JANGAN MERASA MEMILIKI HARTA DI DUNIA
JANGAN MERASA MEMILIKI HARTA DI DUNIA
Prof. Dr. Nur Syam, MSI
Salah satu yang membuat saya bersyukur adalah pengajian rutin hari Selasa di Masjid Al Ihsan itu terus berlangsung, meskipun pesertanya terkadang tidak banyak. Sebagai aktivitas rutin berdampingan dengan tradisi tahsinan dan bacaan Qur’an, maka pengajian Selasanan telah menjadi bagian dari upaya untuk memakmurkan masjid. Semoga saja dengan upaya untuk menghidupkan masjid ini akan menjadi catatan khusus yang kelak akan menjadi saksi bahwa kita telah melakukan kebaikan atau amal shaleh.
Pada Selasa, 15/03/2023, yang menjadi pemantik diskusi adalah Ustadz Dr. Sahid yang juga menjadi jamaah masjid Al Ihsan di tengah kesibukannya untuk mengisi acara pelatihan spiritualitas dan etos kerja dan juga menjadi mentor di Masjid Al Akbar. Kali itu, Pak Sahid mengungkapkan satu tema dengan judul “jangan merasa memiliki harta di dunia”.
Menurut Pak Sahid bahwa manusia memang memiliki kebutuhan biologis yaitu keinginan untuk memenuhi kebutuhan biologis, misalnya makan, minum, dan kebutuhan untuk bersuami atau beristri dan memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Bahkan kebutuhan sosial juga memerlukan sarana harta untuk memenuhinya. Itulah sebabnya banyak manusia yang keinginannya untuk memiliki harta yang cukup bahkan berlebih itu sangat luar biasa.
Yang menjadi problem adalah di kala kita kemudian merasa memiliki harta yang kita dapatkan. Kita merasa bahwa harta itu adalah milik kita. Kita yang mengusahakan dan kita yang memilikinya. Seseorang merasa bahwa harta yang didapatkannya adalah berasal dari usahanya dan akhirnya harta itu menjadi miliknya. Tidak hanya harta yang merasa menjadi miliknya, akan tetapi juga kekuasaan. Itulah sebabnya seseorang menjadi tidak mau berhenti dari jabatannya, dan tidak mau kehilangan hartanya. Ini semua disebabkan karena semua itu dianggap miliknya dan bukan milik yang lain.
Jika merasa memiliki tersebut sangat kuat dan tidak ada batasnya, maka disebutkan di dalam ajaran Islam sebagai “hubbud dunya”. Yang artinya “mencintai dunia”. Orang yang di dalam prinsip hidupnya mencintai terhadap apa saja yang dimilikinya. Semua miliknya dan harus dipertahankannya. Padahal sesungguhnya yang memiliki semua dalah Allah SWT. Kita bukan siapa-siapa. Sesungguhnya kita bukan memilikinya. Kita hanya dipinjami oleh Allah SWT untuk didayagunakan di dalam kehidupan.
Maka, untuk menghilangkan nafsu memiliki harta dan tahta adalah dengan mengembalikan semua hal tersebut sebagai miliki Allah SWT. Semua adalah miliki Allah SWT. Kita pasrahkan semuanya kepada Allah SWT. Kita harus sadar bahwa kitan ini tidak memiliki apa-apa di dalam kehidupan. Semuanya bisa diambil oleh Allah sebagai pemiliki segalanya. Bahkan usia kita bisa juga diberhentikan karena bukan kita yang memiliki diri kita sendiri.
Saya kemudian memberikan komentar agak panjang tentang tema sebagaimana disampaikan oleh Pak Sahid. Saya sampaikan tiga hal terkait dengan hal ini. Pertama, sesuai dengan prinsip di dalam tradisi Jawa bahwa hidup itu hanya mampir ngombe. Hidup itu diibaratkan sebagai seseorang yang di dalam perjalanan, lalu berhenti sejenak untuk minum air dan setelah itu melanjutkan perjalanan. Hal itu terkait dengan perjalanan ruh manusia. Yaitu dari alam ruh, ke alam dunia, lalu ke alam kubur kemudian yang terakhir di dalam akherat. Jadi ruh mengalami perjalanan panjang. Di alam ruh itu ribuan tahun, di dalam kubur juga ribuan tahun dan di akherat adalah alam kekal bagi ciptaan Allah. Jadi jika hanya rata-rata usia manusia itu 70 tahun, maka diibaratkan sebagai mampir sejenak.
Kedua, Allah itu dzat yang sangat mencintai manusia dan juga harus dicintai oleh manusia. Maka sesungguhnya hakikat kecintaan itu hanya kepada Allah semata saja. Kecintaan kepada yang lain itu hanya asesoris saja. Hal itu karena kesementaraan cinta kita kepada selain Allah. Ada sebuah ibrah atau gambaran tentang keharusan cinta kepada Allah SWT itu melebihi atas kecintaan kepada selain Allah. Nabi Ibrahim AS dicoba oleh Allah SWT karena kecintaannya kepada anaknya, Nabi Ismail AS. Anak yang sangat dicintainya itu harus dikorbankan. Nabi Ibrahim AS bermimpi yang diyakininya mimpi itu adalah perintah Allah. Wahyu Allah. Di dalam teks Al Qur’an dinyatakan: “Ya bunayya, inni ara fil manami qad adzbahuka, fandzur madza tara, qala ya abatif’al ma tu’maru satajiduni insyaallah minash shabirin. (As Shaffat, 102). Yang artinya: “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu. Dia menjawab “wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, isyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar”. Di dalam cerita Alqur’an kemudian Nabi Ismail digantikan dengan seekor domba besar dan kemudian dijadikan sebagai tradisi hari raya Idul Adha atau hari raya korban.
Ketiga, peristiwa Nabi Sulaiman AS yang bekerja sehingga melupakan ritual yang harus dilakukannya. Sebagai ganti atas kealpaannya itu, maka Nabi Sulaiman mengobankan 700 onta yang dimilikinya. Bisa dibayangkan sekali saja melupakan ritual, maka sebanyak itu korban yang harus dilakukannya. Mari kita bayangkan apa yang kita lakukan tatkala kita melalaikan perintah Tuhan. Betapa jauhnya. Begitulah pengorbanan atas kecintaan dunia itu. Semua ini menggambarkan kepada kita bahwa kita tidak boleh merasa bahwa dunia materi yang kita miliki itu adalah milik kita.
Hakikat yang memiliki adalah Allah SWT. Kala kita lalai melakukan ritual karena mencintai dunia dan kala kita mencintai manusia melebihi kecintaan kepada Allah begitu besar pengorbanannya, maka hal ini harus menjadi perhatian kita semua.
Wallahu a’lam bi al shawab.