UMAT ISLAM JANGAN BERCERAI BERAI: RENUNGAN RAMADLAN (13)
UMAT ISLAM JANGAN BERCERAI BERAI: RENUNGAN RAMADLAN (13)
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Artikel ini sesungguhnya berasal dari ceramah saya pada masjid Al Ihsan, Cuma saya sudah lupa pada tanggal berapa saya lakukan. Yang jelas pada bulan Pebruari 2023. Seperti biasa secara rutin dilakukan pengajian ba’da Shubuh yang diikuti oleh jamaah Masjid Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency, Ketintang, Surabaya.
Akhir-akhir ini kita melihat terutama di media social tentang relasi intern umat Islam yang centang perentang. Ada perilaku yang saling membulli, saling menghina, saling mencaci dan juga saling menyalahkan. Sungguh rasanya sangat tidak elok, sebagai sesama umat Islam melakukan tindakan seperti itu apalagi di media social. Terkadang kita merasa bahwa umat Islam itu tidak bisa bersatu. Persoalan tafsir agama saja bisa berkelahi tidak secara fisik tetapi melalui media social. Sungguh pemandangan dan pendengaran yang seharusnya tidak lazim bagi umat Islam.
Perkara penafsiran ajaran Islam seharusnya sudah selesai. Dan masing-masing umat Islam sekarang juga mengamalkan agama Islam itu sesuai dengan apa yang ditafsirkan oleh para ulama terdahulu. Jargon kembali kepada Alqur’an dan Sunnah sama sekali tidak salah. Tetapi persoalannya Alqur’an itu dalam Bahasa Arab dan bukan Bahasa Indonesia. Bahasa Arab Alqur’an juga sangat spesifik. Tidak semua orang yang bisa Bahasa Arab bisa menafsirkan Alqur’an. Hanya orang yang memahami berbagai ilmu alat atau Bahasa Arab yang mendalam saja yang bisa menafsirkannya. Bahkan jika kita membaca terjemahan Alqur’an dalam Bahasa Indonesia juga tidak mungkin kita paham terutama terkait dengan amalan ibadah dalam syariah Islam. Bagaimana gerakan shalat, apa bacaannya dan bagaimana tatacaranya. Semua ini ada di dalam hadits. Artinya kita harus membaca hadits, yang di dalam tatacara shalat juga harus ditafsirkan oleh para ahli yang memiliki kapasitas.
Dengan demikian, kita harus mengikuti para ahli agama yang memiliki kapasitas untuk menafsirkan ajaran agama. Jika orang Salafi Wahabi, maka yang dijadikan rujukan adalah Syekh Abdullah bin Bas, Syekh Utsaimin, dan Syekh Nashiruddin Albani. Tokoh-tokoh Salafi di Indonesia, seperti Abdul Qadir Basalamah, Jawwas, dan lainnya semua berkiblat pada tokoh-tokoh tersebut. Tetapi yang kemudian menjadi masalah bahwa semua yang berasal dari penafsiran ulama Salafi saja yang benar dan yang lain salah dan sesat. Inilah problem yang sedang terjadi sekarang. Sama dengan orang Nahdhiyin yang menjadikan imam yang empat: Imam Syafi’I, Imam Hambali, Imam Maliki dan Imam Hanafi sebagai rujukan, meskipun di dalam banyak hal lebih banyak menggunakan Imam Syafi’I, sebagai imam dalam ilmu fiqih dan kemudian menjadikan Imam Maturidi dan Imam Asy’ari dalam rujukan ilmu kalam.
Jadi semuanya menggunakan rujukan para ahli, yang berkapasitas sebagai rujukan karena keilmuan dan keahliannya. Sekali lagi hal ini dilakukan karena kita tidak bisa mengakses langsung makna demi makna dan bagaimana konsekuensinya dari Alqur’an dan Alhadits. Ini bagian dari konsekuensi kita sebagai orang awam dalam memahami ajaran agama.
Sekarang ada para da’i yang mempermasalahkan penafsiran demi penafsiran ajaran agama. Mereka beranggapan bahwa yang benar adalah tafsir ajaran agamanya saja. Mereka teriak-teriak menyalahkan amalan ajaran Islam dalam tafsir lain dalam media youtube. Mereka ini membidh’ahkan dan mengkafirkan sesama umat Islam, maka tentunya yang dinyatakan sebagai ahlu bidh’ah dan ahlu kafir marah lalu melakukan pembalasam melalui channel youtube. Jadilah media social kita riuh rendah dengan upaya dakwah yang memukul dan bukan merangkul.
Padahal Islam sudah mengajarkan sebagaimana firman Allah SWT:” innamal mu’minuna ikhwatun, fa ashlihu baina akhawaikum, wattaqullaha la’allakum turhamun. (QS. Al Hujurat: 10). Yang artinya: “sesungguhnya di antara sesama orang mu’min itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapatkan rahmat”. Islam mengajarkan agar sesama umat Islam, sebagai sesaudara, hendaknya saling melakukan upaya untuk berbuat baik dengan cara saling berdamai jika terjadi masalah.
Sebagai makhluk social yang memiliki keinginan dan kepentingan dipastikan bahwa akan ada saja masalah-masalah yang membelit di antara relasi social tersebut. Maka di kala ada masalah, maka jalan keluar yang dapat dilakukan adalah melalui perdamaian. Dengan demikian, kerukunan dan harmoni social hanya akan dapat dicapai dengan membangun perdamaian atau melakukan ishlah di antara mereka.
Untuk melakukan ishlah tentu syaratnya adalah melalui kesepahaman tentang persamaan dan perbedaan. Jika yang diinginkan hanya kesamaan di antara semuanya, maka itulah awal akan terjadinya masalah social, termasuk masalah internal umat Islam. Maka yang harus dipahami adalah di dalam penafsiran ajaran Islam, lebih khusus Alqur’an dan Al Hadits, maka ada yang potensial sama dan ada yang potensial berbeda. Yang yang sama harus diperkuat dan yang beda harus ditoleransi. Tanpa pemahaman dan sikap seperti ini, maka umat Islam pasti selalu di dalam jurang pertentangan, rivalitas dan konflik.
Kita ini sudah lelah untuk terus bertentangan, saling menjadi rival dan terus berada di arena konflik social. Maka sudah sepatutnya jika kita memahami jangan saling mencela, membulli, mencibir dan merendahkan. Kelompok Salafi Wahabi juga jangan mengumbar ungkapan yang menyebabkan adanya serangan balik dari kelompok lain, dan kelompok lain juga memahami penafsiran dimaksud. Jika kelompok baru terus membombardir dengan ungkapan ahli bidh’ah, kafir dan lainnya, maka kedamaian tidak akan pernah diperoleh. Marilah kita sadar bahwa kesatuan dan persatuan umat Islam itu akan menentukan Islam di masa depan.
Wallahu a’lam bi al shawab.