NABI MUHAMMAD MANUSIA MULIA
NABI MUHAMMAD MANUSIA MULIA
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Ada pernyataan menggelitik dari Pimpinan Pondok Pesantren Az Zaytun, Panji Gumilang, bahwa Nabi Muhammad itu manusia biasa. Pernyataan ini benar, tetapi jangan titik, seharusnya koma. Yang benar adalah Nabi Muhammad itu manusia biasa yang memperoleh wahyu dan diutus sebagai Rasul oleh Allah SWT. Kita tentu harus hati-hati dalam menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai manusia sebab Beliau memang utusan Allah yang memiliki kelebihan dibanding manusia biasa.
Beliau itu lebih dari insan kamil. Jika insan kamil saja sudah sangat luar biasa, maka Nabi Muhammad SAW itu lebih dari yang luar biasa. Adakah manusia di dunia ini yang bisa bertemu dengan Allah SWT, yang bisa bermuwajahah dengan Allah, yang bisa menerima wahyu langsung dari Allah SWT. Dan itu hanya Nabi besar Muhammad SAW. Oleh karena itu tidaklah salah jika bagi kalangan ahli sunnah wal jamaah ketika menyebut Nabi Muhammad SAW dengan sebutan sallallahu ‘alaihi wasallam, wa nibbyina, wa habibina, wa syafi’ina, wa qurratu a’yunina wa nabiyyil musthafa Muhammadin sallalahu ‘alaihi wa sallam.
Bacaan ini menggambarkan betapa orang Islam itu memahami Nabi Muhammad SAW sebagai hamba Allah SWT yang memberikan syafaat dan menolong, yang menjadi tanda mata, dan yang terpilih oleh Allah SWT. Sebuah ungkapan betapa agungnya Nabi Muhammad SAW itu di mata umat Islam. Hal itu karena Nabi Muhammad SAW adalah satu-satu manusia di dunia yang diberikan hak otoritatif oleh Allah untuk memberikan syafaat di alam mahsyar, sebuah padang atau tempat yang sangat luas di saat manusia dibangunkan dari tidur panjangnya di alam kubur atau alam barzakh.
Nabi Muhammad SAW memang merupakan satu-satunya Nabi dan Rasul yang memiliki kelebihan utama. Bisa bertemu dengan Allah di Arasy, bisa memberikan syafaat, dan Rasul yang memperoleh keistemewaan dari Allah SWT. Bahkan ada di antara umat Islam yang meyakini bahwa tanpa washilah kepada Nabi Muhammad SAW maka amalan seseorang itu tidak jelas diterima oleh Allah SWT atau tidak. Maka dengan berwashilah kepada Nabi Muhammad SAW maka peluang untuk diterimanya amal ibadah itu akan sangat besar. Washilah kepada Nabi Muhammad SAW menjadi seakan-akan kewajiban bagi umat Islam.
Nabi Muhammad SAW dan semua Nabi dan Rasul adalah manusia. Itu betul. Nabi adalah manusia yang memiliki keistimewaan. Di antara keistimewaannya adalah memperoleh wahyu sebagai pedoman di dalam mengarungi samudra kehidupan. Di dalam Surat Al Kahfi, ayat 110 Allah SWT menyatakan: “qul innama ana basyarun mislukum yuha ilaiyya annama ilahukum ilahuw wahid”. Faman kana yarju liqa’a rabbihi fal ya’mal amalan shalhaw wa la yusrik bi ‘ibadatihi syai’a”. Yang artinya: “Katakanlah Wahai Muhammad, sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa”. Maka barang siapa mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebaijikan dan janganlah menyekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya”.
Ayat ini untuk menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia juga hanya mendapatkan wahyu Allah dalam kerangka menjadi pedoman bagi umat manusia di dalam kehidupannya, yaitu beramal shalih, menjalankan ajaran agama dan akhirnya bisa bertemu dengan Allah atau mendapatkan rahmat Allah yang berupa surga. Di dalam surga itulah diyakini bahwa manusia akan bertemu Tuhannya.
Sebagai manusia, maka Nabi Muhammad SAW juga sangat manusiawi, misalnya memiliki rasa kesal, memiliki rasa puas, memiliki rasa senang dan memiliki rasa sedih. Seluruh perasaan yang dimiliki Nabi Muhammad sama dengan perasaan manusia. Hanya saja bedanya, bahwa Nabi Muhammad SAW itu dipandu oleh wahyu Allah. Sebagai contoh, Nabi Muhammad SAW merasa sangat sedih atas kewafatan pamannya, Abu Thalib dan istrinya Khadijah. Di saat itu merasa betapa kesedihan yang sangat mendalam. Ditinggalkan dua orang yang menjadi pelindungnya. Abu Thalib yang menjadi pelindungnya dari gangguan orang Quraiys, dan Khadijah adalah istrinya yang sangat dicintainya dan juga menjadi tempat untuk mengadukan kehidupannya dan yang memberi ketenangan dan sekaligus pelindung Baginda Rasulullah. Tahun itu disebut sebagai “amul khuzn” atau tahun kesedihan. Allah kemudian memberikan hiburan untuk menjalani perjalanan Isra’ dari Mekah ke Yerusalem dan Mi’raj dari Mekah ke Sidratul Muntaha, Mustawa dan Arasy untuk bertemu dengan Allah SWT.
Nabi juga pernah sedih, misalnya sebagaimana diceritakan di dalam Surat Adhuha. Di dalam surat ini digambarkan bahwa Nabi diejek oleh Kaum Quraisy, karena lama tidak lagi mendapatkan wahyu. Maka Allah kemudian menyatakan: “ wadh dhuha, wallaili idza saja, ma wadda’aka rabuka wa ma qala, wa lal akhiratu khairul laka minal ula”. Yang artinya: “Demi Dhuha (ketika matahari naik sepenggalah), dan demi malam yang apabila telah sunyi, Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu, dan sungguh yang kemudian itu lebih baik bagimu dari pada yang permulaan”.
Melalui gambaran seperti ini dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia sebagaimana manusia lainnya yang memiliki perasaan yang berupa kesedihan, kegalauan, keriangan, bahkan juga sendagurau. Namun demikian yang membedakannya dengan kita bahwa Nabi itu memperoleh wahyu yang kemudian menjadi Kitab Suci Al Qur’an. Berbahagialah orang yang meyakininya, karena keyakinan ini adalah modal dasar agar kita mendapatkan syafaat dari Nabi Muhammad SAW.
Wallahu a’lam bi al shawab.