• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SHALAT SEBAGAI HAMPARAN SAJADAH PANJANG

SHALAT SEBAGAI HAMPARAN SAJADAH PANJANG

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Kala menulis artikel ini, sesungguhnya saya berada di dalam keraguan. Soalnya sederhana saja. Sebagaimana manusia lainnya, saya pun juga terkena kekhilafan dan kesalahan bahkan juga dosa. Ada banyak kesalahan, kehilfahan dan dosa yang bisa saya lakukan. Termasuk juga kelalaian dalam menjalankan shalat.

Ada kalanya, saya lalai.  Tiba-tiba waktunya habis dalam keadaan saya masih menyelesaikan pekerjaan.  Terkadang  di dalam perjalanan yang tidak bisa melakukan shalat karena pakaian terkena najis. sementara saya berada di dalam kemacetan jalan yang tidak bisa diurai. Yang jelas ada saat-saat di mana shalat itu dengan terpaksa ditinggalkan meskipun akhirnya dengan berbagai cara dapat diganti atau melakukan qadla’ atas shalat yang tertinggalkan dimaksud atau shalat lihurmatil waqt.

Shalat merupakan ibadah utama di dalam Islam, selain misalnya puasa, zakat dan amal-amal shalih lainnya. Bahkan ibadah shalat merupakan amalan manusia yang pertama dihisab atau diperhitungkan atau ditimbang. Di dalam Hadits yang dihisab pertama kali adalah shalat. Hal tersebut sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam An Nasa’i dan Imam At Tirmidzi, dinyatakan: “Sesungguhnya  yang pertama kali dihisab pada diri seorang hamba  pada hari kiamat dari amal ibadahnya adalah shalat. Jika shalatnya baik baik, sungguh ia beruntung dan jika shalatnya rusak sungguh ia menjadi orang yang merugi”.

Umat Islam tentu memiliki sekian banyak kewajiban. Baik kewajiban individual maupun kewajiban social. Kewajiban individual merupakan kewajiban yang harus dilakukan umat Islam sebagai individu, misalnya melaksanakan ibadah shalat, melaksanakan puasa, melaksanakan zakat dan melakukan ibadah haji dan semua itu didahului dengan membaca syahadat atau pengakuan atas keesaan Allah dan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Sedangkan ibadah social adalah ibadah yang memiliki cakupan untuk kepentingan masyarakat. Ada nilai social yang terkandung di dalam ibadah dimaksud. Ada ibadah mahdhoh atau ibadah dengan tujuan untuk kepentingan individu, misalnya shalat dan puasa. Sedangkan ibadah ghairu mahdhoh adalah ibadah yang memiliki visi kemanusiaan atau social.

Berbahagialah orang yang di dalam hidupnya terus menerus melakukan ibadah shalat. Kontinuitas shalat merupakan kata kunci bagi seorang muslim untuk menerima kebahagiaan awal di dalam mahsyar. Jika shalatnya baik dan rutin, maka peluang untuk menerima pahala dari Allah tentu sangat besar. Akan tetapi sebaliknya, jika amal ibadahnya tidak konsisten, maka juga punya peluang untuk tidak mendapatkan pahala dari Allah SWT. Makanya, Islam sungguh memberikan pedoman berupa hadits yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa amalan pertama yang dihitung oleh Allah di alam mahsyar adalah shalatnya. Jika ada yang kurang, maka nanti akan bisa ditutup dengan amalan-amalan lain, seperti puasa, zakat, sedekah, infaq, dan amalan-amalan baik lainnya.

Namun demikian yang jelas, bahwa amalan di dalam Islam itu sebuah system, yang tidak berdiri sendiri-sendiri. Amalan shalih di dalam Islam itu sangat banyak. Shalat adalah salah satunya. Oleh karena itu, mari kita yakinkan diri kita bahwa kita harus melakukan amal ibadah yang memiliki nilai plus di sisi Allah SWT. Shalat kita tegakkan dan amalan shalih lainnya juga kita lakukan. Islam mengajarkan tentang system ibadah yang saling terkait.

Di dalam cerita yang berbasis pada hadits Nabi Muhammad SAW, bahwa orang bisa masuk surga karena menolong seekor anjing yang kehausan, atau cerita tentang masuk surga orang yang membuang duri di tengah jalan dan cerita tentang orang yang membaca kalimat tauhid atau kalimat thayyibah atau Imam Ghazali yang memberikan kesempatan minum bagi seekor lalat merupakan contoh tentang betapa Islam itu agama yang rahmat. Makanya, benar adanya bahwa masuknya seseorang ke dalam surga adalah karena rahmatnya Allah SWT.

Kita tentu bersyukur bahwa kita sudah termasuk orang yang bisa menjalankan shalat. Kita bersyukur dibandingkan dengan umat Islam lain yang belum bisa menjalankan shalat. Ada yang karena ketiadaan informasi yang lengkap mengenai pentingnya shalat atau ketiadaan kesempatan untuk menjalankan ibadah shalat. Ada factor internal yang berasal dari dalam diri seseorang dan ada factor eksternal atau factor dari luar diri seseorang. Factor dari dalam adalah ketiadaan minat dan keinginan untuk menjalankan shalat atau ketiadaan semangat untuk menjalankan shalat. Mereka tahu shalat itu kewajiban, akan tetapi karena kemalasan maka shalat tidak dilakukannya. Sedangkan factor eksternal adalah tekanan pekerjaan, lingkungan social dan perkawanan. Pengaruh eksternal itu sungguh sangat besar bagi manusia. Banyak orang yang tergelincir dalam jurang kehancuran karena pertemanan atau karena factor lingkungan.

Kita ini merupakan orang yang beruntung karena bisa menjalankan ibadah shalat sedari kecil. Orang tua kita beragama Islam sehingga karena factor keturunan tersebut kita telah bersyahadat di waktu kecil. Kita telah dimasukkan ke dalam Lembaga Pendidikan Islam, apapun jenisnya. Ada yang mengaji di surau atau langgar, di pesantren, di madrasah atau di madrasah diniyah. Kita telah belajar shalat semenjak kecil.

Kenyataan ini merupakan rahmat Allah SWT untuk kita semua. Oleh karena itu, semoga kita dapat menjadikan shalat sebagai sajadah panjang, meskipun ada di antara hamparan sajadah tersebut  yang bolong-bolong. Dan yang tidak tersambung itu semoga bisa disambungkan dengan amalan-amalan lain yang baik yang berada di dalam bingkai amalan shalihan. Allahuma inna nas aluka amalan shalihan mutaqabbala. Amin.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

BERDOALAH KEPADA ALLAH UNTUK KEBAIKAN

BERDOALAH KEPADA ALLAH UNTUK KEBAIKAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Jika saya menulis terkait dengan pemahaman tentang Alqur’an atau Alhadits, sama sekali tidak dimaksudkan sebagai tafsir atau interpretasi atas seorang ahli di dalam bidang Alqur’an atau Alhadits, akan tetapi sekedar perenungan sebagai orang yang pernah belajar dan memiliki sedikit pengetahuan tentang hal ini. Mungkin  bisa dinyatakan bahwa lebih banyak unsur sosiologisnya ketimbang ilmu tafsir. Bahkan sangat sedikit pemahaman tentang ilmu tafsirnya.

Manusia sesungguhnya menghendaki agar hidupnya berada di dalam kebaikan. Semacam apapun manusia dipastikan bahwa dia ingin hidup normal dan baik. Hidup yang sesuai dengan kaidah social maupun agama. Hanya saja factor-faktor kepentingan atau kebutuhan, lingkungan dan pergaulan yang menyebabkannya untuk tidak berada di dalam kehidupan yang normal dan baik. Jadi, ada variable-variabel external yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan yang tidak relevan dengan norma social atau norma agama.

Di dalam kesendirian, seseorang yang bejat akhlaknya pastilah dia merasakan betapa hampa kehidupannya. Dia akan merasakan betapa hidupnya itu tidak ada artinya, tidak ada manfaatnya. Panggilan hati nuraninya akan menyatakan seperti itu. Inilah hati Nurani yang sebenarnya, yang sesungguhnya memiliki kesadaran yang benar. Hanya saja sekali waktu. Tidak terjadi secara terus menerus. Padahal, kebaikan itu harus dilakukan secara terus menerus agar menjadi kebiasaan.

Ada   seseorang yang  adakalanya  malu akan memohon ampunan pada Allah. Ada perasaan berdosa yang keterlaluan sehingga menyebabkannya enggan atau merasa malu kala menyebut nama Allah, apalagi memohon ampunan. Seseorang akan merasakam bahwa dirinya sudah jatuh ke dalam lembah kehinaan dan dosa. Akibatnya seseorang merasakan sudah berada di dalam kesendirian untuk bisa berbuat baik.

Di dalam posisi seperti ini, maka seseorang membutuhkan pendamping atau membutuhkan penasehat. Harus ada seseorang yang menemaninya untuk berani memohon ampunan dan berdoa kepada Allah. Sebagaimana praktik penyembuhan terhadap kaum narkoba, seperti yang dilakukan di Inabah Suryalaya, maka seseorang benar-benar dibimbing agar tidak berada di dalam kesendirian. Diajaknya mandi malam, lalu diajaknya untuk berdoa. Diajarinya untuk shalat malam, dan akhirnya bisa kembali ke jalan yang benar.

Para pecandu narkoba itu orang yang takut air. Makanya nyaris tidak pernah mandi. Maka dengan mandi malam, maka saraf-sarafnya dibangkitkan kembali untuk merasakan sentuhan air yang dingin dan menyegarkan. Dalam upaya terus menerus untuk mandi malam, maka akhirnya saraf-sarafnya akan menjadi normal, dan jika sudah ada pertanda normal tersebut, maka kemudian akan bisa diajari dan diajak untuk berdoa dan memohon ampunan kepada Allah SWT.

Begitulah, yang dilakukan oleh Hanan Attaqi terhadap anak-anak jalanan di Bandung, geng motor, atau Ra Khalil untuk menyadarkan anak-anak jalanan agar bisa kembali normal kehidupannya. Saya kira jika kita berdakwah kepada orang-orang yang sudah insaf dalam kebaikan, maka hanya untuk merawat amal ibadahnya, akan tetapi menyadarkan kembali kepada kebaikan atas orang-orang yang tidak sadar atau belum sadar akan agamanya tentu lebih berat dan sulit.

Problem manusia semakin kompleks. Tuntutan ekonomi semakin tinggi. Kehidupan semakin terdiferensiasi dalam penggolongan social yang semakin ketat. Solidaritas social semakin cair. Solidaritas social organis semakin menguat, sementara itu solidaritas mekanis semakin mencair. Makanya banyak orang yang semakin merasakan kesepian di tengah keramaian atau lonely in the crowd.

Ada orang kaya dan banyak uangnya yang kesepian, ada orang yang punya derajad tinggi tetapi juga kesepian. Ada orang yang memiliki pengaruh tetapi dia tidak merasakan kebahagiaan.  Di dunia ini ternyata banyak hal yang terjadi. Ada banyak hal yang membuat tidak bahagia dan membuat sengsara. Makanya, kita harus introspeksi apakah kehidupan kita termasuk dalam posisi yang mana. Bahagia, sengsara atau tidak menentu.

Di dalam hal ini, maka Islam mengajarkan agar selalu melakukan introspeksi diri. Hasibu anfusakum qabla ‘an tuhasabu. Kita harus berhitung tentang amalan-amalan baik yang kita lakukan dan amalan-amalan jelek yang kita lakukan. Semua ini dilakukan sebelum hari perhitungan atas diri kita dilakukan oleh Allah SWT, pada yaumul makhsyar.  Pada hari di mana semua amal akan dipertunjukkan dan dilakukan perhitungan.

Itulah sebabnya kita harus selalu berdoa kepada Allah SWT: “Allahumma inna nas aluka ’ilman nafi’a, wa rizqan wasi’a wa ‘amalan shalihan mutaqabbala”. Saya hanya akan sedikit membahas di dalam tulisan ini tentang ‘amalan shalihan mutaqabbala. Sebuah permohonan kepada Allah agar amal-amal kita yang baik diterima oleh Allah. Melalui penerimaan atas amalan-amalan kebaikan tersebut, maka kita dapat berharap bahwa kita akan bisa menjadi hambanya Allah yang beruntung.

Dan siapakah yang tidak bahagia jika amalan kita diterima oleh Allah SWT, dan kita dapat masuk ke dalam surganya dengan rahmat dan ridhonya Allah SWT.

Wallahu’alam bi al shawab.

 

 

 

ALQUR’AN KITAB PEMBERI KABAR KEGEMBIRAAN

ALQUR’AN KITAB PEMBERI KABAR KEGEMBIRAAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Alqur’an sesungguhnya bukan hanya kitab yang mengajarkan tentang bagaimana manusia beribadah kepada Allah SWT melalui serangkaian upacara ritual dan juga pedoman melakukan relasi social atau hubungan sesama manusia, tetapi juga etika dalam hubungan dengan alam dan juga hubungan dengan Allah. Hablum minallah, hablum minan nas wa hablum minal ‘alam.

Alqur’an sebagai kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Akhiriz Zaman, Muhammad SAW, maka isinya tentu sangat lengkap untuk dijadikan sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Kitab suci yang jelas, terjaga keasliannya, dan terjaga dari substansinya karena Alqur’an dapat dihafalkan oleh umat Islam. Para  hafidz dan hafidzah itulah yang sebenarnya menjaga keaslian atau otentisitas Alqur’an.

Allah SWT sendiri yang menjamin akan autentisitas Alquran thula zaman atau sepanjang zaman. Oleh karena itu salah satu inovasi yang dilakukan oleh Sayyidina Ustman bin Affan, khalifah ketiga di dalam masa Khulafaur Rasyidin, kemudian melakukan kodifikasi Alqur’an. Di antara yang melatarbelakangi hadirnya Alqur’an dalam bentuk penulisan  adalah disebabkan oleh semakin banyaknya para penghafal Alqur’an yang wafat. Maka, Khalifah Utsman bin Affan lalu mengumpulkan para sahabat Nabi Muhammad SAW untuk membahas hal itu, maka disepakati bahwa Alqur’an yang tertulis secara berserakan di pelepah kurma, kulit unta dan daun pepohonan tersebut lalu dikumpulkan. Semua tulisan itu ditashih atau diperiksa kebenarannya oleh Sahabat Nabi Yang Hafidz, dan kemudian dibukukan.

Yang kita baca sekarang adalah Alqur’an yang dikodifikasi oleh Sayyidina Utsman bin Affan. Apapun percetakannya, maka Alqur’an dijamin keasliannya. Untuk menjaga keaslian Alqur’an di Indonesia, maka Kementerian Agama telah memiliki perangkat institusi Lajnah Pentashih Alqur’an, yang di antara tugas pokok dan fungsinya adalah untuk melakukan pengecekan secara mendasar atas Kitab Alqur’an yang akan dicetak.

Tadi pagi, kita, para Jamaah Ngaji Bahagia Masjid Al Ihsan, 18/05/2023, melalukan tahsinan Alqur’an. Di bawah arahan Ustadz Mohammad Alif, Al Hafidz, mahasiswa UIN Sunan Ampel, maka kami membaca dan juga memahami arti dari apa yang kita baca. Gampangnya tahsinan dan sekaligus juga memahami secara umum tentang arti kata demi kata di dalam suatu surat dalam Alqur’an. Yang kita baca pagi itu empat ayat dalam Surat Al Ghasiyah, ayat 12 sampai 16. Yang berbunyi: “fiha sururum marfu’ah, wa akwabum maudhu’ah, wa namariqu masfufah, wa zarabiyyu mabtsutsah. Yang artinya: “di sana ada dipan-dipan yang ditinggikan, dan gelas-gelas yang tersedia (di dekatnya) dan bantal-bantal yang tersusun, dan permadani-permadani yang terhampar”.

Ayat-ayat ini tentu terkait dengan ayat-ayat sebelumnya yang merupakan kabar gembira bagi orang-orang yang melakukan amalan shalih dan kemudian menjadi penghuni surga. Dan sebelumnya menceritakan tentang kesusahan dan adzab yang diterima oleh orang-orang yang tidak malakukan amalan shalih dan kemudian konsekuensinya masuk ke dalam neraka. Surga disediakan untuk orang yang shalih dan neraka disediakan untuk orang yang ingkar akan kebenaran Islam.

Surat Al Ghasiyah memang memberikan gambaran secara utuh tentang bagaimana nasib orang yang masuk neraka dan masuk surga. Bercerita tentang kesengsaraan di dalam neraka dan kesenangan di dalam surga. Digambarkan di dalam ayat 12-16 tentang peralatan-peralatan kelezatan di dalam surga, misalnya tentang dipan-dipan yang ditinggikan, yang sesuai dengan ukuran manusia surga. Disediakan oleh Allah SWT dengan tempat tidur yang indah dan tinggi sesuai dengan ukuran manusia surga, di dekat dipan-dipan tersebut terdapat gelas-gelas yang tersedia dengan minuman ahli surga, minuman yang lezat yang tidak  didapatkan di dunia. Dan juga disediakan bantal-bantal yang terbuat dari kain sutra yang halus dan indah, yang menjadikan orang yang tidur dan istirahat di atas bantal menjadi nikmat luar biasa. Dan juga disediakan permadani-permadani yang terhampar dengan indahnya, yang membuat para pendatang di surga merasa nyaman. Jika di dunia, maka yang dibentangkan karpet merah adalah tamu-tamu terhormat. Maka di surga juga dibentangkan permadani-permadani untuk menyambut ahli surga.

Manusia adalah makhluk fisikal yang dunia fisik itu sedemikian melekat di dalam persepsinya dan pandangan hidupnya. Maka di antara pendekatan yang digunakan Alqur’an adalah dengan pendekatan fisikal juga. Betapa digambarkan di dalam surga  terdapat dipan, permadani, gelas, dan bantal-bantal yang semua merupakan kelengkapan hidup manusia. Symbol yang digunakan Alqur’an adalah yang mudah dipahami oleh masyarakat Arab pada waktu itu.

Dijelaskan di dalam Alqur’an  sesuatu yang sangat realistis. Yang dengan mudah bisa dipahami dengan rational intelligent atau akal atau rasio. Tidak dengan menggunakan symbol-simbol yang abstrak dan sulit dicerna akal manusia. Alqur’an diturunkan sesuai dengan kemampuan akal manusia pada zamannya atau biqadri ‘uqulihim. Bayangkan jika Alqur’an diturunkan dengan menggunakan rumus-rumus matematis yang rumit, maka masyarakat Arab tidak bisa memahaminya.

Namun demikian, meskipun Alqur’an diturunkan pada 15 abad yang lalu, akan tetapi kandungannya tetap dapat dipahami hingga sekarang. Yang jelas bahwa Alqur’an itu memberikan kabar gembira kepada orang yang melakukan amal shalih, yang selalu mengikuti ajaran agama Islam dengan sempurna dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap dimensi kemanusiaan.

Alqur’an adalah kitab yang mengusung perihal ganjaran atau pahala, yang memberikan pelajaran tentang kebaikan, dan keunggulan orang yang melakukannya. Alqur’an merupakan kitab basyiran atau kitab yang mengabarkan tentang kelezatan kehidupan yang didasari oleh kepatuhan dan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulnya. Dan tempat itu adalah Jannah atau surga.

Wallahu a’lam bi al shawab.

ANAK  DAN HARTA YANG MENJADI  SUMBER KEBAHAGIAAN

ANAK  DAN HARTA YANG MENJADI  SUMBER KEBAHAGIAAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tidak ada orang yang tidak ingin bahagia di dalam kehidupannya. Semua orang ingin memastikan bahwa hidupnya bahagia. Dan dua unsur penting di dalam menggapai kebahagiaan adalah anak dan harta. Melalui harta yang cukup atau bahkan kaya maka hidup akan menjadi terhormat dan diakui oleh masyarakat.

Dengan  memiliki keturunan  akan menjadi penyebab kita dihormati dan dianggap berhasil di dalam kehidupan. Khusus mengenai keturunan, orang akan menjadi minder atau rendah diri karena tidak memiliki anak. Dianggapnya mandul. Dianggapnya gabug atau seperti padi yang tidak bisa dipanen. Sedangkan jika kita tidak kaya,  maka akan dianggap kere atau orang yang tidak dihargai, hanya menjadi pesuruh atau pekerja kasar dan sebutan lain yang merendahkannya.

Tetapi pertanyaan dasarnya adalah apakah harta dan keturunan memang benar-benar menjadi instrument untuk mencapai kebahagiaan. Jawabannya bisa menjadi iya atau tidak. Menjadi iya jika harta tersebut bermanfaat bagi diri dan keluarga dan juga bermanfaat bagi masyarakatnya, dan menjadi tidak bermanfaat jika harta tersebut hanya menjadi bermanfaat bagi diri dan keluarga dan juga  tidak bermanfaat bagi masyarakat.

Bahkan harta tersebut sama sekali tidak bermanfaat  bagi diri sendiri atau keluarga karena harta tersebut menjadi penyebab kesengsaraan. Contoh yang sangat sederhana saja, misalnya dengan harta yang cukup,  maka kita bisa makan enak dan lezat setiap hari, akan tetapi dengan makanan yang seperti itu menyebabkan dirinya menjadi sakit. Bisa sakit jantung, diabet, kolesterol, asam urat dan sebagainya. Tentu harta itu lalu tidak bermanfaat bahkan pada dirinya sendiri. Atau harta itu menyebabkan keluarga terkena penyakit social, misalnya narkoba, berjudi, dan kenakalan lainnya. Yang jelas, harta itu lalu tidak bermanfaat.

Harta yang baik adalah harta yang memiliki manfaat untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Yaitu di kala harta tersebut bisa ditasarufkan untuk amal kebaikan. Untuk keluarga harta akan bermanfaat untuk pembiayaan pendidikan anak-anak, sehingga mencapai tingkat pendidikan yang terbaik. Ada orang yang hartanya melimpah, tetapi kemudian tidak bisa dimanfaatkan untuk pendidikan anak-anaknya.

Kita tentu bersyukur sebab meskipun orang tua kita tidak tergolong berlebihan di dalam harta dan kekayaan, akan tetapi dapat dimanfaatkan untuk pendidikan anak-anaknya. Di masa lalu tentu orang bisa belajar dengan kemampuan ekonomi orang tuanya. Tidak seperti sekarang yang banyak beasiswa, baik dari lembaga swasta atau pemerintah. Ada banyak lembaga swasta yang menyediakan beasiswa untuk siswa yang pintar, dan juga ada beasiswa yang disediakan oleh pemerintah melalui skema Dana Abadi Pendidikan atau Lembaga Pengembangan Dana Pendidikan (LPDP), yang menggunakan skema sisa anggaran dan kemudian didayagunakan untuk beasiswa. Melalui skema beasiswa seperti itu, maka anak-anak miskin tetapi pintar maka mendapatkan pendidikan secukupnya.

Ada orang yang secara ekonomi berkecukupan, dan kala meninggal hartanya diwariskan kepada anak-anaknya, akan tetapi harta itu tidak bisa bertahan lama. Habis. Bahkan terkadang ada yang harta orang tua menjadi rebutan dan sengketa, bahkan masuk ke pengadilan. Begitulah makna harta dunia bagi manusia. Ada kalanya bermanfaat dan ada kalanya tidak bermanfaat.  Masih ingat kasus Rafael Alun, yang hartanya melimpah akan tetapi harta tersebut menjadikannya diadili. Harta yang banyak tersebut juga terkait dengan perilaku anaknya. Karena anaknya yang melakukan kesalahan, maka orang tuanya akhirnya menuai masalah. Jadi anak dan harta ternyata tidak bisa menyelamatkannya. Jadi di dalam kasus Rafael Alun, maka anak, harta dan kekayaan justru menjadikannya bermasalah.

Di dalam kerangka memenej atas relasi antara anak, harta dan perilaku kebaikan, maka ada beberapa strategi, yaitu: pertama, ajari anak-anak dengan pendidikan agama. Ajari anak-anak agar mengenal keyakinan, pengamalan dan perilaku yang baik. Anak-anak harus memahami tentang arti pentingnya agama sebagai pedoman di dalam kehidupan. Anak-anak harus diajari untuk menjadikan agama sebagai jalan keselamatan. Tidak hanya keselamatan di dunia,  tetapi juga kelak sesudah meninggal. Ada banyak jalan keselamatan, akan tetapi jalan keselamatan yang ditawarkan oleh Islam adalah yang terbaik. Ajaran agama yang menuntun agar kita dapat melewati ujian kehidupan dengan benar dan berkeselamatan.

Kedua, ajari anak-anak untuk menyayangi dirinya sendiri dengan melakukan perilaku yang sesuai dengan ajaran agama. Ajari mereka agar menyayangi kedua orang tuanya, saudaranya, kakek neneknya dan segenap keluarga inti dan keluarga batihnya. Nuclear family and extended family. Jika ada keluarganya yang wafat ajari agar tetap menyayanginya dengan cara membacakan kalimat thayyibah, doa dan bacaan Alqur’an. Yang bisa dilakukan oleh orang yang masih hidup atas orang yang sudah meninggal adalah melalui kiriman doa, kalimat thayyibah dan bacaan Alqur’an yang disampaikan kepadanya melalui washilah Nabi Muhammad SAW atau orang-orang yang telah mengalami pencerahan Ketuhanan. Jangan takut amalan tersebut tidak sampai kepada mereka yang sudah di alam kubur. Nabi Muhammad SAW juga membacakan salam untuk ahli kubur. Artinya, bahwa doa keselamatan untuk ahli kubur itu nyata adanya.

Ketiga,  ajari mereka untuk menyayangi umat Islam dan umat manusia pada umumnya baik yang berbeda agama, etnis maupun golongannya. Islam telah memiliki pedoman yang sangat memadai agar menyambung tali silaturahmi, berukhuwah Islamiyah, dan ukhuwah basyariah. Jika kita dapat melakukannya, maka Islam menjamin akan terjadinya kerukunan dan keharmonisan social yang sungguh-sungguh dan hal itu hanya akan dapat dicapai dengan menjadikan agama sebagai pedoman kehidupan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

 

MENYEIMBANGKAN ANTARA HARTA DENGAN KEBAIKAN

MENYEIMBANGKAN ANTARA HARTA DENGAN KEBAIKAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Saya harus siap jika hari Selasa pagi untuk mengantarkan diskusi di Masjid Al Ihsan, sebab pada saat seperti itu, maka jamaah Masjid Al Ihsan meminta saya untuk memberikan ceramah agama dan masalah-masalah social yang sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Maka, Selasa, 16 Mei 2023, saya juga diminta oleh jamaah untuk sedikit memberikan ceramah terkait dengan Islam dan ekonomi jalan tengah dalam kaitannya dengan salah satu ayat di dalam Surat Al Kahfi ayat 46.

Hadir di dalam diskusi pagi itu adalah Pak Mulyanta, Ketua RW 08, Pak Rusmin, Ketua Takmir Masjid Al Ihsan, Pak Budi, Pak Hardi, Pak Suryanto, Pak Sahid, Pak Uyun, Ust. Alif dan Ust. Firdaus dan lain-lain. Acaranya memang bukan hanya ceramah tunggal,  akan tetapi diskusi. Metode ini yang dipilih karena kita membahas tentang pengetahuan yang relatif komprehensif dan bukan ceramah agama an sich.

Di dalam diskusi itu, ada beberapa hal yang saya jadikan sebagai angle, yaitu: pertama, ungkapan rasa syukur atas nikmat fisikal yang berupa kesehatan. Dengan kita sehat,  maka kita dapat  melakukan aktivitas individual, aktivitas keluarga, dan aktivitas masyarakat dengan baik. Bisa dibayangkan bahwa tanpa fisik yang sehat,  maka kita akan mengalami kesulitan bahkan penderitaan yang tidak terkira. Maka, bersyukur kepada Allah SWT atas nikmatnya itu sangat penting untuk dinyatakan, baik dhahiran maupun bathinan.

Kedua, di dalam surat Al Kahfi ayat 46 itu terdapat satu gambaran bahwa harta dan keturunan merupakan zinatul hayatad dunya atau perhiasan dunia. Jadi kalau kita mencintai harta dan keturunan tentu bukan hal yang aneh. Begitulah dalilnya. AlQur’an  menceritakan apa adanya sebuah realitas social yang terbentang di hadapan kita. Bahwa manusia  memiliki kecenderungan untuk mencintai hal-hal yang fisikal yang material. Harta dan keturunan adalah sesuatu yang bersifat fisikal atau material.  Hanya saja bahwa ada yang sesungguhnya abadi adalah kebaikan. Jika orang melakukan kebaikan, maka kebaikannya itu akan abadi tidak hanya di dunia tetapi juga terus di akhirat. Dan akhirat itu adalah kekal, wal akhiratu khairuw wa abqa. Jadi amalan shalih itu akan berguna di dalam menjalani kehidupan yang lebih baik di akhirat.

Mencintai harta adalah kewajaran, akan tetapi menjadi kapitalis murni seperti Qarun adalah kesalahan. Kapitalisme nagatif seperti itu tidak diajarakan di dalam Islam. Agama Islam mengajarkan adalah ada keseimbangan antara mengejar kehidupan duniawai dan kehidupan ukhrawi. Mengejar harta dan sebagian kecilnya ditasarufkan untuk kehidupan social. Membantu anak yatim, membantu janda-janda atau menyantuni para pencari ilmu dan amalan kebaikan lainnya. Harta itu bukan sesuatu yang kekal,  akan tetapi hanya titipan Allah SWT semata. Jika Allah mengambilnya, maka sekejap mata harta itu akan ludes, sebagaimana Qarun yang terkubur dalam tanah bersama harta kekayaannya.

Islam mengakui bahwa akumulasi modal itu diperbolehkan atau menjadi kaum kapitalis itu mubah atau kebolehan. Yang tidak diperkenankan adalah di saat mengakumulasi modal dan kemudian tidak mengeluarkan sedikitpun untuk kepentingan rakyat. Islam tidak mengajarkan agar terjadi masyarakat yang sama rata atau Komunisme sebagai derivasi dari sosialisme. Islam juga tidak mengajarkan kita menjadi kapitalisme murni. Tetapi Islam mengajarkan agar kita mengayuh di antara dua tegangan kapitalisme dan sosialisme. Inilah jalan ketiga atau the third way. Orang boleh saja kaya tetapi jangan lupakan untuk berinfaq, bershadaqah dan berzakat. Semuanya itu digunakan untuk membantu atas kehidupan orang lain yang kekurangan atau delapan kelompok yang bisa diskemakan dengan kegiatan philantropi Islam.

Di Indonesia,  sesungguhnya kita sudah memiliki Undang-Undang Corporate Social Responsibility (CSR) yang sebenarnya menjadi ajang bagi para pengusaha untuk mengalokasikan labanya sebesar 10 persen untuk kepentingan membantu kesulitan bagi yang lain. Menurut penuturan Pak Mulyanta bahwa perusahaan-perusahaan negara sudah melakukannya, misalnya Telkom. Di sana sudah ada satu tim yang menggawangi CSR. Lalu hasilnya disalurkan kepada kepentingan masyarakat, misalnya untuk membantu bencana local maupun nasional, mengentaskan kemiskinan, untuk pendidikan dan sebagainya.

Saya menyampaikan komentar bahwa sayangnya CSR itu belum menjadi budaya perusahaan. Jangankan mengeluarkan CSR, membayar pajak  yang benar saja masih belum optimal. Makanya ada double laporan keuangan, satu untuk pembayaran pajak dan satu untuk perusahaan. Yang untuk pajak  direkayasa agar membayar pajaknya lebih sedikit.

Islam itu agama yang luar biasa. Sebagai jalan keselamatan, Islam menawarkan agar orang melakukan amal kesalehan, dan dalam menjaga harta dan kekayaan Islam memberikan solusi jalan tengah, yaitu orang harus bekerja secara optimal agar bisa kaya, akan tetapi kekayaan tersebut harus digunakan untuk amal kebaikan. Agar harta menjadi bersih, maka juga harus dikeluarkan sebagian kecil untuk sedekah, infaq dan zakat.

Melalui pola bagi tindakan seperti ini, maka persaudaraan antar sesama umat Islam akan menjadi erat karena yang kaya selalu memperhatikan yang miskin, sehingga yang miskin juga akan merasakan betapa kasih sayang itu telah diterimanya. Melalui pemahaman untuk saling memberi dan menerima, maka akan muncul tindakan saling menghargai, menghormati dan saling mengokohkan persaudaraan.

Kita beruntung menjadi umat Islam yang bisa meneladani Sayyidah Khadijah meskipun tidak persis sama dengan yang dilakukannya, dan kita juga tidak sebagaimana Qarun yang diadzab karena ketamakannya. Bahagialah kita sebagai umat Islam.

Wallahu a’lam bi al shawab.