• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

INDAHNYA ISLAM DI INDONESIA: RENUNGAN RAMADLAN (30)

INDAHNYA ISLAM DI INDONESIA: RENUNGAN RAMADLAN (30)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Setiap sepertiga malam selalu saya dengar dari masjid desa Sembungrejo Merakurak, seorang takmir Masjid itu menyuarakan ajakan untuk persiapan sahur. Diono, namanya. Dengan suaranya yang khas, melalui pengeras suara dengan lantang diucapkannya: “Asyhadu an la ilaha illallah. Astaghfirullah. Nas aluka ridhaka wal Jannah wa na’udzubika min sakhawatika wan nar. Allahumma innaka ‘affuwun karim tuhibbul ‘afwa wa’fu anna ya karim. Diulanginya tiga kali berturut-turut. Setelah itu diucapkan: “Allahumma salimna ramadlan, wasallim li ramadlan, wa tasallamuhu minna mutaqabbala”.

Lalu diucapkan:“tasahharu, tasahharu, tasahharu fa inna fis sahuri barakah”. Juga diulanginya tiga kali berturut-turut. Kemudian diucapkan dalam bahasa Jawa: “para bapak lan ibu, para sederek muslimin lan muslimat, sakmeniko sampun jam tiga kurang delapan menit, monggo sami-sami persiapan dahar sahur”. Juga ducapkan dalam tiga kali.

Menyambut Ramadlan dengan hal seperti itu yang tidak kita dapatkan di negara asal Islam, di Timur Tengah. Islam di negara asalnya itu sedemikian formal. Tidak boleh ada sedikitpun yang dinyatakannya sebagai budaya yang bisa masuk ke dalam ekspresi keislaman masyarakatnya. Di masa lalu, orang mau menghormat Nabi Muhammad SAW dengan bacaan shalawat bersama-sama saja takut. Jika diketahui oleh penguasa Islam, Salafi Wahabi, bisa menjadi masalah. Monopoli tafsir kebenaran agama sedemikian kuat diindoktrinasikan kepada seluruh masyarakat. Bahkan bukanlah hal aneh bahwa buku-buku yang tidak sesuai dengan tafsir ulama Salafi Wahabipun dihanguskan. Makam Nabi Muhammad SAW saja nyaris dihancurkan seandainya tidak ada protes dari ulama-ulama, termasuk ulama NU dari Indonesia.

Untunglah yang datang awal ke Indonesia adalah Islam dalam coraknya yang tidak menghanguskan seluruh tradisi masyarakat, bahkan kemudian mengislamkannya. Tradisi yang bisa dijadikan sebagai media dakwah, seperti wayang kulit kemudian disadur menjadi bersubstansi ajaran Islam. Tradisi slametan yang semula tradisi Hindu dan Buddha kemudian dijadikan sebagai medium untuk silaturrahmi bersubstansi Islam. Meskipun para waliyullah, penyebar Islam itu berasal dari Arab Saudi akan tetapi tetap mengajarkan agar menjadi orang Jawa Islam atau orang Nusantara Islam.

Pengajaran dan institusionalisasi Islam macam inilah yang tetap berkembang hingga saat ini. Islam menjadi lebih berwarna-warni dengan kreativitas yang memperkaya khasanah Islam Indonesia. Yang diucapkan oleh takmir Masjid Nur Iman sebagaimana yang saya tulis di depan merupakan kreativitas umat Islam Indonesia. Jika yang seperti ini juga dilarang karena Nabi Muhammad SAW tidak melakukannya, maka Islam akan menjadi kering kerontang, dan tidak ada lagi nuansa dan upaya untuk saling mengingatkan dalam hal sederhana, sahur pada bulan Ramadlan. Hal seperti ini pastilah dianggap bidh’ah yang sesat dan akan menghuni neraka.

Alangkah indahnya Islam di Indonesia. Pada sepertiga malam, kala tidur lagi nyenyak padahal harus bangun untuk sahur, maka kala bangun karena suara yang datang dari masjid adalah kalimat thayibah, doa dan upaya agar umat Islam segera menyiapkan makan sahur. Seharusnya yang seperti ini justru menjadi kekayaan Islam dan bukan untuk dinihilkan karena tafsir ulama-ulama Salafi Wahabi yang formalistic. Selama bukan sesuatu yang haram mutlak, maka tentu adalah mubah atau kebolehan karena tidak didapati hukum kepastiannya dari kanjeng Nabi Muhammad SAW. Al ashlu fil hukmi al ibahah.  Jika tidak didapatkan hukum yang melarang secara mutlak, maka hal itu merupakan kebolehan. Asal usul hukum adalah kebolehan.

Masyarakat Islam Indonesia adalah umat Islam yang paling kreatif dalam memahami ajaran agamanya. Berkat bimbingan para waliyullah, sebagai pendakwah, dan juga ulama-ulama yang mengabdikan dirinya untuk Islam di Indonesia, maka Islam menjadi agama yang ramah, agama yang merangkul dan bukan memukul. Islam disebarkan dengan kasih sayang dan bukan dengan cacian dan cercaan. Terhadap penganut agama lain saja harus dinyatakan “lakum dinukum waliyadinI”. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Seharusnya sesama umat Islam bahkan bisa lebih ramah. Seharusnya dinyatakan: “bagi yang mengikuti ulama NU silahkan mengamalkannya secara tuntas. Bagi yang Muhammadiyah silahkan mengikuti ulamanya secara tuntas, dan bagi kami  yang Salafi Wahabi kami  akan melaksanakan ajaran agama sesuai dengan ulama-ulama Salafi Wahabi”.

Alangkah indahnya jika bisa melakukan hal seperti itu. Tetapi juga jangan melakukan taqiyah, pura-pura baik tetapi tetap memiliki agenda mewahabikan masyarakat Islam Indonesia, dan lebih jauh mengagendakan terjadinya system khilafah di negeri ini.

Kita sungguh tidak ingin menjadi Afghanistan yang terus konflik, dan juga tidak ingin menjadi Sudan yang  akhir-akhir ini juga terlibat di dalam konflik. Kita ingin rukun, harmoni dan slamet.

Wallahu a’lam bi al shawab.

INDAHNYA MEMAAFKAN: RENUNGAN RAMADLAN (29)

INDAHNYA MEMAAFKAN: RENUNGAN RAMADLAN (29)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Di dalam relasi social, maka dipastikan  bisa terjadi gesekan antara satu dengan yang lain, kapan dan dimanapun. Hal ini semata-semata sifat manusia yang memang sering melakukan kesalahan dan kekhilafan. Makanya di dalam kehidupan ini dipastikan ada kesalahan yang dilakukan baik yang disengaja atau tidak disengaja. Semua ini tergolong manusiawi.

Dalam sejarah kemanusiaan, maka ceritanya dimulai dengan Nabiyullah Adam AS, yang menuruti kehendak setan untuk memakan buah khuldi, kala Nabi Adam dan Hawwa berada di surga. Akibatnya Adam dan Hawwa diturunkan ke kehidupan dunia untuk melanjutkan kekhalifahan di dunia. Sesuai dengan rencana Tuhan bahwa Nabi Adam AS memang harus menjadi khalifah di dunia untuk meneruskan misi kekhalifahan Tuhan. Akibat dosa Nabi Adam, maka di dalam agama Nasrani dikenal ada “dosa warisan”.

Kesalahan berikutnya dilakukan oleh anak Nabi Adam AS, Qabil,  yang membunuh saudaranya Habil. Karena tidak tahu apa yang harus dilakukan kala terbunuhnya Habil dan akhirnya lewat burung gagak yang diturunkan Allah, maka burung gagak mengajari Qabil untuk memakamkan burung gagak lainnya yang juga terbunuh. Begitulah cara Allah mengajari manusia di dalam kehidupan.

Di  masa lalu kesalahan manusia tidak sekompleks sekarang. Dewasa ini kesalahan dan kekhilafan tersebut dilakukan melalui cara-cara yang sangat canggih dan massif. Seirama dengan semakin menguatnya teknologi informasi dengan anak turunannya, misalnya media social, maka orang bisa melakukan kesalahan dengan sasaran berjamaah. Ada yang dilakukan dengan kesengajaan dan ditujukan kepada banyak orang.

Cobalah kita simak media social. Betapa banyak kesalahan dan kekhilafan yang dilakukan dengan mengunggah konten Youtube yang berakibat munculnya sakit hati, rasa dendam, rasa terdzalimi, rasa dipermalukan dan sebagainya. Kebanyakan juga dilakukan atas nama agama. Agama yang seharusnya dan memang begitulah ajarannya itu untuk kemaslahatan dan kebaikan dalam paket Islam rahmatan lil ‘alamin justru dijadikan sebagai sarana untuk menjustifikasi “kebenaran” dalam tafsirnya sendiri.

Sesama umat Islam akhirnya saling memperebutkan klaim kebenaran, yang sesungguhnya adalah kebenaran tafsir agama. Terlalu sering saya menuliskan hal seperti ini. Akan tetapi begitulah kenyataannya. Sesama umat Islam tetapi diklaim telah melakukan amalan-amalan yang tidak sesuai dengan Islam hasil penafsiran ulamanya. Dianggap kafirlah, dianggap tersesatlah, dianggaplah sebagai kaum yang mengamalkan agama dalam kebidh’ahan dan sebagainya.

Ungkapan seperti ini dipastikan akan memunculkan reaksi dan respon balik yang juga tidak kalah seksinya. Jika kemudian terdapat respon yang keras tentu juga hal yang wajar, sebab kala seseorang dinyatakan sebagai kafir, maka konsekuensinya bisa diperangi atau dibunuh. Jadi pantaslah jika orang marah karena unggahan seperti itu. Saya juga sangat menyesalkan atas ungkapan-ungkapan yang menyudutkan dan menyakitkan ini.

Bulan Ramadlan adalah bulan yang dapat dijadikan sebagai instrument untuk saling mawas diri atau introspeksi atas perilaku kita. Makanya, kita harus mawas diri atas apa yang kita lakukan selama setahun sebelumnya. Jika ada kesalahan maka hendaknya kita berpikir untuk melakukan pertobatan. Tobat dalam konteks tidak mengulangi lagi kesalahan serupa. Bagi yang sering menyalahkan amalan sesama umat Islam, hendaknya mawas diri agar tidak melakukannya lagi. Jika hal tersebut terus dilakukannya, maka kita bisa bertanya apakah makna puasanya. Kita tentu bukan yang terbaik, sebab tetap saja ada dimensi kemanusiaan yang melekat di dalam diri kita. Tetapi dengan kita sadar bahwa kita telah melakukan kesalahan,  maka itu berarti merupakan awal yang baik. Tinggal melihat bagaimana tindakan berikutnya.

Islam mengajarkan: “innamal mu’minuna ikhwatun, fa ashlihu baina akhawaikum”, artinya kurang lebih: “sesungguhnya sesama orang mukmin itu bersaudara, maka lakukan ishlah di antara sesama saudara itu”. Ishlah itu memiliki dimensi yang lebih luas. Ishlah dalam konteks general berarti ada kesalahan yang dilakukan sehingga memerlukan permohonan maaf satu atas lainnya. Namun ada dimensi yang lebih mendalam yaitu kala terjadi pertentangan, rivalitas dan konflik, sehingga atas hal ini maka diperlukan cara dan metode yang lebih mendasar, misalnya bisa melalui mediasi.

Kala saya kecil diajari oleh Bapak saya pada waktu hari Raya dengan menyatakan seperti ini kala bertemu dengan orang yang lebih tua: “ngaturaken sedoyo kalepatan, ingkang mboten angsal idzine syara’ mugi lebur dinten niki”,  yang artinya: “menghaturkan semua kesalahan,  jika ada tindakan yang  tidak sesuai dengan syariat semoga luruh hari ini”. Ucapan ini menggambarkan betapa mulianya orang yang menyatakan atas kesalahannya kepada orang lain. Ada banyak orang yang menyembunyikan kesalahan atas yang lain tetapi kita diajari agar meminta maaf atas kesalahan kita.

Islam memang mengajarkan agar kita meminta maaf atas kesalahan yang kita lakukan kepada orang lain. Dan jika hal ini disadari oleh umat Islam, maka kinilah saatnya Islam akan bisa menjadi kekuatan yang dahsyat karena umatnya bisa bersatu tanpa ada syakwasangka atau suudz dzon, dan kemudian juga bersedia meminta maaf atas kesalahan yang dilakukannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

PERBEDAAN HARI RAYA BUKAN MASALAH BESAR: RENUNGAN RAMADLAN (28)

PERBEDAAN HARI RAYA BUKAN MASALAH BESAR: RENUNGAN RAMADLAN (28)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Kemarin,  pada waktu mengawali puasa kita bisa bersama-sama, kenapa untuk mengakhiri puasa kita berbeda. Ada yang hari Jum’at sudah hari raya dan ada yang hari Sabtu baru hari raya. Sebenarnya apa yang terjadi? Ungkapan ini yang saya jadikan sebagai permulaan dalam ceramah saya pada jamaah shalat tarawih pada hari Rabu, 19 April 2023 atau bertepatan dengan tanggal 28 Ramadlan 1444 H di Mushalla Raudlatul Jannah Desa Sembungrejo, Kecamatan Merakurak, Tuban.

Sebagai umat Islam Indonesia memang beragama kita unik. Saya nyatakan unik sebab di negara-negara lain tidak terdapat perbedaan dalam menetapkan awal Ramadlan, akhir Ramadlan, dan awal Dzulhijjah. Di negara lain, seperti Arab Saudi, UEA, Malaysia, Brunei Darusalam, Mesir, dan lain-lain yang menentukan terhadap kapan hari raya adalah pemerintah. Sedangkan di Indonesia, Ormas bisa menentukan kapan hari raya dilaksanakan.

Perbedaan ini akan terus berlangsung selamanya sampai misalnya Organisasi Konferensi Islam (OKI), misalnya bisa menentukan penanggalan Islam yang berlaku di seluruh dunia. Umat Kristiani bisa melakukannya dengan penetapan tahun Masihiyah yang dikenal sebagai penanggalan Masehi.

Perbedaan tersebut terjadi karena perbedaan dalam  metode yang digunakan dalam menentukan tanggal awal bulan dan akhir bulan. NU menggunakan metode Rukyatul Hilal dengan berbasis pada imkanur rukyat, sedangkan Muhammad munggunakan metode hisab berbasis pada wujudul hilal. Apakah keduanya ada yang benar dan ada yang salah, atau keduanya benar atau keduanya salah. Jawabannya tentu terdapat pada otoritas ahli tafsir ajaran agama. Jika di Muhammadiyah adalah Majelis Tarjih dan Tim Hisab, sedangkan di NU adalah Tim Hisab dan Rukyatul Hilal yang memiliki otoritas di dalam menentukan kapan awal bulan dan akhir bulan.

Ketepatan bahwa untuk tahun 2023 M atau 1444 H, maka peluang untuk berbeda itu sangat besar disebabkan oleh ketinggian hilal pada akhir Ramadlan. Berdasarkan perhitungan atau hisab, maka ketinggian hilal hanya 0,1 derajad sehingga tidak memungkinkan dapat dirukyat atau diobservasi  dengan menggunakan teknologi rukyat yang paling modern sekalipun. Sementara itu kalangan Muhammadiyah berkeyakinan bahwa hilal sudah wujud, meskipun tinggi baru 0,1 derajat. Yang penting hilal sudah berada di atas ufuk dengan ketinggian rendah sekalipun. Sekali lagi yang penting sudah wujud.

Jika karena factor cuaca sehingga hilal sama sekali tidak bisa dikonfirmasi dengan menggunakan metode rukyat, maka jika berdasarkan hisab sudah mencapai dua derajad, maka dipastikan hilal sudah bisa diobservasi. Bulan sudah wujud karena sudah bisa dinalar dengan konsep memungkinkan untuk dilihat atau imkanur ru’yat. NU bersama Menteri-Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) bahkan menaikkan imkanur rukyat  tersebut pada hitungan tiga derajat.

Dengan demikian, sampai kapanpun pasti bisa terjadi perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan metoda untuk menentukannya. Saya sampaikan sampai kapanpun karena yang satu menetapkan dengan menggunakan wujudul hilal dengan patokan 0,01 derajad diyakini atau  dianggap hilal sudah tampak secara akali atau rasio, sedangkan yang satunya berpendapat bahwa hilal hanya mungkin tampak pada 2 derajad atau lebih.

Inilah keunikan masyarakat di Indonesia. Sampai urusan menentukan hari raya saja bisa berbeda-beda. Suatu hal yang tidak dijumpai di negara lainnya, keunikan ini saya kira harus tetap dihormati sebagai konsekuensi Indonesia merupakan negara dengan keterbukaan yang sangat tinggi. Makanya, Indonesia tidak cocok menjadi negara agama, sebab nanti akan ada yang dipaksakan harus sesuai dengan apa kemauan negara. Tentu  repot jadinya.

Yang penting adalah meskipun berbeda jangan dijadikan sebagai alasan untuk saling menyalahkan. Masyarakat Indonesia sudah lama memiliki pengalaman berbeda dalam kemesraan. Meskipun antara  Muhammadiyah dan NU berbeda dalam banyak hal, bahkan sampai persoalan ibadah, akan tetapi keduanya masih bisa tersenyum bersama, tertawa dan bercanda bersama, bahkan perbedaan menjadi bahan gurauan di antara orang NU dan Muhammadiyah.

Masyarakat Indonesia adalah pengamal yang paling hebat tentang Sabda Nabi Muhammad SAW: ikhtilafu ummati rahmah. Perbedaan di antara umatku adalah rahmat. Maka yang paling penting kita harus tetap rukun dan harmonis. Jangan  saling mencibir, jangan saling membully, jangan saling membunuh karakter, jangan saling menyalahkan dan sebagainya. Mari kita jadikan perbedaan untuk merajut kebersamaan.

Hanya dengan cara seperti ini, maka ukhuwah Islamiyah akan terjadi dengan baik. Bukankah ukhuwah Islamiyah itu dapat terajut bukan karena kesamaan semata akan tetapi juga melalui perbedaan. Yang bisa disamakan harus bisa sama, tetapi yang harus berbeda juga harus dibedakan. Yang penting jangan mencari-cari perbedaan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

KEINDAHAN SILATURRAHMI: RENUNGAN RAMADLAN (27)

KEINDAHAN SILATURRAHMI: RENUNGAN RAMADLAN (27)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Masjid atau mushalla sebenarnya bisa menjadi medan silaturrahmai yang efektif, terutama di tengah kesibukan masing-masing anggota masyarakat. Seirama dengan semakin sibuknya masyarakat dalam melakukan pekerjaan, maka semakin sedikit waktu  untuk bersilaturahmi dalam bentuk anjang sana dari rumah ke rumah. Makanya, peluang untuk silaturrahmi  melalui saling kunjung rumah semakin sedikit.

Di masa lalu, kala masih hidup di pedesaan, saya kira ada banyak waktu yang tersisa untuk bisa saling menyapa dalam waktu yang cukup. Di masa lalu, orang bisa bertemu di mana saja. Bisa di jalan, di gardu, di warung kopi, di mushalla, di masjid dan lainnya. Orang kebanyakan jalan kaki dari dan ke tempat tertentu, tetapi sekarang agak berbeda karena sangat sedikit  orang yang berjalan kaki.

Orang  desa sekarang sudah berubah. Kehidupan paguyuban di masa sekarang  sudah tidak lagi sekental di masa lalu. Sudah sangat berubah.  Akibat pergaulan dengan budaya perkotaan, maka banyak terjadi perubahan social di pedesaan. Apalagi dengan jarak desa kota yang sudah tidak lagi terjeda oleh realitas kewilayahan. Dengan semakin mudahnya akses ke kota, misalnya melalui transformasi sepeda motor dan mobil, maka jarak desa kota sudah tereliminir sedemikian rupa.

Sungguh dewasa ini sudah tidak lagi terdapat Batasan rigid tentang desa dan kota. Hal ini difasilitasi oleh kepemilikan Hand Phone di tengah-tengah kehidupan masyarakat.  Di  Indonesia, penduduk yang memilimi Hand phone jumlahnya mencapai angka 67 persen pada tahun 2022, dengan kepemilikan HP tertinggi di tiga provnsi, yaitu Kalimantan Timur 82,37 persen, DKI 82,27 persen, dan Kepri 79,88 persen, Kalimantan Utara 78,62 persen, Riau 73,47 persen. (databoks, 08/03/23).

Kala terjadi Covid-19, maka berkembang konsep silaturrahmi virtual, yakni melakukan silaturrahmi melalui media komunikasi whatApps baik melalui video call maupun panggilan. Hal ini dilakukan sebab tidak memungkinkan menyelenggarakan acara silaturrahmi secara face to face relationship. Wabah Covid-19 yang sedemikian deras menular menyebabkan kehadiran kebijakan pemerintah untuk melarang pulang kampung atau kunjungan rumah. Semua aktivitas pertemuan dilarang, bahkan termasuk shalat jamaah di masjid atau mushalla. Sungguh-sungguh aktivitas untuk saling bertemu dilarang dikhawatirkan terjadi penularan massif terhadap orang lain.

Namun seirama dengan kebijakan baru mengenai ketiadaan larangan pertemuan yang melibatkan orang dalam jumlah terbatas dan kebolehan untuk melakukan pulang kampung, maka sekrang bisa dilihat acara mudik yang sedemikian semarak. Jarak Jakarta-Surabaya, atau Jakarta-Banyuwangi  bukan menjadi halangan untuk mudik. Masyarakat menyambutnya dengan gegap gempita. Masyarakat bersuka cita dengan silaturrahmi yang bisa dilakukannya. Itulah  sebabnya jalan Jakarta ke Semarang atau Surabaya sudah mulai padat merayap pada Hari Raya minus 5 hari  tahun 2023.

Silaturahmi memang ajaran Islam. Tidak ada yang menyangsikan tentang ajaran silaturahmi itu. Bahkan dinyatakan siapa yang percaya pada Allah dan hari akhir, maka hendaknya melakukan silaturrahmi. Lebih lanjut juga didapati ajaran siapa yang ingin dilapangkan rizkinya maka hendaknya melakukan silaturrahmi dan siapa yang ingin panjang usianya maka hendaknya silaturrahmi.

Melalui ajaran Islam ini, maka dapat dipahami jika banyak orang yang melakukan silaturrahmi meskipun dengan cara dan varian yang semakin kompleks. Namun demikian berbagai cara silaturahmi itu  tidaklah mengurangi makna silaturahmi yang berupa substansi silaturrahmi, yaitu menyambung persaudaraan, persahabatan dan penghargaan atas keduanya.

Islam sangat menekankan tentang silaturahmi sebagai bagian di dalam relasi social. Untuk membangun silaturrahmi yang kuat, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: pertama,  bangun kesamaan pandangan tentang posisi diri kita masing-masing. Jangan sampai menganggap satu atas lainnya merasa lebih tinggi statusnya. Harus merasa bahwa antara satu dengan lainnya berada di dalam posisi sejajar. Jangan ada yang sopo siro sopo ingsun. Artinya bahwa yang satu merasa lebih  hebat, lebih kuat, lebih tinggi status sosialnya, merasa lebih kaya, merasa dirinya yang paling penting, dan sebagainya. Jika ada perasaan seperti ini, maka inilah awal dari keretakan atau disharmoni di dalam persahatan atau retaknya ikatan silaturrahmi.

Kedua, saling menjaga perasaan masing-masing. Jangan ada kata atau ungkapan yang membuat rasa tidak nyaman. Ungkapan yang sopan tentu menjadi ukuran yang tepat untuk membangun persahabatan. Boleh kita melakukan joke yang segar. Karena kita juga membutuhkan hiburan. Ada joke-joke yang menyegarkan dan menjadi bumbu pemanis di dalam relasi social. Yang penting jangan sampai joke-joke itu juga membuat perasaan tidak enak pada seoraang sahabat.

Ketiga, bangunlah kesepahaman tentang apa yang disukai dan apa yang tidak disukai. Seorang sahabat tentu sudah tahu apa yang diminati dan mana yang tidak diminati. Apa yang disukai dan apa yang tidak disukai. Apa yang menjadi favorit dan apa yang dibenci. Apa yang menarik minat kedua sahabat dan apa yang membuat tidak nyaman. Semua harus dipahami dengan baik, sehingga keduanya merasa menjadi satu kesatuan.

Keempat, jika kita sudah menyatu di dalam pandangan, pemikiran, sikap dan tindakan, maka ketemu saja sudah membuat kita tertawa, kita tersenyum. Belum ada kata-kata yang diungkapkan tetapi kita sudah bisa tertawa terbahak-bahak. Situasi ini yang harus terus diperhatikan dan dijalankan. Inilah yang bisa disebut sebagai soulmate atau closed friend, dan yang seperti ini tidak memandang jabatan, status social dan juga kekayaan. Semua cair dan semua oke.

Di masa lalu, saya pernah memiliki sahabat yang sungguh luar biasa, sebab kala datang ke ruang saya, maka yang diungkapkan pertama adalah: “Pak saya ingin tertawa”. Maka kami berdua lalu tertawa selepas-lepasnya. Hal ini tentu dipandu oleh adanya kesamaan di dalam memandang masalah-masalah yang kita hadapi. Melalui kebersamaan, maka semuanya bisa selesai. Dan inilah yang kemudian menjadikan relasi social itu sedemikian dekat dan bahkan saling memerlukan. Jika kita ketemu, maka belum bicara sudah tertawa dulu, dan ada saja hal-hal unik yang menjadikan kita tertawa.

Hidup ini sudah susah, tekanan kehidupan juga semakin kompleks. Kehidupan menjadi semakin rentan masalah. Maka kita harus menghadapi kehidupan ini dengan perasaan senang, happy dan nyaman. Dan itu tergantung pada adanya friendship.

Wallahu a’lam bi al shawab.

HATI YANG KHUSYUK IDAMAN UMAT ISLAM: RENUNGAN RAMADLAN (26)

HATI YANG KHUSYUK IDAMAN UMAT ISLAM: RENUNGAN RAMADLAN (26)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Khusyuk adalah kata yang mudah diucapkan tetapi sangat sulit untuk dilakukan. Sungguh. Saya termasuk orang yang sering membicarakan tentang khusyuk itu di dalam tulisan maupun ceramah saya, akan tetapi betapa susahnya untuk menjadikan khusyuk sebagai bagian tidak terpisahkan di dalam kehidupan.

Khusyuk, biasanya dikaitkan dengan shalat atau dikaitkan dengan ibadah lainnya, misalnya dzikir atau wirid atau bacan-bacaan kalimat thayibah lainnya. Sering kita dengar kata: “aku gak bisa khusyuk”, atau “aku gak bisa focus”. Kala shalat atau dzikir sering kali batin kita masih ke mana-mana, memikirkan banyak hal, dan juga masih focus pada urusan duniawi lainnya. Sungguh menjaga focus merupakan perbuatan yang tidak mudah dilakukan.

Sebagai manusia yang memang berada di dalam relasi social yang kompleks dengan berbagai masalah dan tantangan yang tidak sedikit tentu bisa berpengaruh terhadap konsentrasi kita di kala ibadah. Hal ini tentu sangat manusiawi. Hanya orang-orang khusus yang sudah selesai kehidupan duniawinya yang kiranya bisa melakukannya. Dan sebagai orang awam tentu masih bolong-bolong dalam menjaga kekhusyuan dimaksud.

Namun demikian, kita masih bisa bersyukur bahwa kita dikaruniai untuk tetap melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. Kita  bisa shalat, puasa, zakat, dan bahkan melaksanakan ibadah haji. Kita masih bisa membaca istighfar, membaca kalimat tauhid, membaca puja dan puji kepada Allah dan segala hal yang tergolong kalimat thoyibah dan membaca shalawat kepada Baginda Rasulullah SAW. Bisa seperti itu saja “rasanya” sudah membuat hati kita bahagia. Bisa membuat kita berada di dalam jalan yang benar.

Kita sekarang sedang hidup di era supra modern, yang ditandai dengan instrument Hand Phone yang menyajikan berbagai ragam hiburan, yang baik atau buruk, yang bermanfaat atau tidak bermanfaat, yang mengajak kepada jalan kebaikan atau keburukan, dan yang membawa kita kepada kehidupan yang diridloi Allah atau tidak diridhoi-Nya. Semua tersaji dengan mudah untuk diakses. Belum lagi tantangan kehidupan material yang semakin menguat sebagai konsekuensi atas kehidupan modern yang serba materi atau finansial.

Di tengah-tengah kehidupan seperti ini, dan kita masih bisa mengingat Allah SWT, mengingat Rasulullah Muhammad SAW, dan masih bisa berbuat kebaikan itu rasanya sudah lebih dari cukup. Kita masih mendengarkan kata hati dibanding pengaruh eksternal, sehingga kita masih bisa berdzikir itu rasanya sudah sangat memadai. Sungguh saya meyakini bahwa Allah SWT sudah meridhoi yang kita lakukan dalam kebaikan dimaksud.

Menjelang hari raya seperti idul fitri, betapa banyak kebutuhan finansial. Meskipun tidak menjadi bagian ibadah, tetapi orang tetap perlu pakaian baru, perlu penampilan baru, gaya hidup baru, dan pulkam. Saya juga harus pulang kampung. Masih ada orang tua yang perlu didatangi dan dimintai maaf dan mohon didoakan. Dan juga tidak lupa, pasti membawa uang recehan baru sebagai pertanda tali asih dengan keluarga di daerah asal. Semuanya membutuhkan uang. Pada menjelang hari raya lalu terjadi banyak juga pencurian sepeda motor, bahkan mobil. Tentu dapat dikaitkan dengan datangnya hari raya. Ini efek negative hari raya. Untunglah kita tidak termasuk yang masuk dalam efek negative hari raya, dan insyaallah setiap tahun selalu masuk dalam efek positif hari raya.

Tantangan semacam inilah yang sering mengganggu kita di dalam beribadah. Shalat menjadi tidak khusyuk, doa tidak konsentrasi, wirid tidak focus. Semuanya menjadi hijab dan belenggu untuk berkonsentrasi dalam doa dan dzikir kita. Pada saat seperti inilah lalu, doa yang sering dibaca oleh Imam shalat Tarwaih dan Witir menjadi penting untuk diingat dan dilantunkan ulang. Allahumma inna nas aluka qalban khasyi’an. Ya Allah kami memohon kepada-Mu agar diberikan hati yang khusyuk.  Kita sungguh merasakan betapa perlunya sentuhan “tangan” Tuhan dalam kehidupan, termasuk dalam beribadah. Kita masih merasakan betapa besarnya pengaruh lingkungan terhadap diri kita. Saya tidak ingin menyatakan betapa besarnya pengaruh lingkungan, tetapi kenyataannya lingkungan memiliki pengaruh yang signifikan di dalam kehidupan kita. Dan kita merasakannya.

Pikiran terkadang lebih dominan dibandingkan dengan perasaan dan hati. Hati kita ingin focus atau khusyuk akan tetapi lintasan masalah di dalam pikiran kita masih dominan. Inilah sebabnya kenapa kita sulit untuk berkonsentrasi. Hati Nurani kita sesungguhnya ingin focus, akan tetapi deraan masalah lebih dominan. Sebagai orang awam dalam beragama, maka inilah tantangannya. Dan inilah yang sulit untuk dihilangkan.

Berbeda halnya dengan kaum alim billah atau ahli tasawuf, yang seluruh hidupnya sudah diwakafkan untuk Tuhan, maka seluruh struktur kehidupannya sudah merupakan substansi Tuhan. Bayangkan orang bisa seperti Rabiah al Adawiyah, bisa seperti Hasan Al Basri, bisa seperti Imam Syafii, bisa seperti Imam Maliki, bisa seperti Imam Hambali, bisa seperti Imam Hanafi, bisa seperti Imam Ghazali, Seperti Syekh Hasan Syadzili, bahkan bisa seperti Al Hallaj, seperti Syekh Abdul Jalil, bisa seperti Kanjeng Sunan Ampel, seperti Sunan Bonang, seperti Sunan Kalijaga, seperti Sunan Drajat, seperti Eyang  Sona, dan waliyullah lainnya. Mereka adalah orang yang sudah khatam kehidupan duniawinya, sehingga kehidupannya sudah di dalam bayang-bayang Tuhan. Manunggaling kawula lan Gusti. Sudah manunggal bukan dalam fisik tetapi batin dan perasaannya.

Di dunia ini ada banyak teladan yang sudah ditunjukkan oleh Allah, dan harapan kita tentu bisa menjadi barisan mereka-mereka yang sudah di dalam keridlaan Allah SWT. Ya Allah berikan kami hati yang khusyuk agar kami bisa mengikuti teladan-teladan-Mu, manusia yang telah memperoleh pencerahan.

Wallahu a’lam bi al shawab.