HATI YANG KHUSYUK IDAMAN UMAT ISLAM: RENUNGAN RAMADLAN (26)
HATI YANG KHUSYUK IDAMAN UMAT ISLAM: RENUNGAN RAMADLAN (26)
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Khusyuk adalah kata yang mudah diucapkan tetapi sangat sulit untuk dilakukan. Sungguh. Saya termasuk orang yang sering membicarakan tentang khusyuk itu di dalam tulisan maupun ceramah saya, akan tetapi betapa susahnya untuk menjadikan khusyuk sebagai bagian tidak terpisahkan di dalam kehidupan.
Khusyuk, biasanya dikaitkan dengan shalat atau dikaitkan dengan ibadah lainnya, misalnya dzikir atau wirid atau bacan-bacaan kalimat thayibah lainnya. Sering kita dengar kata: “aku gak bisa khusyuk”, atau “aku gak bisa focus”. Kala shalat atau dzikir sering kali batin kita masih ke mana-mana, memikirkan banyak hal, dan juga masih focus pada urusan duniawi lainnya. Sungguh menjaga focus merupakan perbuatan yang tidak mudah dilakukan.
Sebagai manusia yang memang berada di dalam relasi social yang kompleks dengan berbagai masalah dan tantangan yang tidak sedikit tentu bisa berpengaruh terhadap konsentrasi kita di kala ibadah. Hal ini tentu sangat manusiawi. Hanya orang-orang khusus yang sudah selesai kehidupan duniawinya yang kiranya bisa melakukannya. Dan sebagai orang awam tentu masih bolong-bolong dalam menjaga kekhusyuan dimaksud.
Namun demikian, kita masih bisa bersyukur bahwa kita dikaruniai untuk tetap melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. Kita bisa shalat, puasa, zakat, dan bahkan melaksanakan ibadah haji. Kita masih bisa membaca istighfar, membaca kalimat tauhid, membaca puja dan puji kepada Allah dan segala hal yang tergolong kalimat thoyibah dan membaca shalawat kepada Baginda Rasulullah SAW. Bisa seperti itu saja “rasanya” sudah membuat hati kita bahagia. Bisa membuat kita berada di dalam jalan yang benar.
Kita sekarang sedang hidup di era supra modern, yang ditandai dengan instrument Hand Phone yang menyajikan berbagai ragam hiburan, yang baik atau buruk, yang bermanfaat atau tidak bermanfaat, yang mengajak kepada jalan kebaikan atau keburukan, dan yang membawa kita kepada kehidupan yang diridloi Allah atau tidak diridhoi-Nya. Semua tersaji dengan mudah untuk diakses. Belum lagi tantangan kehidupan material yang semakin menguat sebagai konsekuensi atas kehidupan modern yang serba materi atau finansial.
Di tengah-tengah kehidupan seperti ini, dan kita masih bisa mengingat Allah SWT, mengingat Rasulullah Muhammad SAW, dan masih bisa berbuat kebaikan itu rasanya sudah lebih dari cukup. Kita masih mendengarkan kata hati dibanding pengaruh eksternal, sehingga kita masih bisa berdzikir itu rasanya sudah sangat memadai. Sungguh saya meyakini bahwa Allah SWT sudah meridhoi yang kita lakukan dalam kebaikan dimaksud.
Menjelang hari raya seperti idul fitri, betapa banyak kebutuhan finansial. Meskipun tidak menjadi bagian ibadah, tetapi orang tetap perlu pakaian baru, perlu penampilan baru, gaya hidup baru, dan pulkam. Saya juga harus pulang kampung. Masih ada orang tua yang perlu didatangi dan dimintai maaf dan mohon didoakan. Dan juga tidak lupa, pasti membawa uang recehan baru sebagai pertanda tali asih dengan keluarga di daerah asal. Semuanya membutuhkan uang. Pada menjelang hari raya lalu terjadi banyak juga pencurian sepeda motor, bahkan mobil. Tentu dapat dikaitkan dengan datangnya hari raya. Ini efek negative hari raya. Untunglah kita tidak termasuk yang masuk dalam efek negative hari raya, dan insyaallah setiap tahun selalu masuk dalam efek positif hari raya.
Tantangan semacam inilah yang sering mengganggu kita di dalam beribadah. Shalat menjadi tidak khusyuk, doa tidak konsentrasi, wirid tidak focus. Semuanya menjadi hijab dan belenggu untuk berkonsentrasi dalam doa dan dzikir kita. Pada saat seperti inilah lalu, doa yang sering dibaca oleh Imam shalat Tarwaih dan Witir menjadi penting untuk diingat dan dilantunkan ulang. Allahumma inna nas aluka qalban khasyi’an. Ya Allah kami memohon kepada-Mu agar diberikan hati yang khusyuk. Kita sungguh merasakan betapa perlunya sentuhan “tangan” Tuhan dalam kehidupan, termasuk dalam beribadah. Kita masih merasakan betapa besarnya pengaruh lingkungan terhadap diri kita. Saya tidak ingin menyatakan betapa besarnya pengaruh lingkungan, tetapi kenyataannya lingkungan memiliki pengaruh yang signifikan di dalam kehidupan kita. Dan kita merasakannya.
Pikiran terkadang lebih dominan dibandingkan dengan perasaan dan hati. Hati kita ingin focus atau khusyuk akan tetapi lintasan masalah di dalam pikiran kita masih dominan. Inilah sebabnya kenapa kita sulit untuk berkonsentrasi. Hati Nurani kita sesungguhnya ingin focus, akan tetapi deraan masalah lebih dominan. Sebagai orang awam dalam beragama, maka inilah tantangannya. Dan inilah yang sulit untuk dihilangkan.
Berbeda halnya dengan kaum alim billah atau ahli tasawuf, yang seluruh hidupnya sudah diwakafkan untuk Tuhan, maka seluruh struktur kehidupannya sudah merupakan substansi Tuhan. Bayangkan orang bisa seperti Rabiah al Adawiyah, bisa seperti Hasan Al Basri, bisa seperti Imam Syafii, bisa seperti Imam Maliki, bisa seperti Imam Hambali, bisa seperti Imam Hanafi, bisa seperti Imam Ghazali, Seperti Syekh Hasan Syadzili, bahkan bisa seperti Al Hallaj, seperti Syekh Abdul Jalil, bisa seperti Kanjeng Sunan Ampel, seperti Sunan Bonang, seperti Sunan Kalijaga, seperti Sunan Drajat, seperti Eyang Sona, dan waliyullah lainnya. Mereka adalah orang yang sudah khatam kehidupan duniawinya, sehingga kehidupannya sudah di dalam bayang-bayang Tuhan. Manunggaling kawula lan Gusti. Sudah manunggal bukan dalam fisik tetapi batin dan perasaannya.
Di dunia ini ada banyak teladan yang sudah ditunjukkan oleh Allah, dan harapan kita tentu bisa menjadi barisan mereka-mereka yang sudah di dalam keridlaan Allah SWT. Ya Allah berikan kami hati yang khusyuk agar kami bisa mengikuti teladan-teladan-Mu, manusia yang telah memperoleh pencerahan.
Wallahu a’lam bi al shawab.