BERWASIAT TENTANG KEBAIKAN
BERWASIAT TENTANG KEBAIKAN
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Tidak ada manusia yang hidup dalam kesadaran yang terus menerus dalam kebaikan. Pasti ada saja hal-hal yang menyebabkan manusia itu melakukan kekhilafan, terutama adalah kekhilafan yang tidak disengaja. Kalau yang disengaja mungkin tidak dilakukan karena pengaruh agama yang sedemikian kuat. Namun kesalahan yang tidak disengaja bisa saja terjadi di tengah kehidupan social yang makin kompleks dengan aneka ragam masalahnya.
Di dalam acara ceramah Halal Bihalal yang diselenggarakan oleh RW 08 Kelurahan Ketintang Selatan, Kecamatan Gayungan Surabaya, 6/5/2023, saya sedikit mengulas tentang wasiat tentang kebenaran, yang itu tidak harus mutlak hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam. Orang yang tidak memiliki pengetahuan keagamaan yang mendalampun bisa melakukannya. Semua bergantung pada niatnya. Jika ada niat menyampaikan tentang kebenaran, apapun bentuk dan kontennya, maka dipastikan akan mendapatkan feedback yang memadai dari lawan bicara atau orang yang diajak berkomunikasi.
Saya sampaikan bahwa untuk berwasiat tentang kebaikan tidak harus memiliki ilmu yang banyak. Tidak harus seorang da’i, tidak harus seorang ulama. Menyampaikan wasiat kebaikan itu bisa dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja. Selama ada waktu yang tepat untuk menyampaikan wasiat tentang kebaikan agar dapat dilakukan. Bukankah dalilnya menyatakan: “sampaikan dari diriku (Nabi) walaupun satu ayat”. Ayat juga tidak mesti harus ayat Alqur’an atau Hadits Nabi Muhammad SAW. Bisa jadi pernyataan tentang kebaikan yang diperlukan pada saat yang tepat.
Saya pernah memiliki pengalaman tentang wasiat tentang kebaikan ini. Pada suatu ketika, saya menerima tamu dari Bank yang saya kenal dengan baik. Teman lama. Kala itu mereka berkeinginan ketemu saya. Maka saya terima mereka di Ruang Guru Besar Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Ampel Surabaya. Setelah bicara panjang lebar, lalu saya kontak kawan saya dari bank tersebut yang sedang bertugas di Jakarta. Saya bicara panjang lebar dengan kawan dari BNI dan kemudian pada akhir pembicaraan saya sampaikan agar kawan saya melazimkan membaca shalawat. Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala ali sayyidina Muhammad”.
Tiba-tiba kawan saya yang sedang bertemu saya itu menyatakan: “wah matur nuwun Prof. Nur Syam, sudah diingatkan untuk membaca shalawat. Sekali lagi terima kasih”. Saya sungguh tidak menyangka bahwa pembicaraan saya kepada kawan di BNI Jakarta itu ternyata mengetuk hati kawan yang sedang bertemu saya. Mereka berterima kasih diingatkan untuk membaca shalawat. Ini merupakan contoh wasiat tentang kebaikan yang tidak memerlukan ceramah panjang lebar tetapi mengena pada apa yang diperlukan.
Dengan demikian jangan dipersepsikan bahwa memberi nasehat atau washiyat kebaikan itu haruslah menggunakan dalil-dalil agama yang sophisticated. Bisa saja tidak perlu dalil, tidak perlu ceramah akan tetapi mengingatkan pada saat yang tepat tentang amalan kebaikan sudah merupakan amalan shalihan yang diperlukan. Saya kira banyak orang yang memiliki pengalaman seperti ini. Bahkan lebih hebat dari ini.
Sebagai umat Islam kita diajari watawa shaubil haq atau berwasiat tentang kebenaran dan kebaikan. Jadi artinya untuk berwasiat dapat dilakukan oleh siapa saja dan bahkan yang paling baik adalah wasiat yang sudah dilakukan dan dapat menyentuh terhadap qalbu atau hati nuraninya. Wasiat itu sentuhannya lebih banyak kepada hati dan bukan hanya pikiran. Dengan demikian, wasiat itu akan dapat meresap ke dalam hati nurani dan berpeluang untuk diamalkan.
Kita ini hidup dalam solidaritas mekanis atau ikatan solidaritas berbasis pada persahabatan, persaudaraan, atau ikatan yang lebih mendalam. Di dalam solidaritas social yang bercorak mekanis diandaikan bahwa kita itu satu kesatuan relasi social yang berada di dalam kesetaraan dan kesamaan sehingga bisa saling mengingatkan. Berbeda dengan solidaritas social yang berbasis pada fungsi dan struktur social. Di dalam solidaritas ini, maka ada hirarkhi antara satu dengan lainnya sehingga sedikit peluang untuk saling melakukan kepenasehatan.
Kita ini juga masyarakat paguyuban, sehingga peluang untuk saling memberikan wasiat dalam melakukan kebaikan itu terbuka lebar. Berbeda dengan masyarakat Barat yang individualistis sehingga ada jarak social antara satu dengan lainnya. Beruntunglah kita berada di dalam masyarakat yang paguyuban sehingga kita dapat saling mengingatkan atau berwasiat untuk melakukan kebaikan. Kebaikan saya adalah kebaikan kamu, dan sebaliknya.
Bagi saya pemaknaan walau ayatan itu bukan berarti harus menyampaikan satu dalil baik dari Qur’an maupun hadits, akan tetapi ayatan dapat berarti ayat qauliyah atau ayat kauniyah. Jika kita tidak bisa berwasiat dengan ayat qauliyah maka berwasiatlah dengan ayat kauniyah. Ayat qauliyah itu artinya ayat atau teks Alqur’an dan Alhadits, sedangkan ayat kauniyah adalah ayat yang terkait dengan fenomena alam yang juga sangat layak dijadikan sebagai bahan berwasiat.
Wallahu a’lam bi al shawab.