MENGEMBANGKAN POTENSI ANAK UNTUK KEBAIKAN
MENGEMBANGKAN POTENSI ANAK UNTUK KEBAIKAN
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Sesungguhnya setiap manusia memiliki potensi untuk melakukan kebaikan. Sekali lagi potensi untuk melakukan kebaikan. Dan inti dari diturunkannya agama melalui Nabi dan Rasul sesungguhnya untuk mengingatkan kembali potensi kebaikan dimaksud. Perlu dipahami bahwa manusia memiliki dimensi ketuhanan, sebab di dalam diri manusia sebenarnya terdapat potensi ketuhanan. Makanya, pantas jika manusia memiliki potensi kebaikan.
Berdasarkan konsep psikhologi, bahwa ada tiga paradigma yang penting untuk melihat mengenai bagaimana manusia bereksistensi di dalam kehidupannya, yaitu paradigma nativisme atau serba bakat, lalu paradigma empirisme atau serba lingkungan dan paradigma konvergensi atau paduan antara bakat dan pengalaman. Bagi kita tidak terlalu penting mana yang dominan, akan tetapi yang jelas bahwa setiap manusia memiliki bakat, lalu bisa belajar dari pengalaman yang keduanya akan berpengaruh terhadap eksistensinya di dalam kehidupannya.
Manusia yang difabel atau different ability, bukan disable atau disability, saja memiliki potensi yang beraneka ragam. Manusia yang normal juga sesungguhnya memiliki potensi yang jelas. Tuhan sudah memberikan pada setiap hambanya dalam potensi yang sesungguhnya bisa diaktualkan. Namun kenyataannya, bahwa tidak semua potensi bisa diaktualkan. Ada variable-variabel yang terkadang bisa mengganggu untuk mengaktualkannya.
Ada beberapa hal yang menyebabkan kegagalan dalam mengaktualkan potensi positif atau potensi kebaikan, yaitu: pertama, Bisa saja factor kemiskinan yang menyebabkannya. Orang yang miskin tidak akan bisa mengaktualkan potensi di dalam dirinya. Kemiskinan bisa menjadi penyebab akan rendahnya pengembangan SDM berkualitas. Meskipun jumlah angka kemiskinan secara year to year terus turun, akan tetapi masih relative besar jumlah angka kemiskinan dimaksud. Apalagi dengan Wabah Covid-19, maka denyut nadi ekonomi menjadi semakin rendah, maka dampak yang paling kentara adalah pada klas menengah yang bekerja pada sector informal. Angka pengangguran menjadi meningkat, angka PHK juga meningkat sehingga jumlah angka kemiskinan selama Pandemi Covid-19 juga meningkat. Masih besarnya angka kemiskinan, maka akan menyebabkan akses pendidikan sebagai instrument untuk menyentuh atas aktualisasi potensi juga mengalami kendala yang serius.
Pemerintah sebenarnya sudah meluncurkan paket-paket program yang relevan dengan tujuan untuk memperluas akses pendidikan. Di era Pak SBY dikenal ada program Bantuan Siswa Miskin (BSM), paket Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan juga beasiswa Bidikmisi, yang memungkinkan bagi anak-anak dari keluarga miskin dapat memperoleh akses pendidikan. Misalnya ada anak dari keluarga tukang becak, yang bisa melanjutkan pendidikan hingga program doctor di Inggris.
Kemudian di era Pak Jokowi juga dilanjutkan dengan program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan juga BOS serta dana yang terkumpul melalui Endowment fund atau dana abadi Pendidikan melalui Lembaga Pengembangan Dana Pendidikan (LPDP), yang sebenarnya sudah diinisiasi pada pemerintahan sebelumnya. Semuanya tentu dimaksudkan sebagai upaya untuk mengaktualkan potensi anak Indonesia dalam bidang pendidikan. Tetap harus diyakini bahwa pendidikan merupakan satu instrument untuk menjadikan anak Indonesia sebagai orang yang cerdas, kompetitif dan berakhlakul karimah.
Kedua, mengaktualkan kecerdasan emosional. Anak tidak hanya memerlukan kecerdasan rasional, akan tetapi juga kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional sesungguhnya bisa diajarkan dan tidak hanya sekedar bakat. Ada anak yang memiliki bakat kesombongan, bakat berbohong dan bakat egoistis. Bakat ini masih bisa dieliminasi melalui pengarahan, bimbingan dan pendidikan. Jika anak-anak dengan bakat seperti itu dapat memperoleh pendidikan yang benar dan baik serta berada di dalam lingkungan yang baik, maka diasumsikan bahwa mereka akan menjadi manusia yang baik dan benar. Mungkin sekali waktu bakat-bakat seperti itu masih eksis, akan tetapi dengan pendidikan dan lingkungan yang baik tentu akan tereliminasi bakat-bakat dimaksud. Pendidikan agama yang baik dan benar yang berada di dalam konteks pendidikan rahmatan lil alamin akan bisa menjadi salah satu solusi untuk mengeliminasi bakat-bakat yang kurang baik.
Ketiga, mengaktualkan kecerdasan social. Manusia dikaruniai rasa kasihan atas penderitaan orang lain, jika seseorang berada di dalam posisi tidak menderita. Kecerdasan social akan tumbuh seirama dengan pergaulan atau relasi social yang dialami oleh seseorang. Jika seseorang berada di dalam lingkungan yang memang terdapat potensi rasa kasihan, maka dipastikan akan memunculkan rasa, sikap dan tindakan untuk mengekspresikan rasa kasihan dimaksud. Hanya orang-orang yang sudah mati rasa saja yang kehilangan taste untuk mengasihi terhadap yang perlu dikasihani. Pengalaman penderitaan atau keinginan berlebihan untuk menghukum seseorang yang bersalah bisa jadi disebabkan oleh rendahnya social intelligent. Memaafkan bukan berarti tidak memberikan punishment, tetapi menempatkan punishment dalam proporsi yang benar.
Keempat, menerapkan spiritual intelligent yaitu mengajarkan kepada anak agar memahami dan merasakan bahwa ada suatu kekuatan yang Maha Dahsyat yang menguasi atas diri manusia, dan meyakini bahwa kekuatan terbesar dari Dzat yang Maha Agung adalah memberikan kasih sayang kepada manusia. Berkat kasih sayangnya tersebut maka manusia dapat hidup dengan kehidupan yang baik yang sesuai dengan hukum-hukum Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang perlu untuk diaktualkan adalah menyadarkan Kembali spirit ketuhanan di dalam manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling istimewa.
Islam telah mengajarkan kepada manusia agar terus menerus berpikir tentang ada kekuatan lain sebagai penguasa atas dunia dan seluruh isinya. Dan manusia diminta untuk berpikir. Afala ta’qilun, afala yatafakkarun, atau apakah engkau tidak berpikir atau apakah mereka tidak memikirkannya. Lalu, manusia juga diminta untuk saling bertolong menolong dalam kebaikan. Ta’awanu ‘alal birri wat taqwa atau bersaling tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan juga ala bi dizikrillah tatmainul qulub atau hanya dengan mengingat Allah maka hati menjadi tenang atau tenteram.
Agama sebenarnya diberikan kepada manusia agar menjadi pedoman, termasuk pedoman agar kita mendidik anak kita dalam kebaikan. Dan peran orang tua begitu dominan untuk menciptakan kebaikan dimaksud.
Wallahu a’lam bi al shawab.