• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

BERWASIAT TENTANG KEBAIKAN

BERWASIAT TENTANG KEBAIKAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tidak ada manusia yang hidup dalam kesadaran yang terus menerus dalam kebaikan. Pasti ada saja hal-hal yang menyebabkan manusia itu melakukan kekhilafan, terutama adalah kekhilafan yang tidak disengaja. Kalau yang disengaja mungkin tidak dilakukan karena pengaruh agama yang sedemikian kuat. Namun  kesalahan yang tidak disengaja bisa saja terjadi di tengah kehidupan social yang makin kompleks dengan aneka ragam masalahnya.

Di dalam acara ceramah Halal Bihalal yang diselenggarakan oleh RW 08 Kelurahan Ketintang Selatan, Kecamatan Gayungan Surabaya, 6/5/2023, saya sedikit mengulas tentang wasiat tentang kebenaran, yang itu tidak harus mutlak hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam. Orang yang tidak memiliki pengetahuan keagamaan yang mendalampun bisa melakukannya. Semua bergantung pada niatnya. Jika ada niat menyampaikan tentang kebenaran, apapun bentuk dan kontennya, maka dipastikan akan mendapatkan feedback yang memadai dari lawan bicara atau orang yang diajak berkomunikasi.

Saya sampaikan bahwa untuk berwasiat tentang kebaikan tidak harus memiliki ilmu yang banyak. Tidak harus seorang da’i, tidak harus seorang ulama. Menyampaikan wasiat kebaikan itu bisa dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja. Selama ada waktu yang tepat untuk menyampaikan wasiat tentang kebaikan agar dapat dilakukan. Bukankah dalilnya menyatakan: “sampaikan dari diriku (Nabi)  walaupun satu ayat”. Ayat juga tidak mesti harus ayat Alqur’an atau Hadits Nabi Muhammad SAW. Bisa jadi pernyataan tentang kebaikan yang diperlukan pada saat yang tepat.

Saya pernah memiliki pengalaman tentang wasiat tentang kebaikan ini. Pada suatu ketika, saya menerima tamu dari Bank yang saya kenal dengan baik. Teman lama. Kala itu mereka berkeinginan ketemu  saya. Maka saya terima mereka  di Ruang Guru Besar Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Ampel Surabaya. Setelah bicara panjang lebar, lalu saya kontak kawan saya dari bank tersebut yang sedang bertugas di Jakarta. Saya bicara panjang lebar dengan kawan dari BNI dan kemudian pada akhir pembicaraan saya sampaikan agar kawan saya melazimkan membaca shalawat. Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala ali sayyidina Muhammad”.

Tiba-tiba kawan saya yang sedang bertemu saya itu menyatakan: “wah matur nuwun Prof. Nur Syam, sudah diingatkan untuk membaca shalawat. Sekali lagi terima kasih”. Saya sungguh tidak menyangka bahwa pembicaraan saya kepada kawan  di BNI Jakarta itu ternyata mengetuk hati kawan yang sedang bertemu saya. Mereka berterima kasih diingatkan untuk membaca shalawat. Ini merupakan contoh wasiat tentang kebaikan yang tidak memerlukan ceramah panjang lebar tetapi mengena pada apa yang diperlukan.

Dengan demikian jangan dipersepsikan bahwa memberi nasehat atau washiyat kebaikan itu haruslah menggunakan dalil-dalil agama yang sophisticated. Bisa saja tidak perlu dalil, tidak perlu ceramah akan tetapi mengingatkan pada saat yang tepat tentang amalan kebaikan sudah merupakan amalan shalihan yang diperlukan. Saya kira banyak orang yang memiliki pengalaman seperti ini. Bahkan lebih hebat dari ini.

Sebagai umat Islam kita diajari watawa shaubil haq atau berwasiat tentang kebenaran dan kebaikan. Jadi artinya untuk berwasiat dapat dilakukan oleh siapa saja dan bahkan yang paling baik adalah wasiat yang sudah dilakukan dan dapat menyentuh terhadap qalbu atau hati nuraninya. Wasiat itu sentuhannya lebih banyak kepada hati dan bukan hanya pikiran. Dengan demikian, wasiat itu akan dapat meresap ke dalam hati nurani dan berpeluang untuk diamalkan.

Kita ini hidup dalam solidaritas mekanis atau ikatan solidaritas berbasis pada persahabatan, persaudaraan, atau ikatan yang lebih mendalam. Di dalam solidaritas social yang bercorak mekanis diandaikan bahwa kita itu satu kesatuan relasi social yang berada di dalam kesetaraan dan kesamaan sehingga bisa saling mengingatkan. Berbeda dengan solidaritas social yang berbasis pada fungsi dan struktur social. Di dalam solidaritas ini, maka ada hirarkhi antara satu dengan lainnya sehingga sedikit peluang untuk saling melakukan kepenasehatan.

Kita ini juga masyarakat paguyuban, sehingga peluang untuk saling memberikan wasiat dalam  melakukan kebaikan itu terbuka lebar.  Berbeda dengan masyarakat Barat yang individualistis sehingga ada jarak social antara satu dengan lainnya. Beruntunglah kita berada di dalam masyarakat yang paguyuban sehingga kita dapat saling mengingatkan atau berwasiat untuk melakukan kebaikan. Kebaikan saya adalah kebaikan kamu, dan sebaliknya.

Bagi saya pemaknaan walau ayatan itu bukan berarti harus menyampaikan satu dalil baik dari Qur’an maupun hadits, akan tetapi ayatan dapat berarti ayat qauliyah atau ayat kauniyah. Jika kita tidak bisa berwasiat dengan ayat qauliyah maka berwasiatlah dengan ayat kauniyah. Ayat qauliyah itu artinya ayat atau teks Alqur’an dan Alhadits, sedangkan ayat kauniyah adalah ayat yang terkait dengan fenomena alam yang juga sangat layak dijadikan sebagai bahan berwasiat.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MENJAGA MARWAH KELUARGA

MENJAGA MARWAH KELUARGA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Keluarga merupakan unit terkecil dalam relasi social masyarakat. Keluarga merupakan kumpulan orang yang terdiri dari bapak, ibu, dan anak yang di dalam dunia antropologi disebut sebagai keluarga inti atau nuclear family, dan kemudian bisa ditambah dengan mertua lelaki dan perempuan, kakek dan nenek serta saudara bapak atau ibu dan lainnya yang disebut sebagai keluarga batih atau extended family. Mereka hidup di dalam suatu rumah secara bersama-sama.

Keluarga menjadi tempat yang paling awal untuk melakukan komunikasi atau relasi social yang didasari oleh satu kesatuan pemahaman untuk hidup bersama di dalam keluarga. Mereka membangun kebersamaan dalam banyak hal, misalnya untuk bekerja atau  mencari nafkah atau mendapatkan upah atau gaji dari pekerjaannya. Meskipun tidak ada ketentuan masing-masing harus memberikan kontribusi seberapa banyak, akan tetapi ada saling pemahaman untuk saling membantu.

Di Indonesia, rasa kekeluargaan itu sangat kental. Antara anak dan orang tua merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Itulah sebabnya di Indonesia itu jarang ada orang tua yang kemudian ditaruh di panti wreda atau tempat untuk menitipkan orang tua. Dalam keadaaan tidak sehat karena fisiknya yang lemah tetapi jarang  anaknya menempatkan orang tuanya di panti jompo. Dalam  kondisi apapun orang tua akan ditempatkan di dalam rumah keluarga besarnya.

Berbeda dengan masyarakat di Barat yang prinsip hidupnya individualisme, maka kala anak sudah menikah, maka diwajibkan untuk pisah rumah dan memenuhi hajad hidupnya sendiri. Sementara itu orang tua akan tetap berada di dalam rumahnya sendiri dengan pemenuhan kebutuhan sesuai dengan proporsinya. Karena prinsip individualisme tersebut, maka anak harus melepas orang tua dan orang tua juga harus melepas anaknya. Jika sudah tua dan tidak bisa hidup mandiri, maka di antara pilihan utamanya adalah panti wreda atau panti jompo. Ini merupakan pilihan budaya pada masyarakat Barat yang memang berbeda dengan masyarakat Indonesia.

Keluarga memiliki banyak fungsi. Di antara fungsi penting adalah fungsi pendidikan. Yaitu suatu proses untuk menularkan pengetahuan tentang kehidupan. Tidak hanya pengetahuan umum tetapi juga pengetahuan agama. Pendidikan agama penting agar keluarga tersebut selalu berada di dalam koridor memahami dan menjalankan agama yang sesuai dengan kehidupan secara individual maupun komunal. Proses penanaman nilai-nilai luhur atau akhlakul karimah menjadi sangat penting dalam rangka menjadi pedoman bertingkah laku yang berkaitan dengan kehidupan social.

Islam mengajarkan agar kita menjaga marwah keluarga. Artinya kita harus menjaga kehormatan keluarga. Keluarga yang memiliki kehormatan merupakan cita-cita atau keinginan banyak orang, bahkan seluruh keluarga. Saya kira tidak ada sebuah keluarga yang  menginginkan agar keluarganya tercoreng kehormatannya. Semua berkeinginan agar keluarganya dihargai oleh orang lain atau masyarakat.

Orang rela melakukan tindakan yang bahkan menyimpang dari aturan kalau harga diri keluarganya dilecehkan. Misalnya orang Madura akan melakukan tindakan “carok” jika ada keluarganya yang dihinakan atau dilecehkan. Lebih baik poteh mata dari pada  poteh tulang. Itu menunjukkan betapa besarnya rasa harga diri masyarakat atas pelecehan atau penghinaan yang dilakukan oleh orang lain. Masyarakat Jawa juga memiliki hal yang sama, bahwa marwah keluarga itu sangat penting untuk ditegakkan terutama jika dilecehkan oleh orang lain.

Lalu bagaimana kita harus menjaga marwah keluarga. Pertama, saling mengingatkan. Islam mengajarkan agar kita saling berwasiat tentang kebenaran dan kesabaran. Di dalam Alqur’an dijelaskan wa tawa shaubil haq wa tawa shaubish shabr. Yang artinya: “saling berwasiatlah tentang kebenaran dan saling berwasiatlan tentang kesabaran”. Jika ada anggota keluarga kita yang melakukan tindakan kurang tepat, maka harus diingatkan. Jika ada anggota keluarga kita yang melakukan kesalahan juga harus diingatkan. Yang melakukan kesalahan juga harus menerima peringatan yang diberikan oleh keluarganya. Yang dimaksud dengan sabar adalah menerima apa saja yang diperingatkan oleh kerabatnya. Jangan merasa bahwa yang mengingatkan itu lebih rendah. Perlu terdapat pemahaman kesetaraan antar anggota keluarga.

Kedua, menjaga lingkungan keluarga yang harmonis. Keharmonisan dalam keluarga sangat menentukan terhadap tinggi rendahnya marwah keluarga. Keluarga yang harmonis dapat menjadi tempat yang nyaman di dalamnya. Jika relasi social di dalam keluarga sangat baik, maka dipastikan anggota keluarga tersebut akan menuai rasa aman dan nyaman di dalam keluarga. Keluarga yang di dalamnya selalu terdapat pertengkaran akan menyebabkan anggota rumah tangga tidak betah di rumah. Bikinlah anggota keluarga itu aman dan nyaman di rumah karena anggoat keluarga rukun dan damai. Islam mengajarkan “udkhuluha bi salamin aminin”. Yang artinya “masuklah di dalam (surga) dengan aman dan selamat. Andaikan bisa ditafsirkan dengan konteks keluarga, maka “masuklah di dalam (rumah) dengan selamat dan aman”.

Ketiga, menjaga relasi social yang baik dan seimbang. Kita hidup di dalam kehidupan masyarakat, sehingga relasi social yang baik dan seimbang akan sangat menentukan atas kebaikan keluarga kita. Jika kita berbuat baik pada orang, maka orang akan berbuat baik kepada kita. Jika kita sopan kepada orang lain, maka orang lain juga akan sopan kepada kita. Sebaliknya, jika kita jahat pada orang lain, maka orang lain juga akan jahat kepada kita.

Tidak ada factor yang berdiri sendiri kecuali ada factor penyebabnya. Mengikuti hukum ini, maka apa yang kita lakukan akan menjadi cerminan atas perilaku keluarga dan masyarakat kepada kita. Makanya, berbuatlah yang baik di mana saja, maka kita juga akan diperlakukan baik di mana saja.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MENJAGA KELUARGA DARI API NERAKA

MENJAGA KELUARGA DARI API NERAKA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tidak ada seorangpun yang tidak menginginkan keluarganya bahagia. Bahkan tidak hanya bahagia di dunia tetapi juga bahagia di akherat kelak. Jika di dalam dua kehidupan itu bahagia, maka inilah yang disebut sebagai endless bliss. Kebahagiaan sempurna. Dan hanya orang-orang yang beramal shaleh saja yang kiranya bisa memeroleh dua kebahagiaan sekaligus. Sa’idun fid daraini.

Kebahagiaan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) bisa diangkakan dengan menyusun indikator-indikator kebahagaiaan. Ada beberapa variable yang kemudian bisa diukur untuk menjelaskan posisi kebahagiaan dimaksud. Di antara variable indicator kebahagiaan tersebut adalah: tingkat pendidikan, pendapatan, pengeluaran, pekerjaan, jumlah keluarga, Kesehatan keluarga, kondisi keamanaan lingkungan, relasi social dalam lingkungan social, kenyamanan di dalam keluarga dan kenyamanan dalam jaringan social. Di dalam variable-variabel ini tidak didapatkan dimensi religiositas yang sebenarnya juga menjadi indicator penting dalam menentukan kebahagiaan. Bisa jadi, bahwa aspek religiositas tersebut tidak bisa diangkakan.

Kita meyakini bahwa orang hidup tidak hanya di dunia. Kita bukan kaum materialistis, yang beranggapan bahwa manusia hanya terdiri dari jasad atau badan, dan kematian adalah karena kerusakan salah satu organ manusia sehingga karena kerusakan tersebut maka tidak dapat berfungsi. Misalnya gagal ginjal, kerusakan jantung, kerusakan organ tubuh lainnya, maka karena kerusakan tersebut sehingga menyebabkan terjadinya kematian.

Kita meyakini bahwa di dalam tubuh yang fisikal terdapat roh dan jiwa. Roh itulah yang menyebabkan manusia bisa hidup. Maka kematian adalah pada aspek jasadnya sedangkan rohnya tetap hidup. Dan roh itu akan berpindah ke dalam alam barzakh atau alam kubur. Sebuah alam yang mengantarai antara alam dunia dengan alam akherat. Manusia dengan rohnya akan hidup di alam barzakh sampai Malaikat Peniup Sangkakala meniupkan terompet kematian bagi manusia dan kehancuran dunia atau yang disebut qiyamat. Dari sini akan dimulai fase baru kehidupan untuk menuju ke dalam alam akherat.

Oleh karena itu, manusia harus menyelaraskan kehidupan di dunia dan akherat, tidak hanya bahagia di dunia tetapi juga bahagia di akherat. Doa kita kepada Allah SWT adalah Ya Tuhan kami bahagiakan kami di dalam kehidupan di dunia dan kehidupan akherat. Doa yang rasanya paling banyak dilantunkan oleh umat Islam pasca melakukan shalat wajib karena betapa pentingnya memohon kepada Allah SWT atas hal ini.

Islam mengajarkan agar di dalam setiap keluarga dapat menjaga keluarganya dari api neraka. Artinya agar setiap keluarga menjaga keluarganya agar tidak melakukan perbuatan yang dapat mengantarkannya kepada neraka, yaitu perbuatan jelek, atau jahat. Setiap keluarga hendaknya tetap menjaga iman di dalam keluarganya. Hanya iman kepada Allah SWT. Tidak tergelincir imannya kepada selain Allah. Iman yang tidak ada sedikitpun keraguan. Iman yang terus meningkat dan bukan menurun apalagi sampai titik nol.

Sebagai konsekuensi atas imannya itu adalah menjalankan ajaran Islam dengan sekuat tenaga. Tidak mendurhakai Allah dan menjalankan sunnahnya Rasulullah. Di dalam kehidupannya selalu melakukan kebaikan yang berbasis pada ajaran agama Allah. Untuk bisa melakukan hal ini, maka pendidikan di dalam keluarga menjadi penting adanya. Anak-anak harus diajari untuk menjalankan perintah Tuhan dan menjaga untuk tidak melakukan larangan Tuhan.

Di dalam Surat Attahrim ayat 6 dinyatakan: “Ya ayyuhal ladzina amanu qu anfusakum wa ahlikum nara” yang artinya “wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Untuk menciptakan keluarga yang di dalamnya terdapat lingkungan Islami yang terjaga dari api neraka, maka ada beberapa hal, yaitu: pertama,  menjaga lingkungan Islami di dalam keluarga. Lingkungan memiliki pengaruh yang besar dalam pendidikan di dalam keluarga. Bagaimana kita akan meminta anak untuk shalat jika kita sendiri tidak melakukan shalat. Jadi Bapak atau Ibu harus menjadi contoh dalam melakukan kebaikan atau misalnya menjalankan shalat, puasa, zakat dan amalan-amalan keagamaan lainnya. Jadilah panutan dalam kebaikan jika kita ingin mentransfer kebaikan kepada keluarga kita.

Kedua, enkulturasi atau transfer pengetahuan dan perilaku yang paling baik di dalam keluarga adalah pada masa kanak-kanak. Makanya mengajari kebaikan kepada anak-anak itu memiliki pengaruh yang sangat kuat. Orang tua hendaknya mengajari anak-anaknya mulai yang dasar misalnya ucapan salam, makan dengan basmalah, berdoa mau tidur, dan bacaan Alqur’an seperti ayat-ayat pendek dan sebagainya. Ajari dan ajak mereka shalat, ajak mereka shalat jamaah dan sebagainya. Pembiasaan seperti ini akan sangat besar pengaruhnya pada anak-anak.

Ketiga,  berikan pendidikan agama yang cukup. Jangan hanya diajari dengan pendidikan umum tetapi ajari mereka dengan pendidikan agama. Melalui pendidikan agama yang benar, maka akan terakumulasi sejumlah pengetahuan yang akan mengantarkannya pada pemahaman dan perilaku beragama yang benar. Anak-anak harus diajari tidak hanya pintar tetapi juga benar. Tidak hanya rational intelligent saja yang hebat, tetapi juga emotional intelligent, social intelligent dan spiritual intelligent juga hebat. Sebuah kebahagiaan jika kita dapat  melihat keluarga kita menjadi orang yang shaleh yang kelak akan dapat mendoakan kepada kita semua.

Di dalam tradisi Jawa dikenal ada konsep anak polah bapak kepradah artinya jika anak kita menjadi anak yang nakal, maka orang tuanya akan terlibat untuk disalahkan. Makanya, kita benar-benar harus menjaga agar anak kita selalu berada di dalam perilaku kebaikan, sehingga orang tua akan merasakan kebahagiaan yang sama.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MENGEMBANGKAN POTENSI ANAK UNTUK KEBAIKAN

MENGEMBANGKAN POTENSI ANAK UNTUK KEBAIKAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sesungguhnya setiap manusia memiliki potensi untuk melakukan kebaikan. Sekali lagi potensi untuk melakukan kebaikan. Dan inti dari diturunkannya agama melalui Nabi dan Rasul sesungguhnya untuk mengingatkan kembali potensi kebaikan dimaksud. Perlu dipahami bahwa manusia memiliki dimensi ketuhanan, sebab di dalam diri manusia sebenarnya terdapat potensi ketuhanan. Makanya, pantas jika manusia  memiliki potensi kebaikan.

Berdasarkan konsep psikhologi, bahwa ada tiga paradigma yang penting untuk melihat mengenai bagaimana manusia bereksistensi di dalam kehidupannya, yaitu paradigma nativisme atau serba bakat, lalu paradigma empirisme atau serba lingkungan dan paradigma konvergensi atau paduan antara bakat dan pengalaman. Bagi kita tidak terlalu penting mana yang dominan, akan tetapi yang jelas bahwa setiap manusia memiliki bakat, lalu bisa belajar dari pengalaman yang keduanya akan berpengaruh terhadap eksistensinya di dalam  kehidupannya.

Manusia yang difabel atau different ability, bukan disable atau disability, saja memiliki potensi yang beraneka ragam. Manusia yang normal juga sesungguhnya memiliki potensi yang jelas. Tuhan sudah memberikan pada setiap hambanya dalam potensi yang sesungguhnya bisa diaktualkan.  Namun kenyataannya, bahwa tidak semua potensi bisa diaktualkan. Ada variable-variabel yang terkadang bisa mengganggu untuk mengaktualkannya.

Ada beberapa hal yang menyebabkan kegagalan dalam mengaktualkan potensi positif atau potensi kebaikan, yaitu: pertama, Bisa saja factor kemiskinan yang menyebabkannya. Orang yang miskin tidak akan bisa mengaktualkan potensi di dalam dirinya.  Kemiskinan bisa menjadi penyebab akan rendahnya pengembangan SDM berkualitas. Meskipun jumlah angka kemiskinan secara year to year terus turun, akan tetapi masih relative besar jumlah angka kemiskinan dimaksud. Apalagi dengan Wabah Covid-19, maka denyut nadi ekonomi menjadi semakin rendah, maka dampak yang paling kentara adalah pada klas menengah yang bekerja pada sector informal. Angka pengangguran menjadi  meningkat, angka PHK juga meningkat sehingga jumlah angka kemiskinan selama Pandemi Covid-19 juga meningkat. Masih besarnya angka kemiskinan, maka akan menyebabkan akses pendidikan sebagai instrument untuk menyentuh atas aktualisasi potensi juga mengalami kendala yang serius.

Pemerintah sebenarnya sudah meluncurkan paket-paket program yang relevan dengan tujuan untuk memperluas akses pendidikan. Di era Pak SBY dikenal ada program Bantuan Siswa Miskin (BSM), paket Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan juga beasiswa Bidikmisi, yang memungkinkan bagi anak-anak dari keluarga miskin dapat memperoleh akses pendidikan. Misalnya ada anak dari keluarga tukang becak, yang bisa melanjutkan pendidikan hingga program doctor di Inggris.

Kemudian di era Pak Jokowi juga dilanjutkan dengan program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan juga BOS serta dana yang terkumpul melalui Endowment fund atau dana abadi Pendidikan melalui Lembaga Pengembangan Dana Pendidikan (LPDP), yang sebenarnya sudah diinisiasi pada pemerintahan sebelumnya. Semuanya tentu dimaksudkan sebagai upaya untuk mengaktualkan potensi anak Indonesia dalam bidang pendidikan. Tetap harus diyakini bahwa pendidikan merupakan satu instrument untuk menjadikan anak Indonesia sebagai orang yang cerdas, kompetitif dan berakhlakul karimah.

Kedua, mengaktualkan kecerdasan emosional. Anak tidak hanya memerlukan kecerdasan rasional, akan tetapi juga kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional sesungguhnya bisa diajarkan dan tidak hanya sekedar bakat. Ada anak yang memiliki bakat kesombongan, bakat berbohong dan bakat egoistis. Bakat ini masih bisa dieliminasi melalui pengarahan, bimbingan dan pendidikan. Jika anak-anak dengan bakat seperti itu dapat memperoleh pendidikan yang benar dan baik serta berada di dalam lingkungan yang baik, maka diasumsikan bahwa mereka akan menjadi manusia yang baik dan benar. Mungkin sekali waktu bakat-bakat seperti itu masih eksis, akan tetapi dengan pendidikan dan lingkungan yang baik tentu akan tereliminasi bakat-bakat dimaksud. Pendidikan agama yang baik dan benar yang berada di dalam konteks pendidikan rahmatan lil alamin akan bisa menjadi salah satu solusi untuk mengeliminasi bakat-bakat yang kurang baik.

Ketiga, mengaktualkan kecerdasan social. Manusia dikaruniai rasa kasihan atas penderitaan orang lain, jika seseorang berada di dalam posisi tidak menderita. Kecerdasan social akan tumbuh seirama dengan pergaulan atau relasi social yang dialami oleh seseorang. Jika seseorang berada di dalam lingkungan yang memang terdapat potensi rasa kasihan, maka dipastikan akan memunculkan rasa, sikap dan tindakan untuk mengekspresikan rasa kasihan dimaksud. Hanya orang-orang yang sudah mati rasa saja yang kehilangan taste untuk mengasihi terhadap yang perlu dikasihani. Pengalaman penderitaan atau keinginan berlebihan untuk menghukum seseorang yang bersalah bisa jadi disebabkan oleh rendahnya social intelligent. Memaafkan bukan berarti tidak memberikan punishment, tetapi menempatkan punishment dalam proporsi yang benar.

Keempat, menerapkan spiritual intelligent yaitu mengajarkan kepada anak agar memahami dan merasakan bahwa ada suatu kekuatan yang Maha Dahsyat yang menguasi atas diri manusia, dan meyakini bahwa kekuatan terbesar dari Dzat yang Maha Agung adalah memberikan kasih sayang kepada manusia. Berkat kasih sayangnya tersebut maka manusia dapat hidup dengan kehidupan yang baik yang sesuai dengan hukum-hukum Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang perlu untuk diaktualkan adalah menyadarkan Kembali spirit ketuhanan di dalam manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling istimewa.

Islam telah mengajarkan kepada manusia agar terus menerus berpikir tentang ada kekuatan lain sebagai penguasa atas dunia dan seluruh isinya. Dan manusia diminta untuk berpikir. Afala ta’qilun, afala yatafakkarun, atau apakah engkau tidak berpikir atau apakah mereka tidak memikirkannya. Lalu, manusia juga diminta untuk saling bertolong menolong dalam kebaikan. Ta’awanu ‘alal birri wat taqwa atau bersaling tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan juga ala bi dizikrillah tatmainul qulub atau hanya dengan mengingat Allah maka hati menjadi tenang atau tenteram.

Agama sebenarnya diberikan kepada manusia agar menjadi pedoman, termasuk pedoman agar kita mendidik anak kita dalam kebaikan. Dan peran orang tua begitu dominan untuk menciptakan kebaikan dimaksud.

Wallahu a’lam bi al shawab.

HIGH POLITICS YES, POLITIK PRAKTIS NO: PEMBICARAAN POLITIK DI MASJID

HIGH POLITICS YES, POLITIK PRAKTIS NO: PEMBICARAAN POLITIK DI MASJID

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Saya termasuk yang mengapresiasi atas himbauan Menag Yaqut Cholil Qoumas  tentang bagaimana menggunakan masjid di dalam menghadapi Tahun Politik 2024 yang akan datang. Saya tidak akan menjelaskan secara mendasar tentang apa  yang diimbaukan oleh Menag, tetapi saya ingin mengambil makna, etika dan etos masyarakat Indonesia dalam menghadapi tahun politik 2024.

Masjid memang bisa menjadi area dalam banyak bidang. Menggunakan konsep secara umum, maka masjid tidak hanya menjadi tempat ritual saja akan tetapi menjadi tempat untuk kegiatan yang lebih luas. Dewasa ini, masjid sudah menjadi tempat bagi pengembangan SDM melalui pendidikan, pengembangan kesehatan masyarakat melalui Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), menjadi tempat pengembangan ekonomi melalui koperasi dan usaha-usaha syariah, dan menjadi tempat bagi pengembangan SDM melalui pelatihan kepemimpinan dan manajemen dan sebagainya.

Citra masjid sebagai tempat untuk gerakan politik tentu bukan sesuatu yang aneh. Ada masjid yang secara eksistensial melakukan gerakan politik. Sesuai dengan cerita Miftah, mantan teroris yang sadar, bahwa ada masjid yang secara khusus menjadi tempat untuk membicarakan masalah khilafah, jihad dan gerakan trans-nasional. Cerita ini bukan isapan jempol sebab memang ada masjid-masjid yang sekarang ini menjadi tempat untuk berpolitik praktis yang terkait dengan politik khilafah, jihad dan anggapan pemerintah thaghut. Gerakan anti pemerintah dengan statemen sebagai pemerintahan thaghut banyak dilakukan oleh kelompok tersebut. Saya sudah banyak menulis tentang pemahaman agama yang seperti ini. Dan saya kira banyak orang yang sudah memahami siapa mereka tersebut.

Yang masih diragukan adalah bagaimana menempatkan dimensi politik melalui masjid. Ada keraguan bagaimanakah membicarakan atau menjadikan masjid sebagai tempat untuk membicarakan masalah politik. Maka saya secara tegas menyatakan bahwa menjadikan masjid sebagai tempat untuk membicarakan politik praktis tentu tidak boleh, akan tetapi menjadikan masjid dalam etika politik tentu masih dalam koridor yang diperbolehkan. Lalu, pertanyaannya adalah bagaimana indicator etika politik  atau high politics tersebut?.

Ada beberapa indicator penting untuk direnungkan. Pertama,  menjelaskan dan menggambarkan tentang perilaku politik yang benar dan baik. Baik saja tidak cukup karena harus benar. Dua-duanya tidak dapat dipisahkan. Misalnya menggambarkan tentang indicator pemimpin yang shiddiq, Amanah, tabligh dan fathanah. Ciri-ciri pemimpin yang shiddiq atau jujur dapat dilihat dari  rekam jejak dan potensi kejujuran  yang ada pada calon pemimpin. Kita tidak harus menyampaikan siapa yang memenuhi kriteria dimaksud. Juga pemimpin dengan indicator amanah atau dapat dipercaya artinya bahwa berdasarkan rekam jejak dan potensi untuk berbuat amanah  tersebut tentu ada yang bisa dipilih. Harus dipilih yang terbaik di antara yang baik melalui pemetaan dan tracking yang jelas. Lalu, juga calon pimpinan yang memiliki kemampuan untuk membuat kebijakan yang pro-rakyat karena kecerdasannya dan juga transparan dalam implementasi kebijakannya.

Kedua, menjelaskan dan menggambarkan tentang bagaimana Indonesia ke depan. Carilah pimpinan yang memiliki visi Keislaman, Keindonesiaan dan kemoderenan. Melalui indicator ini maka akan dapat diketahui siapa yang paling cocok untuk kepemimpinan di Indonesia. Jangan dipilih calon pemimpin Indonesia yang justru akan menjerumuskan Indonesia ke jurang disharmoni dan bahkan konflik horizontal. Indonesia adalah negara dengan tingkat multikulturalitas dan pluralitas yang sangat tinggi. Makanya harus dirawat oleh para pemimpin agar pemimpin tersebut berkeinginan untuk memantapkan empat pilar consensus kebangsaan, tetap mempertahankan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan. Pemimpin yang tidak tergoda untuk mengeksperimenkan negara Indonesia yang besar ini dengan bentuk negara baru, seperti negara khilafah, dan menghalalkan jihad hanya dalam makna perang.

Ketiga,  diupayakan agar tidak menyebut dan mengarahkan kepada nama-nama tertentu dengan arahan agar dipilih dalam PEMILU. Cukuplah agar jamaah menentukan sendiri siapa yang pantas dan layak untuk dipilih. Agar para jamaah diarahkan dengan kekuatan rational choice untuk menentukan siapa yang pantas dalam analisis jamaah masjid. Cukuplah pembicaraan tentang indikatornya dan segalanya diserahkan kepada para jamaah untuk melakukannya yang terbaik dan paling benar. Janganlah kita membicarakan tentang siapa calon pemimpin nasional sebab yang terpenting pada pilihan rasional para jamaah.

Yang diperlukan adalah mengendalikan keinginan agar bersearah dengan etika politik. Saya menjadi teringat dengan ungkapan KH. Hasyim Muzadi bahwa di Indonesia ini terdapat politik tanpa etika. Para pemimpin menyusun kebijakan tidak untuk kepentingan rakyat, DPR membuat Undang-Undang tanpa berpikir apakah regulasi tersebut menguntungkan masyarakat atau hanya menguntungkan korporasi. Melalui kebijakan-kebijakan yang tidak bersearah dengan kepentingan rakyat inilah yang menyebabkan Indonesia menjadi terpuruk.

Indonesia harus memilih pemimpin yang terbaik. Tetapi kala berbicara di masjid hendaknya  tidak membicarakan tentang siapa tokoh yang harus dipilih akan tetapi justru menentukan apa kriterianya atau apa indikatornya. Kita semua yakin bahwa para jamaah dewasa ini sudah cerdas dalam memilih pemimpin sehingga tidak perlu untuk diintervensi dengan keinginan kita apalagi dengan memaksa.

Wallahu a’lam bi al shawab.