• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

BERAGAMA YANG MENYEJUKKAN BUKAN MEMANASKAN

BERAGAMA YANG MENYEJUKKAN BUKAN MEMANASKAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Agama memang memiliki dua dimensi di dalam pemberitaan terkait dengan ajarannya, yaitu sebagai tabsyir (pemberi kabar gembira) dan tandzir (pemberi kabar peringatan). Agama apapun selalu terkait dengan dua dimensi ini. Di dalam Islam banyak ajaran yang memberikan kabar gembira bagi orang yang mematuhi ajaran agama sebagai pesan Tuhan melalui Nabi-Nabi-Nya dan juga terdapat kabar yang memberikan peringatan atau bahkan ancaman bagi orang yang melalaikannya.

Yang saya maksud ancaman adalah berita bagi orang yang ingkar atas kebenaran ajaran agama. Misalnya menyekutukan Tuhan (musyrik), mengingkari keberadaan Tuhan dan kebenaran ajaran agama (kafir), atau orang yang tidak jelas prinsip hidupnya atau terdapat ketidaksesuaian antara apa yang diungkapkan dan apa yang diyakininya (munafik). Terhadap orang yang seperti ini, maka Islam memberikan peringatan agar kembali ke dalam jalan kebenaran, sebagaimana ajaran Nabi-Nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW, setelah diturunkannya agama Islam, sebagai kelanjutan dari Millah Ibrahim yang monoteistik.

Sebagai manusia tentu kita bergembira dan suka karena kita termasuk orang yang mendapatkan petunjuk. Ada banyak orang yang telah mendapatkan petunjuk tetapi tidak mengindahkannya. Kita termasuk orang yang sekurang-kurangnya telah meyakini kebenaran ajaran agama, terutama ajaran yang prinsip tentang ketuhanan, kenabian dan segala hal yang terkait dengan kebenaran agama dimaksud.

Di luaran banyak sekali orang yang telah memperoleh kabar kegembiraan dan kemudian tidak mengindahkannya. Mereka tetap berada di dalam kehidupan yang semula dengan keyakinan yang telah diperbaharui oleh utusan Allah pada tahap-tahap berikutnya. Millah Ibrahim telah mengalami proses pembaharuan sesuai dengan masanya.

Millah Ibrahim tersebut telah diperbaharui oleh Nabi Daud dengan Kitab Zabur, Nabi Musa melalui Kitab Taurat, Nabi Isa melalui Kitab Injil dan Nabi Muhammad SAW melalui Kitab Al Qur’an. Dengan demikian, Kitab Al Qur’an merupakan pembaharuan terakhir atas Millah Ibrahim, sehingga semestinya perubahan terakhir itulah yang menjadi pegangan bagi umat manusia pasca diturunkannya Nabi Muhammad SAW. Ini merupakan pandangan teologis di dalam agama Islam. Tentu akan berbeda bagi pandangan teologis bagi agama lainnya.

Tetapi satu hal yang sangat mendasar di dalam Islam, bahwa Islam tidak mengajarkan agar antara satu konsepsi teologis dengan lainnya itu harus saling berhadapan. Masing-masing tetap boleh meyakini kebenaran keyakinannya.  Persoalan di masa yang akan datang atau di alam akhirat tentu akan terdapat penilaian  dari Allah SWT. Manusia sudah diberikan kabar tentang yang baik dan benar sesuai dengan ajaran Tuhan, adapun mereka tetap berada di dalam keyakinannya itu adalah terkait dengan pilihannya sendiri.

Tuhan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW tidak memaksa seseorang harus menyakini kebenaran ajaran Islam. Islam menegaskan: “la ikraha fiddin”, artinya tidak ada paksaan di dalam beragama. Bahkan Islam mengajarkan: “lakum dinukum waliyadin” artinya: “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Manusia sudah diberitahu tentang jalan kebenaran, dan jika tidak mengikuti jalan kebenaran tersebut, maka hal itu merupakan tanggungjawabnya.

Banyak ahli, terutama kaum orientalis,  yang menyatakan bahwa Islam disiarkan dengan pedang. Islam disebarluaskan melalui perang. Pendapat ini didasari oleh kebencian yang begitu mendalam terhadap Islam. Patut diingat bahwa peperangan yang terjadi antara umat Islam dengan kaum pagan dan kaum agama lain pada zaman Nabi Muhammad SAW merupakan peperangan yang disebabkan oleh pengingkaran atas perjanjian yang sudah dibuat antara umat Islam dengan mereka. Bukankah Nabi Muhammad SAW sudah membuat perjanjian yang disebut sebagai Perjanjian Hudaibiyah dan Perjanjian Madinah dan kala ada di antara mereka yang sudah terikat di dalam perjanjian tersebut melakukan pengingkaran, maka di situlah perang terjadi. Namun demikian, Nabi Muhammad SAW melarang umat Islam di dalam peperangan untuk membakar tempat ibadah, merusak sumber-sumber ekonomi, merusak pepohonan, membunuh perempuan, anak-anak dan orang tua. Demikianlah etika perang di dalam Islam.

Jadi tidak salah jika Islam disebut sebagai agama perdamaian atau peaceful religion. Agama yang menekankan pada perdamaian. Prinsip yang menjadi pegangan bagi agama Islam adalah agama yang mengajarkan  keselamatan.  Oleh karena itu, jika ada orang yang beragama dengan tidak menyelamatkan orang atau komunitas lain, maka tentu ada yang salah di dalam pemahaman beragamanya.

Di antara yang membuat orang beragama dengan tidak mengedepankan keselamatan adalah tafsir atas agama yang tunggal atau selalu menganggap tafsir agamanya saja yang benar dan yang lain salah. Jangankan orang yang beragama lain, bahkan yang sesama Islam juga disalah-salahkan bahkan dikafir-kafirkan. Cara beragama semacam inilah yang menyebabkan Islam kehilangan aura perdamaian dan keselamatan.

Nabi Muhammad SAW saja membiarkan doa, bacaan  dan gerakan shalat yang berbeda, asal prinsip-prinsipnya sama. Ada sahabat Nabi Muhammad SAW yang melaporkan sahabat itu membaca doa di dalam shalat seperti ini, dan Nabi Muhammad SAW mendiamkannya atau membiarkannya. Kala hal tersebut kemudian diriwayatkan di dalam hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, maka terdapat perbedaan.  Lalu perbedaan tersebut dibesar-besarkan seakan-akan hanya tafsirnya yang benar dan yang lain salah. Inilah pangkal masalah di antara sesama umat Islam.

Kita sungguh bersyukur bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia mengikuti ajaran agama yang memberikan kabar gembira kepada umatnya. Islam yang lebih utama adalah yang mengabarkan rasa kegembiraan, kedamaian, keselamatan dan kenyamanan di dalam kehidupan. Melalui kabar gembira ini, maka beragama itu menjadi happy atau membahagiakan.

Saya kira manakah yang lebih utama beragama yang membahagiakan atau yang menakutkan. Pilihan orang yang benar adalah agama yang membahagiakan.

Wallahu a’lam bi shawab.

 

 

 

 

MENEMUKAN KEBAHAGIAAN

MENEMUKAN KEBAHAGIAAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Ngaji Bahagia, Selasa 1/08/2023, terasa istimewa, bukan karena pesertanya banyak, akan tetapi karena materi yang dikaji adalah tentang kebahagiaan. Lagi pula yang menyampaikan adalah Ust. M. Sahid, yang dikenal sebagai Trainer of Human Resource Development, yang selama ini telah malang melintang dalam berbagai pelatihan khususnya pada perusahaan-perusahan besar, misalnya Indosat, PLN, Telkom dan sebagainya. Memang untuk penceramah di Masjid Al Ihsan ini dilakukan secara bergantian. Terkadang saya, Pak Sahid, Pak Mulyanta, dan bahkan juga Pak Abdullah. Ngaji Bahagia ini diindikatori dengan ngaji dan tertawa secara seimbang.

Sesuai dengan temanya, maka bahagia itu merupakan suatu keadaan di mana terdapat perasaan senang, gembira dan merasakan hilangnya kesedihan atau lainnya sebagai akibat keberhasilan dalam melaksanakan suatu tindakan. Jadi yang menjadi kata kunci adalah perasaan. Orang bisa merasakan senang, sedih, gembira dan susah yang semuanya adalah fenomena hati atau fenomena perasaan. Bahagia juga bisa diartikan kemenyatuan antara fisik dan hati atau perasaan yang menimbulkan rasa senang atau gembira.

Bahagia itu memiliki standart. Standart itu bisa bersifat pribadi, artinya bagi seseorang dianggap bahagia tetapi bagi yang lain dianggapnya tidak bahagia. Bahagia itu merupakan kasus individual dan bukan kebahagiaan yang bersifat umum. Akan tetapi  standart itu hanya bisa mengacu kepada ukuran standart umum, yang di dalam dunia ilmu pengetahuan disebut sebagai indicator kebahagiaan. Jika seseorang telah mencapai standart ini, maka dia dinyatakan sebagai orang yang bahagia.

Ada empat standart untuk mengukur secara umum tentang kebahgaiaan sesuai dengan psikhologi modern. Yang pertama adalah pleasure. Yaitu kebahagiaan yang bercorak kesenangan sementara karena telah melakukan tindakan yang menyenangkan. Contohnya adalah di saat kita membutuhkan minuman kemudian oleh seorang kawan kita diberikan minuman, atau di saat lapar maka kita diberikan makanan. Di saat kita tidak punya uang kemudian tiba-tiba kawan kita memberikan uang. Kebahagiaan seperti ini bersifat sementara dan terjadi di saat itu.

Yang kedua, adalah achievement atau tercapainya suatu keinginan atau cita-cita yang telah lama diinginkan. Misalnya kita memiliki istri setelah sekian lama kita menginginkan kehadiran seorang istri. Bisa juga misalnya naik pangkat yang memang diinginkannya. Yang lain misalnya kita memiliki keuntungan dari usaha atau bisnis yang kita lakukan. Semua ini akan sangat menyenangkan. Orang bisa berbahagia dalam waktu yang relative lebih lama karena telah mencapai target yang diinginkan.

Yang ketiga, contribution atau kala seseorang sudah mampu memberikan sumbangan atau kontribusi atas orang lain di dalam kehidupannya. Misalnya Bill Gate yang mendonasikan keuntungannya untuk pengembangan pendidikan, atau Elon Musk yang kaya raya itu berhasil menyumbangkan keuangannya untuk kesejahteraan umat atau misalnya Rockefeller yang mendonasikan hartanya untuk beasiswa bagi para sarjana atau akademisi dari dunia ketiga. Di dalam ukuran yang sederhana saja, misalnya di saat kita  bisa memberikan solusi atas masalah yang dihadapi oleh kawan kita dan berakibat jangka panjang di dalam kehidupannya, maka hal ini juga kebahagiaan.

Yang keempat, ultimate goals atau pencapaian tujuan yang tidak terbatas. Standart ini merupakan standart final yang bisa diraih oleh seseorang untuk memperoleh kebahagiaan. Kebahagiaan hakiki, sebuah kebahagiaan yang sudah bukan lagi untuk kepentingan fisikal atau perasaan belaka tetapi kebahagiaan yang sudah mencapai derajat tertinggi karena telah mencapai kepasrahan, keridlaan dan syukur atas apa yang dianugerahkan Tuhan kepada kita semua. Kebahagiaan seperti ini hanya akan diperoleh seseorang yang sudah berada di dalam maqam Muthmainnah sebagaimana  terdapat di dalam Alqur’an: Ya Ayyuhan nafsul muthmainnah, irji’i ila rabbiki radhiyatan mardhiyah, fadkhuli fi ‘ibadi fadkhuli jannati”.  Yang artinya kurang lebih: “Wahai Jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu  dengan hati yang ridha dan dirindhai-Nya, dan masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku”.

Jadi jiwa yang tenanglah yang sesungguhnya menjadi standart tertinggi tentang kebahagiaan. Makanya, ada orang kaya tetapi tidak bahagia, dan ada orang yang tidak kaya tetapi bahagia. Dengan demikian kebahagiaan itu ada pada masing-masing individu yang jiwanya telah berada di dalam kategori nafsul muthmainnah.

Pak Mulyanta juga menyatakan bahwa kebahagiaan itu ukurannya adalah hati merasa yang nyaman, merasa senang, dan terlepas dari masalah. Terkadang kita dapati ada tangis bahagia. Tangisan itu biasanya terkait dengan kesedihan tetapi ada kalanya kita menangis karena kesenangan. Anak yang menikah membuat kita sedih karena akan ditinggalkan olehnya bersama suami atau istrinya, dan kita menangis. Akan tetapi dibalik tangisan itu ada kebahagiaan karena merasa bahwa keinginan untuk menikahkan anak menjadi terlaksana. Jadi kebahagiaan itu sesuatu yang berada di dalam hati. Tetapi ada kalanya juga ada orang yang bisa kelihatan bahagia padahal sesungguhnya sedang menghadapi masalah. Misalnya artis itu pintar bersandiwara.

Di dalam kesempatan ini saya menyampaikan bahwa kebahagiaan abadi itu ada. Di dalam Islam disebut sebagai kebahagiaan di dunia dan kebahagian di akherat atau saidun fiddaraini, bahagia di dunia dan bahagia di akherat. Di dalam konsepsi ahli filsafat dan ahli tasawuf Syed Hussein Nasr disebut sebagai endless bliss. Kebahagian abadi, dan kebahagiaan abadi itu hanya akan diperoleh oleh orang yang sudah khatam kehidupan duniawi artinya hatinya tidak tertambat pada duniawi yang fana, akan tetapi tertambat kepada Allah yang baqa’ atau abadi. Manusia akan bisa hadir dalam keadaan endless bliss jika hatinya sudah pasrah atau tawakkal, sabar, syukur, dan lillah billah.

Kita juga bersyukur karena akhir-akhir ini, banyak peneliti Barat yang tertarik dengan fenomena spiritualitas. Banyak buku yang membahas tentang psychology, religion and spirituality yang menggunakan pendekatan keyakinan dan kepercayaan serta pengalaman manusia di dalam membangun relasi dengan Tuhan, dan mereka beranjak dari dunia kajian yang bersifat empiric sensual atau hanya hal-hal yang bisa diamati saja yang dianggap benar ke keyakinan beragama. Jadi masyarakat Barat memang semakin banyak yang meinggalkan agamanya, tetapi akademisinya justru sedang tertarik dengan fenomena spiritualitas.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MENJAGA KELUARGA YANG HIDUP ATAU SUDAH WAFAT

MENJAGA KELUARGA YANG HIDUP ATAU SUDAH WAFAT

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Banyak orang yang berpikir bahwa yang patut dijaga adalah keluarga yang masih hidup. Bisa anak, cucu, orang tua dan keluarga lain yang masih hidup. Pemikirannya bahwa mereka ini harus diselamatkan dari Tindakan yang tidak atau kurang baik dan agar mereka selalu menjalankan Tindakan yang sesuai dengan ajaran agama. Bagi kalangan ini bahwa mereka yang sudah wafat itu sudah tertutup amal ibadahnya dan sudah tidak perlu mendapatkan bantuan apapun dari yang masih hidup.

Keyakinan seperti ini berangkat dari pemikiran rasional, yang menganggap bahwa orang yang masih hidup itu perlu mendapatkan pertolongan, bisa pertolongan material dan juga bisa pertolongan kepenasehatan. Jika ada yang bermasalah, maka bisa diselesaikan melalui pertolongan para ahlinya. Bisa konselor, psikholog, Lembaga keagamaan, Lembaga social dan bahkan Lembaga ekonomi. Semuanya bisa berperan sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya.

Ada yang secara ekonomi bermasalah, maka bisa hadir Lembaga pilantropi yang selama ini bergerak di bidang zakat, infaq dan shadaqah untuk menolongnya. Jika ada yang bermasalah psikhologisnya, maka bisa ditolong oleh psikhiater. Jika ada yang bermasalah secara social maka bisa diselesaikan melalui mediasi, dan jika ada yang bermasalah secara  kekeluargaan, maka bisa diselesaikan dengan dialog yang didampingi oleh para ahlinya.

Semua itu adalah masalah-masalah duniawi yang memang selalu menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia kapan dan dimana saja. Tidak perduli orang kaya, orang miskin, pejabat atau rakyat. Terkadang akan mengalami hal yang esesnsinya sama meskipun cakupan dan bentuknya berbeda-beda. Jika dilakukan pertolongan atas hal ini, maka sungguh hal tersebut adalah pertolongan yang bersifat duniawi.

Tetapi juga ada yang seharusnya mendapatkan pertolongan dari yang masih hidup terhadap yang sudah wafat. Yang diharapkan dari orang yang masih hidup terhadap yang wafat adalah doa untuk permohonan maaf atau ampunan. Bagi mereka adalah kiriman doa yang ditujukan kepada mereka yang wafat itu jauh lebih indah dan bermanfaat. Mereka tidak mengharapkan apa-apa selain doa dan bacaan-bacaan kalimat thayibah dari anak cucunya. Mereka memang sudah terputus dari amal ibadahnya, akan tetapi Allah SWT masih memberikan peluang baginya untuk memperoleh pertolongan. Di antara pertolongan yang utama adalah dari anak-anaknya atau bisa lebih luas keluarganya.

Islam sesungguhnya merupakan agama yang memberikan peluang bagi orang yang sudah wafat untuk bisa ikut bergembira karena kiriman doa, bacaan kalimat Thayyibah dan permohonan ampunan kepadanya. Secara spesifik Islam mengajarkan bahwa yang akan terus mengikuti orang yang sudah wafat adalah sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya. Akan tetapi secara umum berdasarkan amalan para ulama, maka sesama umat Islam pun bisa saling mendoakannya.

Jika kita melakukan shalat jamaah, maka imam shalat kemudian membacakan surat Al Fatihah kepada orang tua, kerabat bahkan kepada sesama jamaah umat Islam, muslimin wal muslimat, mu’minin dan wal mu’minat. Jika kita membacakan hal seperti ini, maka yang didoakan bukan sekedar orang tua atau kerabat tetapi segenap umat Islam. Inilah kehebatan ajaran Islam yang memiliki cakupan solidaritas kepada sesama jamaah umat Islam.

Umat Islam tidak dididik dalam beragama dengan mengedepankan egoism, termasuk dalam memperoleh pahala ajaran ganjaran dari Allah SWT. Islam selalu mengajarkan tentang sikap hidup yang menyayangi terhadap umat Islam bahkan juga terhadap umat beragama lain. Misalnya terhadap umat agama lain, Nabi Muhammad tidak memeranginya, selama kewajiban sebagai umat dalam suatu kesatuan bangsa tersebut dipatuhinya. Selama perjuangannya menegakkan panji-panji Islam, maka Nabi selalu mengedepankan kasih sayang kepada umat manusia. Islam itu rahmat bagi seluruh alam dan bukan rahmat bagi umat Islam saja.

Marilah kita pahami doa yang diajarkan oleh para ulama, khususnya ulama ahli Sunnah wal Jamaah, maka yang diajarkannya adalah kebersamaan. Ada yang doa khusus bagi orang-orang yang saleh, dan ada doa bagi seluruh umat Islam. Artinya, bahwa umat beragama yang sesuai dengan ajaran Islam, semenjak Nabi Adam AS sampai sekarang berada di dalam cakupan doa yang kita bacakan. Setelah kita mendoakan kepada orang tua kita, kakek nenek kita, nenek moyang kita, lalu juga berdoa untuk semua umat Islam, wa li jami’il musliminan wal muslimat, wal mu’minina wal mu’minat, al ahya’I minhum wal amwat. Sebuah doa sapu jagat yang ditujukan kepada semua umat Islam.

Islam itu mengajarkan “kekitaan” dan bukan “keakuan”. Islam mendidik agar umat Islam itu tidak hanya menyayangi diri sendiri tetapi menyayangi terhadap sesama umat Islam. Islam mengajarkan agar manusia menyayangi keluarganya, tetangganya, komunitasnya dan juga masyarakatnya. “kekitaan” itulah yang sesungguhnya menjadi inti pesan Islam dalam humanism. Yaitu ajaran yang secara normative memberikan pesan moral agar mengedepankan aspek kemanusiaan dalam membangun relasi social.

Dan uniknya, Islam tidak hanya mengajarkan pesan hanya untuk kasih sayang kepada sesama manusia yang masih hidup, akan tetapi juga secara normative mengajarkan kasih sayang kepada orang yang sudah wafat.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

HADITS MISOGINI: PERSPEKTIF SOSIOLOGIS

HADITS MISOGINI: PERSPEKTIF SOSIOLOGIS

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Pertanyaan yang paling mandasar adalah apakah tepat jika Islam yang dikenal sebagai agama yang memberikan rahmat bagi seluruh alam  itu mendegradasi atau merendahkan derajat perempuan? Maka jawabannya dipastikan tidak. Islam merupakan agama yang memberikan kerahmatan terhadap semua makhluk di dunia, sehingga dipastikan bahwa perempuan sebagai manusia tentu sangat dimuliakan oleh agama ini.

Perempuan merupakan sosok yang menjadi ibu dan yang melahirkan manusia, maka dipastikan bahwa kedudukannya sangat tinggi. Jika tidak ada perempuan yang secara kodrati dapat melahirkan, maka proses penciptaan manusia tentu akan berhenti, dan ini tentu akan menyalahi proses kehidupan manusia di dunia.

Inilah kata kunci saya dalam memberikan pengajian pada Komunitas Ngaji Bahagia di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency E 8 Ketintang Surabaya. Pengajian selasanan ini merupakan pengajian rutin dengan tema-tema yang bercorak tematik tergantung dari apa yang diharapkan oleh para jamaah. Pengajian tidak dilakukan dengan one way traffic communication tetapi two way traffic communication. Ada ceramah sebagai pengantar dan kemudian tanya jawab antar anggota komunitas. Tidak harus penceramahnya yang memberikan jawaban akan tetapi bisa siapa saja yang terlibat di dalam pengajian tersebut. Pengajian dilakukan pada Selasa, 25/07/2023.

Saya sampaikan bahwa secara sosiologis, ada dua pandangan tentang relasi antara lelaki dan perempuan, yaitu pandangan yang bercorak nature atau alami, yaitu perbedaan antara lelaki dan perempuan yang masing-masing memiliki perbedaan yang bersifat alami. Misalnya, perempuan bisa hamil, melahirkan dan menyusui sementara lelaki tidak. Lelaki secara phisikal lebih kuat dibandingkan perempuan, perempuan mengalami menstruansi sementara lelaki tidak. Dan lain-lainnya. Perbedaan ini bersifat alami dan azali. Tidak direkayasa atau dibuat-buat.

Lainnya adalah pandangan bahwa ada perbedaan yang bercorak nurture atau diciptakan atau dikonstruksi oleh masyarakat. Misalnya lelaki bekerja di luar rumah atau sector public dan perempuan bekerja di sector domestic. Perempuan  yang mengasuh anak-anak, sementara lelaki bekerja diluar rumah. Mendidik anak adalah tugas perempuan. Mencari nafkah adalah tugas lelaki, sementara  perempuan yang memanfaatkan hasilnya. Dan sebagainya. Intinya bahwa manusia atau masyarakatlah yang menciptakan perbedaan tersebut. Jadi bukan perbedaan yang alami tetapi dibuat.

Ajaran Islam memang memiliki prinsip lelaki sebagai garis keturunan. Artinya bahwa seorang anak akan dikaitkan dengan bapaknya dan bukan ibunya. Fulan bin fulanun atau Fulanah binti Fulanun. Jadi Fulan anak lelaki Fulanun atau Fulanah anak perempuan Fulanun. Jadi yang menjadi pokok nasab adalah Bapak atau orang tua lelaki. Di dalam tradisi Jawa Islam dikenal istilah Bapak, Kakek, Buyut, canggah, udek-udek, gantung, siwur dan seterusnya yang berporos pada lelaki. Selain itu, budaya Arab Saudi juga berporos kepada lelaki dalam genealogi keturunan. Di dalam Kitab Barzanji disebutkan tentang nasab Nabi Muhammad SAW dari Abdullah bin Abdul Muthalib sampai Fihri Quraisy.

Di dalam hadits Nabi Muhammad SAW tentang relasi lelaki perempuan yang terkait dengan seksualitas, maka didapati hadits yang kemudian disebut sebagai hadits misogini. Kata misogini berasal dari Bahasa Yunani yang berarti merendahkan atau bahkan membenci. Di dalam konteks hadits ini adalah sebuah teks yang menjelaskan tentang rendahnya derajat perempuan dibanding lelaki. Hadits tersebut berbunyi: “Apabila  seorang suami  memanggil istrinya untuk ke tempat tidurnya, dan sang istri  menolak sehingga semalaman, sang suami marah , maka malaikat akan melaknat istri tersebut  sampai pagi” (Hadits Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah). Ajakan lelaki atau suami untuk melakukan hubungan seksual yang ditolak oleh perempuan menjadi penyebab kemarahan suami dan berimplikasi atas laknata malaikat atas perempuan dimaksud. Jadi perempuan wajib menuruti kemauan seks lelaki. Bahkan bisa dipaksa.

Bagi saya ada empat hal yang perlu mendapatkan gambaran dari hadits ini. Sekali lagi ini bukan penafsiran hadits, akan tetapi merupakan penafsiran sosiologis saja. Yaitu: ajakan melakukan hubungan seksual, penolakan perempuan, kemarahan suami dan laknat malaikat. Jika dipahami secara tekstual, maka bagi seorang perempuan yang menolak ajakan melakukan hubungan badan oleh suaminya, dan suaminya itu marah maka dipastikan akan didapati laknat malaikat selama semalaman. Ini pemahaman tekstualnya.

Pemaknaan tekstual seperti ini yang ditolak oleh kaum penggerak kesetaraan gender atau kaum feminis. Bagi kaum feminis, bahwa hadits ini merupakan hadits yang menempatkan posisi perempuan sangat lemah dan ketiadaan kesetaraan gender atau bahkan kebencian terhadap perempuan. Bahkan dianggap sebagai tafsir kebencian. Di sinilah maka kaum perempuan terutama aktivis gender atau kaum feminis memerlukan pemahaman yang bercorak kontekstual, yaitu pemahaman yang lebih netral dan tidak merendahkan atau bahkan membenci perempuan.

Saya termasuk yang setuju dengan gambaran bahwa untuk memahami sebuah teks, tidak hanya dipahami dari bunyi dan arti teksnya akan tetapi harus diupayakan memahaminya secara kontekstual, yaitu memahami dari dimensi suasana, atau keadaan yang terjadi pada saat di mana penolakan itu dilakukan oleh perempuan.

Sekurang-kurangnya ada illat atau penyebab mengapa perempuan menolak persetubuhan dengan suaminya, yaitu: pertama, factor kelelahan fisik. Jika perempuan secara fisik capek, maka tentu tidak dimungkinkan untuk melakukan relasi seksual yang seimbang. Kelelahan tentu akan berpengaruh terhadap keterpaksaan dalam melakukan persetubuhan. Meskipun perempuan itu bekerja di rumah, akan tetapi bukan berarti pekerjaan di rumah itu sedikit. Mulai pukul  04.00 WIB sampai pukul 21.00 WIB. Mulai dari memasak, mencuci, membersihkan rumah dan seterusnya yang tidak ada henti-hentinya. Jika perempuan bekerja di ruang public, maka tingkat kelelahannya juga besar.

Kedua, waktu yang kurang tepat. Perempuan itu akan melakukan relasi seks dalam waktu yang benar-benar rileks. Perempuan akan menikmati hubungan seks dalam waktu yang sangat longgar dan penuh dengan kesenangan. Perempuan tidak bisa melakukan relasi seksual dalam waktu yang terbatas, yang tergesa-gesa, yang tidak memungkinkan terjadi eksplorasi seksual yang memadai. Ketiga, kelelahan psikhis. Perempuan juga manusia yang bisa saja tidak hanya lelah secara fisik tetapi juga lelah secara psikhis. Oleh karena itu,  jika perempuan menolak hubungan seksual bukan berarti tidak mau atau penolakan yang tanpa alasan. Di dalam kondisi seperti ini, maka tidak pantas jika suami marah apalagi malaikat melaknatnya.

Lelaki harus memahami kejiwaan dan situasi fisik dan lingkungan istrinya terutama kala menginginkan persetubuhan. Dengan cara seperti ini, maka relasi suami istri akan berada di dalam nuansa kesetaraan dan keseimbangan. Yang penting sesungguhnya adalah komunikasi yang baik di antara keduanya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

ISLAM DAN  PEREMPUAN DI INDONESIA

ISLAM DAN  PEREMPUAN DI INDONESIA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tema ngaji ba’da shubuh pada hari Selasa, 18/07/2023 memang terasa agak berat, sebab membicarakan tentang ajaran Islam yang dianggap menjustifikasi perempuan sebagai kelompok yang dianggap tidak sejajar dengan lelaki dalam banyak hal. Di antaranya adalah perempuan harus bekerja di ruang domestic dan lelaki bekerja pada ruang  public. Ketidaksejajaran tersebut dinyatakan di dalam teks Alqur’an dan juga hadits Nabi Muhammad SAW. Bahkan ada beberapa hadits yang dinyatakan sebagai hadits misogini atau hadits yang merendahkan posisi perempuan di dalam relasinya dengan kaum lelaki. Kelompok Ngaji Bahagia yang terdiri dari bapak-bapak jamaah masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency terbiasa menyelenggarakan ngaji bareng dengan pola dialog terkait dengan materi yang dibahas.

Di dalam Islam memang didapati teks yang oleh para ahli gender dipahami sebagai teks yang memberikan peluang ketidaksamaan atau inequality antara lelaki dan perempuan. Di antaranya adalah ayat tentang paham kepemimpinan. Di dalam teks, Surat An Nisa’, 34  terdapat ayat yang menyatakan: “ar rijalu qawwamuna ‘alan nisa’, bima fadhdhalallahu ba’dhuhu ba’dhan”. Yang artnya bahwa “Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena  Allah telah melebihkan  sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (perempuan)”. Secara tektual, ayat ini memberikan gambaran tentang lelaki yang memiliki kemampuan memimpin atas perempuan. Lelaki memiliki kelebihan dibandingkan dengan perempuan. Teks ini yang dijadikan sebagai dasar atas penolakan atas kehadiran pemimpin perempuan. Di Indonesia masalah pemimpin perempuan sering menjadi masalah. Namun demikian, di Indonesia hanya ada di dalam wacana saja penolakan tersebut, sebab pada akhirnya kepemimpinan perempuan pun diakui.

Di Indonesia memang terjadi ragam pemahaman tentang kepemimpinan perempuan. Ada sebagian yang membolehkan dan ada yang melarang. Berbeda misalnya dengan Afghanistan yang memberikan pengekangan atas perempuan sedemikian kuat. Bahkan perempuan berpendidikan saja dilarang. Negeri ini benar-benar melakukan pemberangusan hak-hak perempuan di dalam kehidupan. Bahkan di Arab Saudi juga hanya memberikan peran perempuan di ruang domestik. Misalnya di masa lalu perempuan tidak boleh menyetir mobil sendiri, tidak boleh pergi keluar rumah sendiri, tidak boleh nonton konser music, tidak boleh nonton olahraga dan lainnya. Baru akhir-akhir ini perempuan boleh beraktivitas di ruang public, misalnya mengemudi mobil, menontoh sepakbola, menonton konser music dan sebagainya. Hal ini baru diubah sewaktu Pangeran Muhammad bin Salman (MBS) menjadi putra mahkota kerajaan Saudi Arabia.

Untunglah masyarakat Indonesia memiliki sejarah panjang kesetaraan gender. Di masa Sejarah Nusantara Kuno, maka dikenal nama Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga, lalu Ratu Tribuana Tunggadewi  dari Kerajaan Majapahit (1328-1351), lalu di masa Islam sangat dikenal Ratu Safiatuddin dari Kesultanan Aceh (1641-1675). Jika di negara lain, terjadi gender inequality maka di Indonesia tidak dikenal hal tersebut.

Di era modern, banyak sekali para pemimpin perempuan baik pada level nasional maupun local. Meskipun terdapat perbedaan pendapat bahkan pertentangan, akan tetapi kenyataannya kehadiran perempuan dalam ruang public tidaklah menjadi masalah. No problem. Bu Mega pernah menjadi presiden dan sekarang ketua Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), Bu Khofifah pernah menjadi Menteri di era Gus Dur, dan sekarang menjadi Gubernur Jawa Timur. Sebuah provinsi dengan ulama-ulama yang terkenal dan pesantren terbanyak. Bu Atut juga menjadi Gubernur Banten dan banyak sekali yang menjadi bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dan banyak sekali perempuan yang menjadi anggota DPR/DPRD dan direktur perrusahaan maupun pejabat pemerintah.

Masyarakat Indonesia memahami bahwa teks Alqur’an tersebut tidak dijadikan sebagai halangan untuk berkarir dalam dunia public. Di dalam realitas soaial, di mana  tidak terdapat perempuan yang  memenuhi standart pemimpin dan tidak ada perempuan yang akseptabel untuk menjadi pemimpin, maka lelaki yang memiliki hak, tetapi kala ada perempuan yang memenuhi standart yang lebih tinggi untuk menjadi pemimpin, berkarir atau bekerja di ruang public, maka perempuan juga memiliki hak untuk maju bersama dalam posisi yang sama atau bahkan lebih tinggi.

Gerakan emansipasi sering dikaitkan dengan Kartini, seorang putri bangsawan  dari Jepara. Beliau memang memiliki kesadaran bahwa perempuan Indonesia harus memperoleh pendidikan yang lebih baik dan hal tersebut diungkapkannya dalam surat menyurat dengan Ny. Abendanon, seorang perempuan Belanda. Dari surat menyurat tersebut akhirnya dibukukan dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Lalu juga ada nama Dewi Sartika dari Jawa Barat, lalu Cut Nya’ Din dan Martha Christina Tiahahu, para perempuan  yang melakukan gerakan anti penjajah bahkan terlibat di dalam peperangan.

Namun demikian, sesungguhnya para perempuan di Indonesia bukanlah  orang yang  sama sekali tidak memiliki hak dan kewajiban yang melekat padanya, bahkan dalam pilihan melakukan tindakan berperang. Dengan demikian, di Indonesia tidak terdapat secara nyata tentang gender oppression dan  gender inequality. Sejauh-jauhnya adalah adanya sebagian masyarakat yang berpikir mengenai gender differention.

Masyarakat Indonesia sungguh berbeda dengan masyarakat di beberapa negara Timur Tengah, Afghanistan dan juga Pakistan yang tidak atau kurang memberikan hak kepada perempuan sebagai kodratnya yang harus diaktualisasikan.

Wallahu a’lam bi al shawab.