AHLI KUBUR JUGA BERHARAP BULAN PUASA: RENUNGAN RAMADLAN (15)
AHLI KUBUR JUGA BERHARAP BULAN PUASA: RENUNGAN RAMADLAN (15)
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Di dalam pikiran kita, bahwa puasa itu hanya diharapkan oleh orang yang masih hidup karena bisa menjalankan puasa sebagai bulan yang utama yang di dalamnya banyak sekali keutamaan-keutamaan. Di antara keutamaan itu adalah Allah SWT akan melipatgandakan pahala bagi orang yang melakukan ibadah pada Bulan Ramadlan. Itulah sebabnya pada bulan puasa itu banyak orang yang tadarrus Qur’an, shalat malam, dan juga melakukan dzikir kepada Allah SWT.
Namun di dalam benak saya bahwa yang merasakan kesenangan akan datangnya bulan Ramadlan juga para leluhur kita yang sudah mendahului kita. Bahkan bisa diilustrasikan bahwa mereka mengharap bulan puasa karena banyaknya kiriman doa dan bacaan Alqur’an yang dilantunkan oleh umat Islam, khususnya yang ditujukan kepada para ahli kubur. Bisa dibayangkan bahwa banyak sekali orang yang sengaja mengirimkan bacaan dzikir dan bacaan Alqur’an kepada ahli kuburnya.
Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW sudah memberikan panduan bahwa semua hal duniawi yang dimiliki oleh orang akan ditinggal di dunia kala meninggal. Kekayaan yang berupa rumah, uang, harta benda dan sebagainya akan ditinggalkan di dunia dan tidak ada yang dibawa. Semua ditinggal karena memang tidak bisa dibawanya. Bukankah di dalam Islam diajarkan bahwa yang dibawa berupa benda fisikal hanyalah kain kafan saja. Selebihnya tidak ada.
Islam memberikan panduan bahwa yang akan mengikutinya adalah tiga hal saja, yaitu: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya. Di dalam hadits Nabi Muhammad SAW dinyatakan: “idza matabnu Adama inqata’a amaluhu illa min tsalatsin, shaqatin jariyatin aw ilmin yuntafa’u bihi aw waladin shalihin yad’u lahu”. Yang artinya: “Jika mati anak cucu Adam maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakan orang tuanya”.
Coba kita perhatikan hadits Nabi Muhammad SAW yang secara tegas menggambarkan tentang shadaqah yang akan dibawanya ke alam barzah dan terus ke alam akhirat, ilmu yang bermanfaat juga akan dibawanya ke alam barzakh sampai di alam akherat, lalu anak shaleh yang terus mendoakan keluarganya atau lebih khusus orang tuanya. Selain ini tidak ada manfaatnya. Hilang tak berbekas. Jadi hanya orang yang bersedekah, berilmu yang bermanfaat dan memiliki anak shaleh saja yang akan beruntung. Yang berbahagia di alam kubur dan alam akherat adalah jika memiliki tiga hal ini. Bisa salah satu tentu saja. tidak harus ketiga-tiganya. Orang bahagia di alam kubur dan alam akherat adalah orang yang memiliki amal sebagaimana di atas. Punya shadaqah jariyah, punya ilmu yang manfaat dan punya anak saleh. Dan sebaliknya orang yang tidak bahagia jika tidak memiliki salah satu dari ketiganya.
Lalu apa hubungan antara para leluhur kita yang sudah wafat dengan datangnya bulan puasa? Saya akan menggunakan pengalaman empiris transendental untuk menjelaskan atas masalah kegaiban yang berwujud dunia alam barzakh. Bukan maksud saya untuk menjelaskan alam barzakh secara empiris, tetapi menggambarkan bahwa para penghuni alam barzakh itu adalah orang yang berbahagia karena anak cucunya melantunkan bacaan Alqur’an yang ditujukan kepadanya, membaca dzikir dan berdoa untuknya.
Bulan puasa adalah bulan membaca Alqur’an. Betapa banyaknya orang yang membaca Alqur’an dalam bentuk tadarrus. Bisa one day one juz, bisa juga one day two juzs dan sebagainya. Yang jelas mereka mengaji Alqur’an. Setiap membaca Alqur’an ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, dan para leluhur yang sudah meninggal. Jadi pada bulan puasa, maka para ruh leluhur itu seperti mendapatkan kiriman pahala bertubi-tubi, sehingga merasakan kenikmatan pahala dari anak cucunya. Umat Islam itu bukan orang yang egois. Hanya ingin menikmati pahala dengan amalnya sendiri, akan tetapi orang Islam juga memikirkan keluarganya termasuk yang sudah meninggal. Bukan kebutuhan fisik akan tetapi kebutuhan khusus, yaitu kebutuhan pahala dari anak cucunya yang shaleh dan shalihah.
Tentu saja kita tidak tahu apakah ada bulan demi bulan di dalam kehidupan di alam kubur, sebagaimana yang terjadi di alam dunia atau apakah roh di alam kubur itu merasakan atau tidak merasakan akan kehadiran bulan puasa, akan tetapi kita yakini bahwa roh tentu merasakan dengan kekhususannya tentang hadirnya pahala yang kita kirimkan. Anak cucu yang sholeh atau shalihah berkirim fatihah kepada mereka dan mereka merasakan kehadiran pahala dimaksud.
Di dalam buku saya, “Islam Pesisir” (2005) terdapat sebuah monolog yang disampaikan oleh Kyai Ghafur, bahwa: “Wak Man membuat sumur. Kala Wak Man meninggal maka setiap hari mendapatkan kiriman pahala enam karung, karena sumurnya ditimba oleh enam orang. suatu ketika kiriman pahalanya berhenti. Kemudian Wak Man bertanya kepada Malaikat: ‘Kat kenapa kiriman pahala saya berhenti’. Malaikat menjawab: ‘karena sumurmu ditutup oleh Min ponakanmu’. Marahlah Wak Man sehingga mengeluarkan ion merah dan mengenai tubuhnya Min. Maka Min sakit dan tidak bisa disembuhkan. Dia datang kepada Kyai, lalu disarankan agar Man membuat sumur baru yang pahalanya dihadiahkan kepada Wak Man. Kiriman pahala kembali datang, dan Min sehat, bahkan akhirnya punya anak lagi”.
Itulah sebabnya para sahabat Nabi Muhammad SAW membuat sumur, karena pahalanya besar. Sahabat Ali membuat sumur, yang sekarang disebut “birr Ali”, sesungguhnya adalah Bi’ru Ali, bahkan kemudian dijadikan sebagai miqat makani bagi para jamaah haji yang datang dari Madinah. Subhanallah. Makanya pada bulan puasa, rasanya tidak salah jika kita membaca banyak amalan yang bisa menghibur leluhur kita. Dan insyaallah apa yang kita baca berupa kalimat tauhid, hamdalah, ayat-ayat Alqur’an dan bacaan-bacaan doa itu akan bisa membahagiakan leluhur kita. Allahumma Amin.
Wallahu a’lam bi al shawab.