HADITS MISOGINI: PERSPEKTIF SOSIOLOGIS
HADITS MISOGINI: PERSPEKTIF SOSIOLOGIS
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Pertanyaan yang paling mandasar adalah apakah tepat jika Islam yang dikenal sebagai agama yang memberikan rahmat bagi seluruh alam itu mendegradasi atau merendahkan derajat perempuan? Maka jawabannya dipastikan tidak. Islam merupakan agama yang memberikan kerahmatan terhadap semua makhluk di dunia, sehingga dipastikan bahwa perempuan sebagai manusia tentu sangat dimuliakan oleh agama ini.
Perempuan merupakan sosok yang menjadi ibu dan yang melahirkan manusia, maka dipastikan bahwa kedudukannya sangat tinggi. Jika tidak ada perempuan yang secara kodrati dapat melahirkan, maka proses penciptaan manusia tentu akan berhenti, dan ini tentu akan menyalahi proses kehidupan manusia di dunia.
Inilah kata kunci saya dalam memberikan pengajian pada Komunitas Ngaji Bahagia di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency E 8 Ketintang Surabaya. Pengajian selasanan ini merupakan pengajian rutin dengan tema-tema yang bercorak tematik tergantung dari apa yang diharapkan oleh para jamaah. Pengajian tidak dilakukan dengan one way traffic communication tetapi two way traffic communication. Ada ceramah sebagai pengantar dan kemudian tanya jawab antar anggota komunitas. Tidak harus penceramahnya yang memberikan jawaban akan tetapi bisa siapa saja yang terlibat di dalam pengajian tersebut. Pengajian dilakukan pada Selasa, 25/07/2023.
Saya sampaikan bahwa secara sosiologis, ada dua pandangan tentang relasi antara lelaki dan perempuan, yaitu pandangan yang bercorak nature atau alami, yaitu perbedaan antara lelaki dan perempuan yang masing-masing memiliki perbedaan yang bersifat alami. Misalnya, perempuan bisa hamil, melahirkan dan menyusui sementara lelaki tidak. Lelaki secara phisikal lebih kuat dibandingkan perempuan, perempuan mengalami menstruansi sementara lelaki tidak. Dan lain-lainnya. Perbedaan ini bersifat alami dan azali. Tidak direkayasa atau dibuat-buat.
Lainnya adalah pandangan bahwa ada perbedaan yang bercorak nurture atau diciptakan atau dikonstruksi oleh masyarakat. Misalnya lelaki bekerja di luar rumah atau sector public dan perempuan bekerja di sector domestic. Perempuan yang mengasuh anak-anak, sementara lelaki bekerja diluar rumah. Mendidik anak adalah tugas perempuan. Mencari nafkah adalah tugas lelaki, sementara perempuan yang memanfaatkan hasilnya. Dan sebagainya. Intinya bahwa manusia atau masyarakatlah yang menciptakan perbedaan tersebut. Jadi bukan perbedaan yang alami tetapi dibuat.
Ajaran Islam memang memiliki prinsip lelaki sebagai garis keturunan. Artinya bahwa seorang anak akan dikaitkan dengan bapaknya dan bukan ibunya. Fulan bin fulanun atau Fulanah binti Fulanun. Jadi Fulan anak lelaki Fulanun atau Fulanah anak perempuan Fulanun. Jadi yang menjadi pokok nasab adalah Bapak atau orang tua lelaki. Di dalam tradisi Jawa Islam dikenal istilah Bapak, Kakek, Buyut, canggah, udek-udek, gantung, siwur dan seterusnya yang berporos pada lelaki. Selain itu, budaya Arab Saudi juga berporos kepada lelaki dalam genealogi keturunan. Di dalam Kitab Barzanji disebutkan tentang nasab Nabi Muhammad SAW dari Abdullah bin Abdul Muthalib sampai Fihri Quraisy.
Di dalam hadits Nabi Muhammad SAW tentang relasi lelaki perempuan yang terkait dengan seksualitas, maka didapati hadits yang kemudian disebut sebagai hadits misogini. Kata misogini berasal dari Bahasa Yunani yang berarti merendahkan atau bahkan membenci. Di dalam konteks hadits ini adalah sebuah teks yang menjelaskan tentang rendahnya derajat perempuan dibanding lelaki. Hadits tersebut berbunyi: “Apabila seorang suami memanggil istrinya untuk ke tempat tidurnya, dan sang istri menolak sehingga semalaman, sang suami marah , maka malaikat akan melaknat istri tersebut sampai pagi” (Hadits Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah). Ajakan lelaki atau suami untuk melakukan hubungan seksual yang ditolak oleh perempuan menjadi penyebab kemarahan suami dan berimplikasi atas laknata malaikat atas perempuan dimaksud. Jadi perempuan wajib menuruti kemauan seks lelaki. Bahkan bisa dipaksa.
Bagi saya ada empat hal yang perlu mendapatkan gambaran dari hadits ini. Sekali lagi ini bukan penafsiran hadits, akan tetapi merupakan penafsiran sosiologis saja. Yaitu: ajakan melakukan hubungan seksual, penolakan perempuan, kemarahan suami dan laknat malaikat. Jika dipahami secara tekstual, maka bagi seorang perempuan yang menolak ajakan melakukan hubungan badan oleh suaminya, dan suaminya itu marah maka dipastikan akan didapati laknat malaikat selama semalaman. Ini pemahaman tekstualnya.
Pemaknaan tekstual seperti ini yang ditolak oleh kaum penggerak kesetaraan gender atau kaum feminis. Bagi kaum feminis, bahwa hadits ini merupakan hadits yang menempatkan posisi perempuan sangat lemah dan ketiadaan kesetaraan gender atau bahkan kebencian terhadap perempuan. Bahkan dianggap sebagai tafsir kebencian. Di sinilah maka kaum perempuan terutama aktivis gender atau kaum feminis memerlukan pemahaman yang bercorak kontekstual, yaitu pemahaman yang lebih netral dan tidak merendahkan atau bahkan membenci perempuan.
Saya termasuk yang setuju dengan gambaran bahwa untuk memahami sebuah teks, tidak hanya dipahami dari bunyi dan arti teksnya akan tetapi harus diupayakan memahaminya secara kontekstual, yaitu memahami dari dimensi suasana, atau keadaan yang terjadi pada saat di mana penolakan itu dilakukan oleh perempuan.
Sekurang-kurangnya ada illat atau penyebab mengapa perempuan menolak persetubuhan dengan suaminya, yaitu: pertama, factor kelelahan fisik. Jika perempuan secara fisik capek, maka tentu tidak dimungkinkan untuk melakukan relasi seksual yang seimbang. Kelelahan tentu akan berpengaruh terhadap keterpaksaan dalam melakukan persetubuhan. Meskipun perempuan itu bekerja di rumah, akan tetapi bukan berarti pekerjaan di rumah itu sedikit. Mulai pukul 04.00 WIB sampai pukul 21.00 WIB. Mulai dari memasak, mencuci, membersihkan rumah dan seterusnya yang tidak ada henti-hentinya. Jika perempuan bekerja di ruang public, maka tingkat kelelahannya juga besar.
Kedua, waktu yang kurang tepat. Perempuan itu akan melakukan relasi seks dalam waktu yang benar-benar rileks. Perempuan akan menikmati hubungan seks dalam waktu yang sangat longgar dan penuh dengan kesenangan. Perempuan tidak bisa melakukan relasi seksual dalam waktu yang terbatas, yang tergesa-gesa, yang tidak memungkinkan terjadi eksplorasi seksual yang memadai. Ketiga, kelelahan psikhis. Perempuan juga manusia yang bisa saja tidak hanya lelah secara fisik tetapi juga lelah secara psikhis. Oleh karena itu, jika perempuan menolak hubungan seksual bukan berarti tidak mau atau penolakan yang tanpa alasan. Di dalam kondisi seperti ini, maka tidak pantas jika suami marah apalagi malaikat melaknatnya.
Lelaki harus memahami kejiwaan dan situasi fisik dan lingkungan istrinya terutama kala menginginkan persetubuhan. Dengan cara seperti ini, maka relasi suami istri akan berada di dalam nuansa kesetaraan dan keseimbangan. Yang penting sesungguhnya adalah komunikasi yang baik di antara keduanya.
Wallahu a’lam bi al shawab.