• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

INDAHNYA MEMAAFKAN: RENUNGAN RAMADLAN (29)

INDAHNYA MEMAAFKAN: RENUNGAN RAMADLAN (29)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Di dalam relasi social, maka dipastikan  bisa terjadi gesekan antara satu dengan yang lain, kapan dan dimanapun. Hal ini semata-semata sifat manusia yang memang sering melakukan kesalahan dan kekhilafan. Makanya di dalam kehidupan ini dipastikan ada kesalahan yang dilakukan baik yang disengaja atau tidak disengaja. Semua ini tergolong manusiawi.

Dalam sejarah kemanusiaan, maka ceritanya dimulai dengan Nabiyullah Adam AS, yang menuruti kehendak setan untuk memakan buah khuldi, kala Nabi Adam dan Hawwa berada di surga. Akibatnya Adam dan Hawwa diturunkan ke kehidupan dunia untuk melanjutkan kekhalifahan di dunia. Sesuai dengan rencana Tuhan bahwa Nabi Adam AS memang harus menjadi khalifah di dunia untuk meneruskan misi kekhalifahan Tuhan. Akibat dosa Nabi Adam, maka di dalam agama Nasrani dikenal ada “dosa warisan”.

Kesalahan berikutnya dilakukan oleh anak Nabi Adam AS, Qabil,  yang membunuh saudaranya Habil. Karena tidak tahu apa yang harus dilakukan kala terbunuhnya Habil dan akhirnya lewat burung gagak yang diturunkan Allah, maka burung gagak mengajari Qabil untuk memakamkan burung gagak lainnya yang juga terbunuh. Begitulah cara Allah mengajari manusia di dalam kehidupan.

Di  masa lalu kesalahan manusia tidak sekompleks sekarang. Dewasa ini kesalahan dan kekhilafan tersebut dilakukan melalui cara-cara yang sangat canggih dan massif. Seirama dengan semakin menguatnya teknologi informasi dengan anak turunannya, misalnya media social, maka orang bisa melakukan kesalahan dengan sasaran berjamaah. Ada yang dilakukan dengan kesengajaan dan ditujukan kepada banyak orang.

Cobalah kita simak media social. Betapa banyak kesalahan dan kekhilafan yang dilakukan dengan mengunggah konten Youtube yang berakibat munculnya sakit hati, rasa dendam, rasa terdzalimi, rasa dipermalukan dan sebagainya. Kebanyakan juga dilakukan atas nama agama. Agama yang seharusnya dan memang begitulah ajarannya itu untuk kemaslahatan dan kebaikan dalam paket Islam rahmatan lil ‘alamin justru dijadikan sebagai sarana untuk menjustifikasi “kebenaran” dalam tafsirnya sendiri.

Sesama umat Islam akhirnya saling memperebutkan klaim kebenaran, yang sesungguhnya adalah kebenaran tafsir agama. Terlalu sering saya menuliskan hal seperti ini. Akan tetapi begitulah kenyataannya. Sesama umat Islam tetapi diklaim telah melakukan amalan-amalan yang tidak sesuai dengan Islam hasil penafsiran ulamanya. Dianggap kafirlah, dianggap tersesatlah, dianggaplah sebagai kaum yang mengamalkan agama dalam kebidh’ahan dan sebagainya.

Ungkapan seperti ini dipastikan akan memunculkan reaksi dan respon balik yang juga tidak kalah seksinya. Jika kemudian terdapat respon yang keras tentu juga hal yang wajar, sebab kala seseorang dinyatakan sebagai kafir, maka konsekuensinya bisa diperangi atau dibunuh. Jadi pantaslah jika orang marah karena unggahan seperti itu. Saya juga sangat menyesalkan atas ungkapan-ungkapan yang menyudutkan dan menyakitkan ini.

Bulan Ramadlan adalah bulan yang dapat dijadikan sebagai instrument untuk saling mawas diri atau introspeksi atas perilaku kita. Makanya, kita harus mawas diri atas apa yang kita lakukan selama setahun sebelumnya. Jika ada kesalahan maka hendaknya kita berpikir untuk melakukan pertobatan. Tobat dalam konteks tidak mengulangi lagi kesalahan serupa. Bagi yang sering menyalahkan amalan sesama umat Islam, hendaknya mawas diri agar tidak melakukannya lagi. Jika hal tersebut terus dilakukannya, maka kita bisa bertanya apakah makna puasanya. Kita tentu bukan yang terbaik, sebab tetap saja ada dimensi kemanusiaan yang melekat di dalam diri kita. Tetapi dengan kita sadar bahwa kita telah melakukan kesalahan,  maka itu berarti merupakan awal yang baik. Tinggal melihat bagaimana tindakan berikutnya.

Islam mengajarkan: “innamal mu’minuna ikhwatun, fa ashlihu baina akhawaikum”, artinya kurang lebih: “sesungguhnya sesama orang mukmin itu bersaudara, maka lakukan ishlah di antara sesama saudara itu”. Ishlah itu memiliki dimensi yang lebih luas. Ishlah dalam konteks general berarti ada kesalahan yang dilakukan sehingga memerlukan permohonan maaf satu atas lainnya. Namun ada dimensi yang lebih mendalam yaitu kala terjadi pertentangan, rivalitas dan konflik, sehingga atas hal ini maka diperlukan cara dan metode yang lebih mendasar, misalnya bisa melalui mediasi.

Kala saya kecil diajari oleh Bapak saya pada waktu hari Raya dengan menyatakan seperti ini kala bertemu dengan orang yang lebih tua: “ngaturaken sedoyo kalepatan, ingkang mboten angsal idzine syara’ mugi lebur dinten niki”,  yang artinya: “menghaturkan semua kesalahan,  jika ada tindakan yang  tidak sesuai dengan syariat semoga luruh hari ini”. Ucapan ini menggambarkan betapa mulianya orang yang menyatakan atas kesalahannya kepada orang lain. Ada banyak orang yang menyembunyikan kesalahan atas yang lain tetapi kita diajari agar meminta maaf atas kesalahan kita.

Islam memang mengajarkan agar kita meminta maaf atas kesalahan yang kita lakukan kepada orang lain. Dan jika hal ini disadari oleh umat Islam, maka kinilah saatnya Islam akan bisa menjadi kekuatan yang dahsyat karena umatnya bisa bersatu tanpa ada syakwasangka atau suudz dzon, dan kemudian juga bersedia meminta maaf atas kesalahan yang dilakukannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..