MENGENANG SYEKH BOQA BAQI DAN KIPRAH DAKWAHHYA
MENGENANG SYEKH BOQA BAQI DAN KIPRAH DAKWAHHYA
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Dalam dua tahun terakhir ini saya terlibat di dalam acara khaul Syekh Muhammad Al Bqi, Syekh Boqa Baqi atau Mbah Djumantoro. Memang ada tiga nama yang disematkan kepada Waliyullah penyebar Islam pada abad ke 15 di tlatah Tuban, khususnya di Merakurak Tuban Jawa Timur. Pertanda kewaliannya dapat dilihat dari nisan atau maesannya yang terdapat lambang segitga terbalik, yang tidak lazim di makam-makam pada umumnya.
Berdasarkan pelacakan atas lambang di dalam maesan tersebut, maka didapati bahwa di makam-makam para auliya di Trowulan, Eyang Syekh Jumadil Kubro, Eyang Ibrahim Asmoroqondi, Eyang Sunan Ampel, Eyang Sunan Bonang dan Eyang Sunan Drajat memiliki lambang serupa. Berdasarkan atas pelacakan tersebut maka bisa dianalisis bahwa ada keterkaitan genealogi antara para waliyullah, yang dikenal sebagai penyebar Islam di Nusantara. Di dalam buku “Tuban Bumi Wali The Spirit of Harmony: Melacak Jejak Penyebar Islam di Tuban” (2021), bahwa para penyebar Islam di Tuban tersebut memiliki ikatan kekerabatan. Rupanya strategi dakwah yang dikembangkan di masa lalu itu adalah dengan menyebar keturunannya untuk berdakwah di daerah-daearah yang belum terdapat penyebar Islamnya. Itulah sebabnya di seluruh wilayah Tuban terdapat sebanyak 193 waliyullah yang berperan menyebarkan Islam di wilayah tersebut.
Pada hari Ahad, 13 Agustus 2023 bertepatan dengan 26 Muharram, 1445 H, di desa Sembungrejo Merakurak Tuban diselenggarakan acara memperingati perjuangan Syekh Boqa Baqi, yang biasanya diselenggarakan pada bulan Muharram bada khaul Eyang Sunan Bonang. Acara rutin ini diselenggarakan dengan mengundang Kyai yang memiliki jam terbang banyak untuk memberikan ceramah agama, khususnya tentang sedekah bumi, khaul dan tradisi Islam Jawa tersebut. Saya mengambil jadwal pada siang hari karena harus segera kembali ke Surabaya. Makanya yang acara malam harinya saya tidak terlibat. Hadir pada acara siang tersebut adalah pamong desa, Gus Kubro, takmir Masjid Nur Iman, dan masyarakat yang hadir dengan membawa makanan sekedarnya sebagai tradisi sedekah bumi atau di masa lalu disebut sebagai manganan.
Pada acara ini saya sampaikan tiga hal yang saya anggap penting. Pertama, khaul merupakan upacara untuk memperingati perjuangan para ulama, da’i, muballigh, penyebar Islam. Kita bersyukur sebab dapat memperingati perjuangan para waliyullah yang menyebarkan Islam di tempat ini. Acara khaul dilaksanakan sesungguhnya dalam kerangka untuk mengenang jasa dan perjuangan waliyullah yang makamnya masih dikenal dengan baik. Kita memperingati khaul Syekh Muhammad Al Baqi, atau Syekh Boqa Baqi atau Mbah Jumantoro. Ada tiga nama tetapi sesungguhnya satu orang. Ada nama Islamnya dan ada nama Jawa. Ini tradisi yang biasa terjadi di dalam masyarakat Jawa, bahwa ada nama kala kecil dan ada nama kala dewasa. Pada saat saya usia sekolah dasar, tradisi memberi nama setelah dewasa itu biasa terjadi. Jika orang mau menikah maka diganti namanya dengan tidak menghilangkan nama asalnya. Nama Mbah Jumantoro adalah nama untuk menunjukkan bahwa beliau adalah orang Jawa, sedangkan nama Muhammad Al Baqi atau Boqa Baqi adalah nama Islam yang biasanya disesuaikan dengan nama Arab. Jadi tidak usah berdebat tentang nama. Yang jelas bahwa di desa ini terdapat ulama yang hebat di masa lalu sebagai penyebar Islam. Kita harus yakin bahwa makam Syekh Muhammad Al Baqi ada di sini.
Kedua, tradisi manganan atau tradisi sedekah bumi. Manganan itu artinya mangan bebarengan atau makan bersama-sama. Sama dengan yasinan berarti membaca yasin bersama-sama, tahlilan artinya membaca tahlil bersama-sama. Barzanjenan artinya membaca barzanji bersama-sama. Jadi manganan adalah tradisi untuk makan bareng. Manusia yang hidup makan nasi, daging, telor, kue, dan sebagainya. Ini semua makanan untuk memenuhi kebutuhan fisik atau badan. Yang hidup makan bareng sesuai dengan kebutuhan fisiknya. Di sisi lain ada yang juga membutuhkan makanan, yaitu para ahli kubur kita semua. Ahli kubur itu tidak membutuhkan makanan sebagaimana makanan orang hidup, akan tetapi yang dibutuhkan adalah makanan yang berupa non fisik, seperti bacaan tahlil, bacaan yasin, bacaan Alqur’an, doa dan lain-lain. Ini yang dibutuhkannya. Makanya kita harus memberikan makanan kepada para ahli kubur kita. Jika orang tua masih hidup, maka menyayanginya adalah dengan memenuhi kebutuhannya. Bagi yang sudah wafat maka bentuk sayang kita kepadanya adalah dengan mengirimkan bacaan fatihan, bacaan yasin, bacaan tahlil, dan doa. Oleh karena itu jangan pernah lupa berdoa untuk leluhur kita yang sudah wafat.
Di dalam tradisi Islam, maka saling mendoakan itu hal yang sangat lazim. Makanya jika berdoa maka kita selalu menyatakan: wa li jami’il muslimina wal muslimat wal mu’minina wal mu’minat, al ahya’i minhum wal amwat”. Maknanya bahwa kita saling mendoakan. Saya mendoakan Gus Kubro, Gus Kubro mendoakan saya, Pak Darsam mendoakan Pak Darwik, Pak Sarmadi dan seterusnya. Jadi kita saling berdoa. Oleh karena itu yang banyak masuk surga adalah umat Islam. Ada yang sepertiga di awal dan ada yang sepertiga di akhir. “ li ashhabil yamin tsullatum minal awwalin wa tsullatum minal akhiri”.
Ketiga, mari kita panjatkan rasa syukur ke hadirat Allah SWT. Kita sehat wal afiat. Kita harus bersyukur kepada Allah atas semua kenikmatan yang diberikan kepada kita tersebut. Bagi yang sudah tua, maka doanya adalah “Ya Allah panjangkan usia kami, sehatkan tubuh kami, cahayailah hidup kami dan mantapkan iman kami kepada-Mu”. Mari kita terus bersyukur agar hidup kita semakin berbarakah.
Wallahu a’lam bi al shawab.