PERBEDAAN HARI RAYA BUKAN MASALAH BESAR: RENUNGAN RAMADLAN (28)
PERBEDAAN HARI RAYA BUKAN MASALAH BESAR: RENUNGAN RAMADLAN (28)
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Kemarin, pada waktu mengawali puasa kita bisa bersama-sama, kenapa untuk mengakhiri puasa kita berbeda. Ada yang hari Jum’at sudah hari raya dan ada yang hari Sabtu baru hari raya. Sebenarnya apa yang terjadi? Ungkapan ini yang saya jadikan sebagai permulaan dalam ceramah saya pada jamaah shalat tarawih pada hari Rabu, 19 April 2023 atau bertepatan dengan tanggal 28 Ramadlan 1444 H di Mushalla Raudlatul Jannah Desa Sembungrejo, Kecamatan Merakurak, Tuban.
Sebagai umat Islam Indonesia memang beragama kita unik. Saya nyatakan unik sebab di negara-negara lain tidak terdapat perbedaan dalam menetapkan awal Ramadlan, akhir Ramadlan, dan awal Dzulhijjah. Di negara lain, seperti Arab Saudi, UEA, Malaysia, Brunei Darusalam, Mesir, dan lain-lain yang menentukan terhadap kapan hari raya adalah pemerintah. Sedangkan di Indonesia, Ormas bisa menentukan kapan hari raya dilaksanakan.
Perbedaan ini akan terus berlangsung selamanya sampai misalnya Organisasi Konferensi Islam (OKI), misalnya bisa menentukan penanggalan Islam yang berlaku di seluruh dunia. Umat Kristiani bisa melakukannya dengan penetapan tahun Masihiyah yang dikenal sebagai penanggalan Masehi.
Perbedaan tersebut terjadi karena perbedaan dalam metode yang digunakan dalam menentukan tanggal awal bulan dan akhir bulan. NU menggunakan metode Rukyatul Hilal dengan berbasis pada imkanur rukyat, sedangkan Muhammad munggunakan metode hisab berbasis pada wujudul hilal. Apakah keduanya ada yang benar dan ada yang salah, atau keduanya benar atau keduanya salah. Jawabannya tentu terdapat pada otoritas ahli tafsir ajaran agama. Jika di Muhammadiyah adalah Majelis Tarjih dan Tim Hisab, sedangkan di NU adalah Tim Hisab dan Rukyatul Hilal yang memiliki otoritas di dalam menentukan kapan awal bulan dan akhir bulan.
Ketepatan bahwa untuk tahun 2023 M atau 1444 H, maka peluang untuk berbeda itu sangat besar disebabkan oleh ketinggian hilal pada akhir Ramadlan. Berdasarkan perhitungan atau hisab, maka ketinggian hilal hanya 0,1 derajad sehingga tidak memungkinkan dapat dirukyat atau diobservasi dengan menggunakan teknologi rukyat yang paling modern sekalipun. Sementara itu kalangan Muhammadiyah berkeyakinan bahwa hilal sudah wujud, meskipun tinggi baru 0,1 derajat. Yang penting hilal sudah berada di atas ufuk dengan ketinggian rendah sekalipun. Sekali lagi yang penting sudah wujud.
Jika karena factor cuaca sehingga hilal sama sekali tidak bisa dikonfirmasi dengan menggunakan metode rukyat, maka jika berdasarkan hisab sudah mencapai dua derajad, maka dipastikan hilal sudah bisa diobservasi. Bulan sudah wujud karena sudah bisa dinalar dengan konsep memungkinkan untuk dilihat atau imkanur ru’yat. NU bersama Menteri-Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) bahkan menaikkan imkanur rukyat tersebut pada hitungan tiga derajat.
Dengan demikian, sampai kapanpun pasti bisa terjadi perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan metoda untuk menentukannya. Saya sampaikan sampai kapanpun karena yang satu menetapkan dengan menggunakan wujudul hilal dengan patokan 0,01 derajad diyakini atau dianggap hilal sudah tampak secara akali atau rasio, sedangkan yang satunya berpendapat bahwa hilal hanya mungkin tampak pada 2 derajad atau lebih.
Inilah keunikan masyarakat di Indonesia. Sampai urusan menentukan hari raya saja bisa berbeda-beda. Suatu hal yang tidak dijumpai di negara lainnya, keunikan ini saya kira harus tetap dihormati sebagai konsekuensi Indonesia merupakan negara dengan keterbukaan yang sangat tinggi. Makanya, Indonesia tidak cocok menjadi negara agama, sebab nanti akan ada yang dipaksakan harus sesuai dengan apa kemauan negara. Tentu repot jadinya.
Yang penting adalah meskipun berbeda jangan dijadikan sebagai alasan untuk saling menyalahkan. Masyarakat Indonesia sudah lama memiliki pengalaman berbeda dalam kemesraan. Meskipun antara Muhammadiyah dan NU berbeda dalam banyak hal, bahkan sampai persoalan ibadah, akan tetapi keduanya masih bisa tersenyum bersama, tertawa dan bercanda bersama, bahkan perbedaan menjadi bahan gurauan di antara orang NU dan Muhammadiyah.
Masyarakat Indonesia adalah pengamal yang paling hebat tentang Sabda Nabi Muhammad SAW: ikhtilafu ummati rahmah. Perbedaan di antara umatku adalah rahmat. Maka yang paling penting kita harus tetap rukun dan harmonis. Jangan saling mencibir, jangan saling membully, jangan saling membunuh karakter, jangan saling menyalahkan dan sebagainya. Mari kita jadikan perbedaan untuk merajut kebersamaan.
Hanya dengan cara seperti ini, maka ukhuwah Islamiyah akan terjadi dengan baik. Bukankah ukhuwah Islamiyah itu dapat terajut bukan karena kesamaan semata akan tetapi juga melalui perbedaan. Yang bisa disamakan harus bisa sama, tetapi yang harus berbeda juga harus dibedakan. Yang penting jangan mencari-cari perbedaan.
Wallahu a’lam bi al shawab.