• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SURGA DALAM  MATEMATIKA SUPRA RASIONAL

SURGA DALAM  MATEMATIKA SUPRA RASIONAL

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Kegiatan tahsinan yang diselenggarakan pada Masjid Al Ihsan telah sampai pada Surat At Tien, maka terdapat satu ayat yang membicarakan tentang orang yang beriman dan beramal shalih maka Allah akan memberikan balasan surga di sisinya. Ayat reward ini menegaskan bahwa untuk mencapai surga harus beriman kepada Allah dan beramal yang baik.  Di dalam Surat At Tin, ayat 6 dinyatakan: “kecuali orang yang beriman da beramal shalih, maka baginya adalah kenikmatan surga yang tiada hentinya”. Artinya, bahwa orang harus iman kepada Allah tanpa ada sedikitpun keraguan, dan beramal shalih sebagaimana kewajiban dan anjuran di dalam Islam.

Iman kepada Allah itu tersimpul di dalam kalimat tauhid atau kalimat pengesaan Allah SWT dan pengakuan mengenai kerasulan Muhammad SAW. Di dalam tradisi keilmuan Islam khususnya tasawuf maka dikenal dua konsep yaitu nafi wa itsbat. Konsep nafi untuk menjelaskan tentang pengesaan Allah yang tiada syarikat baginya. Allah itu ahad atau Allah itu esa adanya. Maka kala membaca la ilaha yang berarti tiada Tuhan atau ilah, berarti kita sedang menafikan segala ilah atau Tuhan yang selama itu sudah diyakini di dalam berbagai agama atau keyakinan tentang pengilahan atas sesuatu. Ada ilah yang berupa Api Suci, ada juga keyakinan tentang Dewa Matahari atau Dewa Ra, ada keyakinan tentang ilah-ilah yang diyakini oleh agama-agama Samawi yang sudah mengalami perubahan teologis atau agama bumi yang meyakini akan keilahian suatu hal.

Meskipun seseorang melakukan Tindakan yang tidak mengindahkan perintah Tuhan, dan bahkan juga melakukan pelanggaran atas perintah Tuhan, akan tetapi di dalam dirinya ada keinginan untuk memperoleh kebaikan pada akhirnya. Orang yang berperilaku jelek sekalipun ingin masuk surga. Begitulah adanya. Surga memang menjadi ajaran agama yang sangat universal. Setiap agama mengajarkan bahwa tujuan akhir kehidupan sesudah mati adalah surga. Di dalam Bahasa Arab disebut Jannah, di dalam Bahasa Hindu Indonesia disebut sebagai swargaloka, di dalam Agama Buddha disebut sebagai Nirwana dan di dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai surga.

Untuk memasuki surga, sebagaimana diceritakan di dalam teks Suci, Alqur’an, ada dua yaitu beriman kepada Allah dan beramal baik. Di dalam Surat At Tin, ayat 6 dijelaskan bahwa: “illal ladzzina amanu wa ‘amilush shalihata falahum ajrun ghairu mamnun”.  Manusia yang tidak merugi adalah manusia yang beriman kepada Allah dan beramal shalih. Oleh karena itu, iman menjadi kata kunci. Di dalam tradisi Islam dinyatakan: “miftahul Jannah la ilaha illallah”. Yang artinya: “kunci Surga tidak ada Tuhan selain Allah”.

Berdasarkan atas teks ini maka bisa dinyatakan bahwa siapa orang yang sudah mengikrarkan diri dengan menyatakan la ilaha illallah, maka yang bersangkutan sudah memiliki peluang untuk menjadi bagian dari surganya Allah. Jadi orang yang sudah beriman maka peluangnya untuk memasuki surga tentu besar. Iman memang bisa bertambah dan bisa berkurang. Namun selama kurangnya iman tersebut tidak sampai membuat seseorang menjadi munafik atau kafir atau yang lebih berat menjadi mursyrik, maka peluang untuk menjadi penghuni surga tersebut masih sangat luas. Iman itu bisa full atau 100 persen. Tidak ada di dalam ungkapan lesan dan batinnya serta prilakunya yang menyebabkan iman tersebut berkurang, maka dipastikan iman itu akan berada dalam nuansa full atau iman sepenuhnya. Disebut juga sebagai imanan shadiqan. Iman yang benar dan lurus.

Kemudian, yang juga menjadi indicator atas peluang menjadi penghuni surga adalah amal yang baik atau amalan shalihan. Siapapun bagi orang yang sudah beriman kepada Allah maka baginya akan dapat menjadi orang yang bisa beramal shaleh. Amal shaleh itu definisinya sangat luas. Mulai dari perkataan yang menyenangkan orang sampai  jihad di jalan Allah, mulai dari sedekah sampai pergi haji. Mulai dari memungut paku di jalan sampai mengedepankan menolong orang yang memerlukan.

Jika seandainya kemudian dikalkulasi, bahwa iman kita itu prosentasenya 90 persen dan amalan shaleh kita itu 50 persen, maka totalitas iman ditambah  dengan amal shaleh adalah 140 persen, artinya secara keseluruhan sebesar 70 persen. Jadi dengan modal 70 persen, maka peluang untuk menemukan surga Tuhan dalam pencarian di akherat itu akan bisa diraih. Namun demikian ini adalah othak-athik mathuk atau pikiran yang tidak memiliki dasar pembenaran, akan tetapi paling tidak menjadi bahan untuk meyakinkan diri bahwa kita termasuk insyaallah akan menemukan surganya Allah SWT.

Sebagai umat Islam pantaslah jika kita berharap mendapatkan rahmatnya Allah SWT. Di dalam banyak maqalah dinyatakan bahwa orang bisa masuk surga karena rahmatnya Allah. Untuk mendapatkan rahmatnya Allah, maka ada dua indicator yang sudah saya jelaskan, yaitu iman dan amal shaleh. Dua ini sekurang-kurangnya sudah kita pahami dan kita lakukan dalam kapasitas yang sesuai dengan kemampuan. Jadi tidak mungkin rasanya, rahmat Allah itu diterima jika tidak memenuhi dua aspek tersebut.

Perhitungan semacam ini yang saya konsepsikan sebagai matematika supra rasional. Kita bisa berhitung atau bermuhasabah, bahwa iman kita seperti ini dan amalan shaleh kita seperti ini. Kita berkeyakinan bahwa potensi kita untuk masuk surga itu besar. Surga rasanya sudah di tangan kita.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

MENGENANG SYEKH BOQA BAQI DAN KIPRAH DAKWAHHYA

MENGENANG SYEKH BOQA BAQI DAN KIPRAH DAKWAHHYA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Dalam dua tahun terakhir ini saya terlibat di dalam acara khaul Syekh Muhammad Al Bqi, Syekh Boqa Baqi atau Mbah Djumantoro. Memang ada tiga nama yang disematkan kepada Waliyullah penyebar Islam pada abad ke 15 di tlatah Tuban, khususnya di Merakurak Tuban Jawa Timur. Pertanda kewaliannya dapat dilihat dari nisan atau maesannya yang terdapat lambang segitga terbalik, yang tidak lazim di makam-makam pada umumnya.

Berdasarkan pelacakan atas lambang di dalam maesan tersebut, maka didapati bahwa di makam-makam para auliya di Trowulan, Eyang Syekh Jumadil Kubro, Eyang Ibrahim Asmoroqondi, Eyang Sunan Ampel, Eyang Sunan Bonang dan Eyang Sunan Drajat memiliki lambang serupa. Berdasarkan atas pelacakan tersebut maka bisa dianalisis bahwa ada keterkaitan genealogi antara para waliyullah, yang dikenal sebagai penyebar Islam di Nusantara. Di dalam buku “Tuban Bumi Wali The Spirit of Harmony: Melacak Jejak Penyebar Islam di Tuban” (2021), bahwa para penyebar Islam di Tuban tersebut memiliki ikatan kekerabatan. Rupanya strategi dakwah yang dikembangkan di masa lalu itu adalah dengan menyebar keturunannya untuk berdakwah di daerah-daearah yang belum terdapat penyebar Islamnya. Itulah sebabnya di seluruh wilayah Tuban terdapat sebanyak 193 waliyullah yang berperan menyebarkan Islam di wilayah tersebut.

Pada hari Ahad, 13 Agustus 2023 bertepatan dengan 26 Muharram, 1445 H, di desa Sembungrejo Merakurak Tuban diselenggarakan acara memperingati perjuangan Syekh Boqa Baqi, yang biasanya diselenggarakan pada bulan Muharram bada khaul Eyang Sunan Bonang. Acara rutin ini diselenggarakan dengan mengundang Kyai yang memiliki jam terbang banyak untuk memberikan ceramah agama, khususnya tentang sedekah bumi, khaul dan tradisi Islam Jawa tersebut. Saya mengambil jadwal pada siang hari karena harus segera kembali ke Surabaya. Makanya yang acara malam harinya saya tidak terlibat. Hadir pada acara siang tersebut adalah pamong desa, Gus Kubro, takmir Masjid Nur Iman, dan masyarakat yang hadir dengan membawa makanan sekedarnya sebagai tradisi sedekah bumi atau di masa lalu disebut sebagai manganan.

Pada acara ini saya sampaikan tiga hal yang saya anggap penting. Pertama, khaul merupakan upacara untuk memperingati perjuangan para ulama, da’i, muballigh, penyebar Islam. Kita bersyukur sebab dapat memperingati perjuangan para waliyullah yang menyebarkan Islam di tempat ini. Acara khaul dilaksanakan sesungguhnya dalam kerangka untuk mengenang jasa dan perjuangan waliyullah yang makamnya masih dikenal dengan baik. Kita memperingati khaul Syekh Muhammad Al Baqi, atau Syekh Boqa Baqi atau Mbah Jumantoro. Ada tiga nama tetapi sesungguhnya satu orang. Ada nama Islamnya dan ada nama Jawa. Ini tradisi yang biasa terjadi di dalam masyarakat Jawa, bahwa ada nama kala kecil dan ada nama kala dewasa. Pada saat saya usia sekolah dasar, tradisi memberi nama setelah dewasa itu biasa terjadi. Jika orang mau menikah maka diganti namanya dengan tidak menghilangkan nama asalnya. Nama Mbah Jumantoro adalah nama untuk menunjukkan bahwa beliau adalah orang Jawa, sedangkan nama Muhammad Al Baqi atau Boqa Baqi adalah nama Islam yang biasanya disesuaikan dengan nama Arab. Jadi tidak usah berdebat tentang nama. Yang jelas bahwa di desa ini terdapat ulama yang hebat di masa lalu sebagai penyebar Islam. Kita harus yakin bahwa makam Syekh Muhammad Al Baqi ada di sini.

Kedua,  tradisi manganan atau tradisi sedekah bumi. Manganan itu artinya mangan bebarengan atau makan bersama-sama. Sama dengan yasinan berarti membaca yasin bersama-sama, tahlilan artinya membaca tahlil bersama-sama. Barzanjenan artinya membaca barzanji bersama-sama. Jadi manganan adalah tradisi untuk makan bareng. Manusia yang hidup makan nasi, daging, telor, kue, dan sebagainya. Ini semua makanan untuk memenuhi kebutuhan fisik atau badan. Yang hidup makan bareng sesuai dengan kebutuhan fisiknya. Di sisi lain ada yang juga membutuhkan makanan, yaitu para ahli kubur kita semua. Ahli  kubur itu tidak membutuhkan makanan sebagaimana makanan orang hidup, akan tetapi yang dibutuhkan adalah makanan yang berupa non fisik, seperti bacaan tahlil, bacaan yasin, bacaan Alqur’an, doa dan lain-lain. Ini yang dibutuhkannya. Makanya kita harus memberikan makanan kepada para ahli kubur kita. Jika orang tua masih hidup, maka menyayanginya adalah dengan memenuhi kebutuhannya. Bagi yang sudah wafat maka bentuk sayang kita kepadanya adalah dengan mengirimkan bacaan fatihan, bacaan yasin, bacaan tahlil, dan doa. Oleh karena itu jangan pernah lupa berdoa untuk leluhur kita yang sudah wafat.

Di dalam tradisi Islam, maka saling mendoakan itu hal yang sangat lazim. Makanya jika berdoa maka kita selalu menyatakan: wa li jami’il muslimina wal muslimat wal mu’minina wal mu’minat, al ahya’i minhum wal amwat”.  Maknanya bahwa kita saling mendoakan. Saya mendoakan Gus Kubro, Gus Kubro mendoakan saya, Pak Darsam mendoakan Pak Darwik, Pak Sarmadi dan seterusnya. Jadi kita saling berdoa. Oleh karena itu yang banyak masuk surga adalah umat Islam. Ada yang sepertiga di awal dan ada yang sepertiga di akhir. “ li ashhabil yamin tsullatum minal awwalin wa tsullatum minal akhiri”.

Ketiga,  mari kita panjatkan rasa syukur ke hadirat Allah SWT. Kita sehat wal afiat. Kita harus bersyukur kepada Allah atas semua kenikmatan yang diberikan kepada kita tersebut. Bagi yang sudah tua, maka doanya adalah “Ya Allah panjangkan usia kami, sehatkan tubuh kami, cahayailah hidup kami dan mantapkan iman kami kepada-Mu”. Mari kita terus bersyukur agar hidup kita semakin berbarakah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

ISLAM JAWA YANG EKSOTIK

ISLAM JAWA YANG EKSOTIK

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Jangan ada kesalahan di dalam membaca judul artikel ini. Yang saya maksud dengan Islam Jawa adalah Islam yang dipeluk atau dianut oleh orang Jawa. Suatu masyarakat yang semenjak dahulu sudah menjalankan ajaran Islam sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya sebagai umat Islam berdasarkan atas pemahamannya tentang Islam yang khas. Hal ini sama dengan konsep Islam Nusantara, artinya adalah Islam yang tumbuh dan berkembang di Nusantara. Islam yang seperti ini hakikatnya juga Islam yang memiliki sumber ajaran dari Nabi Muhammad SAW, hanya saja sudah dipahami dengan konteks Nusantara dengan penduduknya yang beragama Islam. Oleh karena itu tidak layak dipertentangkan dengan Islam Arab, Islam Mesir, Islam Malaysia dan sebagainya. Islam itu hakikatnya universal, hanya saja di dalam pemahaman dan ekpresinya yang bisa bervariasi sesuai dengan lokus dan budaya yang berkembang di wilayah tersebut.

Di dalam acara ngaji bareng di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency, kita sedang mendaras tentang ayat yang terkait bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang terbaik (Surat At Tin, ayat 4). Hal itu karena manusia adalah khalifah Allah di muka bumi. Sebagai khalifah tentu saja harus diberi perangkat yang lebih sempurna dibandingkan dengan makhluk Tuhan lainnya, misalnya hewan dan tumbuh-tumbuhan, bahkan juga dibandingkan dengan makhluk Tuhan yang masih gaib bagi manusia, seperti Jin, Syetan, Malaikat dan lainnya.

Manusia diberikan oleh Allah dengan kelengkapan akal, yaitu rational intelligent atau kemampuan nalar atau pikiran, emotional intelligent atau kesadaran yang berbasis kepada kemanusiaan, social intelligent atau kesadaran manusia untuk menjadi bagian dari manusia atau komunitasnya atau bagian dari kemanusiaan dan spiritual intelligent atau nalar ketuhanan. Dengan empat intelligensi tersebut, maka manusia bisa menjadi penguasa dunia sebagai wakil Tuhan bagi kehidupan di dunia.

Melalui empat akal tersebut,  maka manusia dapat melakukan kerja fisik dan kerja batin. Kerja fisik tentu untuk memenuhi kebutuhn fisik, misalnya makan, minum, berteduh, berpakaian, berkendaraan dan kebutuhan biologis lainnya. Sedangkan kerja non fisik adalah kerja yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan batin yang juga sangat penting di dalam kehidupan. Tidak ada manusia di dunia  yang tidak memiliki kebutuhan batin. Bukan sekedar rasa senang, tersenyum, tertawa dan bergembira ria atau lawan katanya seperti susah, sedih, murung dan menderita akan tetapi yang jauh juga dibutuhkan adalah rasa ketuhanan. Meskipun seseorang menyatakan dirinya  tidak percaya Tuhan atau atheis, tetapi saya tetap berkeyakinan bahwa suatu ketika akan merasakan betapa ada kekuatan gaib yang menggerakkan atas dunia dan manusia.

Sesungguhnya, orang yang sangat religious adalah masyarakat Nusantara, khususnya orang Jawa. Masyarakat Jawa adalah makhluk Tuhan yang paling sadar akan ketuhanan dan hal-hal yang terkait dengan Tuhan. Bagi orang Jawa, semuanya   dapat diatribusikan sebagai bagian dari kekuatan Tuhan. Tuhanlah yang berada dibalik semua tindakan manusia, yang disebutnya sebagai ketentuan atau takdir Tuhan. Orang Jawa itu serba takdir. Tidak ada yang tidak berkesadaran tentang Tuhan. Gusti Allah adalah segala-galanya.

Di dalam beragama orang Jawa itu  unik. Mereka menyelami ajaran agama justru dengan subtansinya dan bukan formalnya. Secara emosional agama itu dijadikan sebagai  bagian tidak terpisahkan dari beragama secara substansial. Agama itu dipahami sebagai sarana untuk mencapai kesejatian hidup. Oleh karena itu, maka agama itu dihayati secara lebih mendasar dibandingkan formalitas agama yang mengajarkan aturan-aturan dalam beragama. Shalat misalnya dihayati sebagai instrument untuk mencapai Tuhan dengan shalat daim atau shalat sepanjang hayat. Shalat lima waktu itu merupakan ajaran formal dalam beragama dan harus dilakukan, akan tetapi dibalik shalat itu ada semacam penghayatan tentang makna shalat secara esoteris.

Orang Jawa dikenal sebagai sekelompok orang yang menjadikan agama sebagai mantram-mantram suci. Yang dapat dirumuskan dengan menggunakan berbagai ungkapan, yang bahkan tidak terdapat di dalam ajaran agama, Islam misalnya. Sebagai contoh, Islam telah mengajarkan untuk menolak gangguan makhluk halus, maka Islam mengajarkan tentang doa, misalnya:  “Allahumma inni ‘audzubika minar rihil ahmar wa damil aswad wa dail akbar”. Makanya, lalu mereka membikin doa yang merupakan campuran antara Bahasa Arab dan Bahasa Jawa dan kemudian dirumuskan sendiri. Misalnya kala menghadapi daerah yang ditengarahi banyak makhluk halusnya, maka yang dibaca bukanlah doa yang berbahasa Arab, akan tetapi dengan doa; “ Qulhu sungsang, rajaiman, kudungku Malaikat Jibril, tekenku jongkat Nabi Muhammad, la ilaha illallah Muhammadur rasulullah”. Bismillah dengan doa tersebut, maka keselamatan akan didapatkan. Bukannya mereka tidak mau percaya dan yakin tentang doa dalam Bahasa Arab, akan tetapi karena factor kurang puas, maka doa dalam Bahasa Arab tersebut dapat  diganti dengan doa yang dirumuskan oleh para leluhurnya.

Pak Hardi sedemikian percaya bahwa doa di dalam Bahasa Jawa itu didengarkan oleh Allah SWT. Di masa lalu banyak amalan yang dilakukan oleh Pak Hardi, akan tetapi karena pengaruh paham keagamaan yang puristik, maka ajaran agama dengan sentuhan Kejawen tersebut lama-lama ditinggalkan. Sementara itu, Pak Hardi yakin bahwa doa di dalam bahasa apapun selama Tuhan meridloinya dipastikan akan terselesaikan problemnya. Pak Rusmin juga menyampaikan bahwa Tuhan itu memahami bahasa universal, sehingga bahasa apapun dari makhluknya pasti diketahuinya. Makanya berdoa dalam bahasa apapun dipastikan Allah mendengarnya. Perkara terkabulkan atau tidak tentu masih panjang urusannya.

Yang terpenting di dalam doa adalah unsur keyakinan, kesungguhan, keikhlasan dan ketawakkalan, maka doa diterima atau tidak akan sangat tergantung kepada bagaimana tingkat keseriusan dalam berdoa. Ada doa berbahasa Arab yang diterima  dan tidak. Dan ada doa dalam Bahasa Jawa yang diterima  jika Allah SWT  menghendakinya. Dengan kata lain, tetaplah terus berdoa dan yakinlah bahwa Allah mengabulkannya.  Cuma factor waktu yang akan menjadi saksinya.

Wallahun a’lam bi al shawab.

 

MENGGAPAI BAHAGIA

MENGGAPAI BAHAGIA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Pengajian yang dilakukan oleh Komunitas Ngaji Bahagia di Masjid Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency, Selasa 08/08/2023 bada Shubuh sungguh mengasyikkan. Yang diceritakan terkait dengan menggapai Bahagia. Yang memberi ceramah dengan metode dialogis adalah Ustadz Sahid, yang memiliki profesionalisme dalam pengembangan SDM berbasis spiritual. Ngaji yang benar-benar bahagia. Saling tertawa bersama dan gojlokan bersama. Yang jelas, asyik.

Di dalam cermahnya Ustadz Sahid menyatakan bahwa  untuk menggapai kebahagiaan itu diperlukan lima hal, yaitu:

Pertama, tersenyum. Diusahakan agar kita  bisa tersenyum, sekurang-kurangnya tujuh detik dan bukan tersenyum yang terpaksa. Orang yang tersenyum terpaksa itu akan bisa diketahui oleh orang lain. Orang bisa membaca seseorang itu tersenyum dengan ikhlas atau dengan keterpaksaan. Demikian pula orang yang tersenyum dengan ikhlas juga akan kelihatan. Di dalam suatu majelis akan dapat diketahui siapa yang ikhlas dan siapa yang tidak. Wajah seseorang bisa menggambarkan nuansa hati yang ada di dalamnya.

Kedua, tertawa. Komunitas Ngaji Bahagia ini sudah on the track. Sudah oke. Bayangkan bahwa nyaris setiap hari kita bisa tertawa 17 kali dengan tertawa lepas. Tertawa yang tidak tertahan, tertawa yang dilepaskan karena ada hal-hal yang memang pantas dan layak untuk ditertawakan. Apapun acaranya, di dalam Komunitas Ngaji Bahagia itu dipastikan ada tertawanya. Bahkan acara tahsinan Alqur’an yang serius juga terdapat hal-hal yang bisa ditertawakan. Yang penting kita memulai kehidupan di pagi hari dengan tertawa dan penuh canda. Rasanya setiap hari lebih dari 17 kali kita tertawa. Tertawa yang lepas akan menghasilkan hormone kebahagiaan atau yang disebut sebagai endorfin. Yakni hormone yang bisa memicu rasa bahagia. Orang yang selesai olahraga, melihat lukisan, mendengarkan music dan sebagainya maka akan terdapat rasa kebahagiaan, yang dipicu oleh endorfin.

Ketiga, kualitas waktu. Yang dibutuhkan untuk mencapai kebahagiaan itu adalah penggunaan waktu secara berkualitas. Artinya bahwa waktu yang digunakan untuk kebersamaan baik di dalam keluarga, komunitas, dan tempat bekerja itu adalah waktu yang mencukupi standart cukup. Tidak tergesa-gesa atau tidak terburu-buru. Kita harus bisa mengatur waktu secara memadai. Jika sedang berada di dalam keluarga , maka waktunya harus cukup. Hati, pikiran dan perasaan benar-benar berada di dalam keluarga. Waktu itu bukan diukur dari panjang dan banyaknya akan tetapi dari bagaimana kita memenej waktu agar sesuai dengan keperluan bersama.

Keempat, penghargaan. Kita hidup dengan orang lain. Kita tidak hidup sendiri di dunia ini. Karena kita hidup bersama orang lain, maka kita harus memberi penghargaan kepada orang yang baik dan memberi manfaat untuk kita. Tidak hanya untuk diri sendiri, akan tetapi juga untuk orang lain, keluarga, komunitas dan masyarakat. Memberikan ucapan selamat kepada orang lain yang bermanfaat bagi yang lain juga merupakan salah satu cara untuk membahagiakan diri dan orang lain. Memberikan penghargaan sama dengan memberikan pengakuan atas fungsi dan perannya bagi orang lain. Tetapi yang juga penting juga jangan mabuk penghargaan. Jika orang mabuk penghargaan maka apapun yang dilakukan harus dipuji. Ini justru bisa menjadi penyakit hati. Rasanya memberikan penghargaan itu juga harus dengan kewajaran saja sesuai dengan kapasitasnya dan bukan agar menyenangkan hati orang yang justru akan menyebabkan yang bersangkutan jumawa atau sombong.

Kelima, melayani. Memberikan pelayanan adalah perilaku yang baik. Di dalam kehidupan ini, orang yang mau melayani itu jumlahnya tidak banyak. Yang paling banyak adalah ingin dilayani. Padahal yang lebih utama itu adalah melayani. Bahkan jika bisa harus melayani dengan kepuasan yang di dalam bahasa perusahaan atau manajemen disebut customer satisfaction. Di dalam kehidupan ini, manusia tidak bisa hidup sendiri dan harus saling memberi dan menerima, melayani dan dilayani. Ada kalanya dilayani dan ada kalanya melayani. Jika menjadi seorang suami juga jangan hanya minta dilayani tetapi juga harus melayani istri. Jangan yang satu lebih dominan dari yang lain. Islam mengajarkan keseimbangan di dalam kehidupan ini.

Saya memberikan sedikit komentar di dalam ceramah ini. Jika mengacu pada bahagia di dalam konteks literatur barat, maka bahagia itu lebih bercorak fisik. Padahal kebahagiaan itu bukan hanya persoalan keterpenuhan kebutuhan fisik, akan tetapi yang lebih penting adalah terpenuhinya kebutuhan batin. Kebahagiaan jiwa dan raga. Kebahagiaan lahiriyah dan batiniyah. Islam mengajarkan bahwa ada kebahagiaan yang difasilitasi oleh pendekatan spiritualitas.  Kebahagiaan spiritualitas tersebut difasilitasi oleh taqarrub kepada Allah. Melalui taqarrub ilallah, maka akan terbuka hijab atau selimut yang memisahkan antara manusia dengan Tuhan. Di dalam ayat Alqur’an dinyatakan: “wa ma  ramaita idz romaita, fa innallaha roma”. Yang artinya” “dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar”. (Surat Al Anfal, ayat 17).

Di dalam konteks ini, maka kala manusia itu berdekatan dengan Allah, maka apa yang dilakukan hakikatnya adalah apa yang dilakukan oleh Allah. Dan yang bisa seperti itu hanyalah orang khusus dan di dalam literatur Islam disebutkan sebagai ahli tasawuf. Bagi kita yang awam dalam beragama, maka yang penting adalah bagaimana kita dapat  mendawamkan amalan apapun yang berbasis pada ajaran Islam, sehingga kita masih dapat masuk orang yang dikaruniai kebahagiaan fi dini wad dunya wal akhirah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

NABI MUHAMMAD MANUSIA MULIA

NABI MUHAMMAD MANUSIA MULIA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Ada pernyataan menggelitik dari Pimpinan Pondok Pesantren Az Zaytun, Panji Gumilang, bahwa Nabi Muhammad itu manusia biasa. Pernyataan ini benar, tetapi jangan titik, seharusnya koma. Yang benar adalah Nabi Muhammad itu manusia biasa yang memperoleh wahyu dan diutus sebagai Rasul oleh Allah SWT. Kita tentu harus hati-hati dalam menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai manusia sebab Beliau memang utusan Allah yang memiliki kelebihan dibanding manusia biasa.

Beliau itu lebih dari insan kamil. Jika insan kamil saja sudah sangat luar biasa, maka Nabi Muhammad SAW itu lebih dari yang luar biasa. Adakah manusia di dunia ini yang bisa bertemu dengan Allah SWT, yang bisa bermuwajahah dengan Allah, yang bisa menerima wahyu langsung dari Allah SWT. Dan itu hanya Nabi besar Muhammad SAW. Oleh karena itu tidaklah salah jika bagi kalangan ahli sunnah wal jamaah ketika menyebut Nabi Muhammad SAW dengan sebutan sallallahu ‘alaihi wasallam, wa nibbyina, wa habibina, wa syafi’ina, wa qurratu a’yunina wa nabiyyil musthafa Muhammadin sallalahu ‘alaihi wa sallam.

Bacaan ini menggambarkan betapa orang Islam itu memahami  Nabi Muhammad SAW sebagai hamba Allah SWT yang memberikan syafaat dan menolong, yang menjadi tanda mata, dan yang terpilih oleh Allah SWT. Sebuah ungkapan betapa agungnya Nabi Muhammad SAW itu di mata umat Islam. Hal itu karena Nabi Muhammad SAW adalah satu-satu manusia di dunia yang diberikan hak otoritatif oleh Allah untuk memberikan syafaat di alam mahsyar, sebuah padang atau tempat yang sangat luas di saat manusia dibangunkan dari tidur panjangnya di alam kubur atau alam barzakh.

Nabi Muhammad SAW memang merupakan satu-satunya  Nabi dan Rasul yang memiliki kelebihan utama. Bisa bertemu dengan Allah di Arasy, bisa memberikan syafaat, dan Rasul yang memperoleh keistemewaan dari Allah SWT. Bahkan ada di antara umat Islam yang meyakini bahwa tanpa washilah kepada Nabi Muhammad SAW maka amalan seseorang itu tidak jelas diterima oleh Allah SWT atau tidak. Maka dengan berwashilah kepada Nabi Muhammad SAW maka peluang untuk diterimanya amal ibadah itu akan sangat besar. Washilah kepada Nabi Muhammad SAW menjadi seakan-akan kewajiban bagi umat Islam.

Nabi Muhammad SAW dan semua Nabi dan Rasul adalah manusia. Itu betul. Nabi adalah manusia yang memiliki keistimewaan. Di antara keistimewaannya adalah memperoleh wahyu sebagai pedoman di dalam mengarungi samudra kehidupan. Di dalam Surat Al Kahfi, ayat 110 Allah SWT menyatakan: “qul innama ana basyarun mislukum yuha ilaiyya annama  ilahukum ilahuw wahid”. Faman kana yarju liqa’a rabbihi fal ya’mal amalan shalhaw wa la  yusrik bi ‘ibadatihi syai’a”.  Yang artinya: “Katakanlah Wahai Muhammad, sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa”. Maka barang siapa mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebaijikan dan janganlah menyekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya”.

Ayat ini untuk menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia juga hanya mendapatkan wahyu Allah dalam kerangka menjadi pedoman bagi umat manusia di dalam kehidupannya, yaitu beramal shalih, menjalankan ajaran agama dan akhirnya bisa bertemu dengan Allah atau mendapatkan rahmat Allah yang berupa surga. Di dalam surga itulah diyakini bahwa manusia akan bertemu Tuhannya.

Sebagai manusia, maka Nabi Muhammad SAW juga sangat manusiawi, misalnya memiliki rasa kesal, memiliki rasa puas, memiliki rasa senang dan memiliki rasa sedih. Seluruh perasaan yang dimiliki Nabi Muhammad sama dengan perasaan manusia. Hanya saja bedanya, bahwa Nabi Muhammad SAW itu dipandu oleh wahyu Allah.  Sebagai contoh, Nabi Muhammad SAW  merasa sangat sedih atas kewafatan pamannya, Abu Thalib dan istrinya Khadijah. Di saat itu merasa betapa kesedihan yang sangat mendalam. Ditinggalkan dua orang yang menjadi pelindungnya. Abu Thalib yang menjadi pelindungnya dari gangguan orang Quraiys, dan Khadijah adalah istrinya yang sangat dicintainya dan juga menjadi tempat untuk mengadukan kehidupannya dan yang memberi ketenangan dan sekaligus pelindung Baginda Rasulullah. Tahun itu disebut sebagai “amul khuzn” atau tahun kesedihan. Allah kemudian memberikan hiburan untuk menjalani perjalanan Isra’ dari Mekah ke Yerusalem dan Mi’raj dari Mekah ke Sidratul Muntaha, Mustawa dan Arasy untuk bertemu dengan Allah SWT.

Nabi juga pernah sedih, misalnya sebagaimana diceritakan di dalam Surat Adhuha. Di dalam surat ini digambarkan bahwa Nabi diejek oleh Kaum Quraisy, karena lama tidak lagi mendapatkan wahyu. Maka Allah kemudian menyatakan: “ wadh dhuha, wallaili idza saja, ma wadda’aka rabuka wa ma qala, wa lal akhiratu khairul laka minal ula”.  Yang artinya: “Demi Dhuha (ketika matahari naik sepenggalah), dan demi malam yang apabila telah sunyi, Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu, dan sungguh yang kemudian itu lebih baik bagimu dari pada yang permulaan”.

Melalui gambaran seperti ini dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia sebagaimana manusia lainnya yang memiliki perasaan yang berupa kesedihan, kegalauan, keriangan, bahkan juga sendagurau. Namun demikian yang membedakannya dengan kita bahwa Nabi itu memperoleh wahyu yang kemudian menjadi Kitab Suci Al Qur’an. Berbahagialah orang yang meyakininya, karena keyakinan ini adalah modal dasar agar kita mendapatkan syafaat dari Nabi Muhammad SAW.

Wallahu a’lam bi al shawab.