• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

AHLI KUBUR JUGA BERHARAP BULAN PUASA: RENUNGAN RAMADLAN (15)

AHLI KUBUR JUGA BERHARAP BULAN PUASA: RENUNGAN RAMADLAN (15)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Di dalam pikiran kita, bahwa puasa itu hanya diharapkan oleh orang yang masih hidup karena bisa menjalankan puasa sebagai bulan yang utama yang di dalamnya banyak sekali keutamaan-keutamaan. Di antara keutamaan itu adalah Allah SWT akan melipatgandakan pahala bagi orang yang melakukan ibadah pada Bulan Ramadlan. Itulah sebabnya pada bulan puasa itu banyak orang yang tadarrus Qur’an, shalat malam, dan juga melakukan dzikir kepada Allah SWT.

Namun di dalam benak saya bahwa yang merasakan kesenangan akan datangnya bulan Ramadlan juga para leluhur kita yang sudah mendahului kita. Bahkan bisa diilustrasikan bahwa mereka mengharap bulan puasa karena banyaknya kiriman doa dan bacaan Alqur’an yang dilantunkan oleh umat Islam, khususnya yang ditujukan kepada para ahli kubur. Bisa dibayangkan bahwa banyak sekali orang yang sengaja mengirimkan bacaan dzikir dan bacaan Alqur’an kepada ahli kuburnya.

Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW sudah memberikan panduan bahwa semua hal duniawi yang dimiliki oleh orang akan ditinggal di dunia kala meninggal. Kekayaan yang berupa rumah, uang, harta benda dan sebagainya akan ditinggalkan di dunia dan tidak ada yang dibawa. Semua ditinggal karena memang tidak bisa dibawanya. Bukankah di dalam Islam diajarkan bahwa yang dibawa berupa benda fisikal hanyalah kain kafan saja. Selebihnya  tidak ada.

Islam memberikan panduan bahwa yang akan mengikutinya adalah tiga hal saja, yaitu: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya. Di dalam hadits Nabi Muhammad SAW dinyatakan: “idza matabnu Adama inqata’a amaluhu illa min tsalatsin, shaqatin jariyatin aw ilmin yuntafa’u bihi aw waladin shalihin yad’u lahu”. Yang artinya: “Jika mati anak cucu Adam maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakan orang tuanya”.

Coba kita perhatikan hadits Nabi Muhammad SAW yang secara tegas menggambarkan tentang shadaqah yang akan dibawanya ke alam barzah dan terus ke alam akhirat, ilmu yang bermanfaat juga akan dibawanya ke alam barzakh sampai di alam akherat, lalu anak shaleh yang terus mendoakan keluarganya atau lebih khusus orang tuanya. Selain ini tidak ada manfaatnya. Hilang tak berbekas. Jadi hanya orang yang bersedekah, berilmu yang bermanfaat dan memiliki anak shaleh saja yang akan beruntung. Yang berbahagia di alam kubur dan alam akherat adalah jika memiliki tiga hal ini. Bisa salah satu tentu saja. tidak harus ketiga-tiganya. Orang bahagia di alam kubur dan alam akherat adalah orang yang memiliki amal sebagaimana di atas. Punya shadaqah jariyah, punya ilmu yang manfaat dan punya anak saleh. Dan sebaliknya orang yang tidak bahagia jika tidak memiliki salah satu dari ketiganya.

Lalu apa hubungan antara para leluhur kita yang sudah wafat dengan datangnya bulan puasa? Saya akan menggunakan pengalaman empiris transendental  untuk menjelaskan atas masalah kegaiban yang berwujud dunia alam barzakh. Bukan maksud saya untuk menjelaskan alam barzakh secara empiris, tetapi menggambarkan bahwa para penghuni alam barzakh itu adalah orang yang berbahagia karena anak cucunya melantunkan bacaan Alqur’an yang ditujukan kepadanya, membaca dzikir dan berdoa untuknya.

Bulan puasa adalah bulan membaca Alqur’an. Betapa banyaknya orang yang membaca Alqur’an dalam bentuk tadarrus. Bisa one day one juz, bisa juga one day two juzs dan sebagainya. Yang jelas mereka mengaji Alqur’an. Setiap membaca Alqur’an ditujukan  kepada Nabi Muhammad SAW, dan para leluhur yang sudah meninggal. Jadi pada bulan puasa, maka para ruh leluhur itu seperti mendapatkan kiriman pahala bertubi-tubi, sehingga merasakan kenikmatan pahala dari anak cucunya. Umat Islam itu bukan orang yang egois. Hanya ingin menikmati pahala dengan amalnya sendiri, akan tetapi orang Islam juga memikirkan keluarganya termasuk yang sudah meninggal. Bukan kebutuhan fisik akan tetapi kebutuhan khusus, yaitu kebutuhan pahala dari anak cucunya yang shaleh dan shalihah.

Tentu saja kita tidak tahu apakah ada bulan demi bulan di dalam kehidupan di alam kubur, sebagaimana yang terjadi di alam dunia atau apakah roh di alam kubur itu merasakan atau tidak merasakan akan kehadiran bulan puasa, akan tetapi kita yakini bahwa roh tentu merasakan dengan kekhususannya tentang hadirnya pahala yang kita kirimkan. Anak cucu yang sholeh atau shalihah berkirim fatihah kepada mereka dan mereka merasakan kehadiran pahala dimaksud.

Di dalam buku saya, “Islam Pesisir” (2005) terdapat sebuah monolog yang disampaikan oleh Kyai Ghafur, bahwa: “Wak Man membuat sumur. Kala Wak Man meninggal maka setiap hari mendapatkan kiriman pahala  enam karung, karena sumurnya ditimba oleh enam orang. suatu ketika kiriman pahalanya berhenti. Kemudian Wak Man bertanya kepada Malaikat: ‘Kat kenapa kiriman pahala saya berhenti’. Malaikat menjawab: ‘karena sumurmu ditutup oleh Min ponakanmu’. Marahlah Wak Man sehingga mengeluarkan ion merah dan mengenai tubuhnya Min. Maka Min sakit dan tidak bisa disembuhkan. Dia datang kepada Kyai, lalu disarankan agar Man membuat sumur baru yang pahalanya dihadiahkan kepada Wak Man. Kiriman pahala kembali datang, dan Min sehat, bahkan akhirnya punya anak lagi”.

Itulah sebabnya para sahabat Nabi Muhammad SAW membuat sumur, karena pahalanya besar. Sahabat Ali membuat sumur, yang sekarang disebut “birr Ali”, sesungguhnya adalah Bi’ru Ali, bahkan kemudian dijadikan sebagai miqat makani bagi para jamaah haji  yang datang dari Madinah. Subhanallah. Makanya pada bulan puasa, rasanya tidak salah jika kita membaca banyak amalan yang bisa menghibur leluhur kita. Dan  insyaallah apa yang kita baca berupa kalimat tauhid, hamdalah, ayat-ayat Alqur’an dan bacaan-bacaan doa itu akan bisa membahagiakan leluhur kita. Allahumma Amin.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

PUASA DENGAN FULL CINTA: RENUNGAN RAMADLAN (14)

PUASA DENGAN FULL CINTA: RENUNGAN RAMADLAN (14)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Manusia diberikan oleh Allah perasaan cinta. Tidak hanya cinta kepada lawan jenis, cinta kepada manusia tetapi juga cinta kepada Allah SWT. Manusia dengan perasaannya dikaruniai perasaan saling menyayangi dan mencintai, sehingga kehidupan akan dapat menjadi aman, damai dan bahagia.

Ungkapan ini disampaikan oleh Dr. Sahid, penceramah pada acara tarawih berjamaah di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency E8 Ketintang Surabaya. Ceramah yang dilaksanakan bada shalat Isya’ tersebut diikuti oleh sejumlah jamaah Masjid Al Ihsan, lelaki dan perempuan. Yang menjadi imam masjid adalah  Ustadz Alif, Al Hafidz. Setiap malam selama bulan Ramadlan dilakukan ceramah 10-15 menit dari orang yang memiliki seperangkat pengetahuan tentang ibadah puasa dalam kaitannya dengan kehidupan manusia. Tema yang dibawakan oleh Cak Sahid adalah puasa dengan penuh cinta kepada Allah SWT.

Cak Sahid menyampaikan tiga hal di dalam ceramahnya, yaitu: pertama,  kita harus selalu mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT karena dikaruniai kesehatan fisik dan rohani untuk beribadah, khususnya ibadah puasa. Tanpa berkah kesehatan, maka kita pasti tidak bisa melaksanakan puasa dengan sebaik-baiknya.  Yang paling luar biasa besarnya berkah Allah SWT adalah berkah kita masih menjadi umat Islam. Di luar sana banyak orang yang tidak mendapatkan hidayah, akan tetapi kita terus mendapatkan hidayah sehingga kita dapat  terus menjalankan ibadah Allah SWT. Alhamdulillah.

Kedua, cinta kepada Allah SWT. Allah itu mencintai hambanya, makanya Allah memberikan berbagai instrument agar manusia mendapatkan cinta Allah SWT. Betapa Allah itu maha Rahman dan Rahim. Karena sifat utamanya seperti itu, maka Allah menurunkan sifat saling menyayangi. Salah satu  cara untuk menyayangi Allah adalah hablum minallah atau menyambung tali hubungan dengan Allah. Medianya adalah dengan menjalankan perintah Allah SWT. Orang yang menjalankan perintah Allah hakikatnya adalah orang yang mencintai Allah. Semakin banyak ibadah kepada Allah SWT akan semakin mencintai Allah dan sebaliknya semakin tidak ibadah akan semakin tidak mencintai Allah.

Cinta itu bisa datang secara perlahan dan bisa datang sekaligus. Ada orang yang memperoleh hidayah langsung cinta kepada Allah tetapi ada orang yang sudah sering mendengar Namanya, sudah sering mendengar kebaikannya, tetapi datangnya cinta itu lambat. Tetapi yang jelas cinta kepada Tuhan itu harus diupayakan agar bisa mencintai-Nya dan ada yang berkat kekuasaan Allah SWT, maka cinta itu cepat berkembang dan membesar. Cinta dalam pola yang kedua itu hanya dapat diperoleh oleh orang khusus, yang memang dipilih ooeh Allah SWT. Namun kita sebagai orang awam pasti harus melakukan ibadah dengan cara yang benar agar bisa mencintai dan dicintai oleh Allah SWT.

Ketiga, mengasihi sesama manusia dan alam seluruhnya. Allah mengajarkan agar manusia tidak hanya membangun hubungan baik dengan Tuhan,  akan tetapi juga   membangun relasi yang baik dengan sesama manusia bahkan dengan alam seluruhnya. Allah mengajarkan agar kita menjaga relasi dengan sesama manusia dengan sebaik-baiknya. Hablum minallah wa hablum minal alam. Seluruh makhluk di dunia ini bertasbih atau memuji Allah SWT. Binatang dan tumbuh-tumbuhan juga memuji kepada Allah. Hanya saja kita tidak tahu bahasanya. Ada sebuah ilustrasi di dalam Kitab Nashaihul Ibad, diceritakan tentang Imam Ghazali. Ada seseorang yang mimpi bahwa Imam Ghazali itu berada di surga. Lalu ditanya, apakah Engkau masuk surga  karena amal ibadahmu kepada Allah. Ternyata dijawab bahwa saya masuk surga bukan karena amal ibadah saya, bukan karena saya menulis kitab yang banyak, tetapi karena saya menolong lalat. Kala saya menulis, maka ada lalat yang meminum tinta saya. Lalu saya biarkan sampai hausnya hilang. Kemudian lalat itu terbang. Saya menolong dengan ikhlas.  Itulah  yang mengantarkan saya masuk surga. Oleh karena itu, marilah kita berserah diri kepada Allah dengan penuh kecintaan agar kita akan mendapatkan kecintaan Allah SWT.

Di dalam tulisan ini, saya memberikan catatan tambahan, bahwa puasa itu sesungguhnya merupakan lambang cinta manusia kepada Allah SWT dan sekaligus juga lambang cinta Allah kepada manusia. Kepada manusia sebagai ciptaannya, Allah SWT itu betapa sayangnya. Diberikan kepada manusia berbagai instrumen agar manusia dapat melakukan kebaikan yang merupakan keinginan Allah SWT. Allah SWT tidak ingin hambanya itu menjadi hamba setan, akan tetapi manusia harus tetap menjadi hamba Allah SWT. Di dalam Alqur’an dinyatakan: “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun”.  Yang artinya: “tidak diciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah”. Jadi manusia dan jin itu diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya.

Oleh Allah,  manusia dikaruniai emosional intelligent atau perasaan yang terkait dengan kasih sayang, rasa iba, rasa cinta, rasa memiliki kesenangan dan kesedihan dan rasa kemanusiaan yang mendalam. Melalui inteligensi emosional ini manusia dapat mengekspresikan kehidupan kasih sayangnya kepada sesama manusia dan juga kepada alam semesta. Bahkan ada manusia yang menyayangi binatang, menyayangi tanaman dan sebagainya.

Mencintai Allah SWT sesungguhnya merupakan cinta abadi. Cinta yang sebenarnya dihembuskan oleh Allah tatkala manusia  masih dalam kandungan.  Tetapi karena factor lingkungan sehingga cinta tersebut terkadang hadir dan terkadang tidak. Ada yang hadir terus dan ada yang hadir sementara. Itulah sebabnya ada manusia yang kemudian konversi ke agama lain.

Kecintaan Allah kepada manusia itu diberikan melalui instrument yang dipandu oleh teks-teks suci yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Di antara ekspressi cinta itu diwujudkan misalnya dalam ungkapan “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”, kepada-Mu kami menyembah dan kepada-Mu kami memohon”. Alangkah indahnya kalimat ini. Selain itu juga puasa. Melalui puasa manusia diajari pelipatgandaan pahala. Bahkan dinyatakan: ash shaumu li wa ana ajzi bihi. Puasa itu untuk-Ku dan Aku akan memberikan pahala kepada yang melakukannya.

Subhanallah, hakikat puasa adalah ekspresi kecintaan kita kepada Allah SWT dan manifestasi cinta Allah SWT kepada kita. Berbahagialah orang yang bisa melakukannya dengan sepenuh cinta.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

UMAT ISLAM JANGAN BERCERAI BERAI: RENUNGAN RAMADLAN (13)

UMAT ISLAM JANGAN BERCERAI BERAI: RENUNGAN RAMADLAN (13)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Artikel ini sesungguhnya berasal dari ceramah saya pada masjid Al Ihsan, Cuma saya sudah lupa pada tanggal berapa saya lakukan. Yang jelas pada bulan Pebruari 2023. Seperti biasa secara rutin dilakukan pengajian ba’da Shubuh yang diikuti oleh jamaah Masjid Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency, Ketintang, Surabaya.

Akhir-akhir ini kita melihat terutama di media social tentang relasi intern umat Islam yang centang perentang. Ada perilaku yang saling membulli, saling menghina, saling mencaci dan juga saling menyalahkan. Sungguh rasanya sangat tidak elok, sebagai sesama umat Islam melakukan tindakan seperti itu apalagi di media social. Terkadang kita merasa bahwa umat Islam itu tidak bisa bersatu. Persoalan tafsir agama saja bisa berkelahi tidak secara fisik tetapi melalui media social. Sungguh pemandangan dan pendengaran yang seharusnya tidak lazim bagi umat Islam.

Perkara penafsiran ajaran Islam seharusnya sudah selesai. Dan masing-masing umat Islam sekarang juga mengamalkan agama Islam itu sesuai dengan apa yang ditafsirkan oleh para ulama terdahulu. Jargon kembali kepada Alqur’an dan Sunnah sama sekali tidak salah. Tetapi persoalannya Alqur’an itu dalam Bahasa Arab dan bukan Bahasa Indonesia. Bahasa Arab Alqur’an juga sangat spesifik. Tidak semua orang yang bisa Bahasa Arab bisa menafsirkan Alqur’an. Hanya orang yang memahami berbagai ilmu alat atau Bahasa Arab yang mendalam saja yang bisa menafsirkannya. Bahkan jika kita membaca terjemahan Alqur’an dalam Bahasa Indonesia juga tidak mungkin kita paham terutama terkait dengan amalan ibadah dalam syariah Islam. Bagaimana gerakan shalat, apa bacaannya dan bagaimana tatacaranya. Semua ini ada di dalam hadits. Artinya kita harus membaca hadits, yang di dalam tatacara shalat juga harus ditafsirkan oleh para ahli yang memiliki kapasitas.

Dengan demikian, kita  harus mengikuti para ahli agama yang memiliki kapasitas untuk menafsirkan ajaran agama. Jika orang Salafi Wahabi,  maka yang dijadikan rujukan adalah Syekh Abdullah bin Bas, Syekh Utsaimin, dan Syekh Nashiruddin Albani. Tokoh-tokoh Salafi di Indonesia, seperti Abdul Qadir Basalamah, Jawwas, dan lainnya semua berkiblat pada tokoh-tokoh tersebut. Tetapi yang kemudian menjadi masalah bahwa semua yang berasal dari penafsiran ulama Salafi saja yang benar dan yang lain salah dan sesat.  Inilah problem yang sedang terjadi  sekarang. Sama dengan orang Nahdhiyin yang menjadikan imam yang empat: Imam Syafi’I, Imam Hambali, Imam Maliki dan Imam Hanafi sebagai rujukan, meskipun di dalam banyak hal lebih banyak menggunakan Imam Syafi’I, sebagai imam dalam ilmu fiqih dan  kemudian menjadikan  Imam Maturidi dan Imam Asy’ari dalam rujukan ilmu kalam.

Jadi semuanya menggunakan rujukan para ahli, yang berkapasitas sebagai rujukan karena keilmuan dan keahliannya. Sekali lagi hal ini dilakukan karena kita tidak bisa mengakses langsung makna demi makna dan bagaimana konsekuensinya dari Alqur’an dan Alhadits. Ini bagian dari konsekuensi kita sebagai orang awam dalam memahami ajaran agama.

Sekarang ada para da’i yang mempermasalahkan penafsiran demi penafsiran ajaran agama. Mereka  beranggapan bahwa yang benar adalah tafsir ajaran agamanya saja. Mereka teriak-teriak menyalahkan amalan ajaran Islam dalam tafsir lain dalam media youtube. Mereka ini membidh’ahkan dan mengkafirkan sesama umat Islam, maka tentunya yang dinyatakan sebagai ahlu bidh’ah dan ahlu kafir marah lalu melakukan pembalasam melalui channel youtube. Jadilah media social kita riuh rendah dengan upaya dakwah yang memukul dan bukan merangkul.

Padahal Islam sudah mengajarkan sebagaimana firman Allah SWT:” innamal mu’minuna ikhwatun, fa ashlihu baina akhawaikum, wattaqullaha la’allakum turhamun.  (QS. Al Hujurat: 10). Yang artinya: “sesungguhnya di antara sesama orang mu’min itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapatkan rahmat”. Islam mengajarkan agar sesama umat Islam, sebagai sesaudara, hendaknya saling melakukan upaya untuk berbuat baik dengan cara saling berdamai jika terjadi masalah.

Sebagai makhluk social yang memiliki keinginan dan kepentingan dipastikan bahwa akan ada saja masalah-masalah yang membelit di antara relasi social tersebut. Maka di kala ada masalah, maka jalan keluar yang dapat dilakukan adalah melalui perdamaian. Dengan demikian, kerukunan dan harmoni social hanya akan dapat dicapai dengan membangun perdamaian atau melakukan ishlah di antara mereka.

Untuk melakukan ishlah tentu syaratnya adalah melalui kesepahaman tentang persamaan dan perbedaan. Jika yang diinginkan hanya kesamaan di antara semuanya, maka itulah awal akan terjadinya masalah social, termasuk masalah internal umat Islam. Maka yang harus dipahami adalah di dalam penafsiran ajaran Islam, lebih khusus Alqur’an dan Al Hadits, maka ada yang potensial sama dan ada yang potensial berbeda. Yang yang sama harus diperkuat dan yang beda harus ditoleransi. Tanpa pemahaman dan sikap seperti ini, maka umat Islam pasti selalu di dalam jurang pertentangan, rivalitas dan konflik.

Kita ini sudah lelah untuk terus bertentangan, saling menjadi rival dan terus berada di arena konflik social. Maka sudah sepatutnya jika kita memahami jangan saling mencela, membulli, mencibir dan merendahkan. Kelompok Salafi Wahabi juga jangan mengumbar ungkapan yang menyebabkan adanya serangan balik dari kelompok lain, dan kelompok lain juga memahami penafsiran dimaksud. Jika kelompok baru terus membombardir dengan ungkapan ahli bidh’ah, kafir dan lainnya, maka kedamaian tidak akan pernah diperoleh. Marilah kita sadar bahwa kesatuan dan persatuan umat Islam itu akan menentukan Islam di masa depan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MENJAGA AGAMA ALLAH: RENUNGAN RAMADLAN (12)

MENJAGA AGAMA ALLAH: RENUNGAN RAMADLAN (12)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Saya sungguh mengapresiasi takmir Masjid Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya,  atas inovasi barunya, yaitu menghadirkan penceramah perempuan dalam acara taushiyah Ramadlan, malam ke 13 pada Bulan Ramadlan 1444 Hijriyah. Selama ini yang mesti memberikan ceramah agama menjelang Shalat Tarawih selalu lelaki, bahkan rasanya di seluruh masjid di Jawa Timur, baik masjid perkotaan maupun pedesaan.

Kali ini yang memberi ceramah agama adalah mahasiswi Program Pascasarjana Ilmu Tafsir dan Hadits, UIN Sunan Ampel Surabaya, Ustadzah Luluk Ita Nur Rasidah, SAg. Bagi Masjid Al Ihsan, memberikan peluang perempuan untuk ceramah pada acara tarawih berjamaah juga yang pertama. Tetapi alhamdulillah bahwa sambutan peserta shalat tarawih juga sangat memadai terbukti dengan beberapa celetukan, misalnya “wah kurang panjang ceramahnya”. Artinya, bahwa jamaah menikmatinya.

Ceramah Ustadzah Luluk memang memberikan penjelasan yang runtut. Dimulai dengan membacakan Surat Muhammad ayat 7, yang berbunyi: “Ya ayyuhal ladzina amanu in tansharullaha  yanshurkum wa yutsabbit aqdamakum”. Yang artinya: “Wahai orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. Dari ayat ini kemudian mengalir ceramah Ustadzah Luluk dalam beberapa pokok pikiran.

Pertama, menolong (agama) Allah artinya adalah kita melaksanakan semua perintah Allah dengan  mematuhi perintahnya. Menolong Allah itu tidak dimaksudkan bahwa Allah perlu ditolong, akan tetapi  menolong agama Allah itu maksudnya adalah dengan mengamalkan semua ajaran agama. Jika kita melaksanakan agama Allah itu artinya kita menolong agama Allah. Kita  harus mencintai Allah dan kemudian juga mencintai Nabi Muhammad SAW. “alangkah senangnya jika dicintai Allah dan dicintai Nabi Muhammad SAW”. Salah satu cara agar dicintai Rasulullah adalah dengan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan agar kita dicintai Allah,  maka kita harus melaksanakan semua ajaran Allah yang diwajibkan termasuk melaksanakan puasa pada hari ini.

Kedua, di dalam bulan puasa ini kita dapat melaksanakan amalan yang wajib maupun yang sunnah. Kita bisa tadarrus Al Qur’an, bisa shalat tarawih, bisa membaca dzikir dan bisa mengeluarkan shadaqah. Semua ini kenikmatan yang diberikan Allah kepada kita semua. Oleh karena itu kita harus bersyukur atas nikmat Allah karena kita dapat  menolong agama Allah dengan cara menjalankan ajaran-ajaran Allah SWT. Kita bisa tarawih pada malam hari ini. Silahkan mau tarawih delapan rakaat atau 20 rakaat silahkan. Yang penting kita menjalankan qiyamul lail. Karena melaksanakan qiyamul lail termasuk sunnahnya Rasulullah. Di dalam hadits dinyatakan: “man qama ramadlona imanan wahtisaban ghufiro lahu ma taqaddama min dzanbih”. Barang siapa yang menjalankan ibadah malam, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa kita.

Ketiga, perlu memperbanyak amalan ibadah. Jamaah Masjid Al Ihsan ini, maju atau mundur. Kalau maju berarti semakin berkurang, tetapi kalau mundur berarti makin banyak. Tapi rasanya semakin maju. Tetapi yang jelas kita harus bersyukur sebab kita ini bisa tergolong orang yang masih menjalankan ibadah,  baik yang wajib maupun yang sunnah. Hanya dengan menjalankan amalan-amalan ibadah saja maka kita dapat menolong agama Allah swt.

Saya  memberikan komentar sedikit di dalam tulisan ini terkait dengan konsep menolong agama Allah. Melalui ayat ini, maka bisa memberikan kesan bahwa Allah itu perlu ditolong atau Allah itu perlu dibela. Ayat ini berdasarkan atas teksnya memberikan kesan bahwa Allah itu memerlukan pertolongan manusia. Manusia bisa memberikan pertolongan kepada Allah SWT. Lalu ada pemahaman tentang pertolongan macam apa yang harus dilakukan, misalnya adalah memberantas kemaksiatan atau  melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Itulah sebabnya Front Pembela Islam (FPI) di masa lalu melakukan sweeping atas warung-warung terutama saat puasa di siang hari dengan dalih melakukan nahi mungkar. Bahkan juga melakukan sweeping ke tempat-tempat diskotik dan sebagainya. Tindakan seperti ini disebut sebagai membela Allah atau membela agama Allah.

Pemikiran dan prilaku ini menghasilkan anti tesis, bahwa Allah tidak perlu dibela atau ditolong. Yang justru perlu ditolong adalah manusia. Manusialah yang memerlukan pertolongan, sedangkan Tuhan sebagai Dzat yang Maha Kuasa tentu tidak memerlukan bantuan siapapun. Menolong Allah atau membela Allah seharusnya dilakukan dengan membela manusia. Mengentas manusia dari kemiskinan, menghilangkan ketidakadilan, menolong manusia dari keterbelakangan dan seterusnya.

Kala masyarakat Indonesia masih miskin, maka yang diperlukan adalah bagaimana mengentas kemiskinan dan memberikan jalan untuk mencapai kesejahteraan. Jika masih terdapat ketidakadilan, maka seharusnya yang dilakukan adalah memberikan peluang agar keadilan bisa dicapai. Misalnya upaya untuk mengurangi kesenjangan ekonomi sehingga akan terdapat peluang pemerataan. Memang tidak mudah melakukannya akan tetapi tentu harus ada upaya untuk melakukannya.

Upaya melakukan sweeping terhadap warung-warung memang bagian dari upaya untuk menegakkan syariat puasa di siang hari. Akan tetapi tentu juga harus dipikirkan tentang bagaimana kehidupan ekonominya. Harus juga dipahami sebagai negara dengan pluralitas agama tentu juga ada sebagian kecil yang tidak melakukan puasa. Bagi kita yang terpenting supaya tetap menjaga agar tetap terdapat kesopanan dalam menghadapi bulan puasa.

Dengan demikian amar makruf memang diwajibkan oleh Islam, akan tetapi penerapannya tentu sangat kontekstual sesuai dengan lokus di mana Islam itu dijadikan sebagai agama dan pedoman untuk bertingkah laku.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

PUASA ITU RASIONAL: RENUNGAN RAMADLAN (11)

PUASA ITU RASIONAL: RENUNGAN RAMADLAN (11)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Selama ini kita memaknai puasa tentu hanya dari ajaran Islam yang berupa kewajiban saja. Kita tidak pernah berpikir, apakah puasa itu masuk akal atau tidak.  Bisa dinalar atau tidak. Bisa dikaji atau tidak, dan seterusnya. Yang penting perintah untuk menjalankan puasa adalah perintah yang mewajibkan kita untuk melakukannya, dan yang penting kita harus berpuasa sesuai dengan ajaran agama, dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya mata hari.

Kita tidak pernah bertanya tentang apakah ada rahasia Allah SWT atas mengapa manusia dimintanya untuk berpuasa. Saya kira kebanyakan umat Islam juga sama seperti saya dalam melakukan puasa. Kita Imani dan kita lakukan. Bahkan sebagaimana yang sering saya ungkapkan bahwa di dalam mengimani ajaran agama prototipenya adalah Sayydinna Abu Bakar Ash Shiddiq. Orang yang mengimani ajaran agama tanpa berkata tidak, dhahiran wa bathinan.

Sebagai orang yang berkembang dengan memanjakan rasio, maka seringkali kita bertanya-tanya tentang ajaran agama, tentu ajaran agama yang tidak bercorak kegaiban. Sebab yang bertipe kegaiban tentu kita harus percaya saja tanpa pertanyaan, misalnya kegaiban Allah SWT, keberadaan Malaikat, akherat, alam kubur, surga dan neraka, dan keberadaan makhluk Allah yang tidak bisa dilihat oleh orang biasa. Kita harus percaya, dhahiran wa bathinan.

Tetapi tentang kegaiban itu ada yang mutlak tidak bisa dipikir dan dilihat, baik secara dhahiriyah atau bathiniyah, misalnya Allah SWT itu mutlak tidak bisa dinalar karena ketidakmungkinan untuk dilihat, alam akherat, surga dan neraka dan beberapa hal lainnya.  Tetapi malaikat bisa dilihat kehadirannya pada zaman Nabi Muhammad SAW oleh para sahabat Nabi. Misalnya kala Jibril mengajari Nabi Muhammad SAW tentang rukun iman, rukun Islam dan ihsan, di mana Malaikat Jibril menyerupai orang yang sempurna fisiknya.

Termasuk yang bisa dilihat adalah alam Jin, yang untuk sementara orang kebanyakan tidak akan melihatnya, akan tetapi ada orang-orang khusus yang bisa melihatnya dan bahkan bergaul dengannya. Tentu ada syarat-syarat yang tidak lazim yang harus dilakukan agar bisa memasuki alam kegaiban ini. Ada banyak cerita orang yang dikaruniai untuk masuk dalam alam kegaiban karena usaha atau riyadhah yang dilakukannya. Jika gelombangnya sudah sama, maka dipastikan akan didapati kemampuan untuk merasakan kehadirannya atau kita hadir kepadanya.

Manusia diberikan kemampuan akal  atau rational intelligent. Sebuah kemampuan untuk melakukan berbagai aktivitas yang terkait dengan hal-hal yang fisikal atau jasadiyah. Manusia bisa mengkaji tentang hal-hal yang masuk akal. Artinya, bahwa akal manusia bisa  menemukan kebenaran, yang bagi Sebagian orang lain tidak bisa ditemukannya. Manusia diberi kemampuan untuk menemukan teknologi untuk bisa menyibak hal fisikal yang tidak bisa disibak dengan akal pada umumnya. Misalnya teknologi yang sederhana untuk mengecek gula darah, tekanan darah tinggi, kolesterol dan asam urat, dan sebagainya. Melalui teknologi ini, maka kita bisa mengetahui berapa kadar gula kita setelah memakan makanan yang manis-manis. Berapa tensi darah kita setelah kita memakan yang penuh dengan nasi dan lauk pauknya, berapa kadar kolesterol kita setelah makan lemak yang banyak.  Jadi melalui kemampuan akal, manusia akhirnya dapat mengetahui hal-hal yang tidak bisa diketahui dengan akal umum saja. Diperlukan seperangkat teknologi untuk memahaminya.

Bagaimana dengan puasa? Adakah aspek atau dimensi rasionalitas di dalamnya. Selama ini kita berpuasa hanya sesuai dengan ketentuan. Dewasa, berakal, sehat fisik dan rohani, maka kita dapat  melakukan puasa. Akan tetapi ternyata ada dimensi kesehatan yang sungguh rasional dari orang yang melakukan puasa. Puasa itu dapat menjadi instrument untuk membuat manusia menjadi sehat. Ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa puasa dapat dijadikan sebagai sarana untuk sehat. Melalui puasa, maka ada sel-sel mati yang menumpuk dalam tubuh lalu dimakan di kala tubuh kita tidak terdapat asupan makanan. Jika di tubuh kita ada banyak lemak yang menggumpal, maka dengan puasa  akan bisa dijadikan sebagai asupan makanan kala lapar. Makanya puasa dapat mengeliminasi kolesterol, asam aurat, diabetes dan juga tmenormalkan tensi darah. Bahkan dianjurkan dalam sepekan bisa melakukan puasa dua kali. Agar bisa menjaga keseimbangan tubuh.

Sekarang banyak orang yang berpuasa selama 16 jam atau 20 jam dengan tujuan agar terjadi keseimbangan di dalam mekanisme tubuh kita. Dengan tidak makan selama 20 atau 16 jam dan hanya minum air putih saja, maka akan terjadi keseimbangan tubuh sehingga kadar gula darah akan bisa turun, demikian pula kolesterol dan asam urat. Dengan kadar gula darah yang rendah di bawah 100, maka tubuh akan menjadi lebih sehat. Memang menjadi kurus tetapi itu lebih baik. Ada jenis puasa ketto atau puasa ala MOBI atau miracle breath of Indonesia. Yang kedua lebih ketat tata caranya. Sebab hanya boleh makan protein dan benar-benar non karbohidrat.

Oleh karena itu, jika di masa lalu puasa hanya dipahami sebagai perintah wajib, maka sekarang ternyata dapat membawa pelakunya untuk sehat. Di dalam hal ini, maka Sabda Nabi Muhammad SAW, shumu tasihhu bukan kata tanpa makna, akan tetapi telah dibuktikan kebenarannya. puasa itu rasional.

Wallahu a’lam bi al shawab.