Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

OJO MUNG LAMIS: PRINSIP MENGEDEPANKAN  PERKATAAN YANG BENAR

OJO MUNG LAMIS: PRINSIP MENGEDEPANKAN  PERKATAAN YANG BENAR

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tidak ada manusia yang tidak memiliki relasi dengan manusia lain. Manusia memang hidup dalam dunia sosial yang terdiri dari banyak orang dalam berbagai penggolongan sosialnya. Ada penggolongan sosial berbasis suku, misalnya etnis Jawa, Madura, Batak, Sunda dan sebagainya. Ada juga penggolongan sosial berbasis pada politik, seperti keterlibatan seseorang dalam politik, misalnya orang PKB, orang PPP, orang Golkar, orang Demokrat, orang PDIP dan sebagainya. Ada juga penggolongan agama, misalnya orang Islam, orang Kristen, orang Katolik, orang Hindu, orang Buddha, orang Konghucu, orang kebatinan dan sebagainya. Dan ada juga penggolongan berbasis ekonomi, misalnya  petani, pengusaha, pedagang, wong gede, wong cilik dan sebagainya.

Di dalam pergaulan tersebut, biasanya seseorang akan menggunakan pengetahuan budayanya untuk menjadi pattern for behaviour di dalam relasi sosialnya. Orang Jawa akan menggunakan pengetahuan budayanya sebagai orang Jawa untuk berkomunikasi dengan lainnya. Demikian pula orang Madura, orang Betawi, orang Banjar dan sebagainya. Sementara itu lawan relasinya juga akan menggunakan pengetahuan budayanya. Lalu apakah tidak terjadi benturan di antara pengetahuan budaya pada masing-masing. Jawabannya tidak sebab di dalam kebudayaan tersebut ada pola umum yang bisa dipahami maknanya oleh orang lain yang berbeda budaya. Pedomannya adalah pola umum kebudayaan, yang hal tersebut dimiliki oleh semua pelaku kebudayaan.

Bangsa Indonesia tentu beruntung karena memiliki common platform yang berupa Bahasa Indonesia, sehingga antara satu suku dengan lainnya bisa berkomunikasi. Keuntungan menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di dalam pergaulan antar suku tentu merupakan hal yang perlu diapresiasi. Andaikan yang dijadikan bahasa resmi di dalam pergaulan itu bahasa Jawa karena mayoritas, tentu suku lain akan merasa menjadi warga negara kelas dua. Sebagai contoh di Afghanistan  ada sebanyak tujuh suku bangsa, akan tetapi yang dijadikan bahasa resmi negara adalah Bahasa Fasthun, sehingga suku bangsa lainnya merasa tidak memilikinya.

Di dalam kehidupan sosial, maka manusia menggunakan bahasa sebagai cara untuk menyampaikan gagasan, ide atau pikiran. Komunikasi tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan lisan atau tulisan. Jika tulisan menghasilkan feedback, sedangkan di dalam pernyataan lisan akan menghasilkan respon. Feedback itu terkait dengan kesan tidak langsung yang diakibatkan oleh bacaan atas tulisan, sedangkan respon adalah kesan langsung yang diterima oleh lawan pembicaraan. Makanya, ada orang yang langsung menanggapi atas pembicaraan orang dan ada yang tidak langsung karena membaca dari tulisan. Dalam konteks tersebut, maka ada orang yang berbicara dengan seganap perasaan dan hatinya dan ada yang berbicara hanya sekedar basa-basi.

Di dalam berkomunikasi maka sesungguhnya terdapat suatu etika agar orang bicara dengan kejujuran atau antara apa yang diucapkan di bibir dengan hati nurani harus memiliki kesamaan. Di tengah kenyataan sosial yang semakin kompleks, maka ada banyak orang yang berkata dengan kepura-puraan. Hanya di bibir saja. Apa yang dikatakan hanya untuk pemanis relasi sosial. Orang berkata tidak dengan hati nuraninya. Di dalam Bahasa Jawa dikenal konsep inggih-inggih boten kepanggih atau “iya-iya tetapi tidak menjadi kenyataan”. Atau di dalam Bahasa Inggris disebut  lip sing atau nyanyian bibir. Orang yang semacam ini di dalam filsafat Jawa diajari dengan konsep ojo mung lamis. Yang artinya kurang lebih adalah jangan hanya di bibir, jangan hanya berbicara yang baik-baik saja atau berbicara yang manis-manis saja.

Seirama dengan perubahan sosial yang cepat, maka banyak sikap dan tindakan yang ambivalen atau sikap ganda. Hal ini tentu terkait dengan semakin kompleksnya relasi sosial, sehingga menyebabkan orang bisa bermuka dua atau bermuka banyak. Bisa dinyatakan di dalam Bahasa pewayangan sebagai Dasamuka atau orang yang memiliki sepuluh wajah. Jadi,  kala bertemu dengan Si Fulan akan bercerita begini dan kepada Si Dadap akan bercerita begitu dan kepada Si Waru bercerita lain lagi.

Ojo mung lamis merupakan filsafat hidup orang Jawa agar di dalam relasi sosial kita menyatakan atau bertindak apa adanya. Jangan dibuat-buat, jangan direkayasa. Berkata apa adanya. Jangan di depan orang menyatakan ini, tetapi di belakang menyatakan itu. Hidup agar berterus terang, apa adanya. Kalau suka katakan suka,  kalau tidak suka katakan tidak suka. Jangan hanya karena ingin menyenangkan orang tertentu kita harus menyatakan yang tidak sesuai dengan hati.    Nabi Muhammad SAW menyatakan: “quill l haqqa wa law kana murran”, yang artinya: “berkatalah yang benar walaupun hal itu pahit”. Ungkapan ini menggambarkan agar kita tetap menyatakan apa adanya meskipun itu pahit untuk dinyatakan dan pahit untuk didengarkan.

Bahkan yang lebih berat lagi adalah konsep munafik atau orang yang berpura-pura percaya kepada kebaikan, moral dan agama padahal sebenarnya tidak. Dia menyatakan iman kepada Allah, dia menyatakan amalan ibadah, dia menyatakan mentaati moralitas agama padahal di dalam kenyatannya sama sekali tidak. Jadi ada perbedaan antara apa yang diucapkan dan apa yang menjadi kenyataannya. Di depan orang menyatakan mempercayai kebaikan tetapi di dalam realitas kehidupannya ternyata tidak.

Di dalam kehidupan ini kita tidak boleh lamis, ojo mung lamis, tetapi kita harus menyatakan yang sesungguhnya. Suatu kesamaan antara apa yang dinyatakan dan apa yang dilakukan. Janganlah menjadi orang yang hanya mengedepankan kebaikan di muka sedangkan kelakuannya berbeda. Yang lamis  saja diharapkan tidak  dilakukan, apa lagi kalau kita sampai mendustakan kebenaran yang sesungguhnya sudah diketahui.

Wallahu a’lam bi al shawab.                            

 

 

 

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..