut dimiliki oleh semua pelaku kebudayaan.

Bangsa Indonesia tentu beruntung karena memiliki common platform yang berupa Bahasa Indonesia, sehingga antara satu suku dengan lainnya bisa berkomunikasi. Keuntungan menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di dalam pergaulan antar suku tentu merupakan hal yang perlu diapresiasi. Andaikan yang dijadikan bahasa resmi di dalam pergaulan itu bahasa Jawa karena mayoritas, tentu suku lain akan merasa menjadi warga negara kelas dua. Sebagai contoh di Afghanistan  ada sebanyak tujuh suku bangsa, akan tetapi yang dijadikan bahasa resmi negara adalah Bahasa Fasthun, sehingga suku bangsa lainnya merasa tidak memilikinya.

Di dalam kehidupan sosial, maka manusia menggunakan bahasa sebagai cara untuk menyampaikan gagasan, ide atau pikiran. Komunikasi tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan lisan atau tulisan. Jika tulisan menghasilkan feedback, sedangkan di dalam pernyataan lisan akan menghasilkan respon. Feedback itu terkait dengan kesan tidak langsung yang diakibatkan oleh bacaan atas tulisan, sedangkan respon adalah kesan langsung yang diterima oleh lawan pembicaraan. Makanya, ada orang yang langsung menanggapi atas pembicaraan orang dan ada yang tidak langsung karena membaca dari tulisan. Dalam konteks tersebut, maka ada orang yang berbicara dengan seganap perasaan dan hatinya dan ada yang berbicara hanya sekedar basa-basi.

Di dalam berkomunikasi maka sesungguhnya terdapat suatu etika agar orang bicara dengan kejujuran atau antara apa yang diucapkan di bibir dengan hati nurani harus memiliki kesamaan. Di tengah kenyataan sosial yang semakin kompleks, maka ada banyak orang yang berkata dengan kepura-puraan. Hanya di bibir saja. Apa yang dikatakan hanya untuk pemanis relasi sosial. Orang berkata tidak dengan hati nuraninya. Di dalam Bahasa Jawa dikenal konsep inggih-inggih boten kepanggih atau “iya-iya tetapi tidak menjadi kenyataan”. Atau di dalam Bahasa Inggris disebut  lip sing atau nyanyian bibir. Orang yang semacam ini di dalam filsafat Jawa diajari dengan konsep ojo mung lamis. Yang artinya kurang lebih adalah jangan hanya di bibir, jangan hanya berbicara yang baik-baik saja atau berbicara yang manis-manis saja.

Seirama dengan perubahan sosial yang cepat, maka banyak sikap dan tindakan yang ambivalen atau sikap ganda. Hal ini tentu terkait dengan semakin kompleksnya relasi sosial, sehingga menyebabkan orang bisa bermuka dua atau bermuka banyak. Bisa dinyatakan di dalam Bahasa pewayangan sebagai Dasamuka atau orang yang memiliki sepuluh wajah. Jadi,  kala bertemu dengan Si Fulan akan bercerita begini dan kepada Si Dadap akan bercerita begitu dan kepada Si Waru bercerita lain lagi.

Ojo mung lamis merupakan filsafat hidup orang Jawa agar di dalam relasi sosial kita menyatakan atau bertindak apa adanya. Jangan dibuat-buat, jangan direkayasa. Berkata apa adanya. Jangan di depan orang menyatakan ini, tetapi di belakang menyatakan itu. Hidup agar berterus terang, apa adanya. Kalau suka katakan suka,  kalau tidak suka katakan tidak suka. Jangan hanya karena ingin menyenangkan orang tertentu kita harus menyatakan yang tidak sesuai dengan hati.    Nabi Muhammad SAW menyatakan: “quill l haqqa wa law kana murran”, yang artinya: “berkatalah yang benar walaupun hal itu pahit”. Ungkapan ini menggambarkan agar kita tetap menyatakan apa adanya meskipun itu pahit untuk dinyatakan dan pahit untuk didengarkan.

Bahkan yang lebih berat lagi adalah konsep munafik atau orang yang berpura-pura percaya kepada kebaikan, moral dan agama padahal sebenarnya tidak. Dia menyatakan iman kepada Allah, dia menyatakan amalan ibadah, dia menyatakan mentaati moralitas agama padahal di dalam kenyatannya sama sekali tidak. Jadi ada perbedaan antara apa yang diucapkan dan apa yang menjadi kenyataannya. Di depan orang menyatakan mempercayai kebaikan tetapi di dalam realitas kehidupannya ternyata tidak.

Di dalam kehidupan ini kita tidak boleh lamis, ojo mung lamis, tetapi kita harus menyatakan yang sesungguhnya. Suatu kesamaan antara apa yang dinyatakan dan apa yang dilakukan. Janganlah menjadi orang yang hanya mengedepankan kebaikan di muka sedangkan kelakuannya berbeda. Yang lamis  saja diharapkan tidak  dilakukan, apa lagi kalau kita sampai mendustakan kebenaran yang sesungguhnya sudah diketahui.

Wallahu a’lam bi al shawab.                            

 

 

 

 

MENYAMBUT NISFU SYA’BAN: NGAJI DAN MAKAN BARENG

MENYAMBUT NISFU SYA’BAN: NGAJI DAN MAKAN BARENG

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Doa kita akhir-akhir ini adalah Allahumma bariklana di Rajab wa Sya’ban wa balighna Ramadlan. Yang artinya: “Ya Allah berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan usia kami pada bulan Ramadlan”. Sebuah doa dan kepasrahan untuk meminta kepada Allah agar kehidupan kita  di bulan Rajab dan Sya’ban itu diberkahi Allah SWT dan kemudian dipanjangkan usia kita untuk hidup pada bulan Ramadlan.

Di dalam kenyataannya, ada orang yang tidak diberi peluang oleh Allah SWT karena keburu dipanggil menghadap-Nya menjelang bulan Ramadlan. Ada yang tiba-tiba sakit dan kemudian meninggal. Maka doa kita adalah agar kita dipanjangkan usia,  sehingga bisa bertemu kembali dengan bulan Ramadlan, bahkan Ramadlan yang akan datang. Melalui panjangnya usia, maka kita masih diberi kesempatan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi waktu yang sudah dijanjikan oleh Allah, yang tidak bisa dimajukan atau dimundurkan, yaitu datangnya  Malaikat Izrail, Sang Pencabut nyawa.

Tanpa dirasakan ternyata kita sudah sampai pada pertengahan bulan Sya’ban yang dikenal sebagai  nisfu sya’ban. Dan sebagaimana biasanya, pada malam nisfu sya’ban, maka umat Islam Indonesia melakukan serangkaian kegiatan untuk menyambutnya. Tradisi seperti ini hanya khusus di Indonesia saja. Mungkin ada juga di negara lain, tetapi tidak seramai di Indonesia. Masyarakat Indonesia memang doyan upacara-upacara keagamaan. Misalnya upacara idul fithri dan keanekaragaman acara di seputarnya, yang sangat ramai di Indonesia. Padahal di Saudi Arabia tidak dijumpainya. Upacara atau hari raya idul fithri itu sedemikian gegap gempita dengan pulkam atau pulang kampung.

Pada tahun 2023 M atau 1444 H, maka Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya juga menyelenggarakan acara ˜nisfu sya’ban, yang diselenggarakan pada malam Rabo, 07/03/2023 ba’dan maghrib. Sebuah acara yang sangat sederhana. Sebab hanya diikuti oleh sejumlah orang dari warga perumahan. Bahkan tidak semuanya. Di antara yang hadir adalah Ketua Takmir, Pak Rusmin, Sekretaris Ta’mir Pak Budi, Bendahara Ta’mir, Pak Hardi, Firdus, Alif, Pak Suyuti Rasyad, dan lain-lain. Sementara juga hadir para Ibu-ibu perumahan Lotus, yaitu Bu Indah Nur, Bu Suyuti, Bu Rusmin, Bu Budi, Bu Ina, dan lain-lain.

Sebagai acara yang sederhana, maka Firdaus yang membuka acara ini, saya yang mengantarkan acara nisfu sya’ban, Alif yang memimpin bacaan Yasin, dan Pak Suyuti yang memimpin doa. Sebagai pengantar, saya sampaikan tiga hal, yaitu: pertama, kita harus terus mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas kenikmatan bisa hidup sampai hari ini. Dan kita masih diizinkan hidup. Semoga kita bisa menikmati bulan Ramadlan hingga akhir dan bertemu dengan bulan Ramadlan berikutnya. Kita diizinkan sehat, kita diberikan kecukupan hidup, kita diberikan kehidupan yang layak dan kenikmatan lain yang tidak bisa dihitung. Bahkan kita tidak akan bisa menghitung atas nikmat Allah tersebut.

Kedua, pada malam hari ini, kita secara bersama-sama akan menyambut datangnya malam nisfu Sya’ban.  Suatu malam yang Allah SWT akan memberikan banyak pahala atas kebaikan yang kita lakukan. Allah menganjurkan agar kita melakukan amal kebaikan pada malam nisfu Sya’ban.  Makanya kita akan membaca surat Yasin, sebagaimana tradisi ulama. Tidak usah dipertanyakan kenapa surat Yasin. Silahkan bagi yang mau membaca surat-surat Al Qur’an lainnya silahkan, misalnya membaca Surat Arrahman, Al Waqiah, An Naba’ atau Al Ikhlas. Pokoknya membaca Al Qur’an. Kita juga akan membaca Shalawat kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, kita juga akan membaca kalimat tauhid. Yang penting pada malam ini kita baca kalimat-kalimat yang menjadi kesukaan Allah SWT, bacalah dalam  jumlahnya yang ganjil, bisa 3 atau 5 atau 33 dan sebagainya. Bagi yang membaca shalawat 100 kali maka malam ini menjadi 200 kali, yang membaca kalimat tauhid 33 kali,  tambah jumlahnya.  Selain itu juga sedekah. Ingat ash shadaqatu tadfa’u lil bala’.  Yang artinya: “sedekah itu menghindarkan dari marabahaya”. Bahkan  kita membuat orang lain tertawa saja sudah memperoleh pahala.  Idkholus surur. Dan membuat senyum pada orang lain itu adalah amalannya Rasulullah Muhammad SAW. Kita bikin tertawa pasangan hidup kita masing-masing juga sedekah. Agar keluarga kita senang dan bahagia.

Ketiga, saya mengucapkan terima kasih karena malam ini kita bisa  sedekah. Ada makanan gulai sapi, pisang goreng, roti, dan sebagainya. Alangkah enaknya selesai membaca Surat Yasin, shalawat dan istighfar lalu kita bisa makan Bersama. Inilah indahnya menjadi umat Islam. Dalam satu acara,  tidak hanya ada satu pahala tetapi banyak pahala. Ada pahala baca surat fatihah, ada pahala membaca surat Yasin, ada pahala membaca istighfar, kalimat tauhid, dan shalawat Nabi Muhammad SAW. Selain itu juga ada doa. Sungguh doa itu amalan yang penting. Bahkan ada yang menyatakan bahwa selain usaha dan tawakkal, maka ada doa yang menjadi kunci. Doa itu memegang kunci keberhasilan.

Saya sungguh mengucapkan terima kasih atas kesediaan ibu-ibu untuk membawa makanan di tempat ini. Hal ini merupakan sedekah yang nyata. Oleh karena itu kita berharap bahwa ada keikhlasan dalam membawa makanan sebagai sedekah bersama ini. Sebab keikhlasan memegang kunci penting dalam pemberian pahala oleh Allah SWT. Kita telah memberikan yang terbaik untuk kita. Dari kita untuk kita.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

ANAK POLAH BOPO KEPRADAH: RELASI TANGGUNGJAWAB DALAM TRADISI JAWA

ANAK POLAH BOPO KEPRADAH: RELASI TANGGUNGJAWAB DALAM TRADISI JAWA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Keluarga memiliki banyak peran, dan salah satunya adalah peran tanggung jawab sosial di dalam keluarga. Seorang ayah dan ibu memiliki tanggungjawab yang sedemikian besar pada anak-anaknya dan keluarga yang berada di dalam rumah tangganya. Sedemikan besar  tanggung jawab tersebut, maka orang tua rela melakukan apa saja untuk kebahagiaan anak-anaknya. Orang tua akan bersedian untuk memenuhi keinginan anak-anaknya. Apa saja akan dilakukan agar cita-cita anak-anaknya dapat terealisasikan.

Saya kira seluruh orang tua di dunia akan memiliki perlakuan yang hampir sama terhadap anak-anaknya. Memberi asupan makanan, memberikan kasih sayang, dan memberikan tanggung jawab atas apa yang diinginkan oleh anak-anaknya. Hanya pada kasus khusus saja jika ada orang yang menelantarkan anaknya, menitipkan anaknya ke panti asuhan atau bahkan berbuat kekerasan pada anaknya. Kehidupan sosial termasuk kehidupan keluarga memang kompleks dan terkadang juga ada yang berdeviasi atau menyimpang. Tetapi secara umum bahwa kasih sayang orang tua itu sungguh tidak terbatas. “Kasih sayang anak sepanjang galah, kasih sayang orang tua sepanjang jalan”

Tidak hanya manusia yang sedemikian besar tanggung jawabnya pada anaknya. Hewan juga memiliki kasih sayang yang luar biasa. Ada banyak tayangan di you tube yang bercerita bagaimana kasih sayang hewan atas anaknya. Bahkan rela mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan anaknya. Tayangan yang mengharukan bagaimana hewan memiliki rasa kasih sayang yang demikian hebat.

Di dalam cerita Alqur’an terdapat suatu cerita yang mungkin aneh di dalam benak kita, yaitu tentang pengorbanan Nabi Ismail untuk memenuhi perintah Tuhan. Kala Ismail sudah menginjak remaja, maka Allah perintahkan untuk mengorbankannya. Hal ini dilakukan semata-mata menguji kesetiaan dan kepatuhan Nabi Ibrahim atas perintah Allah. Ternyata Nabi Ibrahim sangat mematuhi perintah tersebut. Ismail pun memberikan dukungan atas pelaksanaan perintah dimaksud. Tapi ending cerita ini berakhir bahagia, sebab Nabi Ismail yang akan dikorbankan tersebut tiba-tiba berubah menjadi domba besar. Dari ajaran agama seperti ini, maka kemudian menghasilkan ritual korban yang jatuh pada hari raya Haji.

Salah satu di antara filsafat hidup orang Jawa adalah anak polah bopo kepradah. Yang arti dalam Bahasa Indonesia adalah anak melakukan sesuatu orang tua yang harus bertanggung jawab. Orang tua tidak ikut melakukan perbuatannya akan tetapi orang tua yang harus mempertanggung jawabkan. Itulah hukum dunia. Anak adalah bagian tidak terpisahkan dari orang tuanya. Anak merupakan replica orang tuanya. Jika anak melakukan kebaikan, maka kebaikan itu merupakan replica orang tuanya, tetapi anak yang melakukan kejelekan belum tentu merupakan replica orang tuanya. Tetapi perbuatan baik dan buruk anak seringkali diasosiasikan dengan perilaku orang tua.

Ada anak yang melakukan kebaikan, maka dinyatakan orang: “anak siapa ya, begitu bagus amal perbuatannya”. Demikian pula jika ada anak yang melakukan kejahatan, maka orang lalu menyatakan: “pantes anaknya fulan, kelakuannya seperti itu”. Tetapi ada yang orang tuanya melakukan perbuatan sangat baik, tetapi anaknya justru berlaku sebaliknya. Jadi di dalam kehidupan ini ada bermacam-macam perilaku manusia yang bisa saja tidak tergantung kepada siapapun. Semua  tergantung pada pilihannya.

Putra Nabi Nuh, Kan’an, juga tidak mengindahkan ajakan orang tuanya untuk mengikutinya. Kala disampaikan bahwa akan ada banjir besar dan dimintanya untuk masuk ke dalam kapal Nabi Nuh, maka Kan’an justru menjawab bahwa dia akan naik gunung yang tinggi, dan akhirnya tenggelam. Jadi  merupakan gambaran bahwa anak seorang Nabi pun bisa saja tidak mengikuti dakwah orang tuanya.

Di dalam tradisi Jawa terdapat suatu filsafat kehidupan, yaitu anak polah bopo kepradah.  Jika anak melakukan suatu tindakan,  maka orang tuanya yang harus mempertanggung jawabkannya. Anak yang melakukan tindakan kejahatan dan orang tuanya yang harus mempertanggung jawabkan atas tindakan tersebut. Anaknya yang mencuri tetapi kala ditangkap polisi maka orang tuanya yang harus membebaskannya. Anaknya yang menjadi berandal tetapi bapaknya yang kena getahnya.

Tetapi di sisi lain, juga terdapat anak yang menjadi penghafal Alqur’an sementara itu orang tuanya bukanlah ahli agama. Orang tuanya bukan seorang ulama, kyai atau ahli agama yang hebat. Ternyata memang hidup ini ada kalanya antara apa yang dilakukan orang tuanya bisa saja berbeda dengan prilaku anak. Jadi yang terpenting bahwa apapun yang dilakukan anak tidak semata-mata menggambarkan siapa orang tuanya. Masih ada factor lain, misalnya factor lingkungan yang menyebabkan terjadinya perilaku seseorang.

Islam mengajarkan: “”kullu mauludin yuladi ‘alal fithrah. Fa in abawahu yuhawwidanihi, auw yunasshiranihi auw yumajjisanihi”. Yang artinya kurang lebih “setiap anak dilahirkan dalam keadaaan suci, maka orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Dari sini bisa diambil suatu kesimpulan bahwa orang tua termasuk lingkungan memang memiliki pengaruh atas perilaku anak, dan menjadi pantas jika kala anak melakukan suatu tindakan kemudian  orang tuanya ikut mempertanggung jawabkannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.