Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

ANAK POLAH BOPO KEPRADAH: RELASI TANGGUNGJAWAB DALAM TRADISI JAWA

ANAK POLAH BOPO KEPRADAH: RELASI TANGGUNGJAWAB DALAM TRADISI JAWA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Keluarga memiliki banyak peran, dan salah satunya adalah peran tanggung jawab sosial di dalam keluarga. Seorang ayah dan ibu memiliki tanggungjawab yang sedemikian besar pada anak-anaknya dan keluarga yang berada di dalam rumah tangganya. Sedemikan besar  tanggung jawab tersebut, maka orang tua rela melakukan apa saja untuk kebahagiaan anak-anaknya. Orang tua akan bersedian untuk memenuhi keinginan anak-anaknya. Apa saja akan dilakukan agar cita-cita anak-anaknya dapat terealisasikan.

Saya kira seluruh orang tua di dunia akan memiliki perlakuan yang hampir sama terhadap anak-anaknya. Memberi asupan makanan, memberikan kasih sayang, dan memberikan tanggung jawab atas apa yang diinginkan oleh anak-anaknya. Hanya pada kasus khusus saja jika ada orang yang menelantarkan anaknya, menitipkan anaknya ke panti asuhan atau bahkan berbuat kekerasan pada anaknya. Kehidupan sosial termasuk kehidupan keluarga memang kompleks dan terkadang juga ada yang berdeviasi atau menyimpang. Tetapi secara umum bahwa kasih sayang orang tua itu sungguh tidak terbatas. “Kasih sayang anak sepanjang galah, kasih sayang orang tua sepanjang jalan”

Tidak hanya manusia yang sedemikian besar tanggung jawabnya pada anaknya. Hewan juga memiliki kasih sayang yang luar biasa. Ada banyak tayangan di you tube yang bercerita bagaimana kasih sayang hewan atas anaknya. Bahkan rela mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan anaknya. Tayangan yang mengharukan bagaimana hewan memiliki rasa kasih sayang yang demikian hebat.

Di dalam cerita Alqur’an terdapat suatu cerita yang mungkin aneh di dalam benak kita, yaitu tentang pengorbanan Nabi Ismail untuk memenuhi perintah Tuhan. Kala Ismail sudah menginjak remaja, maka Allah perintahkan untuk mengorbankannya. Hal ini dilakukan semata-mata menguji kesetiaan dan kepatuhan Nabi Ibrahim atas perintah Allah. Ternyata Nabi Ibrahim sangat mematuhi perintah tersebut. Ismail pun memberikan dukungan atas pelaksanaan perintah dimaksud. Tapi ending cerita ini berakhir bahagia, sebab Nabi Ismail yang akan dikorbankan tersebut tiba-tiba berubah menjadi domba besar. Dari ajaran agama seperti ini, maka kemudian menghasilkan ritual korban yang jatuh pada hari raya Haji.

Salah satu di antara filsafat hidup orang Jawa adalah anak polah bopo kepradah. Yang arti dalam Bahasa Indonesia adalah anak melakukan sesuatu orang tua yang harus bertanggung jawab. Orang tua tidak ikut melakukan perbuatannya akan tetapi orang tua yang harus mempertanggung jawabkan. Itulah hukum dunia. Anak adalah bagian tidak terpisahkan dari orang tuanya. Anak merupakan replica orang tuanya. Jika anak melakukan kebaikan, maka kebaikan itu merupakan replica orang tuanya, tetapi anak yang melakukan kejelekan belum tentu merupakan replica orang tuanya. Tetapi perbuatan baik dan buruk anak seringkali diasosiasikan dengan perilaku orang tua.

Ada anak yang melakukan kebaikan, maka dinyatakan orang: “anak siapa ya, begitu bagus amal perbuatannya”. Demikian pula jika ada anak yang melakukan kejahatan, maka orang lalu menyatakan: “pantes anaknya fulan, kelakuannya seperti itu”. Tetapi ada yang orang tuanya melakukan perbuatan sangat baik, tetapi anaknya justru berlaku sebaliknya. Jadi di dalam kehidupan ini ada bermacam-macam perilaku manusia yang bisa saja tidak tergantung kepada siapapun. Semua  tergantung pada pilihannya.

Putra Nabi Nuh, Kan’an, juga tidak mengindahkan ajakan orang tuanya untuk mengikutinya. Kala disampaikan bahwa akan ada banjir besar dan dimintanya untuk masuk ke dalam kapal Nabi Nuh, maka Kan’an justru menjawab bahwa dia akan naik gunung yang tinggi, dan akhirnya tenggelam. Jadi  merupakan gambaran bahwa anak seorang Nabi pun bisa saja tidak mengikuti dakwah orang tuanya.

Di dalam tradisi Jawa terdapat suatu filsafat kehidupan, yaitu anak polah bopo kepradah.  Jika anak melakukan suatu tindakan,  maka orang tuanya yang harus mempertanggung jawabkannya. Anak yang melakukan tindakan kejahatan dan orang tuanya yang harus mempertanggung jawabkan atas tindakan tersebut. Anaknya yang mencuri tetapi kala ditangkap polisi maka orang tuanya yang harus membebaskannya. Anaknya yang menjadi berandal tetapi bapaknya yang kena getahnya.

Tetapi di sisi lain, juga terdapat anak yang menjadi penghafal Alqur’an sementara itu orang tuanya bukanlah ahli agama. Orang tuanya bukan seorang ulama, kyai atau ahli agama yang hebat. Ternyata memang hidup ini ada kalanya antara apa yang dilakukan orang tuanya bisa saja berbeda dengan prilaku anak. Jadi yang terpenting bahwa apapun yang dilakukan anak tidak semata-mata menggambarkan siapa orang tuanya. Masih ada factor lain, misalnya factor lingkungan yang menyebabkan terjadinya perilaku seseorang.

Islam mengajarkan: “”kullu mauludin yuladi ‘alal fithrah. Fa in abawahu yuhawwidanihi, auw yunasshiranihi auw yumajjisanihi”. Yang artinya kurang lebih “setiap anak dilahirkan dalam keadaaan suci, maka orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Dari sini bisa diambil suatu kesimpulan bahwa orang tua termasuk lingkungan memang memiliki pengaruh atas perilaku anak, dan menjadi pantas jika kala anak melakukan suatu tindakan kemudian  orang tuanya ikut mempertanggung jawabkannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..