MENYEIMBANGKAN ANTARA HARTA DENGAN KEBAIKAN
MENYEIMBANGKAN ANTARA HARTA DENGAN KEBAIKAN
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Saya harus siap jika hari Selasa pagi untuk mengantarkan diskusi di Masjid Al Ihsan, sebab pada saat seperti itu, maka jamaah Masjid Al Ihsan meminta saya untuk memberikan ceramah agama dan masalah-masalah social yang sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Maka, Selasa, 16 Mei 2023, saya juga diminta oleh jamaah untuk sedikit memberikan ceramah terkait dengan Islam dan ekonomi jalan tengah dalam kaitannya dengan salah satu ayat di dalam Surat Al Kahfi ayat 46.
Hadir di dalam diskusi pagi itu adalah Pak Mulyanta, Ketua RW 08, Pak Rusmin, Ketua Takmir Masjid Al Ihsan, Pak Budi, Pak Hardi, Pak Suryanto, Pak Sahid, Pak Uyun, Ust. Alif dan Ust. Firdaus dan lain-lain. Acaranya memang bukan hanya ceramah tunggal, akan tetapi diskusi. Metode ini yang dipilih karena kita membahas tentang pengetahuan yang relatif komprehensif dan bukan ceramah agama an sich.
Di dalam diskusi itu, ada beberapa hal yang saya jadikan sebagai angle, yaitu: pertama, ungkapan rasa syukur atas nikmat fisikal yang berupa kesehatan. Dengan kita sehat, maka kita dapat melakukan aktivitas individual, aktivitas keluarga, dan aktivitas masyarakat dengan baik. Bisa dibayangkan bahwa tanpa fisik yang sehat, maka kita akan mengalami kesulitan bahkan penderitaan yang tidak terkira. Maka, bersyukur kepada Allah SWT atas nikmatnya itu sangat penting untuk dinyatakan, baik dhahiran maupun bathinan.
Kedua, di dalam surat Al Kahfi ayat 46 itu terdapat satu gambaran bahwa harta dan keturunan merupakan zinatul hayatad dunya atau perhiasan dunia. Jadi kalau kita mencintai harta dan keturunan tentu bukan hal yang aneh. Begitulah dalilnya. AlQur’an menceritakan apa adanya sebuah realitas social yang terbentang di hadapan kita. Bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk mencintai hal-hal yang fisikal yang material. Harta dan keturunan adalah sesuatu yang bersifat fisikal atau material. Hanya saja bahwa ada yang sesungguhnya abadi adalah kebaikan. Jika orang melakukan kebaikan, maka kebaikannya itu akan abadi tidak hanya di dunia tetapi juga terus di akhirat. Dan akhirat itu adalah kekal, wal akhiratu khairuw wa abqa. Jadi amalan shalih itu akan berguna di dalam menjalani kehidupan yang lebih baik di akhirat.
Mencintai harta adalah kewajaran, akan tetapi menjadi kapitalis murni seperti Qarun adalah kesalahan. Kapitalisme nagatif seperti itu tidak diajarakan di dalam Islam. Agama Islam mengajarkan adalah ada keseimbangan antara mengejar kehidupan duniawai dan kehidupan ukhrawi. Mengejar harta dan sebagian kecilnya ditasarufkan untuk kehidupan social. Membantu anak yatim, membantu janda-janda atau menyantuni para pencari ilmu dan amalan kebaikan lainnya. Harta itu bukan sesuatu yang kekal, akan tetapi hanya titipan Allah SWT semata. Jika Allah mengambilnya, maka sekejap mata harta itu akan ludes, sebagaimana Qarun yang terkubur dalam tanah bersama harta kekayaannya.
Islam mengakui bahwa akumulasi modal itu diperbolehkan atau menjadi kaum kapitalis itu mubah atau kebolehan. Yang tidak diperkenankan adalah di saat mengakumulasi modal dan kemudian tidak mengeluarkan sedikitpun untuk kepentingan rakyat. Islam tidak mengajarkan agar terjadi masyarakat yang sama rata atau Komunisme sebagai derivasi dari sosialisme. Islam juga tidak mengajarkan kita menjadi kapitalisme murni. Tetapi Islam mengajarkan agar kita mengayuh di antara dua tegangan kapitalisme dan sosialisme. Inilah jalan ketiga atau the third way. Orang boleh saja kaya tetapi jangan lupakan untuk berinfaq, bershadaqah dan berzakat. Semuanya itu digunakan untuk membantu atas kehidupan orang lain yang kekurangan atau delapan kelompok yang bisa diskemakan dengan kegiatan philantropi Islam.
Di Indonesia, sesungguhnya kita sudah memiliki Undang-Undang Corporate Social Responsibility (CSR) yang sebenarnya menjadi ajang bagi para pengusaha untuk mengalokasikan labanya sebesar 10 persen untuk kepentingan membantu kesulitan bagi yang lain. Menurut penuturan Pak Mulyanta bahwa perusahaan-perusahaan negara sudah melakukannya, misalnya Telkom. Di sana sudah ada satu tim yang menggawangi CSR. Lalu hasilnya disalurkan kepada kepentingan masyarakat, misalnya untuk membantu bencana local maupun nasional, mengentaskan kemiskinan, untuk pendidikan dan sebagainya.
Saya menyampaikan komentar bahwa sayangnya CSR itu belum menjadi budaya perusahaan. Jangankan mengeluarkan CSR, membayar pajak yang benar saja masih belum optimal. Makanya ada double laporan keuangan, satu untuk pembayaran pajak dan satu untuk perusahaan. Yang untuk pajak direkayasa agar membayar pajaknya lebih sedikit.
Islam itu agama yang luar biasa. Sebagai jalan keselamatan, Islam menawarkan agar orang melakukan amal kesalehan, dan dalam menjaga harta dan kekayaan Islam memberikan solusi jalan tengah, yaitu orang harus bekerja secara optimal agar bisa kaya, akan tetapi kekayaan tersebut harus digunakan untuk amal kebaikan. Agar harta menjadi bersih, maka juga harus dikeluarkan sebagian kecil untuk sedekah, infaq dan zakat.
Melalui pola bagi tindakan seperti ini, maka persaudaraan antar sesama umat Islam akan menjadi erat karena yang kaya selalu memperhatikan yang miskin, sehingga yang miskin juga akan merasakan betapa kasih sayang itu telah diterimanya. Melalui pemahaman untuk saling memberi dan menerima, maka akan muncul tindakan saling menghargai, menghormati dan saling mengokohkan persaudaraan.
Kita beruntung menjadi umat Islam yang bisa meneladani Sayyidah Khadijah meskipun tidak persis sama dengan yang dilakukannya, dan kita juga tidak sebagaimana Qarun yang diadzab karena ketamakannya. Bahagialah kita sebagai umat Islam.
Wallahu a’lam bi al shawab.