INDAHNYA ISLAM DI INDONESIA: RENUNGAN RAMADLAN (30)
INDAHNYA ISLAM DI INDONESIA: RENUNGAN RAMADLAN (30)
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Setiap sepertiga malam selalu saya dengar dari masjid desa Sembungrejo Merakurak, seorang takmir Masjid itu menyuarakan ajakan untuk persiapan sahur. Diono, namanya. Dengan suaranya yang khas, melalui pengeras suara dengan lantang diucapkannya: “Asyhadu an la ilaha illallah. Astaghfirullah. Nas aluka ridhaka wal Jannah wa na’udzubika min sakhawatika wan nar. Allahumma innaka ‘affuwun karim tuhibbul ‘afwa wa’fu anna ya karim. Diulanginya tiga kali berturut-turut. Setelah itu diucapkan: “Allahumma salimna ramadlan, wasallim li ramadlan, wa tasallamuhu minna mutaqabbala”.
Lalu diucapkan:“tasahharu, tasahharu, tasahharu fa inna fis sahuri barakah”. Juga diulanginya tiga kali berturut-turut. Kemudian diucapkan dalam bahasa Jawa: “para bapak lan ibu, para sederek muslimin lan muslimat, sakmeniko sampun jam tiga kurang delapan menit, monggo sami-sami persiapan dahar sahur”. Juga ducapkan dalam tiga kali.
Menyambut Ramadlan dengan hal seperti itu yang tidak kita dapatkan di negara asal Islam, di Timur Tengah. Islam di negara asalnya itu sedemikian formal. Tidak boleh ada sedikitpun yang dinyatakannya sebagai budaya yang bisa masuk ke dalam ekspresi keislaman masyarakatnya. Di masa lalu, orang mau menghormat Nabi Muhammad SAW dengan bacaan shalawat bersama-sama saja takut. Jika diketahui oleh penguasa Islam, Salafi Wahabi, bisa menjadi masalah. Monopoli tafsir kebenaran agama sedemikian kuat diindoktrinasikan kepada seluruh masyarakat. Bahkan bukanlah hal aneh bahwa buku-buku yang tidak sesuai dengan tafsir ulama Salafi Wahabipun dihanguskan. Makam Nabi Muhammad SAW saja nyaris dihancurkan seandainya tidak ada protes dari ulama-ulama, termasuk ulama NU dari Indonesia.
Untunglah yang datang awal ke Indonesia adalah Islam dalam coraknya yang tidak menghanguskan seluruh tradisi masyarakat, bahkan kemudian mengislamkannya. Tradisi yang bisa dijadikan sebagai media dakwah, seperti wayang kulit kemudian disadur menjadi bersubstansi ajaran Islam. Tradisi slametan yang semula tradisi Hindu dan Buddha kemudian dijadikan sebagai medium untuk silaturrahmi bersubstansi Islam. Meskipun para waliyullah, penyebar Islam itu berasal dari Arab Saudi akan tetapi tetap mengajarkan agar menjadi orang Jawa Islam atau orang Nusantara Islam.
Pengajaran dan institusionalisasi Islam macam inilah yang tetap berkembang hingga saat ini. Islam menjadi lebih berwarna-warni dengan kreativitas yang memperkaya khasanah Islam Indonesia. Yang diucapkan oleh takmir Masjid Nur Iman sebagaimana yang saya tulis di depan merupakan kreativitas umat Islam Indonesia. Jika yang seperti ini juga dilarang karena Nabi Muhammad SAW tidak melakukannya, maka Islam akan menjadi kering kerontang, dan tidak ada lagi nuansa dan upaya untuk saling mengingatkan dalam hal sederhana, sahur pada bulan Ramadlan. Hal seperti ini pastilah dianggap bidh’ah yang sesat dan akan menghuni neraka.
Alangkah indahnya Islam di Indonesia. Pada sepertiga malam, kala tidur lagi nyenyak padahal harus bangun untuk sahur, maka kala bangun karena suara yang datang dari masjid adalah kalimat thayibah, doa dan upaya agar umat Islam segera menyiapkan makan sahur. Seharusnya yang seperti ini justru menjadi kekayaan Islam dan bukan untuk dinihilkan karena tafsir ulama-ulama Salafi Wahabi yang formalistic. Selama bukan sesuatu yang haram mutlak, maka tentu adalah mubah atau kebolehan karena tidak didapati hukum kepastiannya dari kanjeng Nabi Muhammad SAW. Al ashlu fil hukmi al ibahah. Jika tidak didapatkan hukum yang melarang secara mutlak, maka hal itu merupakan kebolehan. Asal usul hukum adalah kebolehan.
Masyarakat Islam Indonesia adalah umat Islam yang paling kreatif dalam memahami ajaran agamanya. Berkat bimbingan para waliyullah, sebagai pendakwah, dan juga ulama-ulama yang mengabdikan dirinya untuk Islam di Indonesia, maka Islam menjadi agama yang ramah, agama yang merangkul dan bukan memukul. Islam disebarkan dengan kasih sayang dan bukan dengan cacian dan cercaan. Terhadap penganut agama lain saja harus dinyatakan “lakum dinukum waliyadinI”. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Seharusnya sesama umat Islam bahkan bisa lebih ramah. Seharusnya dinyatakan: “bagi yang mengikuti ulama NU silahkan mengamalkannya secara tuntas. Bagi yang Muhammadiyah silahkan mengikuti ulamanya secara tuntas, dan bagi kami yang Salafi Wahabi kami akan melaksanakan ajaran agama sesuai dengan ulama-ulama Salafi Wahabi”.
Alangkah indahnya jika bisa melakukan hal seperti itu. Tetapi juga jangan melakukan taqiyah, pura-pura baik tetapi tetap memiliki agenda mewahabikan masyarakat Islam Indonesia, dan lebih jauh mengagendakan terjadinya system khilafah di negeri ini.
Kita sungguh tidak ingin menjadi Afghanistan yang terus konflik, dan juga tidak ingin menjadi Sudan yang akhir-akhir ini juga terlibat di dalam konflik. Kita ingin rukun, harmoni dan slamet.
Wallahu a’lam bi al shawab.